Minggu, 13 Mei 2012

BAGIAN HARTA WARISAN UNTUK ISTRI YANG IKUT MENANGGUNG BEBAN EKONOMI KELUARGA


A.    LATAR BELAKANG
Membagi dan memperoleh bagian dari harta peninggalan seseorang karena kematian, ketentuannya diatur dalam hukum waris. Dari uraian tersebut, maka timbul apa yang dinamakan warisan. Berbicara mengenai warisan maka menyangkut 3 (tiga)  unsur warisan yaitu[1] :
  1. Adanya pewaris atau orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan yang akan mengalihkan.
  2.  Adanya muwaris atau ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan itu yang terdiri dari ahli waris dan yang bukan ahli waris.
  3. Adanya mauruts atau harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan.
Menurut hukum Islam dalam surat An-Nisa 12 yang menentukan bagian istri menjadi 2 macam, yaitu :
a. Satu perdelapan (1/8) harta warisan apabila mayit (pewaris) meninggalkan anakyang berhak mewaris. Yang dimaksud anak termasuk juga cucu (dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki. Anak atau cucu yang diperoleh baik dari istri yang ditinggalkan maupun dari istri yang terdahulu.
b. Satu perempat (1/4) harta warisan bila tidak ada anak atau istri seperti tersebut diatas.
Norma hukum di dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 12 yang menentukan bagian ahli waris istri mendapat seperempat (1/4) bagian warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang diterimanya. Dilihat secara sepintas, kalau dikaitkan dengan istri yang ikut serta bekerja mencari penghasilan membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sebagai ketentuan yang bersifat diskriminatif dan tidak adil. Tetapi kalau dikaji secara mendalam dan menyeluruh dalam satu sistem keluarga Islam, yaitu hukum waris yang merupakan bagian dari hukum keluarga dan tidak dapat dipisahkan dengan hukum perkawinan, maka keadilan justru akan terlihat karena ketentuan perolehan warisan istri mendapat seperempat (1/4) bagian warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang diterimanya tersebut dalam kaitannya dengan hukum perkawinan yang menentukan kewajiban seorang pria sebagai suami untuk menanggung beban ekonomi di dalam keluarga. Sedangkan wanita sebagai istri tidak mempunyai kewajiban yang demikian. Ini dijelaskan di dalam Q.S, 4 : 34 sebagai berikut :
A%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
34.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .
Didalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan (Pasal 34 ayat 1). Keperluan hidup berumah tangga tersebut oleh komplikasi hukum Islam Pasal 20 ayat (4) disebutkan secara agak rinci yaitu meliputi:
a.       Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman istri.
b.      Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c.       Biaya pendidikan bagi anak.
Demikianlah, menurut hukum Islam seluruh beban ekonomi keluarga diletakkan di atas pundak pria sebagai suatu kewajiban hukum. Kecuali istri memang secara sukarela membebaskan suaminya dari kewajiban tersebut. Namun pembebasan ini hanya berlaku terhadap istri sendiri dan tidak berlaku bagi anak-anaknya. Demikian kompilasi hukum Islam Pasal 80 ayat (6) menjelaskan.
Kewajiban istri untuk mengatur rumah tangga dan juga ditegaskan di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 34 ayat (2) dan kompilasi hukum Islam Pasal 83 ayat (2). Dinyatakan bahwa istri wajib menyelenggarakan dan mengatur kehidupan rumah tangga sebaik-baiknya. Oleh karena ketentuan di dalam hukum perkawinan itu harus dipandang sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum keluarga sebagai satu sistem.
Yang menjadi masalah adalah apabila dalam suatu sistim unit-unit yang ada tidak bekerja menurut sifatnya. Gejala ini nampak di dalam kehidupan keluarga muslim. Menurut sistim hukum kekeluargaan Islam yang secara positif berlaku baginya, beban dan tanggung jawab ekonomi di dalam keluarga dipikul oleh kaum pria saja, sebagai suatu kewajiban hukum. Sedangkan wanita mempunyai hak dari suaminya. Tetapi gejala sosial ini tidak selalu demikian. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa para wanita sebagai istri banyak memasuki sektor lapangan kerja di luar rumah, kecenderungan demikian selalu menampakkan dirinya di dalam masyarakat di Indonesia. Para wanita banyak mempunyai peranan dalam menanggung beban ekonomi keluarga. Para wanita tidak hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga semata-mata, yang hanya disibukkan dengan urusan mengatur jalannya kehidupan keluarga, tetapi juga ikut bekerja mencari uang, hal ini dilakukan bukan hanya untuk dimiliki atau untuk kepentingan sendiri secara pribadi, tetapi untuk kepentingan seluruh anggota keluarganya.[2]
Saat ini menunjukkan bahwa wanita sebagai istri banyak memasuki sektor lapangan kerja diluar rumah baik sebagai karyawan perusahaan, pegawai negeri, pedagang maupun buruh. Semua ini menunjukkan adanya aktivitas wanita dalam keikutsertaannya menanggung kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan demikian beban ekonomi keluarga tidak hanya dipikul oleh pria saja seperti yang diwajibkan oleh Al-Qur’an dan Hadits, tetapi wanita juga ikut menanggungnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, wanitalah yang menanggung beban ekonomi keluarga, sedangkan pria mengurus jalannya kehidupan keluarga dirumah.

B.     RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dan agar makalah ini lebih terarah serta dapat tercapai sasaran yang diharapkan, maka akan dikemukakan permasalahan yang akan menjadi pokok kajian dalam makalah ini, adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana hak wanita yang bekerja untuk menanggung beban keluarga dalam pembagian warisan keluarga ?
2.      Kendala-kendala yang dihadapi wanita yang bekerja untuk menanggung beban keluarga dalam pembagian warisan keluarga terhadap pembagian warisan yang diterimanya dan bagaimana solusinya ?

C.     ASPEK HUKUM WANITA BEKERJA MENURUT HUKUM ISLAM
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam hukum Islam tanggung jawab dalam rumah tangga, terutama tanggung jawab dalam menafkahi seluruh keluarga merupakan tanggung jawab seorang suami. Alasan sehingga peletakan tanggung jawab kepada suami ini sering didasari pada adanya perbedaan secara fisik antara laki-laki dan wanita, karena laki-laki dinilai memiliki fisik yang kuat, maka dalam Islam laki-laki menjadi tulang punggung bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan memberi segala kebutuhan bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan memberi segala kebutuhan bagi kaum wanita.
Disamping itu peletakan tanggung jawab ini juga memiliki makna fungsional. Demikian misalnya dalam mengutip pemikiran Talcot Persons sebagai tokoh aliran fungsionalis-Miqdad Yaljan melihat bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan wanita dalam rumah tangga ini memiliki makna fungsional dalam mengatasi kemungkinan persaingan antara suami dan istri dalam rumah tangga, sebab menurutnya jika perbedaan ini tidak diatur, keserasian dan keharmonisan kehidupan dalam perkawinan dan masyarakat akan rusak.[3]
Perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya seorang perempuan bekerja dalam khasanah fiqih bermula pada adanya surat al-ahzab ayat 73 (33:73) yang berbunyi : ”Dan hendaklah kamu tetap berdiam (waqama) di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”. Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat adanya perbedaan dalam memahami kata perintah ”waqarna” yang menjadi kata kunci ayat tersebut.
Sebagian ulama Kufa-sebuah aliran pemikiran hukum yang banyak diafiliasikan dengan rasionalisme Imam Abu Hanifah-memahami Waqama yang berarti” tinggalah dirumah kalian dan tetaplah berada disana” sementara ulamaulama Bashar dan sebagian ulama Kufa membaca Waqama dalam arti ”tinggalah dirumah kalian dalam tenang dan hormat”[4]
Berkenaan dalam perbedaan penafsiran terhadap kata waqama tersebut, secara sederhana setidaknya ada tiga pemikiran atau pendapat yang berkenaan dengan wanita yang bekerja yaitu :
1. Mereka yang secara absolut melarang seorang wanita yang bekerja. Al- Qurtubi misalnya berpendapat bahwa ayat tersebut bisa dipahami perempuan Islam secara umum diperintahkan untuk menetap didalam rumah, walaupun ia mengakui bahwa sebenarnya relasi ayat ini lebih terarah kepada istri-istri nabi Muhamad SAW, tetapi perempuan selain istri nabi juga tercakup dalam perintah tersebut, hal yang hampir senada juga terjemahkan oleh Ibnu Katsir, yang mengatakan bahwa ayat diatas mengandung arti perempuan tidak dibenarkan kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.
2. Pendapat yang memperbolehkan wanita bekerja asal ada ijin dari suami, serta dalam keadaan ”darurat”. Muhammad Qutub berpendapat bahwa ayat ini bukan berarti bukan larangan terhadap perempuan untuk bekerja, karena Islam tidak melarang perempuan bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat dan bukan menjadikanya dasar. Hampir sama dengan pendapatnya Muhammad Qutub diatas, Haya Binti Mubarok Al-Barik  berpendapat bahwa pada dasarnya adalah haram bagi seorang wanita bekerja diluar. Haramnya seorang wanita bekerja diluar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang dipunyai oleh seorang wanita, misalnya karena haid, hamil, melahirkan dan nifas, menyusui dan merawat anak serta dilihat dari susunan tubuh yang dinilai memiliki perbedaan dengan laki-laki. Bahkan lebih lanjut menurutnya terhadap seorang wanita yang bekerja diluar akan banyak menimbulkan dampak negatif jika dibandingkan positifnya, misalnya menelantarkan anak-anak, meruntuhkan nilai moral dan sikap keagamaan wanita tersebut, dapat kehilangan sifat naluri kewanitaanya dan lain-lainya. Namun demikian menurut Haya Binti Mubarok Al-Barik bisa saja seorang wanita/istri bekerja diluar rumah jika hal ini dalam keadaan darurat dengan tentunya memperoleh ijin dari suami mereka, tidak bercampur dengan laki-laki atau melakukan khalwat (mojok) dengan lelaki lain, tidak berlaku tabarruj dan tidak memakai wewangian yang bisa membangkitkan birahi seseorang.[5]
3. Mereka yang membolehkan secara mutlak seorang wanita bekerja, pendapat  ini tidak lepas dari analisis gender yang dilakukan terhadap ketentuan ayat tersebut. Demikian misalnya Ashgar Ali Engineer, menurutnya kedua pendapat sebelumnya sangat dipengaruhi oleh feodalisme. Oleh karena pemahaman terhadap ayat tersebut setidaknya dapat dilepaskan dari konteks sosial pada saat ayat itu diturunkan.Struktur sosial pada masa nabi tidaklah benar-benar mewakili kesetaraan laki-laki dan perempuan, sehingga domestikasi perempuan dianggap kewajiban dan suatu hal yang wajar.

Peletakan tanggung jawab pada kaum laki-laki ini adalah hal yang wajar melihat kelebihan yang ada pada laki-laki, namun ini tidak berarti Islam melarang terhadap kaum wanita yang ingin bekerja sebagai wujud membantu ekonomi keluarga. Hanya yang terpenting adalah bagaimana menjaga kehormatan dan akhlak Islami.
Namun demikian perbedaan fisik ini sebenarnya tidaklah menunjukan perbedaan derajat dan pendidikanya, karena pembagian kerja dalam masyarakat merupakan konstruksi sosial di masyarakat itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Roszak & Roszak bahwa laki-laki memerankan peran laki-laki karena peran tersebut dikehendaki oleh wanita, dan sebaliknya wanita memerankan wanita karena peran tersebut dikehendaki oleh laki-laki. Hanya dalam perspektif Islam, yang terpenting terhadap wanita yang bekerja adalah menjaga kehormatan dan akhlak Islami.

D.     HARTA BERSAMA DALAM SISTEM KEWARISAN ISLAM

Dalam hukun Islam, yang dimaksud dalam harta warisan ialah harta peninggalan pewaris setelah diadakan tindakan pemurnian sebelum dialihkanya harta tersebut sebagai ahli waris. Tindakan pemurnian tersebut diantaranya adalah pengeluaran harta yang menjadi hak janda atau duda yang berupa harta pribadi, harta bawaan atau mungkin hadiah yang diperoleh selama perkawinan.
Kemudian pelunasan hutang serta biaya yang dikeluarkan dalam pengurusan jenazah serta zakat yang harus dikeluarkan. Tindakaan pemurnian harta dalam sistem pewarisan Islam ini memperlihatkan fungsi sosial dari harta seseorang, artinya Islam tidak mengenal pemutlakan kepemilikan atas harta benda, sebab didalamnya terdapat hak orang lain. Secara normatif pengaturan masalah pewarisan dalam sistem pewarisan Islam terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an yang membicarakan masalah pewarisan ini terutama terdapat dalam surat An-Nisa pada ayat, 7,11,12,33 dan 176. Untuk lebih jelasnya, bunyi ayat-ayat yang berkenaan dengan pewarisan ini adalah sebagai berikut adalah :
Surat An-Nisa (4) ayat 7 : bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu/bapaknya dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian  (pula) dari harta peninggalan ibu/bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Surat An-Nisa ayat 11 : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak wanita, dan jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak wanita itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.Dan untuk dua orang ibu/bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya(saja) maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang orang tuamu dan anak-anakmu), kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Surat An-Nisa ayat 12 : Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu mendapat sepeempat dari harta yang ditinggalkanya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)  seseorang mati baik laki-laki maupun wanita yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempumnyai saudara laki-laki (seibu saja) ada seorang saudara wanita (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya tidak dengan memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah. Dan allah Maha Mengetahui dan Maha Penyantun.
Surat An-Nisa ayat 33 : Bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dari karib kerabatnya kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagianya.sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Surat An-Nisa ayat 176 : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang Kalalah), katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu : jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara wanita maka bagi saudaranya yang wanita itu seperdua dari harta yang ditinggalnya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara wanita), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara wanita itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal”. Dan jika mereka (ahli waris itu sendiri) saudara-saudara laki dan wanita, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara wanita. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika dilihat dari beberapa ayat tersebut diatas, terlihat bahwa ada kelompok ayat kewarisan yang menjelaskan pembagian kewarisan dengan pembagiannya secara langsung. Namun ada juga ayat yang berkenaan dengan pedoman preventif dari kemungkinan terjadinya kasus di luar kebiasaan tersebut pada ayat 11 dan 12 dari surat An-Nisa, yaitu berkenaan dengan ahli waris pengganti atau mawali. Atau ayat yang memberikan kemungkinan lain, dimana pewaris tidak memiliki anak dan mawali anak atau yang dinamakan kalalah seperti tersebut pada surat An-Nisa ayat 176 tersebut.
Terhadap sistem kewarisan dan pembagian harta warisan seperti yang telah diatur dalam Al-Qur’an menimbulkan beberapa persoalan, terutama berkenaan dengan hak, dimana terlihat adanya perbedaan antara hak seorang wanita dengan seorang laki-laki. Hal ini dinilai oleh banyak kalangan diskriminatif sifatnya.
Munculnya sistem pembagian yang terkesan diskriminatif ini tentunya tidak bisa dilihat sebagai suatu persoalan yang parsial saja, terutama besarnya pembagian dan perolehan yang diatur, tanpa melihat dasar, ide serta asas dalam hukum kewarisan Islam secara keseluruhannya. Gagasan sistem pembagian yang lebih memberikan posisi yang besar kepada laki-laki terkait dengan tanggung jawab dalam keluarga. Ternyata dalam Islam tanggung jawab dalam keluarga termasuk dalam hal ini yang mencari harta adalah laki-laki (suami), sehingga atas dasar pemikiran ini Al-Qur’an memandang adil jika yang bekerja, dalam hal ini laki-laki memperoleh bagian yang lebih besar dari kaum wanita, yaitu sebesar dua kali.
Gagasan ini menurut Amir Syarifudin tentunya sesuai dengan asas hukum kewarisan Islam yang menekankan pada asas keadilan berimbang, disamping asas ijbari (dengan sendirinya), bilateral, asas individual dan asas kewarisan semata akibat kematian.[6] Dalam pengaturan masalah waris, ada satu hal yang cukup menarik untuk
diamati, jika harta bersama dimaknai sebagai harta yang diperoleh selama perkawinan dengan tidak memandang siapa yang mencarinya, maka secara eksplisit mengenai harta bersama dalam hukum Islam tidak dikenal. Oleh karena itu munculnya konsep harta bersama dalam sistem kewarisan Islam merupakan adopsi dari sistem kewarisan adat yang sudah lama dikenal dalam masyarakat.
Sebagai contoh dalam masyarakat Jawa sudah lama dikenal dengan istilah harta gono dan harta gono-gini. Perbedaan antara kedua istilah tersebut terletak pada saat perolehannya, jika harta gono diperoleh saat sebelum perkawinan maka pengertian gono gini diperoleh setelah berumah tangga. Diterimanya konsepsi hukum adat mengenai harta bersama dalam sistem kewarisan Islam (terutama dalam KHI) ini tidak terlepas dari sifat hukum Islam sendiri yang tidak hanya toleran terhadap budaya lokal, tetapi jauh dari itu hanya kebiasaan dalam hukum Islam dapat dijadikan dasar hukum sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Mendasarkan pada budaya lokal atau budaya setempat yang telah menjadi adat tersebut, eksistensi harta bersama oleh para pemikir hukum Islam dijadikan salah satu sumber pemecahan masalah ketika terjadi perceraian dalam perkawinan pada masyarakat Islam di Indonesia[7]. Adalah KH. Syeik Arsyad Al- Banjari[8] untuk pertama kalinya memberikan fatwa terhadap keberadaan sistem dan konsep harta bersama yang ada di dalam masyarakat ini, untuk diberlakukan dalam hukum Islam dengan perlindungan terhadap seorang wanita atau istri ini terlihat dari dasar pemikirannya bahwa meskipun seorang istri tidak bekerja sebagaimana yang dilakukan oleh seorang suami, maka ketika terjadi cerai mati untuk seorang istri memperoleh bagian yang sama terhadap harta bersama sebagai hasil kerja suaminya.
            Namun demikian ada satu hal yang terpenting bahwa ternyata harta gonogini
yang ada dalam masyarakat adat pada umumnya tidak mempermasalahkan siapa yang mencarinya, apakah harta tersebut diperoleh dengan cara sendiri atau secara bersama-sama antara suami istri.
            Hal ini dikarenakan realitas dalam masyarakat memperlihatkan bahwa bekerjanya kaum wanita juga sebagai bagian dari rasa tanggung jawabnya terhadap eksistensi ekonomi keluarga. Bahkan pada masyarakat tertentu memiliki tradisi (Urf) dimana seorang wanita justru yang lebih dominan bekerja dalam rangka membangun ekonomi keluarga, dan keinginan wanita untuk bekerja sudah dilihat sebagai suatu kebutuhan yang merupakan realisasi hak yang sama dengan laki-laki.
            Pengambilan lembaga hukum adat dalam menyelesaikan persoalan yang berkenaan dengan harta bersama ini oleh peradilan juga dilakukan, hal inimisalnya terlihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Nopember 1976 No. 1448 K/Sip/1974 mengatakan bahwa sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya cerai mati harta bersama tersebut dibagi sama rata antara almarhum suami istri.
            Pendirian jurisprudensi demikian, jelas memperlihatkan masih diskriminatifnya sistem hukum dalam melihat harta bersama ini, hal ini dikarenakan harta bersama secara prinsip menghilangkan syarat keikutsertaan istri untuk bekerja dalam mewujudkan adanya harta bersama tersebut, dengan menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama dan pendapatan bersama, sekalipun harta itu semata-mata hasil pencarian suami atau istri sendiri. Artinya bagaimanapun penghargaan terhadap istri yang bekerja dan memiliki penghasilan tetap tidak dilihat bahwa wanita tersebut memiliki hak penuh atas apa yang telah dicarinya selama dalam masa perkawinan.
            Terhadap praktek demikian, juga sebagaimana diatur dalam kompilasi hukum Islam, masalah pembagian harta bersama ini diatur dalam Pasal 96 dan 97. Hal ini tidak memenuhi prinsip dan asas keadilan yang dijunjung tinggi dalam Islam, sehingga perlu dilakukan tafsir ulang terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah kewarisan, terutama yang menyangkut masalah harta yang diperoleh istri selama dalam perkawinan.
            Meskipun tidak diatur secara tegas dalam hukum Islam, ini tidaklah berarti harta suami dan istri tidak bisa dijadikan satu. Percampuran harta suami dan istri dalam hukum Islam dimungkinkan, karena dalam hukum Islam dikenal dengan lembaga “Syirkah” atau “persekutuan” yaitu percampuran sesuatu harta benda dengan harta benda lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lainnya.
            Bentuk-bentuk syirkah ini ada tiga macam, yaitu antara lain :[9]
1)       Syirkah milik yaitu syirkah dalam memiliki harta tanpa suatu perjanjian, karena terjadi sebagai akibat adanya kejadian pada orang lain.
2)      Syirkah harta melalui suatu perjanjian. Dalam hal ini yang diperjanjikan dapat berupa modal dan usaha (syirkah ‘inan), atau hanya berupa usaha untuk menjalankan kapital orang lain (syirkah abdan) maupun dalam bentuk melakukan perbuatan (syirkah wujuh).
3)      Syirkah harta harus melalui suatu perjanjian antara orang yang punyai kapital dengan orang yang berusaha dengan kapital tersebut.

Diperlakukannya perjanjian antara suami dan istri dalam lembaga syirkah memperlihatkan bahwa dalam hukum Islam antara suami dan istri memiliki kedudukan hukum yang sama, dan ini juga berarti pengakuan hak kepemilikan pribadi dan bersama diakui dalam hukum Islam.
E.    HAK MILIK : STATUS HUKUM HARTA DARI WANITA BEKERJA
Sesungguhnya Islam merupakan agama fitrah, maka tidak ada satupun prinsip yang bertentangan dengan fitrah atau merusah fitrah itu sendiri. Prnsip prinsip itu sesuai dengan fitrah, bahkan terkadang meluruskannya dan meningkat bersamanya. Diantara fitrah yang telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik (kepemilikan) sebagaimana yang kita lihat. Pemilikan merupakan salah satu dari karakter kebebasan (kemerdekaan). Pemilikan juga merupakan salah satu karakter manusia, karena hewan tidak memiliki, manusialah yang merasa memiliki.
Surat Al-Ahqaf ayat 19 yang berarti : “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan”, secara umum kiranya merupakan dasar dalam Islam memperbolehkan pemikiran, meskipun itu dapat menyebabkan pemiliknya menjadi sangat kaya dan melimpah ruah hartanya, selama ia tetap memelihara diri untuk mencari harta dengan cara yang halal dan menginfaqkan harta itu kepada yang berhak, tidak dipergunakan untuk yang haram dan tidak berkelebihan di dalam yang mubah, tidak pelit dengan yang haq, tidak menzhalimi seseorang, serta tidak makan hak orang lain, sebagaimana konsekuensi prinsip istikhlaf (pengamanan) dalam Islam (bukan pemilikan secara mutlak).
Pengakuan Islam terhadap hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya membawa kebaikan untuk ummat dan untuk perekonomian seluruhnya. Seperti diketahui bahwa dalam sistem kewarisan Islam dikenal adanya pemisahan antara harta suami atau istri, terutama dalam hal ini adalah harta bawaan maupun harta asal, dan eksistensi kepemilikannya dalam system kewarisan Islam sudah diakui keberadaannya.
 Artinya dalam hukum Islam kawinnya antara wanita dan laki-laki tidaklah serta harta yang dimilikinya menjadi milik bersama, sepanjang yang menyangkut kedua bentuk harta tersebut yaitu harta bawaan maupun harta asal, tetap menjadi miliknya secara pribadi. Demikian juga sebenarnya hak kepemilikan dari harta yang diperoleh suami atau istri selama dalam perkawinan, berdasarkan Surat An-Nisa ayat 32 (4:32) merupakan hak pribadi masing-masing. Implikasi dari surat An-Nisa ini jelas memperlihatkan bahwa harta yang diperoleh istri selama bekerja merupakan haknya atas harta tersebut.
Berdasarkan pada surat An-Nisa ayat 32 tersebut maka jelas bahwa secara tegas hukum Islam mengakui keberadaan hak kepemilikan dari harta yang diperoleh istri selama bekerja. Ketentuan ini pada satu sisi jelas berbeda dengan konstruksi hukum adat maupun Kompilasi Hukum Islam yang mengatur masalah harta bersamanya, yang melebur menjadi satu harta yang diperoleh istri menjadi harta bersama, sehingga pengakuan hak seorang istri terhadap harta yang diperolehnya dengan bekerja selama dalam perkawinan menurut hukum adat, Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menjadi tidak ada.
F.    KESIMPULAN
Pembagian warisan harta bersama pada wanita bekerja untuk menghidupi ekonomi keluarga sering dirasakan tidak adil oleh pihak wanita. Hal ini disebabkan harta milik wanita tersebut diikutsertakan dalam pembagian harta warisan. Proses pembagian harta warisan dalam keluarga kurang memandang harta kepemilikan wanita yang bekerja yang diperoleh dari hasil jerih payahnya selama bekerja. Pengaturam mengenai harta bersama dalam hukum positif masih mengabaikan kedudukan akan status dan kedudukan harta seorang istri yang diperolaeh selama perkawinan. Pada pembagian harta warisan keluarga terutama pada keluarga yang isteri ikut bekerja untuk menghidupi beban keluarga menjadi polemik yang sering terjadi. Pembagian warisan tidak melihat status kepemilikan harta yang ada sehingga sering terjadi harta milik isteri ikut terbagi dalam pembagian tersebut. Hal ini disebabkan tidak jelasnya status kepemilikan harta yang dibagi.
Kendala yang terjadi pada pembagian harta bersama, tidak jelas penggolongan harta suami dan harta isteri. Hal ini sangat sulit untuk dipisahkan karena dalam status kepemilikan harta, hanya isteri yang dapat mengklaim kepemilikannya. Kondisi ini disebabkan selama suami masih hidup, suami dan isteri tidak pernah memisahkan harta kepemilikannya.
Solusi yang dapat dilakukan dalam pemecahan kendala tersebut adalah adanya kejelasan status kepemilikan ini dapat memudahkan pembagian harta warisan baik bagi isteri yang bekerja maupun tidak bekerja. Selain itu juga adanya kejelasan status kepemilikan dapat diterapkan pada harta benda yang dapat memiliki identitas seperti tanah, bangunan, kepemilikan usaha, kendaraan dan tabungan. Jika dalam status kepemilikan harta tersebut atas nama suami, maka status kepemilikannya adalah milik suami. Sedangkan jika dalam surat kepemilikannya atas nama isteri, maka harta tersebut adalah milik isteri. Hal ini untuk memudahkan pemisahan harta isteri dan harta suami dalam pembagian warisan.
G.     DAFTAR PUSTAKA

Amir Hamzah Fachrudin, Terjemah Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah 1424.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Ali Muhanif, Perempuan Dalam Literature Islam Klasik, Jakarta:Gramedia Pustaka, 2002.
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 2001.
Ma’ruf Amin, Pemikiran Syeikh Arsyad Al-Banjari tentang pembagian harta warisan terhadap budaya matrilineal,1989.
Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy (Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo: Pustaka Mantiq,1990.
R. Abdul Djamali, SH., Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorium Ilmu Hukum, Bandung,: PT. Mandar Maju, 2002.








[1] R. Abdul Djamali, SH., Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorium Ilmu Hukum,
Bandung,: PT. Mandar Maju, 2002, halaman 112.

[2] Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy (Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo:
Pustaka Mantiq,1990, halaman 101.
[3] Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy (Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo:
Pustaka Mantiq, halaman 89-90.
[4] Ali Muhanif, Perempuan Dalam Literature Islam Klasik, Jakarta:Gramedia Pustaka, 2002, hal. 19-20.

[5] Amir Hamzah Fachrudin, Terjemah Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah 1424 H, hal 159-160

[6] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. hal. 8-27.
[7] Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press,2011 hal 11.
[8] Ma’ruf Amin, Pemikiran Syeikh Arsyad Al-Banjari tentang pembagian harta warisan terhadap budaya matrilineal,1989, halaman 42.
[9] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. hal. 282-283

Tidak ada komentar:

Posting Komentar