Selasa, 06 Mei 2014

Hadis Berbicara Tentang Korupsi



ANTIKORUPSI DALAM HADIS:
KAJIAN NORMATIF HISTORIS TERHADAP
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HADIS

A.  PENDAHULUAN
Hampir dua abad yang lalu, Lord Acton dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara “korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni: “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely”, bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cendrung korupsi absolut.[1] Makalah ini sengaja saya awali dengan mengutip ungkapan dari Lord Acton tersebut, karena pada kenyataannya yang terjadi dinegara kita saat ini adalah sama persis dengan apa yang diungkapkan oleh Lord Acton tersebut bahwa “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely”, kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.[2]
Bukan hanya di Indonesia korupsi terjadi, tetapi dibelahan dunia yang lain tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan tindak pidana yang lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat dimaklumi, karena mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu negara, bahkan juga terhadap kehidupan antarnegara.[3]
Seperti diketahui korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi. Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar. Masyarakat tidak dapat menikmati pemerataan hasil pembangunan dan tidak menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dan secara keseluruhan, korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and deep-rooted) akhirnya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self destruction). Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa di hisap.[4]
Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia yang sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin merajarela.[5] Masdar F. mas’udi mengatakan bahwa korupsi yang merajalela pada saat ini justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri. Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi tidak terbendung meskipun masjid semakin penuh sesak, dan yang menunaikan ibadah haji semakin membludak. Semarak kehidupan beragama tersebut terbukti sama sekali tidak mempunyai korelasi positif terhadap pembentukan ahklak dan moralitas kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wajar apabila kemudian muncul kritik kepada agama dalam hal ini islam “kitab sucinya tidak berhasil mendidik umatnya menghadapi masalah kemanusian, terutama dalam  hal korupsi.[6]
Dalam makalah ini, penulis ingin mengkaji dan membaca secara komprehensif tentang problematika tindak pidana korupsi melalui kacamata hadis, yaitu dengan melacak hadis-hadis yang mengandung makna subtansial tentang korupsi atau tindak pidana korupsi. Jika digali lebih dalam, hadis-hadis yang bertema tentang korupsi sangatlah banyak. Selama ini hadis yang terkait kurang dipopulerkan pada masyarakat luas, masyarakat lebih banyak menggali dan menggunakan hadis-hadis tentang poligami, perceraian dan halal-haram. Tentu hal ini membawa konsekuensi logis terhadap tumbuh suburnya budaya korupsi di kalangan masyarakat. Bagi kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh korupsi, jelas bahwa penyebarluasan hadis korupsi berarti mempersempit ruang gerak bagi kelompok yang koruptif. Tapi bagi penulis, yang mempunyai komitmen pada pemberantasan korupsi, menulis tentang hadis-hadis korupsi sangatlah penting untuk mendorong kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang baik, adil beradab dan kemakmuran demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
B.  PEMBAHSASAN
1.    Hadis Berbicara Tentang Korupsi
a.      Teks Hadis
عن الزهرى أنه سمع عروة أخبرنا أبو حميد السّاعديُّ قال: استعمل النّبيٌّ صلّى الله عليه وسلام رجلاً من بنى أسدٍ يقال له ابن الأُتبية على صدقة, فلما قدم قال: هذا لكم وهذا أهدي لى. فقام النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم على المنبر – قال سفيان أيضاً فصعد المنبر- فحمد الله و أثنى عليه, ثمّ قال: ما بال العامل نبعثه, فيأتي يقول هذا لك وهذا لى. فهلاً جلس في بيت أبيه وأمِّه فينظر أيهد له أم لا, والّذى نفسى بيده لا يأتي بشيء إلاّ جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته, إن كان بعيراً له رغاءٌ, أو بقرةً لها خوارٌ, أو شاةً تيعر. ثمّ رفع يديه حتّى رأينا عفرتى إبطيه: ألا هل بلغت. ثلاثاً.
قال سفيان: قصّه علينا الزهريّ. وزاد هشامٌ عن أبيه عن أبي حميد قال: سمع أذناى وأبصرته عينى, وسلوا زيد بن ثابثٍ فإنه سمعه معى. ولم يقل الزّهرىّ سمع أذنى.
خوارٌ: صوتٌ, والجؤار من تجأرون كصوت البقرة.[7]
Artinya: Dari Az-zuhri, bahwa dia mendengar Urwah, Abu Humaid As-Sa’idi mengabarkan kepada kami, dia berkata: Nabi SAW pernah menugaskan seorang laki-laki dari bani Sa’ad yang disebut Ibnu Al Utaibiyyah, untuk mengambil sedekah. Ketika kembali dia berkata, “ini untuk kamu dan ini dihadiahkan kepadaku.” Nabi SAW kemudian berdiri di atas mimbar-Sufyan Berkata pula, “beliau naik mimbar” – lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, lantas bersabda, “Apa urusan petugas yang kami utus, dia datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku’, Mengapa dia tidak duduk dirumah bapak dan Ibunya, lalu diperhatikan apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah dia datang membawa sesuatu melainkan pada hari kiamat nanti datang sambil membawanya di atas pundaknya, apabila unta maka ia bersuara, apabila sapi maka ia akan menguak, apabila kambing ia akan mengembik.” Setelah itu belia mengangkat kedua belah tangannya hingga kami melihat putih kedua ketiaknya, “apakah aku sudah menyampaikannya,” tiga kali.
Sufyan berkata, “Az-Zuhri menceritakannya kepada kami, Hisyam menambahkan, ‘Dari bapaknya, dari Abu Humaid, dia berkata, “Kedua telingaku mendengar dan kedua mataku melihat, dan tanyalah Zaid bin Tsabit, bahwa dia pernah mendengarkan bersamaku”,’ Az-Zuhri tidak mengatakan, ‘Telingaku mendengar.”
Khuwar artinya suara. Sedangkan ju’aar berasal dari kata taj’aruun, artinya suara sapi.[8]
b.      Keyword Teks Hadis[9]
No
Keyword Teks Hadis
Artinya
1.
عن الزهرى
(Dari Az-Zuhri). Telah disebutkan pada bagian akhirnya keterangan yang menunjukkan bahwa Sufyan mendengarkannya dari Az-zuhri. Keterangan yang dimaksud adalah perkataannya, قال سفيان: قصّه علينا الزهريّ. Dalam riwayatAl Humaidi dalam kitab Al Musnad disebutkan hadits dari Sufyan. Abu Nu’aim menceritakan pula dari jalurnya. Sementara dalam riwayat Al Ismaili dari Muhammad bin Manshur, dari Sufyan.
2.
أنه سمع عروة
(Bahwa dia mendengar Urwah). Dalam riwayat Syu’aib, dari Az-Zuhri, pada pembahasan tentang sumpah dan nadzar.
3.
استعمل النّبيٌّ صلّى الله عليه وسلام رجلاً من بنى أسدٍ
(nabi saw memperkerjakan seorang laki-laki dari bani asad). demikian redaksi yang tercantum di tempat ini. ini memberi asumsi bahwa huruf sin pada kata أسدٍ di beri harakat fathah karena dinisbathkan kepada bani asad bin khuzaimah, salah satu suku yang masyhur, atau kepada bani asad bin abdul uzza salah satu marga di kalangan Quraisy. padahal sebenarnya tidak demikian. hanya saja Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Imam Al Hafiz mengatakan memberi asumsi karena Al-Azdi senantiasa disertai huruf alif  dan lam dalam nama. Kemudian tercantum dalam riwayat Al Ashili di tempat ini   من بنى أسد . Tetapi ini tidak menimbulkan kemusykilan bila diberi harakat sukun pada huruf sin.
4.
أسدٍ يقال له ابن الأُتبية
(Dia biasa disebut Ibnu Al Atabiyyah). Demikian redaksi yang tercantum dalam riwayat Abu Dzar, yaitu dengan harakat fathah pada huruf hamzah dan ta’ serta harakat kasrah pada hurup ba’. Sementara catatan kaki disebutkan dengan huruf lam ganti hamzah. Demikian pula disebutkan seperti versi pertama oleh periwayat lainnya sebagaimana halnya yang tercantum pada pembahasan tentang hibah. Dalam riwayat Muslim, disebutkan dengan huruf lam yang diberi harakat fathah kemudian ta’ yang diberikan harakat sukun dan sebagaian memberi harakat fathah. Kemudian terjadi perbedaan pada Hisyam bi Urwah dari bapaknya bahwa dia juga menggunakan huruf lam atau hamzah seperti dalam bab “Imam Melakukan Perhitungan (audit) terhadap Pegawainya”, tetapi dalam riwayat Muslim menggunakan hurup lam.
5.
على صدقة
(Atas Sedekah). Pada pembahasan tentang hibah (pemberian) disebutkan dengan redaksi على الصدقة . Demikian juga dalam riwayat Imam Muslim. Sementara pada pembahasan tentang zakat telah disebutkan dengan jelas orang yang ditugaskan kepada mereka.
6.
فلما قدم قال: هذا لكم وهذا أهدي لى
(Ketika dia datang, maka dia berkata, “Ini untuk kamu dan ini ini dihadiahkan kepadaku). Dalam riwayat Ma’mar disebutkan,فخاء بالمال فدفعه الي النبي صلي الله علىه وسلم فقال: هدا مالكم وهده هديت أهديت لى (dia kemudian datang membawa harta lalu menyerahkannya kepada Nabi SAW lantas berkata, “Ini harrta kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku).
7.
فقام النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم على المنبر
(Nabi SAW kemudian berdiri di atas mimbar).  
9.
قال سفيان أيضاً فصعد المنبر
Sufyan Berkata pula, “Beliau Naik mimbar.  Maksudnya Sufyan terkadang mengatakan ‘berdiri’ dan terkadang mengatakan ‘naik’.
10.
ما بال العامل نبعثه, فيأتي يقول
Apa urusan petugas yang kami utus datang lalu berkata.
11.
هذا لك وهذا لى
Ini untukmu dan ini untukku.
12.
فهلاً جلس في بيت أبيه وأمِّه فينظر أيهد له أم لا
Mengapa dia tidak duduk di rumah bapaknya dan ibunya lalu melihat apakah dia dihadiahkan atau tidak.
13.
والّذى نفسى بيده
Demi zat yang jiwaku berada di tangannya.
14.
لا يأتي بشيء إلاّ جاء به يوم القيامة
(Tidaklah dia datang dengan membawa sesuatu melainkan dia akan datang dengannya pada Hari Kiamat).  Maksudnya, dia tidak akan datang dengan membawa sesuatu yang dipersiapkan untuk dirinya. Selain itu, dalam riwayat Abu Az-Zinad yang dikutip Abu Awanah disebutkanلا يغل منه شيعا إلا جاء به  (tidaklah dia mencuri sesuatu darinya melainkan dia akan datang membawanya). Maksudnya, dengan redaksi yagul dan makna dasarnya adalah khianat dalam rampasan perang. Kemudian kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat.
15.
يحمله على رقبته
Dia membawanya di atas pundaknya.  Dalam riwayat Abu Bakar disebutkan, علي عنقه (Di atas lehernya).
16.
إن كان
(Jika dia). Maksudnya, apa yang dia khianati itu.
17.
بعيراً له رغاءٌ
(Unta yang bersuara). Kata rughaa’ adalah sebutan untuk suara unta.
18.
, أو شاةً تيعر
( Atau kambing yang mengembik). Dalam riwayat Ibnu At-Tin disebutkan, أو شاة لها يعار, (atau kambing yang mengembik). Disebut juga dengan ya’aar. Al-Qazzaz berkata, “itu adalah ya’aar tanpa diragukan yakni diberi harakat fathah pada huruf ya’ dan ain tidak diberi tasydid. Itu adalah suara kambing yang keras.
19.
ثمّ رفع يديه حتّى رأينا عفرتى إبطيه
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga kami melihat putih kedua ketiaknya.
20.
ألا هل بلغت. ثلاثاً.
Ketahuilah, Bukankah saya telah menyampaikan, tiga kali. Maksudnya, aku telah menyampaikan hukum Allah  kepada kamu (Para Sahabat) dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
21.
وزاد هشامٌ
Hisyam Menambahkan. Ini adalah perkataan Sufyan dan bukan riwayat mu’allaq dari Imam Bukhari. Disebutkan dalam riwayat Al Humaidi dari Sufyan, Az-Zuhri dan Hisyam bin Urwah menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Urwah bin Az-Zubair menceritakan kepada kami.
22.
سمع أذناى
Telingaku Mendengar.
23.
وسلوا زيد بن ثابثٍ فإنه سمعه معى
Tanyalah Zaid bin Tsabit, karena sesungguhnya dia mendengarnya bersamaku.
24.
. ولم يقل الزّهرىّ سمع أذنى
Az-Zuhri tidak mengatakan, “Telingaku mendengar)” ini adalah perkataan Sufyan.
25.
خوارٌ: صوتٌ, والجؤار من تجأرون كصوت البقرة.

Khuwaar adalah suara. Al Ju’aar berasal dari kata taj’aruun seperti suara sapi.

c.       Asbab wurud al-hadis (konteks munculnya hadis)
Berdasarkan teks yang sudah dijelaskan di atas jelaslah bahwa Asbab wurud  hadis ini adalah berkenaan dengan seorang laki-laki yang pernah ditugasi oleh Nabi SAW dari bani Sa’ad yang disebut Ibnu Al Utaibiyyah, untuk mengambil sedekah. Ketika kembali dia berkata, “ini untuk kamu dan ini dihadiahkan kepadaku.” Nabi SAW kemudian berdiri di atas mimbar-Sufyan Berkata pula, “beliau naik mimbar” – lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, lantas bersabda, “Apa urusan petugas yang kami utus, dia datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku’, Mengapa dia tidak duduk dirumah bapak dan Ibunya, lalu diperhatikan apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah dia datang membawa sesuatu melainkan pada hari kiamat nanti datang sambil membawanya di atas pundaknya, apabila unta maka ia bersuara, apabila sapi maka ia akan menguak, apabila kambing ia akan mengembik.” Setelah itu belia mengangkat kedua belah tangannya hingga kami melihat putih kedua ketiaknya, “apakah aku sudah menyampaikannya,” tiga kali.[10]
d.      Syarh al-hadis (penjelasan isi hadis dari literature hadis yang ada)
Hadis tentang hadiah para pegawai pemerintah. Judul hadis ini ini merupakan redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Awanah dari Yahya bin Sa’id Al Anshari, dari Urwah, dari Abu Humaid secara marfu, هدا يا العمال غلول (Hadiah-hadiah para pegawai pemerintah adalah khianat). Ini adalah riwayat Ismail bin Ayyasy, dari Yahya. Ini juga termasuk riwayat Ismail dari orang-orang Hijaz adalah lemah. Ada yang mengatakan bahwa dia meringkasnya dari hadits dalam bab ini seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang hibah (pemberian). Imam Bukhari menyebutkan di tempat ini kisah Ibnu Al Utaibiyah. Sebagian penjelasannya sudah diuraikan pada pembahasan tentang hibah, zakat, dan meninggalkan tipu daya serta shalat jum’at. Sedangkan perkara yang beraitan dengan penipuan dari rampasan perang telah diulas pada pembahasan tentang jihad.[11]
2.    Pengaturan Tindak Pindana Korupsi di Indonesia
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hkum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.[12]
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesian dengan sebutan korupsi. Menurut Sutarto yang dikutip oleh Mansyur Semma menjelaskan kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Demikian pula ada pendapat lain dari Henry Campbell Black mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Di dalam konvensi PBB menentang korupsi, United Nation Convention Againts Corruption, 2003 (UNCAC) yang telah diratifikasi pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 ada beberapa perbuatan yang dikategorikan korupsi yaitu:[13]
a.       Penyuapan, janji, tawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau swasta atau internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut.
b.      Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik/swasta/internasional.
c.       Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.
Menurut undang-undang 31 tahun 1991 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 bahwa pengertian korupsi:[14]
Pasal 2
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan melawan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Pasal 3
 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasul perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan Jinayah Kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan atau kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau sebaliknya) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.[15]
Di Indonesia langkah langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang-undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut:
1.    Masa Peraturan Penguasa Militer
2.    Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3.    Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.    Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI-387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan penjelasan di atas pengaturan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia secara yuridis formal sudah lama dilaksanakan, namun indeks korupsi Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini dapat dilihat dari data yang dipublish oleh Komisi Pemberantasan Korupsi:
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah. Skor IPK pada tahun 2013 masih merujuk pada angka 3,2. Skor yang sama dengan perolehan pada tahun 2012. Kendati begitu, peringkat Indonesia naik dari posisi 118 pada tahun 2012 menjadi 114 pada tahun 2013. Kondisi hampir serupa juga terjadi pada sebagian besar negara anggota ASEAN. Hal ini terlihat dari hasil survei Lembaga Tranparency Internasional yang mencatat hanya Singapura dan Brunei Darusalam yang memiliki IPK tinggi yakni 8,6 dan 6,0. Sementara itu, negara lainnya memiliki skor IPK di bawah 5,0; sebut saja Kamboja ( 2,0), Myanmar (2,1), Laos (2,6), Timor Leste (3,0), Vietnam (3,1), Filipina, (3,5), dan Thailand (3,6).[16]
Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK)
Tahun 2004-2014 (per 31 Januari 2014)[17]
Penindakan
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Jumlah
Penyelidikan
23
29
36
70
70
67
54
78
77
81
7
592
Penyidikan
2
19
27
24
47
37
40
39
48
70
6
359
Penuntutan
2
17
23
19
35
32
32
40
36
41
6
283
Inkracht
0
5
17
23
23
39
34
34
28
40
0
243
Eksekusi
0
4
13
23
24
37
36
34
32
44
3
250

NB: Penyidikan 6 Kasus. Mengawali di tahun 2014, KPK melakukan penyelidikan 7 perkara, penyidikan 6 perkara, penuntutan 6 perkara, inkracht 0 perkara, dan eksekusi 3 perkara. Dan dengan demikian, maka total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2014 adalah penyelidikan 592 perkara, penyidikan 359 perkara, penuntutan 283 perkara, inkracht 243 perkara, dan eksekusi 250 perkara.

Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.[18]
Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundangundangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.[19]
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain:[20]
(1)   aspek perilaku individu.
(2)   aspek organisasi
(3)   aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada
Terhadap aspek perilaku individu, Isa Wahyudi memberikan gambaran, sebab-sebab seseorang melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Lebih jauh disebutkan sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain: [21]
(a) sifat tamak manusia,
(b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan
(c) gaya hidup konsumtif
(d) tidak mau (malas) bekerja keras

C.  PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam uraian di atas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut:
Pertama agama Islam melalui hadis di atas menggambarkan  korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan Jinayah Kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan atau kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau sebaliknya) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.
Kedua, korupsi yang merajalela pada saat ini justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri. Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi tidak terbendung meskipun masjid semakin penuh sesak, dan yang menunaikan ibadah haji semakin membludak. Semarak kehidupan beragama tersebut terbukti sama sekali tidak mempunyai korelasi positif terhadap pembentukan ahklak dan moralitas kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.













DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qodir Jaelani, dkk, Mahasiswa dan Masa Depan Bangsa,Yogyakarta: Bagian Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Abdul Qodir Jaelani, Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Dalam Membangun Pradigma Hukum Progresif Indonesia, “Naskah Lomba Karya Ilmiah Tingkat UIN Sunan Kalijaga Tahun 2013.
Amiruddin, Fathul Baari 35 Penjelasan Kitab Sahih Al Bukhari: Fitnah, Hukum, Harapan dan Khabar Ahad, Jakarta: Pustaka Azam, 2012.
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi: Kajian Yuridis UURI Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 Juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009, Jakarta: Sinar Grafika,2010.
Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Imam Al Hafiz, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, tt.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2011.
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, Dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obaor, 2008.
Miriam Budiardjo,  Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2007.
Satgas PMH, Mafia Hukum, Jakarta: Satgas PMH – UNDP, 2010.
Suyitno, Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama, Yogyakarta: Gama Media, 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003.
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.



[1]Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi: Kajian Yuridis UURI Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 Juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm.1.
[2]Ibid, Lihat juga Miriam Budiardjo,  Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm.109.
[3]Ibid, hlm.3.
[4]Abdul Qodir Jaelani, dkk, Mahasiswa dan Masa Depan Bangsa, (Yogyakarta: Bagian Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), hlm.73. Lihat juga Abdul Qodir Jaelani, Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Dalam Membangun Pradigma Hukum Progresif Indonesia, “Naskah Lomba Karya Ilmiah Tingkat UIN Sunan Kalijaga Tahun 2013” hlm.5.
[5]Ibid.
[6]Suyitno, Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama, (Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm.106.
[7]Amiruddin, Fathul Baari 35 Penjelasan Kitab Sahih Al Bukhari: Fitnah, Hukum, Harapan dan Khabar Ahad, (Jakarta: Pustaka Azam, 2012), hlm.564.
[8]Hadis ini merupakan hadis yang ke-7174 Dalam Kitab Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Imam Al Hafiz, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, tt), hlm.564.
[9]Ibid.
[10]Ibid, hlm.564-578.
[11]Ibid., hlm.565-566.
[12]Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, Dan Perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obaor, 2008), hlm.32..
[13]Lihat Penjesan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
[14]Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.15.
[15]Mansyur Semma, Negara dan … hlm.33.
[16]Melihat indeks ini korupsi indonesia menurut KPK tahun 2012 korupsi Indonesia tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mencapai Rp. 37 T . 37 T Rupiah atau 2.2 Billion Euro sama dengan 400 M Euro per tahun. Korupsi di Uni Eropa tahun 2012: 122 billion Euro sama dengan 2000 Trilyun, korupsi di UE ini 244 kali lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
[18]Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2011), hlm.37.
[19]Ibid.
[20]Satgas PMH, Mafia Hukum, (Jakarta: Satgas PMH – UNDP, 2010), hlm.9.
[21]Ibid.