KAJIAN NORMATIF HISTORIS TERHADAP
PENGATURAN ZAKAT FITRAH DALAM
QUR’AN DAN HADIS
A. Pendahuluan
Kapanpun dan dimanapun arus perubahan yang bergulir, diakui atau tidak, akan mempengaruhi cara berfikir dan prilaku kehidupan masyarakat. Umat Muslim yang hidup bersama Nabi (muslimat al-risalah) memang tidak mengalami hal ini karena disamping belum ada akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi yang selalu menjadi refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Keadaan tersebut berbeda sekali dengan pasca kenabian, kaum muslim, terutama yang berada di daerah-daerah baru dibuka (muslimat al-futuh) sudah mengenal peradaban yang lebih maju ketimbang peradaban yang ada di jazirah Arabia. Berbagai problempun mengemuka akibat dari akulturasi budaya, dan tuntutan riil dalam kehidupan. Peristiwa hukum sering tidak ditemukan paralelnya dalam al-Qur’an dan Sunnah sehingga sulit membuat acuan penetapan hukum yang tepat. Akibatnya muncul berbagai fatwa hukum yang saling bersebrangan, karena ada yang terlampau rigid dalam memahami nash, dan ada pula yang terlalu “luas”. Perbedaan-perbedaan pendapat yang mengemuka, kemudian terasa sangat tajam, di sinilah letak pentingnya kehadiran metode dan kaidah ijtihad yang akademis dan solutif, untuk meminimalkan perbedaan di tengah masyarakat.
Memahami sejarah fiqih dan ushul fiqih memiliki urgensi yang signifikan bagi umat Islam. Pengetahuan historis atas kedua ilmu ini memberikan satu kejelasan tentang kedudukannya dalam agama Islam, sehingga dapat menghindarkan umat Islam dari misinterpretasi (salah penafsiran) terhadap ketetapan hukumnya. Sesuai dengan sifatnya, kedua ilmu ini bersifat relatif, terbentuk karena adanya kepentingan kondisional terkait dengan pelaksanaan ijtihad para ulama pada masanya. Dengan demikian ketetapan dan rumusannya bukan bersifat mutlak, tidak final, tetapi memungkinkan terjadi perubahan, rekonstruksi, bahkan dekontruksi.
Islam sebagai agama samawi yang terakhir telah mengajarkan ummatnya untuk selalu berbuat adil terhadap sesamanya. Artinya tindakan adil tersebut yang harus dilakukan dalam setiap kehidupan sosial bermasyarakat. Adil merupakan ajaran inti ketika terjadi interaksi antar sesama manusia, sehingga terjadi keselarasan hidup dan keseimbangan dalam tatanan sosial dan kemasyarakatan. Banyak hal dalam ajaran Islam yang menekankan pada nilai-nilai keadilan, terutama yang berkaitan dengan aspek muamalah syar’iyah. Di antaranya adalah ajaran Islam tentang pentingnya kepedulian sosial dari yang mampu (aghniya) terhadap yang tidak mampu (masakin). Kepedulian sosial ini merupakan perhatian yang harus dilakukan antar sesama umat Islam. Zakat merupakan instrumen ekonomi yang diperuntukkan guna mengatasi kesenjangan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Karena secara khusus zakat dalam penyalurannya diutamakan kepada mereka yang serba kekurangan didalam harta.
Zakat fitrah yang dikeluarkan oleh masyarakat muslim, utamanya di setiap tahun pada bulan Ramadhan, dan masa pelaksanaan waktunya habis ketika orang-orang telah menunaikan ibadah shalat Ied. Tegasnya jika waktu penyerahan melewati batas tersebut, maka yang diserhkan tidak termasuk dalam kategori zakat fitrah melainkan sedekah biasa. Zakat fitrah selama ini diyakini umat muslim sebagai ibadah tetap dan wajib. Zakat fitrah mengandung ketentuan yang khusus, yaitu zakat fitrah tidak ada ketentuan nishab pemilikan atau kekayaan per-tahun, bahkan tidak ada ketentuan umur selama bayi yang lahir masih menemui waktu puasa bulan Ramadhan meski hanya lima menit atau kurang. Jadi sejak lahir sampai mati pada bulan Ramadhan bagi orang Islam wajib zakat atasnya sejumlah satu shaq’(3,1 liter 2,5 kg., atau 2,7 kg), makanan pokok yang biasa dikonsumsi daerah bersangkutan.
Tulisan ini akan mencoba memaparkan dasar normatif dikeluarkannya zakat dan mencoba memaparkan historical zakat dan manfaat zakat secara sosial.
B. Zakat Dalam Konteks Historis dan Normatif
Zakat fitrah disebut juga sedekah fitrah atau jenis sedekah yang harus dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan. Zakat fitrah diwajibkan kepada muslim untuk membersikan dan menyempurnakan puasanya. Selain itu zakat fitrah dimaksudkan untuk memperbaiki perbuatan buruk yang dilakukan selama bulan puasa dan juga bertujuan menghibur kaum ekonomi lemah ikut serta dalam kegembiraan menyambut datangnya hari raya Idul Fitri. Pada tahun kedua hijriyah tepatnya 623 Masehi, Nabi Saw. mengumumkan di hadapan para sahabat tentang kewajiban mengeluarkan zakat nafs (zakat fitrah) yang sangat umum dikenal masyarakat dengan sebutan zakat fitrah. Zakat nafs diumumkan dua hari sebelum peleksanaan hari raya Iedul Fitri, pada waktu itu baru dimulai. Pada waktu itu juga Nabi Saw. menerangkan kewajiban dan kefardluan zakat fitrah sebelum pergi ke tempat shalat hari raya, dan Nabi saw. bertindak secara langsung sebagai pembagi zakat fitrah kepada fakir miskin. Atas tindakan Nabi Saw. dalam pembagian zakat tersebut, kemudian ada ulama yang berpandangan bahwa zakat nafs atau fitrah hanya diperuntukan kepada fakir-miskin saja.
Realitas kewajiban dan penyaluran zakat fitrah yang dilakukan Nabi Saw. dapat diambil suatu pemahaman, bahwa setidaknya kita bisa mengambil pelajaran tentang pembagian zakat fitrah lebih diutamakan kepada fakir-miskin. Sekalipun kemudian pada tahun ke sembilan hijriyah turun surah at-Taubah ayat 60; tentang pembagian zakat yang berhak mendapatkan adalah delapan asnaf. Fakta literatur teks tentang zakat fitrah yang mengupas secara detail perihal “zakat fitrah” cukup memadai seperti karya Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, an-Nawawi dalam kitab Minhajul Muhadditsin, Ibn Rusyd Bidayatul Mujtahid dan lain-lain, menandakan bahwa status kewajiban zakat fitrah telah memperoleh legitimasi dari kitab tersebut, sehingga proses pemahaman dan pengumpulan zakat telah diantur oleh amil dalam hal ini pemerintah yang berwewenang.
Dengan latar belakang kondisi sosio-religious seperti itu, maka realisasi strategi dalam mengeluarkan zakat fitrah harus mengedepankan azas fleksibelitas atau ma’qulat al-ma’na (bersifat rasional). Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi setiap yang memilki persediaan lebih dari kebutuhan bagi setiap anggota keluarganya pada hari dan malam hari raya Idul Fitri. Dengan kata lain, seorang ayah harus mengeluarkan zakat fitrah bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggunganya. Menurut hadis yang diriwayatkan Ibn Umar ra. dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. menetapkan zakat fitrah dibayar pada bulan Ramadhan dan besaranya adalah satu sha’ kurma atau gandum makanan pokok masyarakat muslim setempat, baik merdeka, hamba sahaya laki-laki atau perempuan muda maupun tua.
Waktu mengeluarkan zakat fitrah menurut Imam Syafi’i, yakni sejak masuknya hari pertama bulan Ramadhan akan tetapi lebi utama jika zakat fitrah dikeluarkan pada dua hari terakhir puasa Ramadhan. Namun pada sisi yang lain, diutamakan pada hari pertama Idul Fitri sebelum masuknya waktu shalat Ied, akan tetapi jika zakat fitrah tersebut dikeluarkan setelah shalat “Ied maka hal tersebut dianggap sebagai sedekah biasa. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, zakat fitrah boleh diganti dengan uang yang jumlahnya sama dengan satu sha’ beras atau makanan pokok setempat.
Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah waktu pengeluaran zakat dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu untuk memahami filosofi dari aturan hukum ketika hukum itu diterapkan pada masanya. Dudung Abdurrahman, menyatakan bahwa teori sejarah adalah upaya mengkaji peristiwa-peristiwa masa lampau yang dijadikan sebagai alat untuk menganalisis terhadap sintesis (perpaduan) sejarah, di mana suatu peristiwa sosial itu terjadi.
Teori sejarah yang digagas Cohen, dapat digunakan untuk memahami atau menganalisis kenyataan-kenyataan terhadap penerapan zakat pada masa lampau, yang masih relevan dengan konteks kehidupan sosial sekarang. Teori sejarah biasanya dinamakan kerangka referensi atau skema pemikiran. Karena itu, teori sejarah pada dasarnya tidak berbeda dengan teori-teori ilmiah (scientific) pada umumnya. Secara sekematis, teori sejarah oleh Cohen dibagi menjadi tiga tipologi, yaitu universalitas, empiris dan kausal.
Pertama, universalitas, maksudnya lebih menekankan pada proses generalisasi, yaitu merujuk pada kenyataan-kenyataan yang ajeg (rutin), dalil atau teks-teks hukum yang berlaku untuk beberapa kasus atau peristiwa. Jika masyarakat setiap melakukan pembayaran zakat fitrah didasari oleh teks suci, paham kewajiban zakat, legislasi, regulasi dan interpretasi ulama, maka tindakannya itu disebut tindakan yang ajeg (universalitas) dan nyata dalam kehidupan masyarakat.
Kedua, empiris, maksudnya lebih memfokuskan pada pembuktian suatu peristiwa hukum atau tradisi melalui observasi dan dapat diubah sesuai dengan setting sosial dan ditolak bila tidak relevan dengan kondisi sosial. Jika masyarakat muslim didasari oleh legislasi dan regulasi dalam bingkai hukum positif yang relevan dengan kondisi sosial, maka tindakannya itu adalah tindakan sosial empiris. Jadi setiap tindakan yang dilakukan masyarakat muslim dalam pengumpulan zakat, baik berupa uang atau beras atau kaitanyan dengan zakat mal mencapai nisab atau tidak (kurang dari 2,5% atau zakat fitrah berupa beras atau uang tentu tindakannya itu memiliki dasar-dasar yang kuat dan relevan dengan konteks sosial. Misalnya Nabi saw. menentukan nisab zakat 2,5% bagi masyarakat Mekah dan Medinah pada umumnya, adalah negeri yang terbatas sumber daya alamnya. Oleh karena itu terkait dengan masalah ini, Nabi saw. mempertimbangkan sektor mana yang perlu dikembangkan, pertanian ataukah perdagangan. Sesuai dengan kondisi sosial masyarakat, Nabi saw. memilih tarif zakat pertanian lebih tinggi 10% atau 5% dibanding perdagangan 2,5%. Jadi atas dasar pertimbangan itu jelas bahwa masalah nisab bukanlah ketentuan yang qati (tidak dapat berubah), tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi sosial dan tuntutan perkembangan zaman, terutama dalam bidang-bidang produksi, industri, distribusi dan lain-lain pada abad kemajuan sains teknologi sekarang ini.
Ketiga, kausal, maksudnya dalam proses perubahan atau peristiwa pasti ada “sebab dan mengapa”, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua, (a) monokausalitas, maksudnya bahwa suatu perubahan itu hanya dapat dirujukkan kepada satu faktor saja, misalnya masalah ekonomi, sosial atau hukum, (b) multikausalitas, maksudnya suatu peristiwa atau gejala itu dikembalikan pada perspektifnya atau bagaimana cara memandang penyebab suatu peristiwa itu dari berbagai aspeknya, seperti aspek sosial, agama, ekonomi, hukum dan politik. Jika masyarakat muslim melakukan pengumpulan zakat fitrah pada amil Desa atau tokoh agama setempat tentu ada penyebabnya (kausal), penyebab itu adalah adanya keyakinan bahwa zakat fitrah baik berupa beras atau uang merupakan kewajiban agama khusus pada bulan Ramadhan yang harus ditunaikan, sehingga menimbulkan perubahan monokausalitas dan multikausalitas.
C. ZAKAT DALAM DIMENSI SOSIAL
Sebagaimana telah dipahami, bahwa sosiologi secara luas adalah ilmu tentang kemasyarakatan dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro sociolgy, yaitu ilmu tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.
Interaksi merupakan objek ilmu sosiologi, baik dalam bentuk yang sederhana maupun bentuknya yang paling kompleks, secara terus-menerus mengarahkan terbentuknya pola-pola dengan rangkaian tipologi. Alfred Schutz menetapkan sosiologi adalah ilmu yang mengamati tindakan sosial, sebagai ilmu pengetahuan interpretatif. Implementasi zakat fitrah yang terkait dengan paham keyakinan agama atau kewajiban zakat, yang dipelopori tokoh agama setempat melalui amil desa atau Kecamatan, merupakan simbol-simbol keagamaan dan kegiatan yang dianggap gejala yang paling kuat dalam mempertahankan posisi pembayaran zakat, terutama zakat fitrah. Tidak diragukan lagi bahwa masalah-masalah teoritis utama dalam sosiologi adalah menjelaskan dan menganalisa pola-pola tindakan atau kelakuan yang bersifat yuridis (menurut hukum).
Dalam rangka memahami hubungan antara hukum dengan struktur sosial yang mendukung hukum itu, perlu menempatkan basis sosial di samping hukum. Al-Qur’an (Ali Imran:159) sediri sebenarnya, kaya dengan pendekatan sosial. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana nilai-nilai dan norma hukum yang berlaku di dalam masyarakat itu dapat diterima dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan berlatar belakang analisis sosial tersebut, maka dapat dikatakan bahwa setiap sistem sosial harus memenuhi empat syarat kebutuahan dasar (basic needs). Pertama, pengerahan sumber daya (mobilizing resources) manusia sebagai cara untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada dan masyarakat sebagai keseluruhan fungsi yang diupayakan oleh kekuatan ekonomi. Kedua, pencapaian tujuan (goal attaintment) atau tujuan bersama (common objectives) dan alokasi sumber daya manusia untuk mencapai tujuan. Ketiga, diferensiasi (tatanan posisi sosial dalam suatu hirarki penilaian) menimbulkan masalah integrasi, dan berbagai pranata berkembang untuk mendamaikan pertikaian (conflicts) dan memperkuat integrasi, seperti mahkamah-mahkamah peradilan. Empat, pola-pola nilai yang dianggap penting harus diwariskan kepada generasi baru dan ketegangan harus diatasi, ini merupakan fungsi terpenting dari keluarga.
Zakat merupakan sistem sosial, karena dapat berfungsi menyelamatkan masyarakat dari kelemahan baik karena bawaan ataupun keadaan. Selain itu, zakat digunakan bagi kepentigan umum dalam menanggulagi problem-problem sosial, bencana alam serta membantu sekian banyak kelompok yang membutuhkannya. Zakat merupakan pemberian materi yang sulit dipahami, oleh karena itu zakat tidak mudah diamalkan, kecuali apabila terlebih dahulu dipahami dan diyakini segi-segi keuntungan dan dampaknya.
Dalam pandangan al-Ghazali zakat merupakan jenis ibadah yang berbentuk ritual sekaligus material tidak seperti ibadah shahadat, shalat atau puasa. Untuk bisa sampai ke arah sana diperlukan pemahaman yang memadai untuk menyadarkan bahwa kewajiban zakat bukanlah sekedar amaliah ritual mahdah saja, tetapi juga memiliki makna kewajiban sosial. Sejalan dengan filsafat dasarnya, zakat di mata ahli fikih adalah kewajiban, perintah Tuhan. Akan tetapi apabila dipahami di balik yang tampak itu, maka terkadung makna sosialnya. Sebagai ibadah yang memiliki makna sosial yang formal, juga terikat oleh syarat dan rukun tertentu. Karena itu, sesuai dengan sifatnya kewajiban zakat yang ilzami-ijbari (perintah wajib) yang harus dilaksanakan dengan pasti, maka penanganan zakat harus diimplementasikan dalam suatu tugas operasional oleh suatu lembaga yang fungsional, Rasulullah SAW menegaskan:
عن الزهرى أنه سمع عروة أخبرنا أبو حميد السّاعديُّ قال: استعمل النّبيٌّ صلّى الله عليه وسلام رجلاً من بنى أسدٍ يقال له ابن الأُتبية على صدقة, فلما قدم قال: هذا لكم وهذا أهدي لى. فقام النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم على المنبر – قال سفيان أيضاً فصعد المنبر- فحمد الله و أثنى عليه, ثمّ قال: ما بال العامل نبعثه, فيأتي يقول هذا لك وهذا لى. فهلاً جلس في بيت أبيه وأمِّه فينظر أيهد له أم لا, والّذى نفسى بيده لا يأتي بشيء إلاّ جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته, إن كان بعيراً له رغاءٌ, أو بقرةً لها خوارٌ, أو شاةً تيعر. ثمّ رفع يديه حتّى رأينا عفرتى إبطيه: ألا هل بلغت. ثلاثاً.
قال سفيان: قصّه علينا الزهريّ. وزاد هشامٌ عن أبيه عن أبي حميد قال: سمع أذناى وأبصرته عينى, وسلوا زيد بن ثابثٍ فإنه سمعه معى. ولم يقل الزّهرىّ سمع أذنى.
خوارٌ: صوتٌ, والجؤار من تجأرون كصوت البقرة.
Artinya: Dari Az-zuhri, bahwa dia mendengar Urwah, Abu Humaid As-Sa’idi mengabarkan kepada kami, dia berkata: Nabi SAW pernah menugaskan seorang laki-laki dari bani Sa’ad yang disebut Ibnu Al Utaibiyyah, untuk mengambil sedekah. Ketika kembali dia berkata, “ini untuk kamu dan ini dihadiahkan kepadaku.” Nabi SAW kemudian berdiri di atas mimbar-Sufyan Berkata pula, “beliau naik mimbar” – lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, lantas bersabda, “Apa urusan petugas yang kami utus, dia datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku’, Mengapa dia tidak duduk dirumah bapak dan Ibunya, lalu diperhatikan apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah dia datang membawa sesuatu melainkan pada hari kiamat nanti datang sambil membawanya di atas pundaknya, apabila unta maka ia bersuara, apabila sapi maka ia akan menguak, apabila kambing ia akan mengembik.” Setelah itu belia mengangkat kedua belah tangannya hingga kami melihat putih kedua ketiaknya, “apakah aku sudah menyampaikannya,” tiga kali.
Sufyan berkata, “Az-Zuhri menceritakannya kepada kami, Hisyam menambahkan, ‘Dari bapaknya, dari Abu Humaid, dia berkata, “Kedua telingaku mendengar dan kedua mataku melihat, dan tanyalah Zaid bin Tsabit, bahwa dia pernah mendengarkan bersamaku”,’ Az-Zuhri tidak mengatakan, ‘Telingaku mendengar.”
Khuwar artinya suara. Sedangkan ju’aar berasal dari kata taj’aruun, artinya suara sapi.
Zakat adalah kesalehan diri melalui ikhtiar sosial. Agar sampai kepada kesadaran seperti itu diperlukan penyadaran yang dibarengi dengan tindakan amal-amal sosial bertujuan, termasuk mengeluarkan zakat, infak dan sadaqah. Karena dalam ajaran zakat ini pandangan dan komitmen sosialnya begitu jelas, bahkan dari titik kepentingan yang paling menyentuh hajat orang banyak, yaitu pemenuhan kebutuhan ekonomi. Ajaran zakat dan konsep-konsepnya yang diletakan pada porsi bahasan yang lebih luas, melalui pendekatan sosial-spritual, kiranya cukup menguatkan dasar-dasar kewajiban zakat sebagai jalan kesalehan dan kesucian diri personal dari kekotoran dosa yang berdimensi personal. Secara keseluruhan sentuhan sosial-spiritual ajaran zakat fokusnya adalah pada upaya bagaimana seseorang harus dapat menata hatinya sedemikian rupa sehingga kesadaran dalam menjalankan kewajiban zakat dapat ditunaikan dengan penuh keihlasan.
D. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas maka zakat fitrah yang dikeluarkan oleh masyarakat muslim, utamanya di setiap tahun pada bulan Ramadhan, dan masa pelaksanaan waktunya habis ketika orang-orang telah menunaikan ibadah shalat Ied. Tegasnya jika waktu penyerahan melewati batas tersebut, maka yang diserhkan tidak termasuk dalam kategori zakat fitrah melainkan sedekah biasa.
Zakat merupakan sistem sosial, karena dapat berfungsi menyelamatkan masyarakat dari kelemahan baik karena bawaan ataupun keadaan. Selain itu, zakat digunakan bagi kepentigan umum dalam menanggulagi problem-problem sosial, bencana alam serta membantu sekian banyak kelompok yang membutuhkannya. Hal ini diperkuat oleh al-Ghazali yang menyebutkan bahwa zakat merupakan jenis ibadah yang berbentuk ritual sekaligus material tidak seperti ibadah shahadat, shalat atau puasa. Untuk bisa sampai ke arah sana diperlukan pemahaman yang memadai untuk menyadarkan bahwa kewajiban zakat bukanlah sekedar amaliah ritual mahdah saja, tetapi juga memiliki makna kewajiban sosial. Sejalan dengan filsafat dasarnya, zakat di mata ahli fikih adalah kewajiban, perintah Tuhan. Akan tetapi apabila dipahami di balik yang tampak itu, maka terkadung makna sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Sodiqin, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda, 2012.
Amiruddin, Fathul Baari 35 Penjelasan Kitab Sahih Al Bukhari: Fitnah, Hukum, Harapan dan Khabar Ahad, Jakarta: Pustaka Azam, 2012.
Antonie A.G. Peters, dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.
Bert F. Hoselitz, ed., Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial Pemerkaya Pendekatan Antar Disiplin dan Bacaan Awal Sebuah Memilih Spesialisasi, Jakarta: Rajawali, t.th.
Calvin Goldscheider, Populasi, Modern, dan Struktur Sosial, terj. Nin Bakdi S, Jakarta: Rajawali, 1985.
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, London: Sage, 2001.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Joesoef Sou’yb, Masalah Zakat dan Sistem Moneter Medan: Rimbow, 1987.
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
M. Nurdin Zuhdi, Pasarnya Tafsir Indonesia: dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi, Yogyakarta: KAUKABA, 2014.
Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara untuk Rakyat, Bandung: Mizan, 2005.
Muh. Hudi, Sinergisitas Hukum Zakat Fitrah, Yogyakarta: Mahameru, 2013.
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , Jakarata: Kencana, 2005.
Qadri Azizi, Reformasi Bermazhab, Jakarta: Teraju, 2003.
Samsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Tim Penyusun, Khutbah Jum’at Ekonomi syariah, Jakarta: PKES, t.t.
Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012.