Minggu, 23 Februari 2014

Rektor-rektor Administratif

Rektor-rektor Administratif

Rhenald Kasali  ;    Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
KOMPAS
Pernah ada dalam pikiran saya bahwa universitas adalah barometer pembaruan, mahasiswanya agen perubahan, dan kampusnya dipimpin rektor inspiratif.
Prof Mahar Mardjono (UI), dokter ahli saraf, berani mengusir tentara dari kampus dan menolong mahasiswa yang dihajar aparat saat menuntut perubahan. Rektor pertama UGM, Prof Dr M Sardjito, dikenal sebagai peracik obat dan vitamin untuk tentara pejuang. Di Bogor, Rektor IPB Prof Andi Hakim Nasution memperkenalkan sistem panduan bakat penerimaan mahasiswa baru yang berkembang menjadi penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Ia mewarnai kaum muda menggeluti sains.
Kita juga banyak mengenal bagaimana Prof Dr Mochtar Kusu- maatmadja (Unpad), Prof Herman Johannes dan Prof Dr Teuku Jacob (UGM), serta Prof Dod- dy T Amijaya (ITB) menginspirasi kaum muda. Mereka terkenal karena inspiratif dan membuat mahasiswa terlibat dalam gerakan atau gagasannya.
Universitas negeri berkesempatan pertama menyeleksi calon mahasiswa dan menjadi tujuan utama kaum cerdik pandai. Kampus yang sehat bukan hanya belajar dari buku, dosen, dan laboratorium, melainkan juga cara rektornya memimpin dan memberi contoh. Negeri yang sehat tak hanya melahirkan orang pandai, tetapi juga panggilan pengabdian, kepedulian sosial, dan daya kreasi-inovasi. Wajar jika masyarakat berharap kampus-kampus itu dipimpin orang yang mampu menjadi role model, mempunyai reputasi yang kuat, berwawasan, dan visioner.
Bagaimana sekarang? Belakangan ini kita justru mendengar keluhan wisudawan dan mahasiswa baru yang mengantuk mendengar pidato tak menarik. Mereka mengatakan ”Baik rektor, dekan, maupun karya-karyanya sama-sama tak dikenal. Mereka hanya bicara jumlah lulusan.”
Lalu iseng-iseng saya buat survei kecil dengan kata kunci ”rektor”. Tak banyak yang menyebut nama rektor pemangku jabatan di kampus masing-masing. Siapa pun pemangku jabatannya, hampir semua mengaku rektornya bernama Prof Komaruddin Hidayat atau Prof Anies Baswedan. Keduanya bukan dari kampus universitas yang mengklaim diri sebagai ”barometer”, melainkan role model kaum muda.
Pada era interaktif yang kaya akses ini, tokoh-tokoh bisa diakses kaum muda dari Aceh hingga Papua. Kultwit-nya diikuti banyak orang: Anies dengan 270.000 pengikut, Komaruddin 230.000. Namun, penelusuran saya, pemangku jabatan rektor yang aktif memakai Twitter ternyata hanya dengan 600-700 pengikut.
Apakah ini bukan gejala kampus telah dipimpin rektor-rektor administratif yang, maaf, miskin daya ungkit pengaruh? Pemimpin seperti ini disebut John Maxwell (2006) sebagai penjaga kursi yang berada dalam tangga kepemimpinan terbawah. Maxwell mengatakan, ”They don’t care how much you know until they know how much you care.”
Sebaliknya, jejak-jejak langkah para rektor inspiratif tidak hanya ilmiah, tetapi berdampak riil terhadap perubahan. Mereka turun tangan terlibat dalam masalah aktual sehingga gerakannya punya pengaruh yang kuat. Karena kata-kata dan gerakannya inspiratif, mereka menjadi terkenal, bukan sebaliknya.
Administrator perkebunan
Satu-satunya kata administrator yang masih dipakai pada era ini mungkin hanya di perkebunan milik negara. Kalau bertemu mereka, Anda akan menyaksikan sosok pekerja keras yang biasa bekerja rutin. Tak diperlukan kreativitas karena semua prosedur dan agendanya sudah jelas, aset yang ditangani terletak pada area geografis yang terbatas, dan koordinasi intensif ke dalam.
Karena terlalu intens ke dalam, ia tak dikenal di luar; dan karena rutin, ia tak inspiratif. Ia hanya dihormati pegawainya, tetapi tak merasa perlu menggeluti perubahan di luar. Sebaliknya kampus yang sehat justru bergulat dengan dinamika yang cepat berubah. Ilmu pengetahuan bertambah setiap 20 menit, generasi baru datang dengan teknologi dan masalah yang berbeda-beda, persoalan bangsa kian kompleks, membuat kampus yang hidup harus terus beradaptasi dan menggali kekuatan baru. Keunggulan kampus besar berubah menjadi temporer.
Di tengah dinamika itu, kita justru sulit menemukan rektor-rektor inspiratif. Semuanya hanya sibuk mengurus mahasiswa baru, administrasi keuangan, kepegawaian, pemilihan dekan, pengukuhan guru besar, dan turnamen olahraga antar-jurusan. Pokok pekerjaannya adalah administratif, rutin, dan membuat laporan.
Dengan metode kerja seperti itu, jelas universitas sulit menghasilkan pembaruan, apalagi mencetak agen perubahan. Di dalam tempurungnya yang gelap, banyak ditemui perselisihan paham seputar perebutan peran administratif dan alokasi anggaran, politik kampus, dan kecemburuan. Belum lagi soal-soal primordial, mulai dari ”penduduk asli” (alumni sendiri) versus lulusan luar, etnisitas, latar agama, dan aliran-aliran sempit. Dalam horizonnya yang terbatas, hanya terjadi perkawinan pemikiran satu keturunan yang menghasilkan produk pengetahuan yang lemah. Apa yang dipublikasikan tak dijalankan, dan sebaliknya.
Namun, satu-dua orang memilih keluar dan membangun karier dari jendela-jendela kecil yang mereka buka sendiri agar mendapat oksigen segar. Dari sosok mereka inilah sebenarnya perubahan bisa diharapkan. Namun, kelompok kecil yang bekerja ini tak diberi tempat layak di dalam karena kampus lebih banyak didominasi manusia tipe administrator. Bagi mereka, sosok yang tepat adalah penjaga rutinitas yang intensif bermain di dalam.
Saya mengerti, mereduksi peran rektor sebagai administrator atau menyamakan kampus dengan kebun bukan analogi yang enak dibaca. Namun, kita tak bisa menutup kesan itu hanya dengan menampiknya. Perubahan tak bisa dilakukan dengan bantah-membantah, mengagungkan kepentingan territory, atau debat kusir. Perubahan itu harus dimulai dengan mata dan telinga yang sehat dan pikiran yang bersih. Melihat yang terjadi di luar, memenuhi aspirasi-aspirasi yang tumbuh dari masyarakat, dan melahirkan role model.
Indonesia butuh pemimpin-pemimpin yang dicari dengan penuh kesungguhan, bukan pencari kerja yang memimpikan jabatan melalui kongsi kekuatan dan office politics. Kalau ini tak bisa, lupakan saja konvensi di partai-partai besar untuk menghasilkan kepala negara terbaik sebab masalahnya berawal dari kampus yang gagal menelurkan agen perubahan karena pemimpinnya bukan role model. ●

Mestinya Malu

Mestinya Malu

Jean Couteau  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS,  23 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Selain kecelakaan, mobil bukan tempat di mana hal-hal yang penting terjadi, kan? Tetapi bagiku, mobil adalah tempat pikiranku suka melayang lepas-bebas. Maka ia tempat aku kerap menggagas kolom Udar Rasa ini: barulah ide tebersit di benakku, aku merogoh Blackberry untuk mencatatnya; kadang berhenti sebentar di pinggir jalan, kadang tidak. Boleh ataupun tidak boleh, aku tak peduli? Tetap aku lakukan. He...he....
Kini, aku sudah parkir di pinggir jalan, sedang mikirin Udar Rasa dan sekaligus apa yang baru saja terjadi dua menit yang lalu: Aku di kemudi, lalu lintas di depan cukup lancar; aku di belakang sebuah mobil lain. Ia tepat di depanku. Sialan!! Lampu hijau telah berkedip beralih ke kuning. Mestinya sopir mobil itu berhenti. Tidaaaak! Bukan mengerem, dia malahan tambah melaju. Gila bener! Melihat gelagatnya, aku mestinya ngerem dengan keras, kan? Tetapi, kerasukan setan apa, aku justru menekan pedal gas ….dan, ya! Kami dua-duanya lolos… menerobos lampu merah, pas di depan sepasang polisi yang menatap kami melintas–dengan mulut ternganga bengong. ”Waaah!!! Hampir-hampir kena!”
Lalu, apa reaksi kami setelah pengalaman ini? Malu? Sama sekali tidak! Sebaliknya kami terpingkal-pingkal, kecuali tamu bule Perancis kami, yang bermuka masam, lalu berkata padaku: ”tu exagères”–kamu berlebih-lebih!!
”Go to hell.” Elu Perancis, pikirku. Memang aku berlebih-lebih, tetapi bukankah itulah pertanda bahwa aku saat ini kian ”go Indonesia?” Aku tak kurang permisif dari sobat-sobat Indonesiaku! Tepat seperti Anda sekalian, teman-teman Indonesiaku pun bisa melanggar tanpa rasa bersalah.
Maka, seperti kalian pula, aku pun tertawa waktu membaca bahwa Gayus bisa hadir di Makau saat dipenjara. Seperti kalian dalam situasi serupa, aku tersenyum mendengar temanku mengisahkan cara dia naik pangkat menjadi pegawai golongan IVA: ”Sistemnya pas seperti di jalan tol,” katanya polos,” bayar sekali di portal, lalu bebas hambatan, he-he!” Bukankah perumpamaannya sangat pas? Apakah itu sebabnya aku, kini, mengucurkan duit pada istriku setiap dia perlu uang pelicin naik-pangkatnya, yang notabene tak kunjung naik itu? Jangan-jangan tidak naik karena duit pelicin itu baru cukup untuk pembelian pulsa bagi si Bapak X, pegawai ”kunci”? Bisa jadi! Susah nyusun anggaran suapan, kan? Jangan dikasih ”lebih”, tapi jangan ”kurang” juga! Bisa berabe!
Seperti Anda sekalian, teman-teman, selain permisif, aku juga ”loyal”, dan berbangga karenanya. Di antara kenalan baikku pernah terhitung seorang pintar yang menjadi joki unggulan bagi skripsi-skripsi orang-orang berkantong tebal. Aku tidak pernah membuka rahasia borok busuknya: orangnya baik sama aku. Harus setia kawan, dong! Maka bila aku bertemu dengan sarjana berembel MM dan DR palsu tapi sah hasil kerja sobat itu, aku bersembah-bungkuk seperlunya di hadapan mereka. Main aman!
Cuma, oleh karena loyal, tidak mungkin aku terlalu ”lurus” lha iyalah! Apakah kalian pernah membaca tulisanku? Kalau ”ngalor-ngidul”, sejarahnya terlalu mendalam, atau kelewat puitis, tandanya aku bohong. Tapi kalau tidak bohong, bagaimana? Tambah musuh! Maka aku pun terpaksa kompromi dalam kebohongan itu. Tak heran bila aku mempunyai banyak teman. Aku benar-benar ”go Indonesia”, kan?
Permisif, loyal, berbohong, banyak teman. Lengkap sudah! Atau hampir: coba bayangkan bagaimana jadinya aku bila berkuasa dan mengelola duit dalam jumlah besar? Mungkinkah aku luput dari ”korupsi”? Aku tidak yakin. Apalagi aku bukan tipe orang yang mudah ditakut-takuti bakal kecemplung di neraka!
Begitulah aku, begitulah kalian, begitulah kita, teman-teman, dan saudara-saudara se-Nusantara: tanpa kita sadari, perilaku permisif tak ayal bakal berujung pada suap-menyuap. Seperti pernah ditulis seorang karib di dalam salah satu SMS-nya: ”Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK menunjukkan banyak sekali pihak-pihak yang terlibat tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan ”tindakan tercela yang melanggar hukum”. Kebanyakan terjerat jalinan pertemanan, persahabatan yang mudah tergelincir menjadi persekongkolan”.
Ya! Korupsi bukan sesuatu yang berada nun jauh di sana. Bukan realita abstrak yang sembunyi di belakang istilah asing yang suka diucapkan ahli hukum yang mahir. Korupsi besar sudah hadir secara potensial di dalam perilaku remeh, yaitu di dalam cara kita menerobos lampu merah, ”nyontek” di sekolah, mencari akal untuk naik pangkat dan bahkan tertawa untuk itu semua. Sadarkah kita? Cukup sadarkah aku? Jelas tidak. Buktinya: aku tidak sampai hati mengungkap nama orang-orang yang aku sebut ”boroknya” di atas. Astaga!!

Ketika Korupsi Jadi Puisi

Ketika Korupsi Jadi Puisi

Bambang Widiatmoko  ;   Penyair
KOMPAS,  23 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Buku antologi Puisi Menolak Korupsi (PMK) yang menghimpun karya ratusan penyair dari sejumlah daerah di Indonesia sudah terbit dalam tiga jilid (Forum Sastra Surakarta, 2013). Tentu suatu prestasi tersendiri yang dapat dipersembahkan kepada republik tercinta ini, yang giat melaksanakan pemberantasan korupsi. Tidak perlu diperdebatkan apakah ada perbedaan arti kata ”menolak” dan ”memberantas” sebagai idiom yang dipergunakan penyair dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pertanyaan tentang judul Puisi Menolak Korupsi (sebagai kata benda) dan Penyair Menolak Korupsi (sebagai kata sifat) kita sudahi dengan kutipan judul puisi Ayu Cipta ”Bersatulah Penyair Tolak Korupsi” dan judul puisi Eko Widianto ”Prokorupsi”. Selain itu, juga muncul rasa gamang untuk mengatakan ”apa” sebenarnya yang disebut puisi dan ”mengapa” puisi-puisi itu ditulis.
Saya mencoba menguraikan ”apa” dan ”mengapa” puisi-puisi ditulis oleh para penyair PMK. Begitu terbuka dan bebas para penulis puisi menuangkan idenya dalam puisi. Kita tak perlu lagi belajar tentang simbol dan imajinasi. Lantas apa kaitannya dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga bernama KPK? Dan penolakan korupsi dilakukan para penyair yang bergabung dalam PMK? Pemberantasan dan penolakan korupsi tentu harus dilakukan masyarakat yang sadar untuk menuju perubahan sosial di Indonesia: menjadi negara yang bersih, jujur, dan berwibawa.
Kita memahami bahwa sejak zaman doeloe kala sudah terjalin erat hubungan antara sastra dan negara. Sekadar contoh adalah sejarah Sultan Agung, yang berani melawan Belanda dan menyerbu Batavia. Bukan persoalan kalah atau menang dalam peperangan itu, melainkan jiwa besar dan semangatnya tetap menjadi kebanggaan dalam sejarah Indonesia. Kebesaran jiwanya ditunjukkan pada sikapnya terhadap sastra dengan mengatakan ”Manawa ana putra sentana ingsun kang ora wasis ing kagunan sastro gending, ingsun jabaake Trah Mataram”.
Begitu pula jika menengok kisah John Ruskin pada abad ke-19, sewaktu Ratu Victoria memerintah Inggris. Ruskin bertanya kepada anggota House of Lords: ”Seandainya kita harus kehilangan salah satunya, apakah kita pilih kehilangan jajahan kita India atau sastrawan kita Shakespeare”. Lalu dia menyatakan, lebih baik kehilangan India daripada Shakespeare.
Contoh di atas sekadar menunjukkan bahwa sastra dan negara pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan: keberadaan sebuah sastra bergantung kepada negaranya dan keberadaan negara tergantung pada sastranya. Negara dan sastranya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.
Begitu pula kehadiran atau terbentuknya sebuah negara tidak dapat terlepas dari jasa para pejuang dan pahlawannya. Kita bisa membaca puisi ’pengaduan’ Thomas Haryanto Soekiran untuk mengingat jasa pahlawan dan kemudian dipergunakan untuk mereflesikan kondisi yang terjadi pada masa kini.
Dalam puisi berjudul ”Pahlawan di Makam Pahlawan Projo Handokoloyo Purworejo” Haryanto Soekiran menulis: ”//Aku menyapa dari luar tembok karena pintu digembok/Kenapa menolak jadi belati dan milih melati/Sementara gerak dolalak memaksa masuk kubur/Tapi kabur lantaran tak mampu membaur/Sebetulnya bukan tarian hanyalah hiburan...// ” (hal 387).
Begitu pula jika kita melihat secara lebih nyata seperti yang tersirat dan tersurat dalam puisi yang ditulis Aloysius Slamet Widodo, untuk menunjukkan hubungan antara sastra dan negara. Kita menjadi tergugu membaca kutipan puisi berjudul ”Anas” yang ditulis Slamet Widodo: ”//Jangan namai anakmu Anas/nama itu memang panas/biasanya orangnya cerdas/tapi kadang nasibnya naas//Lihat ketua umum partai demokrat.....Anas/oleh kpk ia kena tebas/ia marah hatinya panas/menurutnya ini tentu ulah cikeas...//” (hal 47).
Pembicaraan tentang korupsi pun bisa menjadikan pertanyaan bagi anak-anak. Menarik mempertanyakan korupsi di mata anak-anak dalam puisi ”Anak Sekolah Membaca Spanduk Korupsi” yang ditulis Andreas Kristoko: ”//Di atas boncengan sepeda kayuh bapakku/Sewaktu pulang sekolah, aku membaca spanduk/Terentang di persimpangan jalan/’Berantas Korupsi!’//Sesampai di rumah aku lepas seragam merah putihku/Meletakkan tas di amben juga sepatu hitam kaos kaki putih di kolong/tempat tidur/Menghampiri bapak yang sedang melap sepedanya/Lalu bertanya, ’Pak, korupsi itu apa?’/Bapak mengelus rambut kepalaku dan tersenyum/’Jangan ambil tempe jatah adikmu saat makan bersama!’ jawabnya//” (hal 63).
Kita bisa tersenyum membaca puisi di atas. Tetapi, sesungguhnya sesuatu yang amat dahsyat sedang dilakukan bapak atau orangtua sang anak. Pendidikan karakter antikorupsi dengan tidak mengambil hak orang lain telah ditanamkan sejak dini dalam diri sang anak. Jika pendidikan semacam itu sudah dimulai ditanamkan sejak dini, saya yakin republik ini dalam beberapa dekade mendatang akan bebas dari tindak korupsi. Tindakan orangtua yang bagi saya tak kalah berharga dibandingkan dengan para penyair menuliskan puisi dan membacakannya di acara ini.
Suatu yang ironi terjadi dalam sistem pendidikan kita, seperti yang ditulis Kusprihyanto Namma dalam puisi ”Ironi”: ”//Siswa, belajar atau tidak, sama saja/ketidaklulusan tak cuma membuat malu guru/atau lembaga/yang paling malu tentu Presiden kita//” (hal 252). Sejatinya telah terjadi sesuatu yang amat mengerikan di negeri ini bahwa korupsi pun telah menjangkiti dunia pendidikan kita. Untuk itulah kita perlu menanamkan pendidikan karakter terhadap anak-anak bangsa. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Pendidikan karakter
Di lingkungan sekolah, menurut Lickona (200l), apabila pendekatan komprehensif diberikan terhadap pendidikan karakter, budaya moral yang positif akan tercipta di sekolah—sebuah lingkungan sekolah yang secara keseluruhan mendukung penanaman nilai-nilai di kelas. Sekolah bersama-sama dengan orangtua dan masyarakat setempat memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun karakter melalui keteladanan, agar siswa belajar peduli terhadap orang lain.
Ingatan kita segera tertuju bahwa tindakan korupsi bisa terjadi di segala lapisan. Dalam lapisan masyarakat bawah pun korupsi juga sering terjadi. Kita baca puisi Andreas Kristoko berjudul ”Ada Korupsi di Warteg Suni”: ”//Seorang lelaki berpakaian rapi, baju lengan panjang kerah berdasi/Sepatu hitam mengkilap menenteng map surat lamaran kerja/Selesai melahap makanannya, datang ke meja kasir dan membayar/Lantas pergi, melanjutkan perjalanan//Suni membersihkan meja makan, mengumpulkan piring kotor/Gelas kotor dan beberapa plastik bekas bungkus keripik tempe//Suni tertegun menghitung jumlah bungkus keripik//Bekas lelaki itu makan//Sialan! Lelaki itu nilep kerupukku/makan lima bungkus bayarnya dua bungkus//” (hal 64).
Contoh di atas membuktikan bahwa korupsi (dengan beragam modusnya) telah menjadi gurita di segala lapisan masyarakat. Dari penggalangan dana untuk menghidupi partai tertentu sampai yang terjadi di warteg.
Tidak jauh berbeda yang dilakukan oknum aparat kepolisian dalam puisi ”Kusangka” yang ditulis Ardi Susanti: ”//Kusangka/Korupsi hanya ada di ruangan/Ternyata/Lihatlah.../Di jalanan/di tikungan/Di perempatan/ Di trafficlight/Hanya berbekal peluit pun/orang sudah bisa merasakan madunya korupsi//” (hal 86).
Pada akhirnya kita pun harus belajar dari negara lain, seperti diungkapkan dalam hadis Nabi, ”belajarlah sampai ke negeri China”. Brigita Neny Anggraeni mengingatkan itu melalui puisinya berjudul ”Malulah pada Korupsi”: ”//Malulah kita pada Cina/yang dapat tegas dan lantang berkata:/’Sediakan 100 peti mati’/’99 untuk pejabat yang terlibat korupsi’/’dan satunya lagi untukku jika aku juga korupsi’//” (hal 129).
Saya merasa senang menemukan puitika dan simbolisasi dalam puisi Budhi Setyawan, penyair yang berasal dari Purworejo dan hijrah di Bekasi, berjudul ”Analisis Ekonomi Terali”: ”//mungkin mereka telah berhitung/dengan simulasi akuntansi/dengan sedemikian teliti//saldo awal kekayaan adalah puitik/bunga yang terus disiram dengan/arus pengganyangan lembar-lembar/angka dari negara hingga menjadi/sungai yang terus mengalirkan/pundi-pundi yang kemilau di segala/iklim dan cuaca//dan saldo akhir merupa buah/dari bunga yang menemu penyerbukan/dari jelajah jalang melewati ribuan/musim dan berahi yang terus merupa/api yang panasnya tak akan habis/untuk Sembilan turunan//” (hal 136).
Begitu pula puisi Arsyad Indradi berjudul ”Pohon Para” untuk menemukan jawaban atas pertanyaan di atas, yakni ”apa” yang disebut puisi dan ”mengapa” puisi itu ditulis: ”//Kau hanya tahu ia adalah pohon para/Yang selalu disadap tubuhnya sampai tak terhitung lagi lukanya/Luka tubuhnya/Pernahkah kau dengar jerit perihnya setiap pisau yang kau torehkan/Pernahkah kau dengar aduh keluhnya setiap darah yang mengalir dari/nganga luka/Kau cuma tahu kepuasan tempurung penuh darahnya//Sebab ia adalah cuma pohon/Maka tak perlu iba tak perlu terima kasih karena kau manusia?/Jika tubuhnya tak berdarah lagi/Lalu ditebang dan dipotong-potong dijadikan kayu bakar//Di majelis ini tempatnya gerombolan manusia yang berlidah pisau/Dan setiap saat kita disadap dan darah kita kepuasan hidup mereka/Kita bukan pohon para//” (hal 89).
Akhirnya memang keanekaragaman puisi-puisi telah terangkum menjadi mozaik yang indah, dalam beragam persepsi penyairnya untuk menyadarkan kita akan begitu berbahayanya korupsi. Penyair hanya mampu menyuarakannya dalam bentuk kata-kata dalam puisi dan semoga menjadi mantra antikorupsi.
Dapatkah puisi-puisi antikorupsi ini menembus ruang dan waktu? Dapatkah kekuatan kata-kata menjadi mantra untuk ”turut mengurangi” atau bahkan ”turut memberantas” tindak pidana korupsi seperti yang dilakukan KPK? Pada akhirnya kita hanya mampu menunggu.

Lupa

Lupa

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  23 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Kata seorang khotib dalam suatu khotbah Jumat, ”Lupa itu karunia Allah. Cobalah kalau kita tidak punya lupa. Maka segala sesuatu akan terus diingat, termasuk bagaimana rasanya ketika kita sakit atau bagaimana sedihnya ketika ada kerabat yang berpulang, bahkan betapa banyaknya utang yang belum kita bayar. Bisa-bisa kita tidak bisa tidur dibuatnya.”
Saya pikir benar juga khotbah khotib itu. Tengok saja betapa banyak orang yang sangat berusaha untuk melupakan sesuatu. Seorang teman wanita sangat aktif dan ceria ketika sehari-hari bekerja di kantor, tetapi langsung depresi. Dia juga menangis sepanjang malam ketika tiba di rumah dan berbaring di kamarnya, sendirian, karena teringat usia sendiri yang sudah mendekati menopause, tetapi masih jomblo. Terbayang kawan-kawan kuliahnya dulu sudah punya anak-anak yang SMA.
Dia ingin melupakan semua itu, tetapi tidak bisa sehingga dia kurang tidur. Berbagai cara orang ingin memperoleh lupa, kalau perlu konsultasi ke psikolog dan membayar mahal. Tapi sekarang sudah ada teknik yang lebih singkat dan murah: hipnosisme. Dengan hipnosis seseorang yang fobia pada kucing bisa tiba-tiba tidak lagi takut pada kucing dan berani menggendong kucing, Teknik hipnosis bisa mengamnesiakan (melupakan) suatu hal tertentu tanpa melupakan hal-hal yang lain.
Sangat berbeda dari amnesia karena trauma kepala (kepala terbentur benda keras) atau karena dementia senilis atau yang dalam percakapan awam disebut faktor U (usia). Amnesia karena trauma kepala atau karena faktor U bisa mengosongkan sebagian besar atau bahkan seluruh isi ingatan. Bahkan namanya sendiri atau nama keluarganya, dia bisa lupa. Tapi yang paling jelek adalah kalau mencari lupa dengan cara mabuk-mabukan atau menyalahgunakan narkoba.
Dipandang dari sudut dunia akhirat pasti salah, deh! Meski begitu, karunia Allah ini bisa juga mengganggu. Saya sendiri mulai suka lupa pada nama orang, termasuk orang yang tiap hari ketemu. Ketika akan menyebut namanya tiba-tiba nama itu hilang dari ingatan sehingga saya harus menanyakan kepada orang lain, ”Nama bapak itu siapa, ya?” Atau kalau orang itu mahasiswa saya, akan saya tanya langsung saja, ”Hei, namamu siapa?” Biasanya kalau yang bertanya seperti itu dosen yang rambutnya sudah putih-keperakan semua, mahasiswa tidak akan marah.
Saya juga suka lupa pada kata-kata atau istilah-istilah, terutama dalam bahasa Inggris. Untung sekarang ada Google sehingga saya tidak perlu khawatir. Sewaktu-waktu saya lupa pada istilah, nama orang, nama tempat, atau peristiwa, tinggal search di Google, dalam beberapa detik sudah muncul jawabannya. Tapi lupa nama dan istilah ini tidak lama, nanti tiba-tiba yang barusan dilupakan itu bisa muncul sendiri dalam ingatan kita, terkadang hanya dalam hitungan detik. Bahkan sebelum orang yang saya tanya atau Google menjawab, hal yang ditanyakan itu sudah teringat lagi.
Jenis lupa yang lain masih banyak. Ada yang permanen seperti kasus-kasus dementia senilis di atas, yang harus senilis sampai wafat sehingga ketika seorang mbah yang baru wafat ditanya malaikat di dalam kubur, ”Tanggal berapa dan jam berapa kamu meninggal dunia,” almarhum mbah ini tidak bisa menjawab karena lupa. Ada juga yang temporer seperti seorang profesor yang sering marah-marah mencari kacamatanya, padahal benda itu dari tadi sudah nangkring di atas kepalanya dan beliau sendiri yang meletakkannya di situ.
Namun, yang paling aneh adalah penduduk dan pemerintah Jakarta yang selalu lupa bahwa mereka pernah kebanjiran tahun yang lalu dan tahun yang lalunya lagi dan tahun yang lalunya lagi dan seterusnya. Begitu banjir surut, langsung lupa bahwa selama sebulan terakhir rumahnya terserang banjir beberapa kali, mengungsi, makan jatah bantuan masyarakat, buang air ditahantahan dan kalau sudah tak tahan dibuang saja di manamana. Diungsikan dengan perahu karet. Basah. Listrik mati dan sebagainya. Semuanya lupa. Nanti ingat lagi kalau sudah banjir lagi.
Itulah sebabnya kita di DKI selalu mengalami masalah yang sama dari tahun ke tahun. Itulah sebabnya bangsa ini mengulangi KKN yang dulu marak di era Suharto, bahkan makin dahsyat. Kita tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu. Dalam bahasa Bung Karno, kita ini cepat sekali melupakan sejarah, padahal kata beliau, ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (jasmerah).” Dalam bahasa psikoanalisis, lupa itu adalah salah satu bentuk defense mechanism (mekanisme pertahanan diri) dari ego (aku, kesadaran) seseorang.
Ego tidak senang pada pengalaman-pengalaman pahit, kisah-kisah duka, dan trauma-trauma masa lalu yang pernah dialami. Maka hal-hal yang tidak dikehendaki itu ditekan kuat-kuat sehingga masuk ke dalam alam ketidaksadaran. Dalam teori stress solution dari Lazarus, kecenderungan untuk lupa adalah salah satu bentuk dari reaksi emosional (tidak senang, maka kita menghindar saja) ketika kita mengalami stres.
Padahal ada reaksi lain yang lebih cerdas, yaitu reaksi problem solving, yaitu kita tidak perlu cemas atau takut, kita hadapi saja masalahnya dan apa yang menjadi masalah kita selesaikan satu per satu sehingga masalah itu teratasi sampai tuntas sehingga banjir akan lenyap dari Jakarta dan KKN lenyap dari bumi Indonesia. Sikap berani menghadapi masalah dan langsung memecahkannya itulah yang masih sangat kurang di masyarakat bangsa Indonesia.
Kita lebih senang ngomongin masalah sampai berbusa-busa sambil menyalah- nyalahkan orang lain atau sekadar hepi-hepi saja daripada bersusah-payah menyelesaikan masalah. Karena itu kita bukan hanya terus membuang kasur bekas ke kali sehingga membuntukan saluran air, tetapi juga sengaja tidak peduli pada jasmerah.

Kembalinya Kebijakan Industrial

Kembalinya Kebijakan Industrial

A Prasetyantoko  ;   Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,  24 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
KETIKA Amerika Serikat dilanda krisis hebat 2008, Dani Rodrik dari Universitas Harvard menulis artikel berjudul ”The Return of Industrial Policy”. Rodrik melihat krisis sebagai momentum kembalinya bandul kebijakan, yang selama ini terlalu bertumpu pada sektor keuangan, menuju daya saing berbasis sektor industri. Pecahnya gelembung likuiditas memaksa negara maju melakukan reformasi struktural membenahi sektor riil, meski tak mudah dan juga belum tentu berhasil.
Kembalinya kebijakan industrial ditandai dengan inovasi dalam berbagai bidang, salah satunya energi alternatif. Bukan kebetulan, intensifikasi penggunaan gas batuan serpih (shale gas) sebagai sumber energi di AS terjadi pasca krisis. Schumpeter benar, saat paling baik melakukan inovasi justru ketika krisis. Dalam situasi serba sulit, biasanya justru muncul kebijakan bagus. Schumpeter, pelopor mazhab Austria, sering dijuluki sebagai ”Bapak Inovasi” dalam ekonomi.
Bagaimana dengan kita? Pasca krisis 1998, kita justru meninggalkan kebijakan industrial dan masuk pada sektor jasa dan keuangan. Konteksnya memang sangat berbeda; akar masalah pokok krisis Asia 1998, yang juga menimpa Indonesia, adalah kebijakan industrial yang dianggap salah. Proteksi terhadap industri domestik justru melahirkan pelaku usaha kroni yang tidak kompetitif. Dan karena intervensi pemerintah dianggap merusak, maka solusinya deregulasi dan liberalisasi. Kebijakan industrial yang identik dengan intervensi yang protektif ditabukan.
Apakah liberalisasi memecahkan semua masalah? Salah satu persoalan penting hari ini justru muncul akibat absennya pemerintah dalam kebijakan ekonomi. Maka, saat ini, kita perlu kembali merumuskan pemulihan ekonomi dengan menghadirkan kembali kebijakan industrial. Sektor manufaktur tak lagi menjadi andalan, apalagi industri padat karya. Memang secara umum, perekonomian akan bergerak dari sektor pertanian, manufaktur, dan kemudian jasa. Akan tetapi, jika tidak ada landasan kuat dari fase sebelumnya, hanya akan menghasilkan struktur ekonomi yang rapuh.
Kita telah masuk pada tahap industri tersier tanpa melalui basis pengembangan sektor primer dan sekunder yang memadai. Pada akhir Orde Baru, orientasi pembangunan bertumpu pada sektor industri tanpa meninggalkan basis pertanian yang kuat. Hari ini, pembangunan berorientasi pada sektor jasa tanpa basis industri yang kokoh.
Pada awal 2008, kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian (PDB) sekitar 27 persen, dan pada akhir 2013 menyusut menjadi 25 persen. Selama lima tahun terakhir, sektor pertanian dan manufaktur selalu tumbuh di bawah 5 persen, sementara sektor transportasi-telekomunikasi dan keuangan lebih dari 10 persen secara rata-rata. Merosotnya peran industri manufaktur (deindustrialisasi) memang dialami hampir semua negara seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakatnya. Pertanyaannya, sebagai bangsa berpenghasilan menengah, sektor apa yang paling banyak menyerap tenaga kerja? Merosotnya sektor pertanian dan industri tak diiringi dengan perpindahan konsentrasi tenaga kerja.
Hari ini, ada keluhan dari kaum industrialis: kebijakan pemerintah tak memihak mereka. Banyak mesin tua masih beroperasi karena akses kredit peremajaan makin sulit, apalagi ketika sektor tersebut dianggap tak memiliki masa depan (sunset industry). Bagaimana bisa bersaing dengan pasar regional ketika sektor industri kita mesinnya usang, tertekan biaya logistik, perizinan rumit, tekanan upah buruh, kenaikan tarif listrik industri? Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, industri kita tertatih. Apa yang diandalkan? Sektor-sektor berbasis konsumsi domestik masih tetap akan menarik. Sektor perdagangan (ritel), hotel-restoran, transportasi-telekomunikasi, dan sektor jasa lainnya masih akan tumbuh. Sayangnya, sektor tersebut tak menyerap banyak tenaga kerja.
Kondisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), meski tak seburuk yang kita bayangkan, tetap saja menyimpan kerapuhan struktural yang bersumber pada absennya kebijakan industrial. Defisit neraca transaksi berjalan hanyalah simtom persoalan struktural. Dalam sejarahnya, kita selalu mengalami defisit pada neraca jasa. Sementara neraca barang terlalu mengandalkan komoditas primer. Sewaktu terjadi ledakan harga komoditas, neraca kita mengalami surplus, tetapi begitu harga komoditas anjlok, posisi neraca transaksi berjalan kita langsung defisit. Puncak defisit transaksi berjalan terjadi pada kuartal II-2013 sebesar 9,9 miliar dollar AS (4,4 persen dari PDB).
Meski mitigasi kebijakan fiskal-moneter berhasil, tetap saja tak menyelesaikan masalah. Dan memang kebijakan fiskal-moneter saja tak akan cukup mengatasi problem struktural. Jika neraca jasa terus defisit, tentu harapannya pada neraca barang. Dan jika ekspor tak bisa dinaikkan, satu-satunya cara adalah menekan impor. Padahal, struktur impor kita lebih dari 90 persen merupakan barang modal dan bahan baku. Jika impor melambat, industri juga akan terkena dampaknya. Apa yang seharusnya dilakukan?
Secara bertahap defisit neraca jasa harus dikurangi dan kebutuhan impor bahan baku ditekan, sambil meningkatkan ekspor nonmigas kita. Neraca jasa paling besar adalah jasa pengapalan dan asuransi ekspor. Semakin besar ekspor, defisit neraca jasa makin lebar. Ketergantungan pada jasa pengapalan dan asuransi asing harus dikurangi. Sementara, industri penghasil bahan baku dan barang modal harus segera dibangun. Instrumen fiskal, seperti pengurangan pajak, bisa diterapkan guna mengakselerasi, dan daya saing produk nonmigas harus ditingkatkan perlahan tapi pasti.
Sama sekali bukan pekerjaan mudah yang akan berhasil dengan cepat, tetapi tetap diperlukan rancangan besar kebijakan industrial yang merumuskan keterkaitan pembangunan antarsektor secara komprehensif. Itulah salah satu agenda pokok pemerintah dalam lima tahun ke depan.

Pemilu Legislatif dan Keagenan

Pemilu Legislatif dan Keagenan

Herry Tjahjono  ;   Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS,  24 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
PEMILU 2014 untuk badan legislatif dan presiden sudah di depan mata. Bangsa ini tak lama lagi segera memilih para pemimpinnya. Kepada para pemimpin itu, rakyat hendak menitipkan kuasanya. Namun, pengalaman sejak era Reformasi bergulir sampai sekarang, bangsa ini lebih sering terpeleset dalam menitipkan kuasanya. Tingkat keterpelesetan itu sedemikian besar sehingga kita tidak mendapatkan para pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang diharapkan, tetapi para pemimpin yang hanya memiliki keagenan (dealership) yang memprihatinkan.
Keagenan secara kontekstual ternyata memang berhubungan dengan kepemimpinan. Namun, ini bukan cuma soal otak-atik kata pemimpin menjadi agen. Secara substansial memang bisa dianalisis: pemimpin yang tak mau dan tak mampu menunjukkan tipikal (dan kualitas) kepemimpinannya, maka ia hanya akan menjadi pemimpin dengan tipikal (dan kualitas) agen. Berikut akan diuraikan beda keduanya sehingga kita bisa melihat dengan jelas bahwa selama ini kita hanya dipimpin oleh pemimpin tipikal agen yang menyedihkan.
Menjual kekuasaan
Secara semantik, dealership is an authorized seller – seseorang atau badan yang mendapat otorisasi untuk mendistribusikan atau menjual barang/jasa di daerah tertentu. Pengertian ”dagang atau bisnis” itulah yang terjadi pada para pemimpin bangsa selama ini. Mereka menerima otorisasi kekuasaan dari rakyat pemilihnya dan mereka menjual kekuasaan itu seenaknya. Keagenan para pemimpin itu mengejawantah dalam beberapa gejala kekuasaan berikut.
Pertama, filosofi kepemimpinan para pemimpin dengan tipikal agen dimulai dengan pertanyaan kepemimpinan: ”apa untungnya buat saya?”; ”apa manfaatnya buat saya?” Konsekuensinya ialah yang kedua berikut ini.
Kedua, mereka akan memimpin dengan prinsip kerja transaksional! Semuanya dijalankan berdasarkan transaksi tertentu yang tujuannya jelas: ambil untung bagi diri sendiri. Prinsip kerja ini bahkan memelesetkan makna hidup, bahwa kehidupan, pekerjaan, mandat justru harus bisa memberikan makna (manfaat) bagi dirinya selaku pemimpin. Itu sebabnya, para pemimpin yang berkualitas agen ini tak lebih dari parasit kehidupan. Berbagai kasus korupsi para pemimpin, penyelewengan kekuasaan, ketidakmampuan memimpin, adalah refleksi dari para pemimpin yang bersifat agen, yang orientasi kepemimpinannya hanya pada kepentingan diri sendiri.
Ketiga, hatinya dipenuhi kepalsuan! Mengadaptasi pemikiran H Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, dalam pemaparannya (Beberapa Prinsip Dasar Kepemimpinan), bahwa pemimpin yang menjalankan peran sebagai broker (baca: agen) hanya dipenuhi oleh kepalsuan. Dengan gamblang kita bisa menatap dan sekaligus merasakan demikian banyak pemimpin berhati palsu yang hanya bisa berkoar-koar, cari muka, penuh janji tak berdasar, omong doang, mengumbar pencitraan, populis di berbagai pemberitaan cetak maupun televisi.
Keempat, akibat dari kepalsuan hati itu, para pemimpin tipikal agen selalu memerlukan sistem pengawasan sebab jika tidak, dia semakin liar dan membabi buta menjalankan peran brokernya, menjual habis kekuasaan yang dititipkan rakyat kepadanya. Itu yang terjadi di negeri ini. Itu sebabnya, KPK didirikan. Namun, jika mayoritas pemimpin kita bertipikal agen, berapa banyak badan pengawasan harus didirikan. Betapa tak efisien republik ini dijalankan.
Tak boleh lagi
Di sisi lain, Pemilu 2014 jelas tak boleh lagi menghasilkan output pemimpin dengan tipikal agen seperti selama ini. Untuk itu, kita perlu sekali lagi menyegarkan batin kita tentang perlunya kita memilih pemimpin yang memang memiliki tipikal ”pemimpin” dengan gejala kekuasaan berikut.
Pertama, filosofi kepemimpinan para pemimpin dengan tipikal pemimpin dimulai dengan pertanyaan kepemimpinan: ”apa yang bisa kuberikan (bagi negaraku)?; apa yang bisa kulakukan (bagi negeriku)?” (John F Kennedy). Maka, konsekuensinya yang kedua berikut ini.
Kedua, para pemimpin dengan tipikal pemimpin akan memberi makna kekuasaan yang dipercayakan sebagai amanah. Dengan demikian, mereka akan memimpin dengan prinsip transendental.  Mereka bahkan bukan memimpin ”hanya” untuk kemaslahatan bangsa, rakyat, dan negara, melainkan demi memuliakan Tuhan.
Semua kemaslahatan yang terjadi sebagai output tak lebih dari konsekuensi logis dari upaya kepemimpinannya memuliakan Tuhan. Maka, mereka memimpin sama sekali bukan untuk mengeruk untung, melainkan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi yang dipimpinnya dan, dengan demikian, Tuhan akan dimuliakan melalui kepemimpinannya. Mereka memberi makna pada kehidupan dan kepemimpinannya. Mereka bukan parasit, melainkan sumber.
Ketiga, hatinya dipenuhi ketulusan (keikhlasan). Mereka bukan broker atau agen yang memperdagangkan atau menjual kekuasaan. Mereka memperlakukan diri sebagai pembawa kekuasaan, pembawa amanah, dan karena itu mereka memanfaatkan kekuasaan itu untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Dalam bahasa kepemimpinan, mereka mentransformasikan kekuasaan agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi yang dipimpin.
Keempat, ketulusan hati dalam memimpin itu tak terlalu memerlukan lagi sistem  pengawasan—sebab para pemimpin tipikal pemimpin yang transendental ini takut akan pencipta-Nya. Ketakutan itu membuatnya selalu yakin, ada mata tak kasatmata yang selalu mengawasi kepemimpinannya. Itu sebabnya, para pemimpin ini  sangat efisien karena mereka tak memerlukan sistem pengawasan yang berlebihan.
Pesta demokrasi itu sudah di depan mata. Kita tahu betapa sulit mendeteksi dan memilih para pemimpin dengan tipikal pemimpin seperti diuraikan. Namun, setidaknya, uraian ini diharapkan bisa memberi bekal agar kita tidak memilih seadanya, minimalis, asal-asalan, sebab itu sama saja memilih tanpa  tanggung jawab. Bagi para calon pemimpin yang tengah haus kekuasaan, kalau hanya mau jadi pemimpin tipikal agen, lebih baik sekalian jadi pemimpin bisnis atau pedagang saja. Titik!

Penghilangan Ingatan atas Perampasan Hak Publik

Penghilangan Ingatan atas Perampasan Hak Publik

Roy Thaniago  ;   Direktur Remotivi
KOMPAS,  24 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
“Tak ada yang lebih menyedihkan dari seorang intelektual yang suaranya menjadi pembenaran atas tindakan keji penguasa.”
Mbah Tanto
MEMBACA opini Agus Sudibyo berjudul ”Elektabilitas Pemilik Media” (Kompas, 22/1/2014) mengingatkan saya pada cara berpikir yang khas industri televisi.
Dalam tiap diskusi, terkait ungkapan yang mempertanyakan kampanye politik di media milik politikus, perwakilan stasiun TV atau parpol biasa menjawab begini: masyarakat kita sudah cerdas, tak perlu risau, apalagi kemunculan di media tak serta-merta menaikkan elektabilitas partai atau kandidat presiden.
Dalam sebuah isu yang sangat publik, dan memakai ranah publik pula, yakni frekuensi (untuk televisi dan radio), mengapa tulisan Sudibyo tak mendahulukan perspektif kepentingan publik? Kepentingan publik jelas adalah pertanyaan tentang seberapa jauh sebuah hal adil dan bermanfaat bagi publik, atau sejauh apa praktik yang ada tidak melukai akal sehat publik atau ketentuan hukum yang berlaku. Topik khas konsultan komunikasi politik, seperti elektabilitas pemilik media, adalah kepentingan privat yang sektarian, bukan publik.
Langgar hukum dan sosial
Perbincangan soal pemanfaatan media oleh politikus seharusnya bukanlah perbincangan soal efektif tidaknya kampanyenya tersebut. Pendudukan masalah ini pada koridor demikian justru hanya mereduksi persoalan media dan politik semata-mata sebagai komoditas pertarungan antar-elite, dan secara otomatis menempatkan publik sebagai obyek kekuasaan.
Memang, Sudibyo atau siapa pun boleh saja mengatakan kampanye demikian tak meningkatkan elektabilitas. Namun, segala kampanye para pemburu kekuasaan di media massa merupakan pelanggaran secara sosial dan hukum. Maka, ke arah inilah seharusnya perbincangan bergerak.
Dalam UU Penyiaran dan UU Pers, jelas diatur bahwa media dan institusi pers tak boleh digunakan untuk kepentingan sekelompok golongan. Media yang independen adalah harga mati. Konsepsi sosial masyarakat demokratis atas media juga memandatkannya yang pertama dan utama untuk melayani publik. Dalam konteks pemilu, kita juga bisa merujuk Peraturan KPU yang hanya memperbolehkan kampanye di media massa pada 21 hari sebelum masa tenang.
Tetapi yang kini terjadi adalah beberapa politikus dan parpol melakukan penyalahgunaan wewenang. Frekuensi milik publik yang dipinjamkan negara kepada stasiun TV malah digunakan hanya untuk kepentingan beberapa orang. Silakan simak propaganda ANTV dan TV One untuk kepentingan Aburizal Bakrie dan Golkar; MNC TV, RCTI, dan Global TV untuk Wiranto-Hary Tanoe dan Partai Hanura; serta Metro TV untuk Surya Paloh dan Partai Nasdem. Semua propaganda tersebut meluncur dalam bentuk iklan (yang entah berbayar atau tidak), program berita, program hiburan, kuis jadi-jadian, hingga penggalangan dana bencana oleh stasiun TV.
Selain bentuk pelanggaran hukum, praktik media sedemikian adalah bentuk pengebirian hak publik atas informasi. Sebab, informasi yang ada menjadi cemar dan tidak bisa digunakan sebagai pertimbangan warga negara untuk bisa membuat keputusan politiknya. Ketika mutu demokrasi mensyaratkan adanya individu yang ditopang informasi yang benar dan memadai, stasiun TV yang terafiliasi dengan partai malah menyiarkan informasi yang tidak benar dan propagandis.
Akan tetapi, apakah benar kampanye politik melalui media tidak punya pengaruh apa pun? Survei Kompas (9/1) menunjukkan, ketika parpol lain cenderung menurun pada 6 bulan terakhir, beberapa partai yang memiliki media atau yang gencar beriklan justru elektabilitasnya menanjak. Apakah hanya karena partai-partai ini tidak berada pada posisi puncak survei, kita lantas mengabaikan adanya fakta tersebut?
Beberapa penelitian pada Pemilu 2004 dan 2009 juga menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara kemunculan politikus di media dan elektabilitas. Data yang ada mengonfirmasi bahwa kemenangan SBY dan Demokrat dibarengi dengan banyaknya kemunculan di media. SBY dan Demokrat memang tak memiliki media (kecuali Jurnal Nasional), tetapi aksesnya ke media sangat tinggi atau media secara politik membutuhkan SBY sebagai figur yang ingin mereka jadikan sokongan.
Ini pula yang terjadi pada Joko Widodo alias Jokowi. Pengabaian pemberitaan atas Jokowi bisa diartikan sebagai pengabaian atas optimisme dan kebaikan publik. Padahal, eksistensi media ditopang oleh gairah publik pada kedua hal itu. Namun, berbeda dengan SBY, kemunculan Jokowi di media lebih merupakan bentuk ekspresi kapital ketimbang ekspresi politik media yang bersangkutan. Sementara Prabowo memperoleh tingkat elektabilitas tinggi karena memang sudah ada upaya yang relatif lebih lama dikerjakan ketimbang kandidat lain. Maka, sangat tak bertanggung jawab ketika melihat elektabilitas Prabowo dan Partai Gerindra yang tinggi tanpa melihat kerja keras di belakangnya, seakan- akan itu merupakan hadiah yang jatuh dari langit. Dan, makin tidak bertanggung jawab ketika Sudibyo dalam tulisannya tersebut mengatakan tak ada pemilik media yang dominan.
Alat politik
Media bukanlah sekadar mesin laba, juga mesin politik. Media dalam konteks politik merupakan instrumen demi mencapai tujuan. Maka, oleh sang pemilik, kerugian finansial stasiun TV (kalau ada) adalah investasi dalam memburu kekuasaan. Ketika media diposisikan sebagai alat politik, maka pemblokiran pemberitaan atas kandidat tertentu atau penolakan atas iklan partai pesaing bisa jadi merupakan hal yang lazim dilakukan.
Menjelang pemilu, ketegangan akan semakin meningkat. Untuk meraih suara, segala cara akan ditempuh, termasuk penghilangan ingatan masyarakat atas kejahatan masa lalu para pemburu kekuasaan. Dalam konteks media terutama televisi, terang bahwa perampokan atas hak publik sudah terjadi. Maka pengalihan persoalan pelanggaran hukum jadi persoalan efektivitas kampanye politik bisa jadi merupakan salah satu bentuk upaya penghilangan ingatan.

Tragedi Dunia Janus

Tragedi Dunia Janus

Radhara Panca Dahana  ;   Budayawan
KOMPAS,  24 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
“Ada ancaman terhadap perekonomian global akibat ketimpangan yang tinggi... (sehingga) membuat masa depan jadi tidak pasti.”
Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF
DUNIA tampaknya tengah menghadapi masa yang krusial bahkan menentukan akibat dari paradoks yang dihasilkan oleh peradaban mutakhirnya.
Selain oleh teknologi persenjataan yang kian menggiriskan, peradaban dunia juga berubah akibat kemajuan menakjubkan di bidang kesehatan, komputasi, hingga implementasinya dalam bidang informasi dan komunikasi. Di saat bersamaan, teknologi dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan pun tumbuh dengan tajam, termasuk dalam urusan pemerintahan/kenegaraan, pengaturan ekonomi, praksis hukum, atau kreasi-kreasi artistik.
Secara ideal, dalam pengertian gagasan/ ide yang melandasinya, semua kemajuan itu bergerak, melebar, dan membuncah dalam sebuah tatanan global yang dipimpin dua komandan kembar: demokrasi (sebagai sistem ketatanegaraan) dan kapitalisme (sebagai sistem perekonomian).
Apa yang kemudian lalai, lengah, bahkan boleh jadi tak terpikir selintas pun, kenyataan di balik semua kemajuan luar biasa dalam satu abad terakhir itu bukan hanya seakan melibas pencapaian sekian ribu tahun peradaban-peradaban dunia sebelumnya, tapi juga—dan ini yang terpenting—membuat kita alpa bila (setiap) peradaban itu juga memproduksi karya-karya negatif yang justru mendestruksi pencapaian-pencapaian ”positif” di atas.
Inilah sesungguhnya nature atau fitrah dari semua produk yang dihasilkan oleh spesies mamalia yang bernama Homo sapiens ini: kebudayaan senantiasa berkembang atau tumbuh dengan karya-karyanya yang paradoksal. Seperti dewa Janus dalam mitologi Romawi, kebudayaan dari peradaban dunia—sepanjang usianya—selalu serentak menghasilkan produk berwajah dua: yang positif (luhur) dan negatif (merusak). Alhasil, sebuah peradaban sebenarnya adalah hasil dari pertempuran atau konflik, bisa juga negosiasi, dari dua wajah ”Janus” kebudayaan itu.
Hal itu terjadi lantaran, disyukuri atau tidak, kebudayaan hanya dilahirkan oleh satu golongan makhluk bernama manusia; makhluk yang notabene memiliki fitrah lengkap dengan kapasitasnya untuk ”memilih”, mewarisi atau dianugerahi sedikit sifat ilahiah yang jaiz (boleh), yang secara diskriminatif tidak dimiliki makhluk lainnya di semesta ini. Kapasitas dan sifat inilah yang mungkin secara biologis dimungkinkan karena adanya pertumbuhan volume otak manusia, dari mula 700-an hingga 1.300 cc, jauh meninggalkan kera, manusia tegak (Phitecanthropus erectus) yang menjadi pendahulunya menurut logika evolusi Wallace atau Darwinian.
”Kebolehan memilih” dengan menggunakan volume otak itu memungkinkan manusia mengeksplorasi bahkan mengeksploitasi kecenderungan (yang juga) paradoksal dan alamiah dalam dirinya: menjadi suci atau bejat, secara sosial, kultural, maupun spiritual. Hal itu terjadi tidak hanya di tingkat kolektif, juga individual. Bahkan kerap keduanya berkembang paralel dalam organ yang sama. Manusia bisa jadi pada dasarnya paradoksal jika tidak dibilang skizofrenik di tingkat awal.
Fakta yang menggiriskan
Maka, apabila kita bicara demokrasi dan kapitalisme yang menjadi norma bahkan etika (tuntunan moral) dunia, sebaiknya kita tetap ingat, mafhum, bersikap dan bertindak berdasarkan ”kejanusan” yang inheren di dalamnya. Demokrasi dan kapitalisme yang secara ideal sesungguhnya memiliki maksud yang luhur untuk memuliakan atau menciptakan kebahagiaan bagi manusia, ternyata juga menciptakan manusia-manusia yang—dilegitimasi oleh sistem-sistem itu—justru pelan-pelan meluluhlantakkan maksud luhur itu.
Pernyataan Direktur Pelaksana IMF terkutip di atas dan disampaikan pada Forum Davos beberapa waktu lalu bukan hanya menjadi indikasi, melainkan juga—karena tingkat otoritasnya yang tinggi—menjadi bukti dari tragedi dunia Janus itu. ”Kekayaan di dunia hanya dimiliki oleh segelintir warganya,” kata Lagarde lebih lanjut, ”...segelintir warga kaya telah menguasai sistem dan semua akses... hal itu berlaku luas di banyak negara. Sistem pemerintahan dan perekonomian telah dikooptasi oleh sedikit orang kaya” (Kompas, 21 Januari 2014).
Pernyataan keras lembaga seberpengaruh IMF itu diberi aksen yang konkret oleh Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam, di bagian lain di acara yang sama, di mana ia memaparkan data tentang total kekayaan 85 orang (0,00000002 persen dari penduduk dunia), memiliki kekayaan yang lebih banyak dari separuh penduduk dunia (3,5 miliar manusia). Total kekayaan secumit orang itu tak kurang dari 1,7 triliun dollar AS atau setara sepersepuluh lebih PDB Amerika Serikat, setimbang dengan PDB Brasil atau hampir tiga lipat dari PDB Indonesia.
Fakta itu bukan hanya memberi 85 orang di kahyangan itu kemampuan untuk menghidupi rakyat negeri ini (untuk tidur dan menganggur) selama tiga tahun, juga mampu menentukan siapa dan bagaimana sebuah negara harus berlangsung atau diatur, sebagaimana pernyataan Lagarde di atas. Mereka adalah Janus yang lain, yang di satu wajah menampilkan malaikat atau filantrof penuh kebajikan, di wajah lain iblis dengan keserakahan tiada habis mengisap rezeki penduduk di sisa dunia.
Kabar kedatangan Bill Gates ke Indonesia, yang konon akan menggelontorkan tak kurang dari Rp 140 miliar untuk yayasan sosialnya tahun ini, juga memberi impresi ironis yang sama. Karena pada catatan majalah Forbes, pertambahan kekayaan triliuner Microsoft itu pada 2013 tidak kurang dari 11,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun. Bagaimana Anda membayangkan wajah dengan rambut palsu itu dalam dua angka tersebut?
Itu pun Bill Gates bukan yang terhebat. Warren Buffett, triliuner lainnya, membukukan pendapatan penghasilan terbesar sejagat pada 2013, senilai 12,7 miliar dollar AS atau Rp 155 triliun/tahun. Tapi dari total kekayaan, Gates dan Buffett masih di belakang Carlos Slim, sang juara dunia, dengan estimasi kekayaan pribadinya 73 miliar dollar AS atau sekitar Rp 876 triliun, setengah dari APBN kita pada 2013.
Anda tentu bisa membuat sedikit analisis, bila ”janus-janus” kapitalis global itu, yang filantrofis di muka tapi monster di belakangnya, akan menciut menjadi sekitar 20-25 orang saja dalam kurun 10-15 tahun ke depan, di mana total kekayaan mereka akan mampu bukan hanya menggerakkan, bahkan mengendalikan perubahan-perubahan di tingkat global. Tragedi macam apa yang akan terjadi dalam dunia Janus seperti itu? Dalam mimpi pun Anda sulit menciptakan bayangannya.
Ke mana kunci Janus
Semua hal di atas tentu saja bukan semacam mitos tradisional macam leak atau jalangkung yang sekadar menciptakan rasa takut artifisial. Semua itu fakta berbasis data valid yang mestinya menjadi perhitungan kita, bukan saja ketika harus bekerja dalam sebuah perusahaan, mengatur organisasi bahkan pemerintahan, atau juga dalam usaha kita berkreasi di tingkat personal.
Dunia tengah menghadapi situasi yang sebenarnya kritis saat menghadapi masa depannya. Masa di mana masyarakat dunia tidak lagi ditaklukkan oleh kekejaman perang, penyakit atau bisul-bisul kebudayaannya, tetapi oleh sebuah fallacy yang melahirkan gergasi kapital demikian hebatnya.
Fakta ini semestinya membuat kita merenung dengan sangat dalam, saat misalnya kita menghasilkan profit yang bertambah persentasenya setiap tahun, atau menyaksikan orang miskin dan korban bencana yang untuk makan dengan standar umum saja begitu sulitnya. Apakah ”sistem pemerintahan dan perekonomian yang telah terkooptasi” seperti konstatasi Christine Lagarde di atas memberi kita garansi akan masa depan yang lebih baik, atau justru memberi ruang dan peluang bagi ketertindasan baru dan bentuk kolonialisme dan imperialisme baru yang lebih mencekam dan menggiriskan.
Di tingkat lokal, data resmi juga memberi fakta serupa. Di mana 20 persen penduduk kita mendapatkan 49 persen dari pendapatan nasional (PN), berbalik dengan 40 persen penduduk miskin hanya mendapatkan 16 persen dari PN. Di antara 20 persen itu, 405 orang terkaya Indonesia memiliki harta tak kurang dari 120 miliar dollar AS (Rp 1.440 triliun) atau setara dengan APBN 2012. Dan, dari jumlah itu, hanya 0,2 persen penduduk kita saja sudah menguasai 56 persen dari aset nasional.
Dalam kompetisi kapitalistik yang sesungguhnya tidak ekual, data itu dipastikan akan berkembang semakin menyudutkan rakyat secara keseluruhan. Koefisien gini yang tumbuh pesat sepuluh tahun terakhir (dari 0,3 di 2002 menjadi 0,4 di 2013) menjadi indikasi akan tak terhentikannya pertumbuhan kapitalistik yang mengalami kebuncitan obesitas di lapisan atas dan yang kebuncitan HO (honger oedema) di lapisan bawahnya.
Bagaimana kemudian kita bisa beramai-ramai berpesta, bahkan sudah begitu riuh dalam persiapannya, hanya untuk sebuah kata ”demokrasi” yang tidak hanya menghabiskan uang rakyat ratusan triliun, tetapi juga hanya untuk membiayai cocktail kekuasaan kaum elite dan menyisakan infrastruktur hancur kaum alit.
Bangsa ini membutuhkan cermin atau penggebuk besar untuk menyentak diri melakukan refleksi dan kontemplasi. Tragik dunia Janus tidaklah cukup pantas untuk diselebrasi. Niat harus diluhurkan untuk menciptakan pikiran dan tindakan cerdas menanggapi realitas di atas, lokal maupun global, yang senantiasa terkait. Kesadaran para pemimpin—daerah dan pusat—harus diperluas cakrawalanya, sehingga ketidaktahuan dan ketidakmengertian tidak menjadi ketidakpedulian pandir yang membuat negeri ini justru kian terperosok dalam tragedi-tragedi kemanusian yang sistemik di masa depan.
Kita tampaknya harus sungguh-sungguh berpikir ulang, apakah sistem-sistem yang kita rayakan secara berkala ini dapat dipertahankan dalam realitas yang membuat miris di atas? Apakah kunci yang dipegang tangan kanan Janus akan digunakan untuk membuka kuilnya di Laurentium dan perang pun terjadi sebagai akibatnya? Atau justru ia membuka pintu Eden di mana harapan dan kegemilangan manusia ada di dalamnya? Hanya yang eling dan waspada bisa luput dari neraka paradoks Janusian yang mengintip tajam di balik hati kita. ●