Minggu, 13 Mei 2012

PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI INDONESIA



 I.PENDAHULUAN
Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama terhadap pelanggaran HAM berat dalam batas wilayah yurisdiksinya. Namun realitas acapkali menunjukkan adanya tindakan suatu negara melalui organ maupun aparat keamanannya, demi mempertahankan kepentingan politik kekuasaannya cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran HAM berat.  Pemicu terjadinya pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, setidaknya disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara warga negara di satu pihak dengan kepentingan rezim penguasa di pihak lain yang tidak sejalan.
 Hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang pelakunya dapat dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando dalam peristiwa Aceh pasca pelaksanaan Daerah Operasi Militer (selanjutnya disingkat DOM), Tanjung Priok (1984), kerusuhan Mei (1998), Trisakti (1998), Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), Timtim (1999), dan peristiwa Abepura (2000).
 Terkait dengan hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut, menurut F.S. Suwarno[1] terjadinya pelanggaran HAM berat, antara lain disebabkan karena adanya sentralisme kekuasaan, adanya absolutisme kekuasaan, dan adanya dominasi militerisme. Sedangkan menurut Muladi, ada empat hal pokok sebagai pedoman untuk menentukan telah terjadinya pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando, yaitu[2] :
a). adanya “abuse of power” dalam kerangka asosiasi dengan pemerintah, termasuk didalamnya delik omisi (violation by omission);
b). kejahatan tersebut dianggap merendahkan harkat maupun martabat manusia dan pelanggaran atas asas-asas kemanusiaan yang paling mendasar;
c). perbuatan tersebut dikutuk secara internasional sebagai hostis humanis generis;
d). kejahatan tersebut dilakukan secara sistematik dan meluas. Perlindungan terhadap pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, kondisi serta realitas diberbagai belahan dunia selama ini masih menunjukkan kuatnya penerapan praktik impunitas bagi para pelakunya.
Sebagai negara hukum, Indonesia belum secara maksimal menghasilkan putusan pengadilan HAM ad hoc maupun permanen yang signifikan mencerminkan rasa keadilan serta upaya pemutusan mata rantai impunitas, sebagai bentuk upaya penegakkan hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando. Terkait hal tersebut, patut dikemukakan bahwa penegakkan hukum atas pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak hanya merupakan urusan domestik suatu negara, namun menjadi perhatian “masyarakat internasional” dalam kerangka untuk memutus mata rantai praktik impunitas. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagai bentuk kejahatan yang menjadi musuh bersama umat manusia (hostis humanis generis), sehingga dapat diberlakukan yurisdiksi universal atas pelakunya oleh setiap negara, kapan dan dimanapun juga[3].
II. RUMUSAN MASALAH.
Penegakkan hukum atas pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando, tidak hanya merupakan urusan domestik dari suatu negara, namun telah menjadi concern “masyarakat internasionaluntuk memutus mata rantai praktik impunity. Permasalahan yang relevan untuk dikaji lebih lanjut dalam makalah ini adalah (1). Urgensi pemerintah Indonesia membuat UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai dasar hukum penuntutan pertanggungjawaban pidana komandan atau atasan dalam pelanggaran HAM yang berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan; (2). Bagaimana penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana komandan atau atasan dalam pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan pada peradilan HAM di Indonesia pada khususnya maupun peradilan (HAM) internasional pada umumnya.
III.PEMBAHASAN
A.                Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia (HAM)
Purwodarminto menyebutkan bahwa hak adalah sesuatu yang benar dan berhubungan dengan milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena ditentukan oleh undang-undang, kekuasaan yang benar atas sesuatu untuk menuntut sesuatu.[4] Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap umat manusia yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, serta menjamin harkat dan martabat sesuai kodratnya[5]. Oleh karena itu hak tersebut merupakan sesuatu yang harus diperoleh yang tentunya juga disertai dengan pelaksanaan suatu kewajiban. Antara hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya, dalam artian ketika seseorang menuntut haknya maka juga harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya sehingga terjadi suatu keseimbangan dalam menjalankan suatu kehidupan yang harmonis.
HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat universal, sehingga harus dihormati dan dilindungi dalam suatu peraturan perundangan. Di samping HAM, diperlukan adanya Kewajiban Dasar Manusia (selanjutnya disingkat KDM). Istilah HAM untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Eleanor Roosevelt selaku ketua Komisi HAM PBB, ketika merumuskan UDHR[6]. Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap manusia demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat kemanusiaannya. Pengertian HAM dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM tersebut juga sama75 dengan pengertian HAM dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian HAM di Indonesia telah ditetapkan sebagai pengertian yang baku atau standar yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundangan yang berlaku.
Menurut Jean Pictet, dalam UDHR tersebut mengandung prinsip-prinsip HAM yang berlaku secara umum yaitu :

1. Principle of inviolability, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk dihormati jiwanya, integritasnya baik fisik maupun moral dan atribut-atribut yang tidak dapat dipisahkan dari personalitasnya;
2. Principle of non discrimination, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras, suku, agama, bangsa, status social, dan lain sebagainya;
3. Principle of security, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan yang tidak dilakukannya;
4. Principle of liberty, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menikmati kebebasan individual;
5. Principle of sosial well being, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikmati kondisi kehidupan yang menyenangkan.
Tujuan utama pengaturan HAM adalah untuk mempertahankan umat manusia, baik secara perorangan maupun kolektif dari kehilangan kehidupan, kebebasannya dan dari perlakuan kejam tanpa batas rasa kemanusiaan serta penindasan dari suatu negaranya.[7]
Hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan terhadap Kewajiban Asasi Manusia (KAM) dan Tanggung Jawab Asasi Manusia (TAM) dalam suatu kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.
Dengan demikian bilamana ketiga unsur asasi yang terdiri dari HAM, KAM dan TAM tersebut tidak berjalan secara seimbang, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan kesewenang-wenangan. Dengan demikian maka secara umum dapat dikemukakan bahwa hakikat HAM adalah[8] :
a. HAM berasal atau bersumbar dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan atau dimiliki seluruh umat manusia tanpa membedakan berdasarkan strata sosial apa pun juga. HAM merupakan suatu hak yang secara kodrati melekat pada setiap individu sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa pada umat manusia yang berlaku secara universal;
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa. Pengimplementasian HAM berkembang seirama dengan perkembangan pikir, budaya, cita-cita manusia dan iptek.
c. HAM tidak dapat dilanggar, dalam artian tidak seorangpun termasuk negara mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak asasi orang lain. Keberadaan HAM tetap melekat pada setiap orang sepanjang hidupnya tanpa dapat diambil atau dicabut, kecuali ada pelanggaran atas aturan hukum yang berlaku lewat keputusan peradilan yang senantiasa menjunjung tinggi terhadap perlindungan HAM.
d. Keberadaan negara, antara lain untuk menghormati dan mempertahankan HAM sesuai dengan kesepakatan bersama demi pengembangan martabat kemanusiaan. Kesadaran memiliki dan melaksanakan hak asasi harus dikaitkan pula dengan kewajiban asasi dan tanggungjawab asasi.
B.     Pengertian dan Ruang Lingkup Pelanggaran HAM Berat
Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Pelanggaran HAM adalah :“Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikwatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” Berdasarkan pengertian pelanggaran HAM dalam Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM tersebut, maka untuk dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran HAM bila :
a. adanya unsur perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok termasuk aparat negara;
b. perbuatan tersebut dilakukan baik dengan cara disengaja maupun tidak disengaja ataupun karena kelalaian yang secara melawan hukum;
c. perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No. 39 tahun 2000 tentang HAM;
d. korban pelanggaran HAM, baik perseorangan maupun kelompok orang tidak mendapatkan, atau dikwatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pengertian pelanggaran HAM berat terdapat dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang pada dasarnya menyatakan : “Pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination).
Suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act of commision), ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang mestinya harus dicegah (act of ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Menurut Muladi pelanggaran HAM berat merupakan tindak pidana sebagaimana tindak pidana lain yang bersifat melawan hukum (unlawful) dan sama sekali tidak ada alasan pembenarnya[9].

C.    Kejahatan Terhadap Kemanusiaan  di Indonesia.
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia merupakan istilah yang relatif baru dalam khsanah hukum positif setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai salah satu produk kebijakan legislatif, undang-undang tersebut merupakan sumber hukum positif mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu pelanggaran HAM berat. Berpedoman pada tahun keluarnya undang-undang tersebut, maka kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia baru dikenal dan dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan dalam hukum (pidana) positif pada tahun 2000 dan sesuai asas legalitas, maka kejahatan terhadap kemanusiaan setelah undang-undang tersebut berlaku yang dapat dijatuhi pidana.
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran HAM berat, di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Timtim pasca jajak pendapat tak mungkin terelakan dari pengamatan atau pemantauan masyarakat dan dunia internasional. Hikmahanto Juwana pakar HI Universitas Indonesia (UI), dalam artikelnya108 yang berjudul "Peradilan Nasional Bagi Pelaku Kejahatan Internasional" menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dan utamanya di Timtim pasca jajak pendapat, dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Berdasarkan HI, awalnya hanya dikenal tiga jenis kejahatan internasional, yaitu: (1) crimes against peace atau kejahatan terhadap perdamaian, yang termasuk pula didalamnya adalah tindakan-tindakan persiapan ataupun pernyataan perang agresi; (2) war crimes atau kejahatan perang termasuk pula di dalamnya pelanggaran atas ketentuan hukum kebiasaan perang; dan (3). crimes against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu diartikan sebagai segala bentuk kekejaman terhadap penduduk sipil selama peperangan berlangsung. Penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu kejahatan internasional, telah diperkuat dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg (1946) maupun Tokyo Tribunal (1948) di Jepang yang ditetapkan oleh negara-negara Sekutu pemenang PD II.
Singkatnya, kedua peradilan ad hoc bentukkan negara-negara Sekutu tersebut mempunyai kewenangan mutlak untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan internasional, di samping kejahatan perang dan kejahatan terhadap perdamaia. Sebenarnya jauh sebelum ketiga jenis kejahatan di atas ditetapkan sebagai kejahatan internasional, sejak abad ke-18 “masyarakat internasional” telah mengenal dan mengakui piracy dan slavery sebagai kejahatan internasional. Mengingat begitu pentingnya hubungan perdagangan saat itu, maka tindakan perompakan kapal dagang di laut (viracy) dipandang sebagai musuh bangsa-bangsa. Demikian pula dengan perdagangan budak (slavery) dipandang telah merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, kedua kejahatan internasional (piracy dan slavery, pen) tersebut juga turut ditetapkan sebagai hostis humanis generis.[10]
D.    PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

1.Peristiwa Tanjung Priok Tahun 1984.
Peristiwa Tanjung Priok berawal dari ditahannya empat orang, yaitu Achmad Sahi, Sofwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor salah seorang Babinsa dari Koramil Koja.Mereka ditangkap oleh aparat Polres Jakarta Utara yang kemudian ditahan di Kodim Jakarta Utara. Pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat. Dalam ceramahnya, Amir Biki menuntut aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jamaah Mushola As Sa’adah yang ditahan. Setelah mengetahui keempat orang tersebut juga belum dibebaskan aparat keamanan, maka selanjutnya pada pukul 23.00 WIB Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud dibawah komando Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara, hingga terjadi peristiwa penembakan yang menyebabkan terjadinya korban jiwa.
Peristiwa yang selanjutnya terkenal sebagai peristiwa Tanjung Priok tersebut telah menimbulkan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat sebagaimana telah diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan KPP HAM Tanjung Priok138 terhadap petugas RSPAD Gatot Subroto didapatkan keterangan sebagai berikut :
a) Jumlah korban luka dalam peristiwa Tanjung Priok yang dirawat sebanyak 36 orang, sedangkan jumlah korban luka yang diberi pengobatan tetapi tidak dirawat sebanyak 19 orang;
b) Sedangkan jumlah korban yang meninggal dunia berjumlah 23 orang, dengan perincian 9 orang dapat dikenali identitasnya139 dan 14 orang lainnya tidak diketahui identitasnya yang dapat dikategorikan sebagai orang hilang.[11]
2.      Peristiwa Daerah Operasi Militer Di Aceh
Sejak diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM)142 tahun 1989 s/d tahun 1998 di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Nangroe Aceh Darussalam) setidaknya telah terjadi 7.727 kasus pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Penerapan status DOM di Aceh tersebut merupakan puncak dari tindakan yang bersifat represif dari Pemerintah Republik Indonesia untuk melangsungkan dan menjaga kepentingannya di Aceh. Pada saat itu pemerintah mengkampanyekan pentingnya memberantas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk menjaga keamanan masyarakat, yang di sisi lain melakukan legitimasi tindakan-tindakan represif yang bertujuan menjaga kepentingan-kepentingan bisnis pemerintah pusat. Berbagai operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri dengan dalih menumpas GPK Aceh (GAM, pen) merupakan shock therapy untuk mematikan keberanian rakyat Aceh melakukan koreksi, kritik atau upaya-upaya lain. Dampak operasi militer tersebut membuat masyarakat didera ketakutan, tanpa alasan yang jelas mereka diculik, dipukuli, disiksa bahkan dibunuh. Fenomena semacam inilah yang merupakan awal dari bencana terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran HAM berat di Aceh.[12]

3.Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II
Perjuangan orde reformasi dimulai dengan adanya krisis ekonomi yang melanda negara Indonesia pada tahun 1997. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden HM. Soeharto yang berkuasa selama kurun waktu 32 tahun secara otoriter. Pergantian pemerintahan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan harapan bahwa demokratisasi telah dimulai. Namun patut disayangkan, usaha mengatasi krisis yang bersifat multidimensional tersebut belum mampu menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Berbagai peristiwa seperti tragedi Trisakti, SemanggiI dan Semanggi II merupakan resultan dari berbagai faktor dan keadaan yang kurang kondusif dan hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Peristiwa-peristiwa tersebut telah melibatkan bentrokan fisik antara mahasiswa dan masyarakat dengan TNI maupun Polri, yang mana dari ketiga peristiwa itu telah menimbulkan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat.
4.Peristiwa Di Timor-Timur (Timtim)
Setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor-Timur (Timtim) untuk menerima atau menolak otonomi khusus, pada tanggal 5 Mei 1999 di New York ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal dibawah payung PBB. Perjanjian yang bersifat bilateral tersebut pada prinsipnya mengatur tentang penyelenggaraan jajak pendapat dan pengaturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timtim.
Sejak opsi diberikan dan setelah diumumkannya hasil jajak pendapat, berkembang berbagai bentuk tindak kekerasan berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Komnas HAM tanggal 8 September 1999 menyebutkan bahwa perkembangan kehidupan masyarakat di Timtim pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan brutalisme dilakukan secara luas baik oleh perseorangan maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan.
 Terkait hal tersebut, Komisi HAM PBB di Geneva tanggal 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timtim. Hal tersebut menunjukkan betapa seriusnyapenilaian dunia internasional terhadap masalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Timtim.
Special session menghasilkan Resolusi No. 1999/S-1/1, di samping menuntut pemerintah Indonesia mengadili pelaku, juga meminta Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional atas kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat. Pemerintah Indonesia via Komnas HAM kemudian membentuk KPP HAM152 Timtim pada tanggal 22 September 1999 dengan SK No. 770/TUA/IX/99, yang kemudian disempurnakan lagi dengan SK No. 797/TUA/X/99 tanggal 22 Oktober 1999, dengan mengingat pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, serta mempertimbangkan bahwa situasi HAM di Timtim pasca jajak pendapat semakin memburuk.
Berdasarkan laporan KPP HAM bentukan Komnas HAM tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur ketidaktaatan untuk memenuhi kewajiban internasional maupun unsur yang berupa pelanggaran terhadap kewajiban internasional dalam teori pertanggungjawaban negara menurut HI telah terpenuhi. Secara logika jika negara Indonesia mentaati kewajiban internasional yang melekat padanya sebagai konsekuensi menjadi anggota PBB dan juga peratifikasi berbagai instrumen internasional yang terkait dengan perlindungan terhadap HAM, dengan tidak melanggar kewajiban internasionalnya maka tidak mungkin akan terjadi berbagai peristiwa yang menurut hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusaan dalam peristiwa DOM Aceh, Tanjung Priok, Timtim, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Sesuai dengan fokus kajian makalah ini, maka kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah :
“Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :[13]
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok Hukum Internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentu kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut Hukum Internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid.
Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat hasil penyelidikan Komnas HAM di atas, yang pelakunya hendak dituntut berdasarkan pertanggungjawaban komando, dapat disimpulkan bahwa tidak semua perbuatan dalam point (a) s/d point (j) Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terpenuhi. Laporan KPP HAM peristiwa Tanjung Priok 1984 menyebutkan jenis-jenis pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan secara kilat, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa.
 Laporan KPP HAM peristiwa DOM Aceh menyebutkan jenis kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi berupa pembunuhan kilat, penyiksaan dan perlakuan kejam tidak berperikemanusiaan, penghilangan orang secara paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, perampasan hak milik. Laporan KPP HAM peristiwa Trisaksi Semanggi I dan Semanggi II menyebutkan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan perbuatan tidak berperikemanusiaan yang berlangsung secara sistematis, meluas dan ditujukan terhadap penduduk sipil yang dilakukan atas inisiatif dan peranan penuh aparat TNI/Polri untuk tujuan politik tertentu.
Selanjutnya dalam laporan KPP HAM Timtim menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan secara sistematis, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa, pembumihangusan di Dili, Suai, dan Liquisa. Dengan kata lain, jika negara Indonesia tidak melanggar kewajiban internasional yang dibebankan oleh HI yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, maka kita tidak perlu harus repot-repot membentuk Komnas HAM berikut KPP HAM yang difungsikan sebagai lembaga independen dalam melakukan penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang patut diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
Secara umum KPP HAM juga telah merekomendasikan penuntutan pertanggungjawaban komando terhadap pelaku di lapangan, penanggungjawab komando operasional yang membawahi territorial termasuk aparat birokrasi seperti Bupati, Gubernur yang tidak mampu antisipasi keadaan dan mengendalikan pasukannya, dan para pemegang tanggung jawab kebijakan termasuk didalamnya pejabat tinggi militer/polisi/sipil lainnya yang terlibat dan mengetahui telah terjadi pelanggaran HAM berat tetapi tidak ambil bagian tindakan pencegahan.[14]

E. KESIMPULAN
Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan pada konflik bersenjata baik yang bersifat internasional maupun non internasional pelakunya dapat dituntut berdasar prinsip pertanggungjawaban komando. Selain hal itu, penetapan oleh the founding fathers dalam konstitusinya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas suatu kekuasaan, tentunya membawa implikasi tidak satu pun institusi maupun personalnya kebal terhadap ketentuan hukum dan perundangan nasional maupun internasional yang berlaku, bila melakukan pelanggaran tindak pidana pada umumnya, termasuk didalamnya pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam jenis hak yang bersifat non derogable rights, yaitu hak-hak yang pemenuhannya bersifat absolut dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat sekalipun. Negaranegara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang bersifat non derogable rights tersebut, akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Aceh pasca pelaksanaan DOM, Tanjung Priok (1984), kerusuhan Mei (1998), Trisakti (1998), Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), Timtim (1999), dan peristiwa Abepura, serta telah pula direkomendasikan agar para pelaku dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando.
Namun demikian realitas menunjukkan bahwa hanya kasus Timtim, kasus Tanjung Priok, dan kasus Abepura yang para pelakunya dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando dalam Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penegakkan hukum atas pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando, tidak hanya merupakan urusan domestik dari suatu negara, namun telah menjadi perhatian masyarakat internasionaluntuk memutus mata rantai praktik impunity. Oleh karena itu upaya menuntut pertanggungjawaban komando bagi para pelaku yang nota bene terdiri dari para komandan militer, atasan polisi, maupun atasan sipil lainnya atas pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia, merupakan persoalan hukum yang tidak dapat dihindari.
Urgensi pemerintah membuat UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM sebagai dasar hukum penuntutan pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia, antara lain adalah : (a). sebagai antisipasi pembentukan peradilan (HAM) internasional sebagaimana dilakukan DK-PBB di Yugoslavia dan di Rwanda; (b). perlindungan hukum atas pelanggaran HAM berat; (c). memutus mata rantai praktik impunity atas pelanggaran HAM berat; (d). untuk menjawab persoalan pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat recurrent maupun yang muncul sebagai burning issues yang dihadapi Indonesia; dan (e). sebagai upaya mengisi kekosongan peraturan hukum. Upaya pemerintah Indonesia membuat aturan hukum yang akan dipergunakan sebagai sarana untuk menuntut pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat menyiratkan tentang adanya pengakuan telah terjadi pelanggaran tersebut dalam batas wilayah kedaulatannya.
Berdasarkan kedaulatannya, negara Indonesia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan hukum sekaligus menegakkannya dengan cara mengadili para pelakunya. Mengingat negara merupakan suatu entitas yang tidak dapat dipidana, maka pertanggungjawaban negara Indonesia secara internasional atas tindakan atau perbuatan yang melanggar Hukum Internasional, yang dalam hal ini adalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain dilakukan dengan cara mengadili para pelakunya berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando sebagaimana telah diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hasil penelitian dan pembahasan penerapan prinsip pertanggungjawaban komando menunjukkan bahwa pembentukkan pengadilan HAM di Indonesia, tidak terlepas dari adanya Resolusi DK-PBB No. 1264. Resolusi tersebut meminta pada pemerintah Indonesia untuk segera mengadakan pengusutan dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Timtim pasca jajak pendapat. Penuntutan pertanggungjawaban pidana komandan atau atasan atas pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000 dilakukan via pengadilan HAM ad hoc yang pembentukkannya didasarkan Keppres atas usul DPR sedangkan yang terjadi sesudah berlakunya UU No. 26 tahun 2000 akan diadili oleh pengadilan HAM permanen.
DAFTAR PUSTAKA
F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005, No. 2,
Muladi, Prinsip-Prinsip Pembentukan Pengadilan HAM Di Indonesia dan Pengadilan Pidana Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983.
Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1995.
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Kartini Sekartadji, Perkembangan HAM dalam Perspektif Global, Semarang, BP Undip, 1999.
Sadruddin Aga Khan, Komisi Independen Internasional mengenai Masalah-Masalah Kemanusiaan, Jakarta: Leppenas, 1983.
Mansour Fakih dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta: Insist Press, 2003
Marzuki Suparman, Tragedi politik hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka pelajar,2011
Rina Rusman, Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2 November 2004.
yahmin AK, Pengantar Hukum Humaniter I Bagian Umum, Bandung: Armico, 1985.
Chairul Anwar, Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan, 1990
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2000.


[1] F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005, No. 2, halaman 203.
[2] Muladi, Prinsip-Prinsip Pembentukan Pengadilan HAM Di Indonesia dan Pengadilan Pidana Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, halaman 11.
[3]Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983, halaman 23-24.

[4] Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1995, halaman 98
[5] James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, halaman 24.
[6] Kartini Sekartadji, Perkembangan HAM dalam Perspektif Global, Semarang, BP Undip, 1999, halaman 1.
[7] Sadruddin Aga Khan, Komisi Independen Internasional mengenai Masalah-Masalah Kemanusiaan, Jakarta: Leppenas, 1983, halaman 13-17
[8] Mansour Fakih dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta: Insist Press, 2003, halaman 32.
[9] Rina Rusman, Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2 November 2004, halaman 1.
[10] Syahmin AK, Pengantar Hukum Humaniter I Bagian Umum, Bandung: Armico, 1985, halaman 12.

[11] Marzuki Suparman, Tragedi politik hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka pelajar,2011. halaman 345.

[12] Marzuki Suparman, Tragedi politik hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka pelajar,2011. halaman 370.
[13] Chairul Anwar, Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan, 1990, halaman 35.
[14] Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
 2000, halaman 275.

BAGIAN HARTA WARISAN UNTUK ISTRI YANG IKUT MENANGGUNG BEBAN EKONOMI KELUARGA


A.    LATAR BELAKANG
Membagi dan memperoleh bagian dari harta peninggalan seseorang karena kematian, ketentuannya diatur dalam hukum waris. Dari uraian tersebut, maka timbul apa yang dinamakan warisan. Berbicara mengenai warisan maka menyangkut 3 (tiga)  unsur warisan yaitu[1] :
  1. Adanya pewaris atau orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan yang akan mengalihkan.
  2.  Adanya muwaris atau ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan itu yang terdiri dari ahli waris dan yang bukan ahli waris.
  3. Adanya mauruts atau harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan.
Menurut hukum Islam dalam surat An-Nisa 12 yang menentukan bagian istri menjadi 2 macam, yaitu :
a. Satu perdelapan (1/8) harta warisan apabila mayit (pewaris) meninggalkan anakyang berhak mewaris. Yang dimaksud anak termasuk juga cucu (dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki. Anak atau cucu yang diperoleh baik dari istri yang ditinggalkan maupun dari istri yang terdahulu.
b. Satu perempat (1/4) harta warisan bila tidak ada anak atau istri seperti tersebut diatas.
Norma hukum di dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 12 yang menentukan bagian ahli waris istri mendapat seperempat (1/4) bagian warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang diterimanya. Dilihat secara sepintas, kalau dikaitkan dengan istri yang ikut serta bekerja mencari penghasilan membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sebagai ketentuan yang bersifat diskriminatif dan tidak adil. Tetapi kalau dikaji secara mendalam dan menyeluruh dalam satu sistem keluarga Islam, yaitu hukum waris yang merupakan bagian dari hukum keluarga dan tidak dapat dipisahkan dengan hukum perkawinan, maka keadilan justru akan terlihat karena ketentuan perolehan warisan istri mendapat seperempat (1/4) bagian warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang diterimanya tersebut dalam kaitannya dengan hukum perkawinan yang menentukan kewajiban seorang pria sebagai suami untuk menanggung beban ekonomi di dalam keluarga. Sedangkan wanita sebagai istri tidak mempunyai kewajiban yang demikian. Ini dijelaskan di dalam Q.S, 4 : 34 sebagai berikut :
A%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
34.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .
Didalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan (Pasal 34 ayat 1). Keperluan hidup berumah tangga tersebut oleh komplikasi hukum Islam Pasal 20 ayat (4) disebutkan secara agak rinci yaitu meliputi:
a.       Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman istri.
b.      Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c.       Biaya pendidikan bagi anak.
Demikianlah, menurut hukum Islam seluruh beban ekonomi keluarga diletakkan di atas pundak pria sebagai suatu kewajiban hukum. Kecuali istri memang secara sukarela membebaskan suaminya dari kewajiban tersebut. Namun pembebasan ini hanya berlaku terhadap istri sendiri dan tidak berlaku bagi anak-anaknya. Demikian kompilasi hukum Islam Pasal 80 ayat (6) menjelaskan.
Kewajiban istri untuk mengatur rumah tangga dan juga ditegaskan di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 34 ayat (2) dan kompilasi hukum Islam Pasal 83 ayat (2). Dinyatakan bahwa istri wajib menyelenggarakan dan mengatur kehidupan rumah tangga sebaik-baiknya. Oleh karena ketentuan di dalam hukum perkawinan itu harus dipandang sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum keluarga sebagai satu sistem.
Yang menjadi masalah adalah apabila dalam suatu sistim unit-unit yang ada tidak bekerja menurut sifatnya. Gejala ini nampak di dalam kehidupan keluarga muslim. Menurut sistim hukum kekeluargaan Islam yang secara positif berlaku baginya, beban dan tanggung jawab ekonomi di dalam keluarga dipikul oleh kaum pria saja, sebagai suatu kewajiban hukum. Sedangkan wanita mempunyai hak dari suaminya. Tetapi gejala sosial ini tidak selalu demikian. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa para wanita sebagai istri banyak memasuki sektor lapangan kerja di luar rumah, kecenderungan demikian selalu menampakkan dirinya di dalam masyarakat di Indonesia. Para wanita banyak mempunyai peranan dalam menanggung beban ekonomi keluarga. Para wanita tidak hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga semata-mata, yang hanya disibukkan dengan urusan mengatur jalannya kehidupan keluarga, tetapi juga ikut bekerja mencari uang, hal ini dilakukan bukan hanya untuk dimiliki atau untuk kepentingan sendiri secara pribadi, tetapi untuk kepentingan seluruh anggota keluarganya.[2]
Saat ini menunjukkan bahwa wanita sebagai istri banyak memasuki sektor lapangan kerja diluar rumah baik sebagai karyawan perusahaan, pegawai negeri, pedagang maupun buruh. Semua ini menunjukkan adanya aktivitas wanita dalam keikutsertaannya menanggung kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan demikian beban ekonomi keluarga tidak hanya dipikul oleh pria saja seperti yang diwajibkan oleh Al-Qur’an dan Hadits, tetapi wanita juga ikut menanggungnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, wanitalah yang menanggung beban ekonomi keluarga, sedangkan pria mengurus jalannya kehidupan keluarga dirumah.

B.     RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dan agar makalah ini lebih terarah serta dapat tercapai sasaran yang diharapkan, maka akan dikemukakan permasalahan yang akan menjadi pokok kajian dalam makalah ini, adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana hak wanita yang bekerja untuk menanggung beban keluarga dalam pembagian warisan keluarga ?
2.      Kendala-kendala yang dihadapi wanita yang bekerja untuk menanggung beban keluarga dalam pembagian warisan keluarga terhadap pembagian warisan yang diterimanya dan bagaimana solusinya ?

C.     ASPEK HUKUM WANITA BEKERJA MENURUT HUKUM ISLAM
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam hukum Islam tanggung jawab dalam rumah tangga, terutama tanggung jawab dalam menafkahi seluruh keluarga merupakan tanggung jawab seorang suami. Alasan sehingga peletakan tanggung jawab kepada suami ini sering didasari pada adanya perbedaan secara fisik antara laki-laki dan wanita, karena laki-laki dinilai memiliki fisik yang kuat, maka dalam Islam laki-laki menjadi tulang punggung bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan memberi segala kebutuhan bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan memberi segala kebutuhan bagi kaum wanita.
Disamping itu peletakan tanggung jawab ini juga memiliki makna fungsional. Demikian misalnya dalam mengutip pemikiran Talcot Persons sebagai tokoh aliran fungsionalis-Miqdad Yaljan melihat bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan wanita dalam rumah tangga ini memiliki makna fungsional dalam mengatasi kemungkinan persaingan antara suami dan istri dalam rumah tangga, sebab menurutnya jika perbedaan ini tidak diatur, keserasian dan keharmonisan kehidupan dalam perkawinan dan masyarakat akan rusak.[3]
Perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya seorang perempuan bekerja dalam khasanah fiqih bermula pada adanya surat al-ahzab ayat 73 (33:73) yang berbunyi : ”Dan hendaklah kamu tetap berdiam (waqama) di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”. Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat adanya perbedaan dalam memahami kata perintah ”waqarna” yang menjadi kata kunci ayat tersebut.
Sebagian ulama Kufa-sebuah aliran pemikiran hukum yang banyak diafiliasikan dengan rasionalisme Imam Abu Hanifah-memahami Waqama yang berarti” tinggalah dirumah kalian dan tetaplah berada disana” sementara ulamaulama Bashar dan sebagian ulama Kufa membaca Waqama dalam arti ”tinggalah dirumah kalian dalam tenang dan hormat”[4]
Berkenaan dalam perbedaan penafsiran terhadap kata waqama tersebut, secara sederhana setidaknya ada tiga pemikiran atau pendapat yang berkenaan dengan wanita yang bekerja yaitu :
1. Mereka yang secara absolut melarang seorang wanita yang bekerja. Al- Qurtubi misalnya berpendapat bahwa ayat tersebut bisa dipahami perempuan Islam secara umum diperintahkan untuk menetap didalam rumah, walaupun ia mengakui bahwa sebenarnya relasi ayat ini lebih terarah kepada istri-istri nabi Muhamad SAW, tetapi perempuan selain istri nabi juga tercakup dalam perintah tersebut, hal yang hampir senada juga terjemahkan oleh Ibnu Katsir, yang mengatakan bahwa ayat diatas mengandung arti perempuan tidak dibenarkan kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.
2. Pendapat yang memperbolehkan wanita bekerja asal ada ijin dari suami, serta dalam keadaan ”darurat”. Muhammad Qutub berpendapat bahwa ayat ini bukan berarti bukan larangan terhadap perempuan untuk bekerja, karena Islam tidak melarang perempuan bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat dan bukan menjadikanya dasar. Hampir sama dengan pendapatnya Muhammad Qutub diatas, Haya Binti Mubarok Al-Barik  berpendapat bahwa pada dasarnya adalah haram bagi seorang wanita bekerja diluar. Haramnya seorang wanita bekerja diluar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang dipunyai oleh seorang wanita, misalnya karena haid, hamil, melahirkan dan nifas, menyusui dan merawat anak serta dilihat dari susunan tubuh yang dinilai memiliki perbedaan dengan laki-laki. Bahkan lebih lanjut menurutnya terhadap seorang wanita yang bekerja diluar akan banyak menimbulkan dampak negatif jika dibandingkan positifnya, misalnya menelantarkan anak-anak, meruntuhkan nilai moral dan sikap keagamaan wanita tersebut, dapat kehilangan sifat naluri kewanitaanya dan lain-lainya. Namun demikian menurut Haya Binti Mubarok Al-Barik bisa saja seorang wanita/istri bekerja diluar rumah jika hal ini dalam keadaan darurat dengan tentunya memperoleh ijin dari suami mereka, tidak bercampur dengan laki-laki atau melakukan khalwat (mojok) dengan lelaki lain, tidak berlaku tabarruj dan tidak memakai wewangian yang bisa membangkitkan birahi seseorang.[5]
3. Mereka yang membolehkan secara mutlak seorang wanita bekerja, pendapat  ini tidak lepas dari analisis gender yang dilakukan terhadap ketentuan ayat tersebut. Demikian misalnya Ashgar Ali Engineer, menurutnya kedua pendapat sebelumnya sangat dipengaruhi oleh feodalisme. Oleh karena pemahaman terhadap ayat tersebut setidaknya dapat dilepaskan dari konteks sosial pada saat ayat itu diturunkan.Struktur sosial pada masa nabi tidaklah benar-benar mewakili kesetaraan laki-laki dan perempuan, sehingga domestikasi perempuan dianggap kewajiban dan suatu hal yang wajar.

Peletakan tanggung jawab pada kaum laki-laki ini adalah hal yang wajar melihat kelebihan yang ada pada laki-laki, namun ini tidak berarti Islam melarang terhadap kaum wanita yang ingin bekerja sebagai wujud membantu ekonomi keluarga. Hanya yang terpenting adalah bagaimana menjaga kehormatan dan akhlak Islami.
Namun demikian perbedaan fisik ini sebenarnya tidaklah menunjukan perbedaan derajat dan pendidikanya, karena pembagian kerja dalam masyarakat merupakan konstruksi sosial di masyarakat itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Roszak & Roszak bahwa laki-laki memerankan peran laki-laki karena peran tersebut dikehendaki oleh wanita, dan sebaliknya wanita memerankan wanita karena peran tersebut dikehendaki oleh laki-laki. Hanya dalam perspektif Islam, yang terpenting terhadap wanita yang bekerja adalah menjaga kehormatan dan akhlak Islami.

D.     HARTA BERSAMA DALAM SISTEM KEWARISAN ISLAM

Dalam hukun Islam, yang dimaksud dalam harta warisan ialah harta peninggalan pewaris setelah diadakan tindakan pemurnian sebelum dialihkanya harta tersebut sebagai ahli waris. Tindakan pemurnian tersebut diantaranya adalah pengeluaran harta yang menjadi hak janda atau duda yang berupa harta pribadi, harta bawaan atau mungkin hadiah yang diperoleh selama perkawinan.
Kemudian pelunasan hutang serta biaya yang dikeluarkan dalam pengurusan jenazah serta zakat yang harus dikeluarkan. Tindakaan pemurnian harta dalam sistem pewarisan Islam ini memperlihatkan fungsi sosial dari harta seseorang, artinya Islam tidak mengenal pemutlakan kepemilikan atas harta benda, sebab didalamnya terdapat hak orang lain. Secara normatif pengaturan masalah pewarisan dalam sistem pewarisan Islam terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an yang membicarakan masalah pewarisan ini terutama terdapat dalam surat An-Nisa pada ayat, 7,11,12,33 dan 176. Untuk lebih jelasnya, bunyi ayat-ayat yang berkenaan dengan pewarisan ini adalah sebagai berikut adalah :
Surat An-Nisa (4) ayat 7 : bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu/bapaknya dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian  (pula) dari harta peninggalan ibu/bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Surat An-Nisa ayat 11 : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak wanita, dan jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak wanita itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.Dan untuk dua orang ibu/bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya(saja) maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang orang tuamu dan anak-anakmu), kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Surat An-Nisa ayat 12 : Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu mendapat sepeempat dari harta yang ditinggalkanya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)  seseorang mati baik laki-laki maupun wanita yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempumnyai saudara laki-laki (seibu saja) ada seorang saudara wanita (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya tidak dengan memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah. Dan allah Maha Mengetahui dan Maha Penyantun.
Surat An-Nisa ayat 33 : Bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dari karib kerabatnya kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagianya.sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Surat An-Nisa ayat 176 : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang Kalalah), katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu : jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara wanita maka bagi saudaranya yang wanita itu seperdua dari harta yang ditinggalnya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara wanita), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara wanita itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal”. Dan jika mereka (ahli waris itu sendiri) saudara-saudara laki dan wanita, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara wanita. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika dilihat dari beberapa ayat tersebut diatas, terlihat bahwa ada kelompok ayat kewarisan yang menjelaskan pembagian kewarisan dengan pembagiannya secara langsung. Namun ada juga ayat yang berkenaan dengan pedoman preventif dari kemungkinan terjadinya kasus di luar kebiasaan tersebut pada ayat 11 dan 12 dari surat An-Nisa, yaitu berkenaan dengan ahli waris pengganti atau mawali. Atau ayat yang memberikan kemungkinan lain, dimana pewaris tidak memiliki anak dan mawali anak atau yang dinamakan kalalah seperti tersebut pada surat An-Nisa ayat 176 tersebut.
Terhadap sistem kewarisan dan pembagian harta warisan seperti yang telah diatur dalam Al-Qur’an menimbulkan beberapa persoalan, terutama berkenaan dengan hak, dimana terlihat adanya perbedaan antara hak seorang wanita dengan seorang laki-laki. Hal ini dinilai oleh banyak kalangan diskriminatif sifatnya.
Munculnya sistem pembagian yang terkesan diskriminatif ini tentunya tidak bisa dilihat sebagai suatu persoalan yang parsial saja, terutama besarnya pembagian dan perolehan yang diatur, tanpa melihat dasar, ide serta asas dalam hukum kewarisan Islam secara keseluruhannya. Gagasan sistem pembagian yang lebih memberikan posisi yang besar kepada laki-laki terkait dengan tanggung jawab dalam keluarga. Ternyata dalam Islam tanggung jawab dalam keluarga termasuk dalam hal ini yang mencari harta adalah laki-laki (suami), sehingga atas dasar pemikiran ini Al-Qur’an memandang adil jika yang bekerja, dalam hal ini laki-laki memperoleh bagian yang lebih besar dari kaum wanita, yaitu sebesar dua kali.
Gagasan ini menurut Amir Syarifudin tentunya sesuai dengan asas hukum kewarisan Islam yang menekankan pada asas keadilan berimbang, disamping asas ijbari (dengan sendirinya), bilateral, asas individual dan asas kewarisan semata akibat kematian.[6] Dalam pengaturan masalah waris, ada satu hal yang cukup menarik untuk
diamati, jika harta bersama dimaknai sebagai harta yang diperoleh selama perkawinan dengan tidak memandang siapa yang mencarinya, maka secara eksplisit mengenai harta bersama dalam hukum Islam tidak dikenal. Oleh karena itu munculnya konsep harta bersama dalam sistem kewarisan Islam merupakan adopsi dari sistem kewarisan adat yang sudah lama dikenal dalam masyarakat.
Sebagai contoh dalam masyarakat Jawa sudah lama dikenal dengan istilah harta gono dan harta gono-gini. Perbedaan antara kedua istilah tersebut terletak pada saat perolehannya, jika harta gono diperoleh saat sebelum perkawinan maka pengertian gono gini diperoleh setelah berumah tangga. Diterimanya konsepsi hukum adat mengenai harta bersama dalam sistem kewarisan Islam (terutama dalam KHI) ini tidak terlepas dari sifat hukum Islam sendiri yang tidak hanya toleran terhadap budaya lokal, tetapi jauh dari itu hanya kebiasaan dalam hukum Islam dapat dijadikan dasar hukum sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Mendasarkan pada budaya lokal atau budaya setempat yang telah menjadi adat tersebut, eksistensi harta bersama oleh para pemikir hukum Islam dijadikan salah satu sumber pemecahan masalah ketika terjadi perceraian dalam perkawinan pada masyarakat Islam di Indonesia[7]. Adalah KH. Syeik Arsyad Al- Banjari[8] untuk pertama kalinya memberikan fatwa terhadap keberadaan sistem dan konsep harta bersama yang ada di dalam masyarakat ini, untuk diberlakukan dalam hukum Islam dengan perlindungan terhadap seorang wanita atau istri ini terlihat dari dasar pemikirannya bahwa meskipun seorang istri tidak bekerja sebagaimana yang dilakukan oleh seorang suami, maka ketika terjadi cerai mati untuk seorang istri memperoleh bagian yang sama terhadap harta bersama sebagai hasil kerja suaminya.
            Namun demikian ada satu hal yang terpenting bahwa ternyata harta gonogini
yang ada dalam masyarakat adat pada umumnya tidak mempermasalahkan siapa yang mencarinya, apakah harta tersebut diperoleh dengan cara sendiri atau secara bersama-sama antara suami istri.
            Hal ini dikarenakan realitas dalam masyarakat memperlihatkan bahwa bekerjanya kaum wanita juga sebagai bagian dari rasa tanggung jawabnya terhadap eksistensi ekonomi keluarga. Bahkan pada masyarakat tertentu memiliki tradisi (Urf) dimana seorang wanita justru yang lebih dominan bekerja dalam rangka membangun ekonomi keluarga, dan keinginan wanita untuk bekerja sudah dilihat sebagai suatu kebutuhan yang merupakan realisasi hak yang sama dengan laki-laki.
            Pengambilan lembaga hukum adat dalam menyelesaikan persoalan yang berkenaan dengan harta bersama ini oleh peradilan juga dilakukan, hal inimisalnya terlihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Nopember 1976 No. 1448 K/Sip/1974 mengatakan bahwa sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya cerai mati harta bersama tersebut dibagi sama rata antara almarhum suami istri.
            Pendirian jurisprudensi demikian, jelas memperlihatkan masih diskriminatifnya sistem hukum dalam melihat harta bersama ini, hal ini dikarenakan harta bersama secara prinsip menghilangkan syarat keikutsertaan istri untuk bekerja dalam mewujudkan adanya harta bersama tersebut, dengan menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama dan pendapatan bersama, sekalipun harta itu semata-mata hasil pencarian suami atau istri sendiri. Artinya bagaimanapun penghargaan terhadap istri yang bekerja dan memiliki penghasilan tetap tidak dilihat bahwa wanita tersebut memiliki hak penuh atas apa yang telah dicarinya selama dalam masa perkawinan.
            Terhadap praktek demikian, juga sebagaimana diatur dalam kompilasi hukum Islam, masalah pembagian harta bersama ini diatur dalam Pasal 96 dan 97. Hal ini tidak memenuhi prinsip dan asas keadilan yang dijunjung tinggi dalam Islam, sehingga perlu dilakukan tafsir ulang terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah kewarisan, terutama yang menyangkut masalah harta yang diperoleh istri selama dalam perkawinan.
            Meskipun tidak diatur secara tegas dalam hukum Islam, ini tidaklah berarti harta suami dan istri tidak bisa dijadikan satu. Percampuran harta suami dan istri dalam hukum Islam dimungkinkan, karena dalam hukum Islam dikenal dengan lembaga “Syirkah” atau “persekutuan” yaitu percampuran sesuatu harta benda dengan harta benda lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lainnya.
            Bentuk-bentuk syirkah ini ada tiga macam, yaitu antara lain :[9]
1)       Syirkah milik yaitu syirkah dalam memiliki harta tanpa suatu perjanjian, karena terjadi sebagai akibat adanya kejadian pada orang lain.
2)      Syirkah harta melalui suatu perjanjian. Dalam hal ini yang diperjanjikan dapat berupa modal dan usaha (syirkah ‘inan), atau hanya berupa usaha untuk menjalankan kapital orang lain (syirkah abdan) maupun dalam bentuk melakukan perbuatan (syirkah wujuh).
3)      Syirkah harta harus melalui suatu perjanjian antara orang yang punyai kapital dengan orang yang berusaha dengan kapital tersebut.

Diperlakukannya perjanjian antara suami dan istri dalam lembaga syirkah memperlihatkan bahwa dalam hukum Islam antara suami dan istri memiliki kedudukan hukum yang sama, dan ini juga berarti pengakuan hak kepemilikan pribadi dan bersama diakui dalam hukum Islam.
E.    HAK MILIK : STATUS HUKUM HARTA DARI WANITA BEKERJA
Sesungguhnya Islam merupakan agama fitrah, maka tidak ada satupun prinsip yang bertentangan dengan fitrah atau merusah fitrah itu sendiri. Prnsip prinsip itu sesuai dengan fitrah, bahkan terkadang meluruskannya dan meningkat bersamanya. Diantara fitrah yang telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik (kepemilikan) sebagaimana yang kita lihat. Pemilikan merupakan salah satu dari karakter kebebasan (kemerdekaan). Pemilikan juga merupakan salah satu karakter manusia, karena hewan tidak memiliki, manusialah yang merasa memiliki.
Surat Al-Ahqaf ayat 19 yang berarti : “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan”, secara umum kiranya merupakan dasar dalam Islam memperbolehkan pemikiran, meskipun itu dapat menyebabkan pemiliknya menjadi sangat kaya dan melimpah ruah hartanya, selama ia tetap memelihara diri untuk mencari harta dengan cara yang halal dan menginfaqkan harta itu kepada yang berhak, tidak dipergunakan untuk yang haram dan tidak berkelebihan di dalam yang mubah, tidak pelit dengan yang haq, tidak menzhalimi seseorang, serta tidak makan hak orang lain, sebagaimana konsekuensi prinsip istikhlaf (pengamanan) dalam Islam (bukan pemilikan secara mutlak).
Pengakuan Islam terhadap hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya membawa kebaikan untuk ummat dan untuk perekonomian seluruhnya. Seperti diketahui bahwa dalam sistem kewarisan Islam dikenal adanya pemisahan antara harta suami atau istri, terutama dalam hal ini adalah harta bawaan maupun harta asal, dan eksistensi kepemilikannya dalam system kewarisan Islam sudah diakui keberadaannya.
 Artinya dalam hukum Islam kawinnya antara wanita dan laki-laki tidaklah serta harta yang dimilikinya menjadi milik bersama, sepanjang yang menyangkut kedua bentuk harta tersebut yaitu harta bawaan maupun harta asal, tetap menjadi miliknya secara pribadi. Demikian juga sebenarnya hak kepemilikan dari harta yang diperoleh suami atau istri selama dalam perkawinan, berdasarkan Surat An-Nisa ayat 32 (4:32) merupakan hak pribadi masing-masing. Implikasi dari surat An-Nisa ini jelas memperlihatkan bahwa harta yang diperoleh istri selama bekerja merupakan haknya atas harta tersebut.
Berdasarkan pada surat An-Nisa ayat 32 tersebut maka jelas bahwa secara tegas hukum Islam mengakui keberadaan hak kepemilikan dari harta yang diperoleh istri selama bekerja. Ketentuan ini pada satu sisi jelas berbeda dengan konstruksi hukum adat maupun Kompilasi Hukum Islam yang mengatur masalah harta bersamanya, yang melebur menjadi satu harta yang diperoleh istri menjadi harta bersama, sehingga pengakuan hak seorang istri terhadap harta yang diperolehnya dengan bekerja selama dalam perkawinan menurut hukum adat, Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menjadi tidak ada.
F.    KESIMPULAN
Pembagian warisan harta bersama pada wanita bekerja untuk menghidupi ekonomi keluarga sering dirasakan tidak adil oleh pihak wanita. Hal ini disebabkan harta milik wanita tersebut diikutsertakan dalam pembagian harta warisan. Proses pembagian harta warisan dalam keluarga kurang memandang harta kepemilikan wanita yang bekerja yang diperoleh dari hasil jerih payahnya selama bekerja. Pengaturam mengenai harta bersama dalam hukum positif masih mengabaikan kedudukan akan status dan kedudukan harta seorang istri yang diperolaeh selama perkawinan. Pada pembagian harta warisan keluarga terutama pada keluarga yang isteri ikut bekerja untuk menghidupi beban keluarga menjadi polemik yang sering terjadi. Pembagian warisan tidak melihat status kepemilikan harta yang ada sehingga sering terjadi harta milik isteri ikut terbagi dalam pembagian tersebut. Hal ini disebabkan tidak jelasnya status kepemilikan harta yang dibagi.
Kendala yang terjadi pada pembagian harta bersama, tidak jelas penggolongan harta suami dan harta isteri. Hal ini sangat sulit untuk dipisahkan karena dalam status kepemilikan harta, hanya isteri yang dapat mengklaim kepemilikannya. Kondisi ini disebabkan selama suami masih hidup, suami dan isteri tidak pernah memisahkan harta kepemilikannya.
Solusi yang dapat dilakukan dalam pemecahan kendala tersebut adalah adanya kejelasan status kepemilikan ini dapat memudahkan pembagian harta warisan baik bagi isteri yang bekerja maupun tidak bekerja. Selain itu juga adanya kejelasan status kepemilikan dapat diterapkan pada harta benda yang dapat memiliki identitas seperti tanah, bangunan, kepemilikan usaha, kendaraan dan tabungan. Jika dalam status kepemilikan harta tersebut atas nama suami, maka status kepemilikannya adalah milik suami. Sedangkan jika dalam surat kepemilikannya atas nama isteri, maka harta tersebut adalah milik isteri. Hal ini untuk memudahkan pemisahan harta isteri dan harta suami dalam pembagian warisan.
G.     DAFTAR PUSTAKA

Amir Hamzah Fachrudin, Terjemah Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah 1424.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Ali Muhanif, Perempuan Dalam Literature Islam Klasik, Jakarta:Gramedia Pustaka, 2002.
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 2001.
Ma’ruf Amin, Pemikiran Syeikh Arsyad Al-Banjari tentang pembagian harta warisan terhadap budaya matrilineal,1989.
Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy (Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo: Pustaka Mantiq,1990.
R. Abdul Djamali, SH., Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorium Ilmu Hukum, Bandung,: PT. Mandar Maju, 2002.








[1] R. Abdul Djamali, SH., Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorium Ilmu Hukum,
Bandung,: PT. Mandar Maju, 2002, halaman 112.

[2] Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy (Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo:
Pustaka Mantiq,1990, halaman 101.
[3] Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy (Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo:
Pustaka Mantiq, halaman 89-90.
[4] Ali Muhanif, Perempuan Dalam Literature Islam Klasik, Jakarta:Gramedia Pustaka, 2002, hal. 19-20.

[5] Amir Hamzah Fachrudin, Terjemah Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah 1424 H, hal 159-160

[6] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. hal. 8-27.
[7] Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press,2011 hal 11.
[8] Ma’ruf Amin, Pemikiran Syeikh Arsyad Al-Banjari tentang pembagian harta warisan terhadap budaya matrilineal,1989, halaman 42.
[9] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. hal. 282-283