Kamis, 26 April 2012

ETIKA ILMU DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA


ETIKA ILMU DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA[1]
Oleh: abdul Qodir Jaelani[2]
1.      PENDAHULUAN
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian jelimet dan mendalam tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal. Handal dalam arti bahwa system  dan struktur ilmu dapat di pertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena itu pula ia terbuka untuk di uji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik  yang penuh dengan semantik dan nilai sastra yang perlu di interpretasi secara kritis, rasional,logis,objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan setelah dia membangun suatu bangunan yang kokoh kuat. Masalahnya adalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. tentang peran etika dalam membawa perubahan yang sangat besar .
Keyword: Etika,Semantik, Sastra, karekteristik,logis dan obyektif.
2.   Identifikasi Masalah
Untuk memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentang peran etika dalam membawa perubahan yang sangat besar maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain :
a)      Sejarah etika ilmu.
b)      Hubungan antara etika ilmu dengan semantic sastra.
c)      Sikap ilmiah dalam kajian semantik.
Dengan adanya identifikasi masalah di atas maka muncullah pertanyaan yang akan di munculkan sebelum di bahas lebih jauh.
1)      Bagaimana sejarah perkembangan etika ilmu. ?
2)      Mungkinkah, ilmu yang kokoh, kuat dapat menjadi penyelamat bagi manusia atau sebaliknya. ?
3)      Bagaimana Hubungan antara etika ilmu dengan semantic sastra.


   


3.       SEJARAH ETIKA ILMU
     Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan karekter,kebiasaan, kecendrungan . dan dalam bahasa Yunani kuno di kenal dengan ethos, yang mempunyai arti tempat tinggal[3]. Kata etika (adab) di kenal dalam bahasa arab sejak pra-Islam. Pemaknaannya berkembang seiring evolusi kultural  bangsa Arab. Kata ini di pahami secara bervariasi dari zaman ke zaman dan dari konteks ke konteks yang lain.
     Pemaknaan tertua dari kata adab mengimplikasikan suatu kebiasaan. Suatu norma tingkah laku praktis, dengan konotasi ganda yaitu: pertama. Nilai tersebut di pandang terpuji; dan kedua, nilai tersebut di wariskan dari generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian etika, unsur utama etika adalah muatan nilai baik dan kelanggengan melalui pewarisan antar generasi. Sesuai sifat dasarnya, etika pra-Islam terkait realitas kesukuan sebagai basis social masyarakat Arab. Dalam kasus bangsa arab, misalnya, terdapat sejumlah nilai yang di pandang terpuji, seperti kejujuran, harga diri, dan keberanian.
     Seiring datangnya Islam. Etika mengalami perkembangan muatan yang sejalan dengan nilai-nilai yang di bawa islam. Perkembangan ini bias mengambil bentuk pengenalan nilai baru sebagai bawaan agama baru atau bias pula merupakan pengesahan terhadap nilai-nilai bangsa arab. Nilai lama dapat di akomodir karena sejalan dengan islam. Di bidang pendidikan kata adab secara spesifik  di gunakan dalam dua makna. Pertama, adab di maknai sebagai tingkah laku anak-anak sehingga memiliki etika dan tingkah laku yang baik. Kedua, di pahami dalam lingkup pendidikan  orang dewasa. Dalam lingkup ini, adab bermakna aturan tingkah laku praktis yang di pandang menentukan kesempurnaan kualitas proses pendidikan.
     The American Heritage dictionary, memberi makna etika adalah aturan-aturan mengendalikan tindakan anggota sebuah profesi tersebut. Pesatnya perkembangan peradaban islam mendorong munculnya rumusan etika yang secara spesifik di pandang berlaku pada profesi atau aktivitas tertentu dengan ruang lingkup lebih luas ketimbang profesi pendidikan. Seperti zaman abbasiyah rumusan etika di kenal dengan etika bagi sekretaris (adab al-katib), pemberi fatwa hokum (adab al-mufti)[4].




HUBUNGAN ANTARA ETIKA ILMU DAN SEMANTIK SASTRA.
Semantik (semantics) adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Mak­na yang diteliti oleh semantik itu adalah mak­na bebas konteks. Mak­na itu ada yang bersifat leksikal dan ada yang gramatikal.
     Bahan penelitian semantik adalah semua satuan lingual bermak­na, seperti wacana, kalimat, frasa, kata, dan morfem. Objek sasarannya adalah makna satuan-satuan lingual itu.
     Dalam semantik dikenal konsep makna, informasi, dan maksud. Ketiga konsep itu berbeda satu sama lain. Makna (meaning) adalah sesuatu yang berada di dalam ujaran atau gejala dalam-ujaran. Informasi (information) adalah sesuatu yang luar-ujaran di pihak objek kenyataan yang dibicarakan. Maksud (sense) adalah sesuatu yang luar-ujaran di pihak maksud si pengujar sendiri.[5]
     Tidak jarang kita menemukan pernyataan  yang mengillustrasikan erat kaitan antara etika ilmu dan semantik sastra, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang ilmuwan terdapat pada keindahan etikanya bahasa serta nilai sastra yang penuh dengan  estetika. Abu Zakaritta al-anbari berkata: ilmu tanpa etika bagaikan api tanpa kayu bakar, dan etika tanpa ilmu adalah seperti jiwa tanpa badan. Etika adalah sebuah Ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama, ilmu mempunyai hubungan yang erat antara etika ilmu yang tercermin dalam atau menggambarkan keindahan nilai etika . Bagaimana bila harus hidup, bukanlah etika melainkan ajaran moral. Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang di harapkan dapat meminimalkan dan menghintakan penyimpangan dan kejahatan di kalangan masyarakat. Di samping itu, Ilmu dan etika di harapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di masyarakat agar dapat menjadi cendikiawan yang memiliki moral dan ahlak yang baik/mulia[6].
     Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya yang tercermin dalam semantic sastra bahasa yang di gunakan. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk ucapan ataupun aturan tertulis yang secara sistematik sengaja di buat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat di butuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang logika-rasional serta nilai semantik umum (common sense) di nilai menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yang penuh dengan nilai semantik yakni kegunaan universal  yang perlu di intrepetasi hubungan antara kata dengan prase dan prase dengan kalimat dan kalimat dengan pragmatic dan pragmatic denga wacana bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan.
1.    SIKAP ILMIAH DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA
     Ilmu sebagai usaha ilmiah di bagi menjadi beberapa cabang menurut lingkup bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu di bagi menjadi dua kelompok bahasan yaitu kelompok ilmu teoritis dan praktis. Keelompok teoritis mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok praktis membahas bagaimana manusia bersikap terhadaap apa yang ada tersebut. etika termasuk kelompok ilmu praktis dan di bagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. masalah mendasar bagi etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidang tertentu, dan bidang itu perlu di tata agar mampu menunjang  pencapaian kebaikan hidup manusia sebagai manusia. Menurut Magnis Suseno (1987), etika khusus di bagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika social yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas masalah kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika social membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyrakat atau umat manusia. Dalam masalah ini etika individual tidak bisa di lepaskan dari etika individu social karena kewajiban terhadap diri sendiri, dan sebagai anggota masyarakat yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Dewasa ini etika tersebut harus di pahami dan di maknai sebagai upaya pencerahan terhadap individual dan  masyarakat sebagai kekuatan yang sangat bersinergis. Sinergitas keduanya pada gilirannya membangun peradaban baru yang lebih komunitas dan bermartabat. Di sinilah pencitraan etos keilmuan harus di bangun dalam kerangka etika dan ilmu tanpa mendikotomikan keduanya. Kita juga tidak boleh menempatkan kesalahan yang sama dengan menempatkan knowlegde is power  yang melahirkan keserakahan bahkan keangkuhan bagi manusia pada tuhan. Dengan mensinergikan Religion is power  bersama knowlegde is power[7]   akan melahirkan ilmu yang bermanfaat bagi sesama di semesta alam ini. Hal-hal inilah yang kita lakukan kedepan dengan menjadikan ilmu sebagai gawang peradaban manusia.          Setelah memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi sekarang ini maka semantic sastra keilmuan merupakan suatu yang sudah mendesak  untuk di sebarluaskan kepada para cendikiawan-cendikiawan agar dalam perkembangan ilmu tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak diharapkan oleh manusia itu sendiri dalam memaknai makna sebuah kejadian. Para ilmuwan yang jujur dan patuh pada norma-norma keilmuan saja belum cukup melainkan ia harus dilapisi oleh moral dan ahlak, baik moral umum yang di anut oleh masyarakat atau bangsanya maupun moral [8]agama yang di anutnya. Hal tersebut di maksudkan jangan sampai menyimpang  yang akibatnya menyengsarakan umat manusia. Seperti contoh:
Kenapa BBM Harus Naik?
Maka tugas dari pada semantic adalah menelaah kata-kata yang di ucapkan oleh pejabat sejak awal dengan kontek di lapangan seperti:
1.      Secara subtansi kenaikan BBM sudah benar tetapi pemerintah perlu menaikkan angka kesejahtraan bagi masyarakat.
2.      Penimbunan BBM Makin marak terjadi.
3.      Di depok 43 kepala SPBU di kumpulkan oleh Kapolres agar melarang pembelian bensin dengan cerigen.
4.      Pemerintah mengajak TNI-Polri untuk mengatasi gejolak di masyarakat karena adanya kenaikan BBM.
5.      Pengunjuk rasa kesal kepada SBY-Boedoeno sehingga sering terjadi bakar-bakar BAN sampai sondakhpun menjadi korban akibat tidak maampu mengatasi internal partai dan mensejahtrakan rakyat.
6.      Anas Urbaningrum mengeluarkan kata-kata “kalau anas korupsi di hambalang 1 rupiahpun gantung anas di monas. Nilai semantic yang terkandung dalam kalimat ini adalah gantung anas secara realita tidak ada hukum gantung di Indonesia yang ada adalah hukuman mati makanya anas tepat dan cerdas dalam menggunakan sastra untuk mengungkapkan pembelaannya.

     Di dalam perkembangan pembangunan bangsa etika individual dan social serta semantic sastra tidak bisa di lepaskan sebagai landasan untuk membangun peradaban karena antara yang satu sangat terkait dengan yang lainnya. Hal ini di sebabkan oleh karena manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan negaranya. Ini merupakan moral khusus namun amat penting agar dalam kehidupan membangun masyarakat tidak menyimpang dari tujuan luhur keilmuan (objektivitas) dan kepentingan kemanusiaan agar dapat selalu berdampingan dengan alam yang lestari dan harmoni dan sesuai dengan etika yang di ajarkan oleh ilmu[9].


[1] Tulisan ini pernah di publikasikan di Enha Post, Narmada, Lobar, NTB.
[2] Ketua Divisi Intelektual Korp.Kopi 2011 Rayon Ashram bangsa.
[3] Adib Muhammad, Filsafat Ilmu sebuah ontology,Epistemologi,aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011. Hal.204.
[4] Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008. Hal.1-5
[5] Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Cetakan Ketiga. Jakarta : PT. Asdi  Mahasatya

[6] Adib Muhammad, Filsafat Ilmu sebuah ontology,Epistemologi,aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011. Hal.207.
[7] Sutoyo DKK, Religiusitas Sains, Meretas jalan menuju peradaban zaman,Malang: Brawijaya Press,2010.
[8] Tim Dosen Filsafat ilmu Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty,2003. Hal.177.
[9] Josep Angiel, Rahasia di Balik Kata-kata, Yogyakarta: Diva Press,2009.

P0litik konstilasi sistem presidensian dengan parlamenter


A.    Latar Belakang.
Umumnya sejarah ketatanegaraan suatu negara, konstitusi digunakan untuk mengatur dan sekaligus untuk membatasi kekuasaan negara. Dengan demikian, dinamika ketatanegaraan suatu bangsa atau negara ditentukan pula oleh bagaimana dinamika perjalanan sejarah konstitusi negara yang bersangkutan. Karena dalam konstitusi itulah dapat dilihat sistem pemerintahannya, bentuk negaranya, sistem kontrol antara kekuasaan negara, jaminan hak-hak warga negara dan tidak kalah penting mengenai pembagian kekuasaan antar unsur pemegang kekusaan Negara seperti kekuasaan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial.
Secara konstitusional UUD 1945 adalah sistem pemerintahan Presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya adalah system pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet, 19 menteri berasal dari delapan partai politik.
B. Identifikasi Masalah
Untuk memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentangSistem Pemerintahan Negara (Sebuah tulisan yang  menggunakan pendekatan yuridis normatif, digunakan untuk mengkaji atau menganalisis data skunder yang berupa bahan-bahan hukum. Spesifikasi penulisan ini dipergunakan adalah deskriptif Analitis.),, maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain:
  1. Sistem Pemerintahan di Indonesia sebelum dan sesudah UUD 1945 di amandemen.
  2. Problem system Presidensial di tengah system Multi partai di Indonesia.
C. Rumusan Masalah
 Berdasarkan hal tersebut maka rumusan permasalan yang muncul dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh konstelasi politik di DPR terhadap system Presidensial Indonesia?
 2. Bagaimana penerapan sistem Presidensial yang ideal di tengah sistem multi partai yang dianut oleh Indonesia?

A.    SISTEM PEMERINTAHAN
1.Bentuk Pemerintahan
            Pemerintahan berasal dari kata perintah, dimana kata perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.
            Apabila dalam suatu negara kekuasaan pemerintahan, dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurus pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif), sedangkan pemerintahan dalam arti luas selain eksekutif termasuk lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan (disebut legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif). Menurut W.S. Sayre : Goverenment is best at the organized agency of the state, expressing and exercing is authority. Maksudnya pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari negara, yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaanya.
Menurut C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengatakan :
Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making law, thirdly financial power or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf.
            Maksudnya pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang, yang ketiga, harus mempunyai kekuatan financial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan Negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
            Berdasarkan uraian diatas dapatlah dirumuskan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif, yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional), sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahn negara. Sehingga bentuk pemerintahan khusus menyatakan struktur organisasi dan fungsi pemerintahan saja dengan tidak menyinggung struktur daerah, maupun bangsanya. Dengan kata lain, bentuk pemerintahan melukiskan bekerjanya organ- organ tertinggi itu sejauh organ-organ itu mengikuti ketentuan yang tetap.
Mengenai bentuk pemerintahan (regerings vormen) berkaitan dengan pilihan :
a. Bentuk Kerajaan (Monarkhi)
b. Bentuk Republik (Republic)
Masih berdasar pada pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan Yang Berbentuk Republik”, dari kalimat tersebut tergambar bahwa the faunding fathers Indonesia sangat menekankan pentingnya konsepsi Negara Kesatuan sebagai definisi hakiki negara Indonesia (hakikat negara Indonesia). Bentuk dari negara kesatuan Indonesia tersebut adalah republik. Jadi jelaslah bahwa konsep bentuk negara yang diartikan disini adalah republik merupakan pilihan lain dari kerajaan (monarkhi) yang telah ditolak oleh para anggota BPUPKI mengenai kemungkinan penerapannya untuk Indonesia modern.
2. Sistem Pemerintahan.
                        Menurut S. Pamuji dalam bukunya Teori Sistem dan Pengetrapannya dalam Managemen dikatakan bahwa suatu sistem adalah kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan halhal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Yang kemudian disempurnakan menjadi suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen, yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri, yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan yang lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Menurut Carl J. Friedich, sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional baik antara bagian-bagian yang akibatnya menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.
            Melihat pengertian antara sistem dan pemerintahan diatas maka system pemerintahan pada dasarnya adalah berbicara tentang bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara tersebut, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
            Pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negaranegara demokrasi menganut sistem perlementer  atau presidensial  ataupun bentuk variasi yang disebabkan situasi atau kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semu (quasi), misalnya quasi parlementer maupun quasi presidensial.
Bagaimanakah dengan sistem pemerintahan yang ada di Indonesia? Sebagaimana diketahui, UUD 1945 berlaku dalam periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 dan periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang. Dengan adanya perubahan konstitusi yang diguankan Indonesia ini jelas mempengaruhi sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia. Indonesia pun pernah mencoba mempraktekkan sistem pemerintahan parlementer karena pluralisme dan wilayahnya yang sangat luas yang terdiri dari pulau-pulau kecil membutuhkan pemerintahan yang kuat dan stabil.
Kemudian diterapkanlah sistem pemerintahan presidensial dibawah UUD 1945 yang cenderung executive heavy sudah terselesaikan melalui amandemen UUD 1945. Sehingga jelaslah bahwa pasca amandemen UUD 1945 menetapkan menganut sistem presidensial dalam sistem pemerintahan.
 Menurut Sri Soementri, ciri-ciri pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 pasca amandemen antara lain pertama, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, kedua, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, karena lembaga ini tidak lagi sebagai pelaksanan kedaulatan rakyat.
3. Jenis-Jenis Sistem Pemerintahan.
a.      Sistem Parlementer.
                        Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.
                        Bertolak dari sejarah ketatanegaraan, sistem parlemen ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Karena dalam sistem parlementer, presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah kabinet, yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggung jawab sendiri atau bersama-samakepada parlemen. Karena itulah Inggris dikenal istilah “The King can do no wrong”. Pertanggungjawaban menteri kepada parlemen tersebut dapat berakibat kabinet meletakkan jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala negara, manakala parlemen tidak lagi mempercayai kabinet.
b.      Sistem Presidensial
            Pemerintahan sistem presidensial adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen.
Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet (dewan menteri). Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara lembaga tinggi negara inilah yang disebut checking power with power.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial terdiri dari tiga unsure yaitu:
a. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
b. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
c. Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
Presiden bertanggungjawab kepada pemilihnya (kiescollege). Sehingga seorang Presiden diberhentikan atas tuduhan House of Representattives setelah diputuskan oleh senat. Misal, sistem pemerintahan presidensial di USA.
Dengan demikian, pertama, sebagai kekuasaan tertinggi, tindakan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial seringkali menuntut adanya kekuasaan tak terbatas, demi kebaikan negara, setidak-tidaknya selama periode tertentu; kedua, orang yang berada diposisi ini menjadi suatukeseluruhan yang tak lebih baik dari anggotanya yang paling rendah, dan semua menjadi buruk daripada anggota terendahnya.
Adapun ciri-ciri dari sistem presidensial adalah:
a. Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD;
b. Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer;
c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif,
d. Sebagai imbangannya, Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
4.      Komprasi Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial.
            Sebab-sebab timbulnya perbedaan antara dua sistem pemerintahan tersebut diatas adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh masing-masing negara itu berlainan.
TABEL 1
KELEMAHAN DAN KELEBIHAN SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem Pemerintahan Presidensial
a. Latar belakang timbulnya
 Timbul dari bentuk negara Monarki yang kemudian mendapat pengaruh dari pertanggungjawaban menteri.
Sehingga fungsi Raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Misalnya, Kerajaan Inggris, Perancis dan Belanda.
b. Keuntungan
Penyesuaian antara pihak eksekutif dan
legislatif mudah dapat dicapai
c. Kelemahan
1. Pertentangan antara eksekutif dan legislatif bisa sewaktu-waktu terjadi menyebabkan cabinet harus mengundurkan diri, dan akibatnya pemerintahan tidak stabil;
2. Sebaliknya , seorang Presiden dapat pula membubarkan leguslatif;
3. Pada sistem parlemen dengan multi partai (kabinet koalisi) apabila terjadi mosi tidak percaya dari beberapa partai politik, sering terjadi pertukaran (pergantian) kabinet.
a. Latar belakang timbulnya
Timbul dari keinginan untuk melepaskan
diri dari dominasi Kekuasaan Raja, dengan mengikuti ajaran Montesquieu dengan ajaran Trias Politica. Misalnya, Negara USA timbul sebagai kebencian atas Raja George III (Inggris).
b. Keuntungan
Pemerintah untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil.
c. Kelemahan
1. Kemungkinan terjadi bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan Negara menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif;
2. Untuk memilih Presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan pandangan lembaga itu berlainan.

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sistem komparatif adalah perpaduaan antara kedua sistem diatas yang mengambil beberapakeuntungan dan kelemahan dari kedua sistem tersebut yang sesuai dengan latar belakang sejarah politik suatu negara. Jadi, sistem pemerintahan ini, selain memiliki presiden sebagai kepala negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, untuk memimpin kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Adapun ciri-ciri dari sistem ini adalah:
            a. Dalam sistem ini eksekutif terdiri dari presiden dan perdana menteri.
b. Presiden tidak memiliki posisi yang dominan, artinya presiden hanya sebagai lambang dalam suatu pemerintahan.
c. Kabinet tidak dipimpin oleh presiden melainkan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
d. Presiden dapat membubarkan parlemen.

B.     Sistem Pemerintahan di Indonesia
1.      Sistem Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pra Amandemen
Bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut system pemerintahan presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung jawab atas jalannya pemerintahan negara (eksekutif) adalah presiden sedangkan para menteri hanyalah pembantu presiden, artinya presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, hal tersebut itu tertuang dengan tegas di dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945, yaitu :
a. Pasal 4 ayat (1) berbunyi ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-undang Dasar.” Sesuai dengan ayat selanjutnya mengatakan bahwa “Dalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.”
b. Pasal 17 ayat (1) berbunyi ” Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara” sedangkan ayat (2) berbunyi ” Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden”. Diperkuat dalam penjelasan yang mengatakan bahwa ”Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari pada dewan, akan tetapi tergantung daripada presiden. Mereka ialah pembantu presiden.”
c. Penjelasan UUD 1945 BAB III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara
mengatakan bahwa :
1. Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair)
2. Kekuasaan-kekuasaan dalam pasal ini adalah konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai kepala negara, yaitu pasal 10,11,12,13,14,15.

Walaupun Indonesia secara konstitusional menganut system pemerintahan presidensial, ternyata banyak pasal-pasal dalam UUD 1945 yang bernuansakan parlementer, pasal tersebut antara lain:
a. Pasal 3 berbunyi : ”Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.”
b. Pasal 5 ayat (1) berbunyi : ”Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
c.Pasal 6 ayat (2) berbunyi : ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”
d. Pasal 10 berbunyi : ”Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara.”
e. Pasal 21 ayat (1) berbunyi : ”Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan Undang-undang.
Dan ayat (2) jika rancangan itu meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

Berdasarkan uraian diatas maka Presiden sangat besar kekuasaannya (executive heavy) karena disamping mempunyai kekuasaan eksekutif juga menguasai cabang-cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif. Sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945. Padahal dalam sistem pemerintahan presidensial, pemisahan kekuasaan merupakan ciri mutlak yang membedakan dengan sistem pemerintahan parlementer.
Apalagi jika dilihat dari pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang secara tidak langsung sebenarnya bertanggungjawab kepada DPR, karena anggota MPR adalah terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan golongan yang mana besarnya anggota DPR jauh lebih besar daripada utusan daerah dan golongan. Walaupun pertanggung jawaban ini bukan terhadap keanggotaan MPR melainkan MPR sebagai lembaga. DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden, dan sebaliknya. Dengan demikian sistem pemrintahan Indonesia menurut UUD 1945 pra amandemen adalah sistem pemerintahan quasi presidensial.
2.      Sistem Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pasca Amandemen.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 dengan mengatas namakan kedaulatan rakyat untuk mewujudkan demokratisasi yang kita kenal dengan Reformasi tersebut kemudian dimanifestasikan dengan perubahan UUD 1945 melalui Amandemen UUD 1945, dimana UUD 1945 merupakan panduan sistem ketatanegaran Indonesia. Amandemen UUD 1945
sebenarnya selain merupakan manifestasi dari gerakan reformasi adalah hal yang seharusnya dilakukan melihat banyaknya kelemahan UUD 1945 dan juga sifatnya yang sementara jika dilihat dari historis pembuatannya.
Kelemahan tersebut dapat dilihat dari kewenangan eksekutif yang terlalu besar (executive heavy) dan kurangnya checks and balances, materi muatannya yang masih umum sehingga multi tafsir. Akan tetapi perubahan paradigma tersebut terjadi pada amandemen ketiga dan keempat yang mengubah secara fundamental system pemerintahan yang berimplikasi pada kedudukan MPR dan asas kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, tampak perubahan drastis antara amandemen pertama yang bertujuan melakukan demokratisasi UUD 1945 dan amandemen ketiga yang mengubah sistem pemerintahan. Demokratisasi jelas berbeda dengan perubahan sistem pemerintahan, karena esensi demokratisasi adalah persamaan dan kebebasan politik yang tidak identik dengan sistem presidensial.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa kesepakatan tentang sistem pemerintahan presidensial justru berujung pada perubahan sistem ketatanegaraan. Pertanyaannya, mengapa harus menggunakan sistem pemerintahan presiensiil murni, mengapa tidak menggunakan sistem pemerintahan parlementer murni?.
Menurut Ali Masykur Musa,  perlu kiranya sebelum memilih, untuk memperinci beberapa kelebihan dan kekuarangan dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer ini.
Pertama, dalam sistem pemerintahan presidensial stabilitas kekuasaan eksekutif sangat dijamin akibat adanya penentuan masa jabatan yang ditetapkan oleh UUD yang sangat dimilikinya, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer stabilitas eksekutif sangat tergantung dari ada atau tidaknya mosi atau kepercayaan parlemen.
 Kedua, dalam sistem pemerintahan presidensial pemilihan kepala pemerintahannya dianggap lebih demokratis karena dipilih langsung oleh rakyat atau melalui badan pemilihan, sedangkan dalam system pemerintahan parlementer kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen, hal ini dianggap tidak demokratis karena tidak dapat menampung aspirasi langsung warga masyarakat.
Ketiga, dalam sistem pemerintahan presidensial terjadi pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, terutama dalam keanggotaan antara eksekutif dan legislatif dipandang sebagai sebuah ancaman bagi terjadinya tirani pemerintahan yang dapat mengekang atau membatasi kebebasan individu.
Keempat, akibat adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di dalam system pemerintahan presidensial, maka hal ini dianggap dapat menimbulkan kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan, di saat terjadi ketidaksesuaian diantara keduanya. Namun terjadi sebaliknya pada sistem pemerintahan parlementer; potensi kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan sangat minimal, karena tidak ada pemisahan jabatan atau keanggotaan diantara eksekutif dan legislatif.
 Kelima, adanya penentuan masa jabatan yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan UUD yang ada dalam system pemerintahan presidensial, menyebabkan adanya kekakuan atau ketidak elastisan pemerintahan yang dapat merespon situasi dan kondisi temporal yang terjadi, hal ini kondisinya berlainan dengan sistem pemerintahan parlementer, dimana masa jabatan pemerintahan yang sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlemen, sehingga masa jabatan pemerintahan sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlemen, yang berarti sewaktu-waktu dapat mengganti pemerintahan sesuai dengan kebutuhan atau situasi yang ada.
Keenam, karena hanya ada satu pemenang yang akan menguasai pemerintahan dalam sistem pemerintahan presidensial, berakibat pada makin minimalnya kemungkinan untuk membentuk koalisi atau pembagian kekuasaan pada kelompok oposisi (kalah) yang ada. Hal ini dianggap sebagai ancaman bagi pembangunan sistem demokrasi, terutama di sebuah negara yang memiliki pluralitas yang tinggi. Lain halnya dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem ini terjadi pembagian kekuasaan atau terjadi koalisi diantara partai yang ada, sehingga dapat menampung sebagian besar aspirasi warga masyarakat.

Sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montersquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya
ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Selain itu, para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Hukum yang berlaku secara umum dalam sistem pemerintahan presidensial adalah adanya pemisahan kekuasaan menetapkan semua lembaga negara berada di bawah UUD 1945, sehingga UUD 1945 pun bersifat normatif closed yaitu hanya dapat diubah oleh badan yangberwenang dan melalui cara yang telah ditentukan oleh UUD tersebut.
Dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa terdapat 8 (delapan) lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945 (atributif), dengan kata lain kedelapan lembaga negara ini menerima secara langsung kewenangan konstitusionalnya dari UUD 1945 (supremacy of law). Kedelapan lembaga negara tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY).
KESIMPULAN
            Agar tercipta stabilitas sistem presidensial di Indonesia, maka ada 3 hal yang perlu dibenahi dalam sistem presidensial kita, yaitu:
a. perlunya penyederhanaan partai politik melalui produk perundang-undangan, hal ini dimaksudkan agar konstelasi politik di DPR melalui hasil pemilu dapat memperkuat stabilitas pemerintahan dan memperdalam demokrasi;

b. perlunya pelembagaan koalisi,hal ini niscaya dilakukan karena tidak ada kekuatan politik yang dominan di DPR, untuk itu pelembagaan koalisi di DPR agar memudahkan proses check and balance antara pemerintah dan DPR melalu dukungan partai di DPR;

c. perlunya pelembagaan oposisi, tradisi oposisi formal yang telah konsisten dirintis dengan PDI-P harus dilembagakan dalam produk perundang-undangan. Melemahnya oposisi formal tidak saja mengancam mekanisme check and balances, tetapi juga menyumbat kanalisasi gerakan oposisi informal ke oposisi formal.
Ketiganya bisa tercapai dengan mendasain sistem pemilihan umum dan sistem pemilihan presiden yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat tanpa mengurangi kekhasan dan esensi demokrasi Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Kamus Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,Jakarata: Pusat Bahasa Depdiknas,2001.
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta :UII Press, 2003.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta
D. Mutiara’as, Ilmu Tata Negara Umum, Jakarta: Pustaka Islam, 1955.
Firmanzah, Mengelola Partai Politik,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi),Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1983,
Hadisoeprapto Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: liberty, 2008.
Sunarno Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika,2009.
Latif Abdul dan Ali hasbi, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,2010.
J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Jakarta, sinar grafika, 2010
Samad sofyan, Negara dan Masyarakat, Yogyakarta, pustaka Pelajar,2010.
Marzuki Suparman, Tragedi politik hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka pelajar,2011.
M.Ilham Habib, Tesis (Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia), Semarang, UNDIP, 2009.