Minggu, 09 Maret 2014

Perempuan Pemikir Bangsa

Perempuan Pemikir Bangsa

Sutrisno ;   Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
REPUBLIKA,  08 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
Setiap 8 Maret, komunitas pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional. Melalui tulisan ini, penulis ingin memaknai Hari Perempuan Internasional. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Perempuan adalah realitas yang terasing. Ia tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum teolog serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan kultural dan struktural sejak milenium keempat sebelum Masehi sampai kini.

Secara kultural dan struktural, perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan hegemonik di ranah publik. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Berbagai perlakuan yang tidak merata masih kerap menimpa kaum perempuan. Potensi-potensi besar yang dimiliki oleh kaum perempuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, kemajuan sosial, perdamaian, dan pemerintahan yang baik masih belum tersentuh.

Pada tataran praksis, kaum perempuan tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara secara kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Perempuan. Namun, mengapa semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan. Persoalannya, sejauh mana negara memberi peluang bagi aktualisasi potensi kaum perempuan?

Sarekat Hijau Indonesia dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, pada 8 Maret 2010 menyatakan bahwa negara gagal memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan bagi hak asasi perempuan. Perempuan mengalami lapis-lapis kekerasan mulai dari pengabaian dan pengucilan terhadap pengetahuan pengalaman perempuan dalam berupaya menyelamatkan sumber-sumber kehidupan mereka, yang berbasis pada pengalaman dan kekhasan perempuan itu sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk bagaimana pengetahuan perempuan sebagai penjaga pangan keluarga dan komunitasnya.

Kita juga harus mengelus dada karena peran positif kaum ibu dalam kancah pembangunan juga ternoda dengan perliku negatif, yaitu terlibat dalam kasus korupsi. Sebut saja, Malinda Dee, Miranda Gultom Swaray, Nunun Nurbaeti, Neneng Nazaruddin, Mindo Rossa Manulang, Wa Ode Nurhayati, Angelina Sondakh, Ratu Atut Chosiyah, tokoh "bunda putri", dan lain sebagainya.

Mereka adalah sosok ibu masa kini yang berperan menjadi perantara, "pembelanja" dan aktor utama korupsi serta tindak pidana pencucian uang. Mungkin inilah satu satu "buah" dari gegap gempitanya gerakan emansipasi di negeri ini, di mana para kaum hawa berbondong-bondong hijrah dari zona domestik menuju ranah publik.

Perlu pembelaan negara terhadap nasib perempuan melalui berbagai kebijakan. Menurut A Bakir Ihsan (2007), setidaknya ada empat agenda terkait eksistensi perempuan. Pertama, perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan, kejahatan, dan tindakan yang ekstrem. Kedua, peningkatan kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia. Ketiga, memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang, baik politik, ekonomi, maupun sosial. Keempat, memastikan bahwa tatanan kehidupan, UU dan peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif.

John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa abad XXI adalah abad kebangkitan perempuan. Pakar manajemen Tom Peters mengatakan, tomorrow belongs to women. Perempuan harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya sebagai wanita yang sesungguhnya. Misi sejati memperingati Hari Perempuan adalah untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tecermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep- konsep adil gender dan feminisme berkembang di negeri ini.

Menjadi perempuan bukan hanya berpikir dalam lingkup kecil rumah tangganya, tetapi juga menjadi pemikir bagi bangsanya. Itulah sebenarnya makna sejati dari perjuangan politik, berpikir untuk bangsa, berpikir untuk rakyat, berpikir untuk cita-cita negara, berpikir untuk keberlangsungan masyarakat bangsanya.

Hari Perempuan kali ini harus diarahkan untuk mengembalikan semangat juang kaum ibu dalam memajukan dan menyejahterakan bangsa dengan se genap potensi dan kemampuan yang ada. Kaum perempuan harus lebih optimal berperan serta dan berkontribusi secara signifikan dalam gerakan kebangkitan nasional serta kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Di negara mana pun juga peranan kaum ibu sangat signifikan bagi kemajuan bangsanya. Ingat sabda Nabi Muhammad SAW, "Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan baik, negara itu akan sejahtera secara penuh. Tetapi, jika perempuan rusak, negara itu akan rusak secara penuh pula."

Suara Negatif Diri


Suara Negatif Diri

Suara Negatif Diri

Kristi Poerwandari ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS,  09 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Kasus tewasnya empat orang di Pekalongan dan Cirebon yang diduga kuat merupakan kasus bunuh diri memunculkan tanda tanya besar: Mengapa? Mengapa sampai empat orang dalam satu keluarga bunuh diri pada saat relatif bersamaan? Bagaimana mencegahnya?
Maris, Berman, dan Silverman menulis buku Comprehensive Textbook of Suicidology (2000) yang menyadarkan saya betapa persoalan bunuh diri merupakan persoalan kompleks. Mungkin ada persoalan biologis, sakit fisik, penyalahgunaan obat, kegagalan ekonomi, jender dan seksualitas, masalah psikiatris dan psikologis, hingga ke relasi sosial.
Mereka mengulas bahwa karakteristik yang terbangun dalam keluarga dapat menguatkan kecenderungan bunuh diri. Sastrawan Ernest Hemingway, yang bunuh diri, misalnya, dikelilingi oleh anggota keluarga yang bunuh diri juga, meski waktunya tidak bersamaan. Ernest Hemingway punya ayah yang bunuh diri, saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan yang bunuh diri, dan cucu (Margaux Hemingway: aktris dan model) yang juga bunuh diri.
Peristiwa hidup menekan
Dalam psikologi dan psikiatri dikenal negative life events atau stressful life events yang dapat memunculkan perasaan tertekan yang sangat besar pada individu atau keluarga. Yang harusnya menimbulkan kegembiraan pun dapat menjadi sumber stres, misalnya perkawinan (bagaimana saya harus berhadapan dengan calon mertua? Bagaimana mencari uang untuk pesta?), kehamilan (belum siap, tidak ada dukungan pasangan, memikirkan biaya melahirkan), bahkan libur panjang (satu bulan libur harus melakukan apa? terbayang kebosanan yang akan dirasakan).
Sulit dipercaya, tetapi nyata, kadang keberhasilan personal yang sangat luar biasa dapat menjadi sumber stres yang besar pula. Entah mengapa, mungkin itu sangat mengagetkan bagi si individu atau ia pada dasarnya orang yang memiliki gambaran diri sangat rendah sehingga khawatir keberhasilannya akan menjadi sumber penolakan dari orang-orang lain yang iri? Atau ia cemas yang dicapainya itu merupakan suatu penilaian yang keliru, yang malah pada akhirnya akan mempermalukan dia? Penerima Hadiah Nobel Fisika, Percy Bridgeman, menembak dirinya sendiri beberapa tahun setelah ia menerima penghargaan amat bergengsi itu, mungkin terkait persoalan kerja berpadu dengan frustrasinya akibat penyakit.
Apabila dilihat dari peristiwa negatif, ada banyak yang dapat memunculkan tekanan, mulai dari kematian pasangan, perceraian, persoalan dengan tetangga atau besan, hingga pindah ke tempat tinggal baru. Persoalan terkait keuangan atau pekerjaan masuk di dalamnya, misalnya dipecat, pensiun, penyesuaian bisnis, perubahan kondisi keuangan, pindah garis atau tanggung jawab kerja, terlibat utang, hingga kesulitan dengan atasan atau majikan. Pada kasus Pekalongan-Cirebon, terus-menerus disebut soal ’persoalan keuangan’ dalam bisnis yang digeluti keluarga.
Bagaimanapun, kita akan bertanya lagi: bukankah banyak sekali orang yang harus menghadapi peristiwa negatif dalam hidupnya, tetapi tidak mencoba bunuh diri?
Suara diri buruk
Dari sisi yang murni psikologi, mungkin kita dapat belajar dari Firestone, seorang psikolog klinis, yang menulis buku Suicide and the Inner Voice (1997) berdasarkan praktik klinisnya dengan kasus-kasus bunuh diri dan melukai diri serta klien-klien yang mencoba bunuh diri, tetapi gagal.
Ia terenyak, karena banyak kliennya bercerita mengenai ”suara buruk dalam diri”, yang awalnya bicara mengenai diri yang ”jelek”, ”bodoh”, ”tidak berguna”, hingga ke suara ”untuk apa melanjutkan hidup?” atau ”lebih baik mati saja”, hingga ke suara-suara yang sangat destruktif dalam diri yang menyuruh individu untuk mengakhiri hidup saja, lengkap dengan cara-cara yang dapat diambil untuk mengakhiri hidup. Misalnya ”masalah akan selesai kalau kamu mati. Gampang, kok, kamu minum obat saja, kan, tidak sakit”.
Tentu kadang kita punya suara diri buruk, misalnya ketika gagal ujian lalu dengan kesal memarahi diri sendiri ”dasar bodoh”. Atau dalam situasi yang dirasa tanpa harapan, tidak jarang kita berharap ”Ya, Tuhan, aku lelah. Seandainya saja aku boleh pulang sekarang”. Suara diri buruk dan keinginan ”untuk pulang” itu berbeda dan tampaknya masih manusiawi. Bukan suara diri buruk yang terus-menerus meneror diri, bukan pula suatu keinginan bunuh diri, apalagi dengan perencanaan saksama.
Firestone terenyak, karena ia ingat di masa kecil ia pun pernah punya suara-suara diri buruk itu dan dikenangnya, bahwa itu banyak berkembang akibat pola asuh dan pola relasi dalam keluarga. Ia menemukan hal yang sama dari para pasiennya. Penilaian negatif, makian, ketidakpercayaan, dan penghukuman dapat menjadi sajian sehari-hari dalam keluarga, mungkin didengar anak dari perlakuan orangtuanya terhadap satu sama lain, atau didengar anak mengenai dirinya sendiri.
Bayangkan apabila anak setiap hari mendengar makian ”bodoh, goblok, tidak berguna, tidak bisa dipercaya, menyusahkan orangtua, tidak bisa jadi contoh untuk adik-adik, hanya menghabiskan uang, lebih baik kamu tidak usah lahir saja, lebih baik kamu mati”. Yang masuk dalam memorinya ketika menghadapi persoalan adalah cara-cara penyelesaian masalah secara negatif, yakni memaki dan menilai diri negatif karena ia tidak mengenal contoh yang positif.
Bunuh diri merupakan persoalan sangat kompleks. Bagaimanapun, pada akhirnya, meski mungkin ada banyak faktor lain, suasana emosi dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana individu dan anak akan berkembang, memahami persoalan, dan menangani masalahnya. Karena itu, penting untuk memilih pasangan hidup dan menjadi orangtua yang dapat memberikan kenyamanan dan dukungan terhadap berkembangnya suara yang positif pada diri, anak, dan seluruh keluarga.

“Hope”

“Hope”

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  09 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Di suatu malam, menjelang tengah malam, saya menyaksikan tayangan film di layar televisi. Sebuah kalimat yang diucapkan seorang perempuan, langsung menempel di kepala. Begini ucapannya itu, ”If you don’t have hope what is the point of living?”
Berharap
Hope. Kata itu merupakan nasihat yang telah disuarakan ke gendang telinga saya oleh mereka yang berada di dalam rumah, di lingkungan pergaulan dan mereka yang tiap hari minggu berada di mimbar rumah ibadah.
Kata yang katanya mengandung makna luar biasa itu, telah disuarakan saat saya masih duduk dengan kesal hati di sekolah menengah pertama dan atas, sampai sekarang ketika sudah berusia setengah abad lebih satu tahun.
Dan yang menyuarakan nasihat itu, tak pernah makin surut, tetapi semakin lama semakin banyak. Dan dengan datangnya sosial media serta kemudahan fasilitas yang disajikan di dalam gadget, maka nasihat itu pun makin hadir setiap saat tanpa diharapkan. Kapan saja, di mana saja, dan tanpa bersuara.
Maka kata itu kemudian menempel dan menjadi sebuah jalan keluar kalau sedang kesal dan galau setengah mati. Menjadi salah satu solusi ketika hidup berjalan tak seperti yang saya kehendaki.
Tetapi belakangan ini, saya mulai mempertanyakan diri sendiri, bagaimana saya bisa berpuluh tahun memercayai kata itu sebagai pegangan hidup ketika saya galau, dan menjadikannya semacam alat penyemangat ketika sama sekali tak bersemangat. Belakangan saya mulai bertanya, apakah sesungguhnya saya tahu pasti arti dan makna kata itu?
Maka di suatu pagi, saya mulai mencarinya di dalam kamus. Dan begini dijelaskan. Hope sebagai kata benda adalah a feeling of expectation and desire for a certain thing to happen, a feeling of trust. Sebagai kata kerja, ia berarti want something to happen. Dijelaskan pula bahwa persamaan kata hope adalah expectation, wish.
Minggu lalu saya bercerita kalau beberapa bulan terakhir hidup saya sungguh mengesalkan, saya ingin lari dari kenyataan. Sejujurnya, semua berawal dari kekecewaan saya memercayai kata yang satu ini.
Sejujurnya sebelum saya melihat kamus untuk mengetahui makna kata itu, saya sudah menyadari bahwa sebuah harapan itu tak ada yang pasti. Ia hanya bermakna sebagai sebuah keinginan agar sesuatu yang diinginkan terjadi. Dan yang membuat saya merasa aneh, bagaimana berpuluh tahun lamanya, saya bisa memberikan kepercayaan pada sebuah kata yang mengandung ketidakpastian?
Menerima
Ketika saya berharap, saya melibatkan the feeling of trust itu. Tetapi saya lupa. Saya boleh-boleh saja melibatkan kepercayaan saya ketika berharap akan sesuatu, tetapi yang akan menjamin harapan saya tercapai, adalah pihak lain, dan bukan saya. Hal inilah yang saya lupakan dan menjadi sumber utama kekecewaan.
Saya berharap kalau bisa hari ini jangan hujan, jangan macet, dollar jangan naik, indeks jangan turun, kalau bisa ibu saya tidak meninggal di usia tak mencapai setengah abad. Saya berharap bisa memenangkan proyek ini dan proyek itu. Dan sejuta lagi harapan lainnya.
Mungkin, karena harapan itu mengandung ketidakpastian, maka ada beberapa manusia yang memberi dana di bawah meja saat sedang bersaing memenangkan sebuah proyek, agar harapan mereka bisa tercapai seperti yang diinginkan.
Tindakan itu menunjukkan kalau mereka berharap dan tahu pasti keberhasilan sebuah harapan itu bukan ada di tangan mereka. Padahal, menyogok itu sama dengan berharap. Bisa jadi menggembirakan, bisa jadi mengecewakan.
Di luar semua nasihat mulia yang sudah saya dengar sejak masih muda dulu, ada suara lain yang juga mengajarkan saya ketika hidup berjalan seperti ayunan. Dan suara ini juga sama telah berdengung sejak lama di gendang telinga saya. Dan saya yakin, Anda juga pernah dinasihati seperti ini.
Hidup itu dijalani saja, jangan terlalu berharap. Hidup itu akan lebih mudah kalau diterima dengan lapang dada. Teman saya bilang begini. ”Ngarepin itu bikin tambah kesel. Enggak ngarep itu memudahkan hidup dan meringankan beban perjalanan.”
Ia kemudian menambahkan penjelasannya. ”Dengan tidak berharap, kamu tak akan merasa kalah atau merasa menang, tetapi kamu akan tenang dan senang. Berharap itu sebuah tindakan membebani diri. Tidak berharap itu melahirkan kelegaan,” katanya.
Maka sekarang saya mengerti, kalau saya ini ingin lari dari kenyataan karena saya terlalu banyak berharap. Harapan itu selalu ada dua. Bisa jadi pasti, bisa jadi tidak pasti. Apa pun alasan di baliknya.
Dan, saya merasa sungguh bodoh, telah memilih mendengarkan nasihat mereka yang menyarankan berharap dengan hanya menggaungkan bagian pastinya ke gendang telinga saya, dan menyembunyikan bagian tidak pastinya, karena mereka tahu pasti bahwa itu akan mengecewakan.
Seharusnya sejak lama, saya memilih untuk mendengarkan nasihat
seperti teman saya itu untuk tidak berharap, tetapi menerima keadaan. Mungkin, hidup saya akan jauh lebih tenteram dan membahagiakan. Mungkin loh.

Perempuan dalam “Sembilan Ribu Hari”, Frieda Amran

Perempuan dalam “Sembilan Ribu Hari”, Frieda Amran

Sartika Sari ;   Penyair
KOMPAS,  09 Maret 2014
                             
                                                                                         
                                                                                                             
Sejak Plato, perempuan telah diposisikan sebagai manusia kelas dua. Ide Plato mengenai jiwa rasional yang menguasai dan mengatur badan memuat di dalamnya ide laki-laki yang mengatur perempuan. Ide bahwa laki-laki aktif sedangkan perempuan pasif, laki-laki rasional dan perempuan emosional, telah dikembangkan sejak masa Yunani.
Perempuan selalu disimbolkan dari sisi non-rasional dari tingkah laku manusia. Karena itu, berkembang pemikiran bahwa kaum perempuan tidak perlu memiliki akses kedua pendidikan dan cukup sebagai mesin produksi anak saja (Yusuf, 2006: 81). Hal ini menghasilkan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan (penindasan patriarkal) yang sampai saat ini masih bisa ditemukan di segala bidang. Kondisi tersebutlah yang mendasari kaum perempuan untuk melakukan tuntutan dan sejumlah pergerakan menciptakan suasana baru yang lebih adil bagi setiap individu, khususnya kaum perempuan yang diasumsikan sudah lama tertindas dan terpinggirkan.
Perempuan dalam riuh-redam problematika sosial, sering kali diabsahkan sebagai golongan dalam genggaman patriarki yang kecil kemungkinannya bisa berhasil membangun kehidupan pribadi dan sosial secara berdampingan. Sebab keselarasan yang diidamkan senantiasa berbenturan dengan kenyataan sebagai manusia multiperan. Posisi perempuan dengan segudang aktivitas yang menyita kerja pikiran dan perasaan adalah rintangannya. Selain itu, dengan kapasitas kerja perasaan yang cenderung lebih besar menjadikan perempuan sebagai manusia sensitif yang sangat peka pada lingkungan sekitar. Hal tersebutlah yang kemudian sering dijadikan celah bagi ”yang lain” untuk melemahkan perempuan.
Pergerakan ”menuntut” kesejajaran dan keadilan sejak Mary Wollstonecraft melalui bukunya A Vindication of the Rights of Women (1972) mengemukakan rasionalitas akal-budi hukum kodrat dan kesamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan pertama di Inggris, sampai saat ini ditempuh oleh kaum feminis melalui banyak bidang, seperti: pendidikan, sosial, dan seni termasuk melalui karya sastra yang menempatkan perempuan sebagai fokus pembicaraan.
Di Indonesia, meski mengalami krisis penyair perempuan, tetapi sepanjang kanon sastra, pembicaraan ihwal perempuan dalam karya tak pernah sepi dari berbagai perspektif, ”kedudukan” maupun sejumlah gugatan. Citra perempuan yang dituliskan bergantung pada kondisi sosial dan pemuisinya. Hingga lahirlah Angin di Sini, Sungguhlah Menusuk dari Cok Sawitri, Keumalahayati karya Helvy Tiana Rosa dan sederet puisi dari Nenden Lilis, Oka Rusmini, Abidah El Khalieqy, serta penyair perempuan lain yang getol bicara soal perempuan melalui puisi. Meski harus diakui memang, tidak semua teks yang ditulis berperspektif feminis dan menyuarakan pemberontakan perempuan terhadap patriarki.
Pembebasan
Situasi perempuan dalam lingkaran paradigma sosial itulah yang ditangkap Frieda Amran, penyair yang juga merupakan seorang antropolog lulusan Universitas Indonesia, kemudian diolah menjadi sebuah pemberontakan halus melalui kumpulan puisi Sembilan Ribu Hari (Pustaka Spirit, 2013). Penyair berdarah Palembang ini-dalam puisinya-terasa melakukan upaya pembebasan perempuan dari jeruji perasaan yang bisa merugikan. Dalam aliran perseorangan masyarakat kita, kaum perempuan tiada akan mungkin merasa kecakapannya dan kemauannya ditindas dan dimatikan, sebaliknya pula dia tiada akan mungkin dihinggapi penyakit kesepian, yang sering bersarang di hati perempuan modern (Alisjahbana, 104). Baik berdasarkan pengalaman pribadi atau hasil impresi penyair terhadap keadaan perempuan, akhirnya sebagian besar puisi-puisi yang ditulis tahun 2010-2013 yang termaktub dalam kumpulan puisi Sembilan Ribu Hari mengarah pada upaya pembebasan tersebut.
Paling tampak pada pertalian asmara yang menjadikan perempuan sebagai tokoh sentral. Antara perempuan, hati, dan cinta dituliskan sebagai ruang-ruang kosong yang bisa terisi kemungkinan-kemungkinan paradoksal. Penyair tidak lagi bertungkus lumus pada pembicaraan dalam penantian dan kepasrahan-yang secara umum dianut perempuan dalam percintaan. Namun berhasil mengubah kayuh biduk ke arah ’kenyataan’. Perempuan sesungguhnya bisa bertindak sebagai pengambil keputusan. Perempuan adalah sutradara yang andal. Dengan logika dan kemandirian, dalam percintaan pun, perempuan bisa bertindak rasional sebagai pemimpin untuk dirinya sendiri.
Ini adalah sebuah penghayatan yang berimbang dengan logika sosial. Seperti pernah disampaikan Jakob Sumardjo, epistemologi Indonesia mengakui pentingnya pengalaman rasa, pentingnya lampah atau laku, dalam sistem pengetahuan mereka. Dan puisi adalah wadah yang tepat untuk menyampaikan jenis pengalaman rasa ini. Bukan sekadar pengetahuan pikiran yang disebut kawruh. Itu adalah pengetahuan biasa yang setiap manusia bisa memilikinya. Tetapi pengetahuan ngelmu, yakni pengetahuan rasa penghayatan, harus dicapai dengan laku atau lampah yakni latihan-latihan rohani.
Citra perempuan, beberapa di antaranya dapat ditemukan dari bagaimana cara ia berpikir. Citra ini yang dibangun penyair Frieda Amran melalui Sembilan Ribu Hari. Kita kutip puisi ”Bukan Aku”, di bawah ini:
”Dulu, kau pilih yang seperti dia / Perempuan, yang bukan aku / Bibir merah mengkilat basah, lipgloss. Ranum, katamu / Pliket, kataku. Hilang kalau minum / Alis hitam bulan sabit semut beriring. Cantik, katamu / Sakit, kataku. Kalau dicabut bulunya / Mata merunduk, melirik, mengajak, maskara. Gemas, katamu / Kemayu, kataku. Tak kelihatan kalau melirik... /
Femininitas dalam ”Bukan Aku” dibangun dari kekuatan prinsip dalam menjalani hubungan percintaan. Mencintai adalah kekhidmatan yang diperjuangkan untuk mendapat kasih sayang apa adanya dari seseorang yang dicintai.
Berbeda dengan realitas yang sering kali diadopsi khalayak sebagai ciri khas seorang perempuan, yakni selalu terpuruk dan dalam hakikat ’otentiknya’ hanya bisa pasrah, mengikuti kemauan kaum lelaki. ”Bukan Aku” adalah ungkapan keperkasaan seorang perempuan. Ketegasan dan kekuatan prinsip menjiwai keutuhan puisi.
Seumpama feminis baris depan, penyair mengajari ’perempuan awam’ tentang kesalahan mereka. Gagasan ini tentang intelektual feminis sebagai yang ’terlatih, terpelajar, dan berkomitmen untuk mengangkat kesadaran perempuan lain, dan untuk menghalau orang-orang awam dari apa yang feminis tersebut...pandang sebagai perbudakan ideologis mereka’ (Ross, 193).
Kekuatan prinsip yang dituangkan penyair dalam puisi-puisinya tidak sekadar berada di bawah payung percintaan dengan kekasih, namun berpengaruh pula pada kekuatan karakter sosialnya. Misalnya yang tersurat pada ”Air Mata”:
dan aku terheran
di mana kau temukan airmataku?                           
Dengan gaya ungkap lugas, penyair membicarakan air mata dalam puisi. Hal yang sering kali dijadikan dan dianggap sebagai identitas kelemahan seorang perempuan. Namun oleh penyair, air mata justru dianggap sebagai sebuah rahasia yang sangat intim, tidak menjadi konsumsi publik dan merupakan suatu kehormatan yang harus dijaga.
Selain hal yang bersifat prinsipil, Sembilan Ribu Hari adalah komitmen perempuan pada dirinya sendiri. Semakin jauh, kita akan mendapati keoptimisan yang benar-benar kuat dari penyair. Sebagai perempuan, membangun keyakinan yang benar-benar bersumber dari nurani adalah hal yang tidak mudah. Namun Sembilan Ribu Hari menanamkan keoptimisan itu:
Temani aku memburu senja, katamu
:tanpa suara, bisik pun tidak
Tapi kurasa memang begitu
Lalu, kita melangkah sembilan ribu hari lagi
Semakin kuat saja, penyair menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri-tersurat dalam puisi, agar percaya pada kekuatan hati dan tidak merelakan diri ditindas ketidakpastian dalam kehampaan.
Sepintas menelusuri Sembilan Ribu Hari, maka kita akan menemukan keoptimisan dan kekuatan prinsip penyair. Namun lebih dekat, kita akan menemukan keresahan yang begitu dalam. Tersembunyi di balik ciri khas dan ke-elegan-an penyair dalam mengungkapkan perasaan. Ada hal yang sangat dijaga, menurut saya adalah kehormatan. Begitulah keresahan juga dibungkus dalam puisi-puisinya.
Sebagai puisi, Sembilan Ribu Hari tak ubahnya sekawanan perempuan yang menyublim ke dalam satu tubuh, mendaur kesunyian, menjadi pribadi baru yang tahan guncang. Puisi-puisi di dalamnya menjiwai sosok perempuan dalam keseutuhan. Situasi puitik yang politis dibentuk dari kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos yang eksklusif membicarakan perempuan dalam pergulatan perasaan.
Akhirnya, menurut saya, Sembilan Ribu Hari lebih mirip ’rahim’ bagi sejumlah ideologi perempuan dalam perjuangan menolak dominasi, ketidakadilan serta sebagai representasi hidup dalam upaya mempertahankan martabat keduniawian. Banyak hal yang semestinya bisa dilakukan perempuan di luar ’kebiasaan’ yang telah dikenali masyarakat. Melalui unsur-unsur pembentuknya, puisi-puisi yang sebagian besar bicara tentang cinta tersebut pun terasa sangat indah, romantis, dan energik. Paduan perasaan, reaksi, dan persepsi menjadi sangat kuat.

Perspektif OKBCM

Perspektif OKBCM

Rhenald Kasali  ;   Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS,  09 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
JIKA minggu lalu saya terlibat dalam Rembuk Rakyat di Kalimantan Timur, Rabu kemarin saya berada di tengah-tengah Rembuk Rakyat Jawa Timur bersama Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB-PPEJ). Sekadar informasi, JOB-PPEJ adalah perusahaan patungan antara Pertamina Hulu Energi (75 persen) dan Petrochina (25 persen)
Ia mengelola ladang migas di kawasan Tuban, Bojonegoro, Gresik, dan Lamongan dengan 40 sumur migas. Kelak, gas ini akan dialokasikan untuk pasar domestik.
Jadi, berbeda dengan di Kaltim, rembuk rakyat kali ini dilakukan untuk mencari solusi damai dari temuan cadangan migas yang menimbulkan harapan amat besar bagi warga setempat. Bayangkan saja, puluhan tahun tinggal dalam kawasan yang tandus dan miskin, tiba-tiba dikabarkan di bawahnya ada gas yang besar. Padahal, Anda tahu, daerah ini dulu dikenal sebagai hutan jati yang dilindungi. Begitu miskinnya, sampai-sampai penjara dipenuhi oleh warga yang tersangkut kasus pencurian kayu.
Kemiskinan itu pulalah yang membuat tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dan unskilled. Jadi, kalau ada kebutuhan tenaga proyek, hampir dapat dipastikan mereka hanya mampu mengambil remah-remahnya. Sudah begitu, JOB-PPEJ pun terkendala oleh ketentuan pemerintah yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa.
Sumijan, pengusaha kecil dari Desa Rahayu di Tuban, mengungkapkan keheranannya, "Proyek senilai satu juta rupiah saja harus direbut via tender." Saya juga baru tahu kalau ketentuan lelang dalam bidang migas ternyata jauh lebih ketat daripada lelang nonmigas.
Untung, rembuk rakyat kali ini, selain dihadiri pimpinan JOB-PPEJ, juga dihadiri para pembuat kebijakan. Di antaranya, dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), Bupati Bojonegoro Suyoto, yang akrab disapa Kang Yoto, Wakil Bupati Tuban Noor Nahar Husein, dan beberapa kalangan lain.
Saya semula menduga dialog bakal berlangsung panas. Maklum, banyak kepentingan dan isu yang mewarnai dialog. Bukankah sudah sering kita dengar jalan ditutup warga sehingga pengeboran terhambat? Ditambah lagi, pengumumam tender selalu kisruh. Ketentuan mengenai local content mempunyai tafsiran ganda. Buat pengatur kebijakan di Jakarta, lokal itu artinya nasional, tapi bagi bupati, lokal itu artinya wilayahnya, untuk warganya. Kalau harga dan mutu dibanding-bandingkan, hampir pasti kalahlah warga setempat yang baru saja memulai usaha dengan modal terbatas.
Orang kota pun pasti akan beranggapan, otonomi daerah sumber masalah, tidak efisien. Namun, bagi orang desa, sebaliknya, ketakberdayaan telah membuat mereka hanya bisa menjadi penonton yang miskin. Mereka tentu menolaknya. Tetapi, siapa yang peduli?
Baiklah soal lelang yang buat kita meradang ini (dan kita suka pura-pura tidak tahu bahwa lelang sarat korupsi dan manipulasi) akan kita bahas minggu depan. Kita fokus dulu pada fenomena OKB yang muncul dari keberadaan tambang atau rezeki sesaat.
Masalah Sosial
Mungkin sebagian OKB tadi berharap bisa menggantungkan hidup dari JOB-PPEJ. Mereka berharap kelak bisa bekerja di sana. Mereka tak paham bahwa bekerja di perusahaan migas membutuhkan keterampilan tersendiri, yang tidak mereka miliki.
Jika tidak ditangani secara benar, ini tentu bisa berkembang menjadi masalah sosial yang serius. Karena itu, saya senang ketika pihak JOB-PPEJ menggelar rembuk migas ini. Rembuk semacam ini membuat kita tahu apa saja masalah yang bakal muncul, sehingga bisa diantisipasi. Misalnya, kita bisa mendidik masyarakat setempat atau membekali para pemasok lokal agar kemampuannya bisa meningkat. Bupati yang hebat juga pasti bisa mengambil sikap dengan membuat kebijakan yang berpihak, namun tidak menjadikan warganya passengers yang keenakan, lalu miskin. Bukankah lebih baik kita mencegah kebakaran ketimbang memadamkannya?

Duduk Bersama

Duduk Bersama

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  09 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Saya rasa setiap orang pernah mengalami duduk bersama seseorang yang sama sekali tidak dikenal, misalnya ketika menunggu di tempat praktik dokter dan dokternya terlambat datang (ini hanya contoh, karena bisa juga terjadi di tempat lain).
Untuk mengatasi kebosanan biasanya salah satu mulai nyeletuk, ”Dokternya lama, ya?” ”Iya, padahal biasanya dia enggak pernah telat,” jawab yang lain. ”Iya, padahal saya sudah buru-buru dari kantor, takut kena macet.”
”Iya, dokternya juga kena macet nih, barangkali. Ngomong-ngomong kantor Bapak di mana?”
”Di Jalan Thamrin. Di Bank Sejahtera Antarbangsa.”
”Loh, itu kan tempat anak saya bekerja?”
”Ah, serius? Nama anak Bapak siapa?”
”Adit. Dia di Bagian Hukum.”
”Wah, Adit itu anak buah saya. Saya Kepala Bagian Hukum di bank itu.”
”Wah, senang sekali ketemu Bapak.” Dan seterusnya mereka mengobrol, sehingga tidak disadari dokter sudah datang. Kisah berakhir dengan saling tukar nomor HP dan janji untuk saling kontak lagi.
Dalam ilmu psikologi komunikasi ada teori yang ditemukan oleh Joseph Luft dan Harrison Ingham dan dinamakan teori Jendela Johari (singkatan dari nama kedua penemu teori ini: Jo dan Harri). Teori ini mengatakan bahwa dalam komunikasi antara dua orang, ada hal-hal yang diketahui bersama yang dinamakan wilayah terang (WT), ada yang diketahui oleh diriku saja, tetapi tidak diketahui oleh kawannya yang dinamakan wilayah rahasia (WR), tetapi ada juga yang diriku tidak tahu padahal orang lain tahu yang dinamakan wilayah buta (WB), dan yang terakhir adalah wilayah sama-sama tidak tahu (WSSTT).
Kalau keempat wilayah itu dibayangkan seperti sebuah jendela persegi empat yang terbagi dalam empat bagian dengan dua palang horizontal dan vertikal, maka bagian jendela kiri atas adalah WT, di bawahnya WR, di sebelah kanan wilayah terang adalah WB, dan bagian kanan bawah adalah WSSTT. Ketika kedua bapak itu baru bertemu, bagian WT adalah yang paling kecil.
Kedua Bapak itu hanya sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama lama menunggu dokter. Selain itu mereka juga sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama laki-laki, yang satu berdasi karena baru dari kantor, yang satu lagi berkemeja biasa karena pensiunan dan juga pastinya yang satu lebih muda dan yang lain lebih tua.
Tetapi pada akhir percakapan WT itu makin lebar, karena masing-masing sudah saling tahu di mana tempat kerja mereka, di mana tempat tinggal, berapa anak masing-masing, bahkan yang tadinya termasuk wilayah SSTT jadi masuk wilayah terang, yaitu ketika ternyata mereka masih ada hubungan saudara. Itulah dialog dalam arti kata yang sebenarnya.
Sepertinya enak sekali dialog itu, kan? Karena itulah dalam isu-isu sosial, termasuk politik, sering diserukan untuk duduk bersama dan berdialog untuk mengatasi perbedaan pendapat, bahkan konflik. Maka konflik Ambon dan Poso dicoba diselesaikan melalui dialog di Malino (11-12 Februari 2002), tetapi Ambon dan Poso tidak langsung damai.
Ambon baru beberapa tahun kemudian damai, dan di Poso beberapa hari yang lalu dua anggota Brimob yang sedang patroli ditembak orang tak dikenal. Aceh berhasil didamaikan melalui dialog RI-GAM pascatsunami, 27 Juli 2005, yang difasilitasi oleh Pemerintah Finlandia, tetapi baru beberapa hari yang lalu juga kita baca di koran tentang seorang Caleg Partai Nasional Aceh bernama Faisal yang ditembak mati di Banda Aceh.
Masih banyak contoh lain yang bisa dideretkan di sini, termasuk misalnya konflik Mesuji, konflik Bima, konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura, persoalan gereja Yasmin di Bogor, dll, yang semuanya berlarut-larut, walaupun sudah berkali-kali didialogkan. Jadi dialog itu tidak mudah.
Kembali kepada teori Jendela Johari di atas. Seandainya saya baru ke toilet dan lupa menutup ritsleting celana dan keluar dari toilet dengan ”pintu kandang” yang terbuka, maka saya tidak sadar bahwa ”naga” peliharaan saya terlihat dari luar. Ini jelas merupakan WB karena saya tidak tahu, padahal semua orang tahu. Kalau kebetulan pada waktu saya keluar toilet tadi ada seorang rekan profesor pria yang melihat posisi ”pintu kandang” saya, maka tentu rekan itu akan memberi tahu, ”Mas, ritsletingnya belum ditutup.”
Kemudian saya pun akan nengok ke bagian yang dimaksudnya, kaget sebentar, tetapi langsung menutup pintu dan tersenyum dan tersipu pada rekan tadi sambil berkata, ”Oh, iya. Terima kasih, Mas.” Maka selesailah persoalan saya. Lain halnya kalau yang bertemu saya setelah keluar dari toilet tadi adalah ibu-ibu dosen, atau mahasiswa putri (tetapi bisa juga laki-laki), dan sesudah itu saya langsung berceramah di seminar untuk ibu-ibu, bisa-bisa seharian ”naga” saya jadi tontonan ibu-ibu (walaupun ”naga” itu sebenarnya sudah dikasih baju), karena yang melihat ”naga” saya tadi tidak berani untuk memberi tahu saya.
Ketika saya tiba di rumah, istri saya adalah yang pertama melihatnya, dan ia pun menegur, ”Mas, itu celanamu terbuka, tuh!” Waduh! Bagaimana rasanya saya? Persoalan besar terjadi karena banyak orang yang tidak mau berbagi, ketika mereka tahu sesuatu yang saya tidak tahu. Nah, jelaslah bahwa orang tidak selalu mudah untuk berkomunikasi (yang intinya adalah berbagi informasi), apalagi berkomunikasi.
Alasannya mungkin malu, segan, tidak sopan, takut, dan lain-lain. Dalam hal lain, alasan gengsi, harga diri, status. ideologi dll bisa menyebabkan orang tidak mau mendengar atau menerima informasi dari orang lain. Hasilnya sama saja, tidak membuat hal-hal gelap jadi terang.
Karena itu hati-hati sebelum bicara tentang dialog. Suasana hati yang senang, kesediaan untuk mendengar dan kesediaan untuk berbagi perlu disiapkan dulu agar orang bisa berdialog.

Jumat, 07 Maret 2014

Antara Ujian Nasional 2014 dan 2013

Antara Ujian Nasional 2014 dan 2013

Rustono  ;   Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni, Koordinator Staf Ahli Bidang Pengembangan dan Kerja Sama Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA,  07 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
"Semoga UN 2014 menjadi ujian yang bermutu, bermanfaat, dan menghasilkan bangsa yang bermartabat"
UJIAN nasional (UN) sudah di pelupuk mata. Hiruk-pikuk dan karut-marut ujian 2013 masih membekas pada benak masyarakat. Tahun ini,  pemerintah tetap menggelar ujian nasional berpayung UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Persiapan pun dilakukan agar pelaksanaan tahun ini lebih baik.
Konsisten dengan ujian sebelumnya, tujuan penyelenggaraan UN 2014 adalah menilai pencapaian standar kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Kelak jika energi negara kuat, bukan hal mustahil mata pelajaran yang di-UN-kan bertambah, bahkan bisa semua mata pelajaran.
Untuk menepis pro-kontra, pemerintah tetap bertekad menggunakan hasil UN sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, serta sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, sebagai dasar penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan berkait upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Pemahaman yang harus dimiliki oleh semua pihak adalah pada UN 2014 peserta didik yang dinyatakan lulus adalah mereka yang telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian sekolah, dan lulus UN. Jadi, hasil ujian nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan.
Ada tiga aspek yang menjadi titik persamaan antara ujian nasional 2013 dan 2014. Kriteria kelulusan ujian tahun ini masih sama seperti tahun sebelumnya, yaitu formula gabungan antara nilai UN (60%) dan nilai sekolah/madrasah (40%). Kriteria kelulusan UN dengan rata-rata 5,50 dan nilai tiap mata pelajaran paling rendah 4,0.
Kisi-kisi soal ujian 2014 pun masih sama seperti kisi-kisi soal tahun lalu, yaitu sebagaimana ditetapkan Peraturan BSNP Nomor 009/P/BSNP/XI/2012. Demikian halnya jumlah paket soal. Paket soal yang diterima peserta yang satu dan peserta yang lain pada UN 2014 berbeda. Hal itu juga terjadi pada 2013.
Komposisi Nilai
Dalam sejumlah aspek, UN 2014 berbeda dari tahun sebelumnya, menyangkut komposisi nilai, peran Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP), peran perguruan tinggi, peran Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), pencetakan bahan ujian, jadwal UN SMA/MA, jadwal UN Paket C tahap I, pemanfaatan hasil UN, dan UN SD/MI.
Dalam UN 2014, komposisi nilai sekolah ditetapkan terdiri atas 70% nilai rata-rata rapor dan 30% nilai ujian sekolah. Adapun tahun sebelumnya, komposisi nilai sekolah terdiri atas 40% nilai rata-rata rapor dan  60% nilai ujian sekolah. Jadi, ada kenaikan andil nilai rata-rata rapor, dulu 60% dan sekarang 70%. Hal itu menjadi indikator ada penghargaan yang lebih terhadap proses pendidikan.
Perbedaan kedua menyangkut peran BSNP. Tahun lalu BSNP berperan sebagai penyelenggara dan pelaksana, sedangkan tahun 2014 sebagai penyelenggara. Makna pelaksana adalah pelaku. Pelaku ujian nasional tahun ini adalah satuan pendidikan. Penyelenggara lebih menyangkut penentu kebijakan.
Aspek ketiga yang berbeda berkenaan dengan peran perguruan tinggi. Tahun ini perguruan tinggi tak berperan dalam pelaksanaan tetapi dalam pengawasan UN SMA/MA, SMK, Paket C, dan Paket C Kejuruan. Tegasnya, perguruan tinggi hanya mengawasi. Tahun sebelumnya, perguruan tinggi berperan dalam pelaksanaan sekaligus pengawasan, khusus untuk ujian nasional SMA/MA, SMK, Paket C, dan Paket C Kejuruan. Pada UN 2013 LPMP tidak terlibat dalam pelaksanaan/pengawasan UN, tapi tahun ini dilibatkan dalam pengawasan UN SMP/SMA dan yang sederajat.
Pencetakan bahan UN juga berbeda. Tahun 2013 pencetakan bahan dilaksanakan terpusat dan hal itu menjadi penyebab keterlambatan/penundaan pelaksanaan ujian di sejumlah provinsi. Tahun ini pencetakan bahan dilaksanakan secara regional guna menghindari kelemahan seperti tahun lalu.
Jadwal UN SMA/MA tahun 2013 berbeda dari tahun ini. Pada 2013 UN SMA/MA dilaksanakan empat hari dengan jumlah mata pelajaran tiap hari 1-2-1-2, sedangkan tahun ini hanya tiga hari dengan jumlah mata pelajaran tiap hari 2. Khusus UN Paket C, tahun 2013 dilaksanakan empat hari dengan jumlah mata pelajaran 2-2-2-1 tiap hari, sedangkan tahun ini hanya tiga hari dengan jumlah mapel 2-2-3.
Hal baru lain pada UN 2014 adalah hasil UN SMA/sederajat sepenuhnya dijadikan pertimbangan masuk perguruan tinggi negeri. Hasil UN SMA/sederajat pada UN 2013 belum sepenuhnya dijadikan pertimbangan masuk perguruan tinggi negeri. Perbedaan terakhir menyangkut UN SD/MI. Tahun 2013 UN SD/MI dilaksanakan oleh BSNP, sedangkan tahun ini ujian nasional dilaksanakan oleh pemda dalam bentuk ujian sekolah/madrasah.
Di tengah persamaan dan perbedaan itu, sudah semestinya semua pihak mendukung pemerintah pusat dan daerah, BSNP, dan satuan pendidikan untuk melaksanakan niat dan tekad baiknya menyelenggarakan dan melaksanakan ujian nasional. Semoga UN 2014 menjadi ujian yang bermutu, bermanfaat, dan menghasilkan bangsa yang bermartabat.