ANTIKORUPSI
DALAM HADIS:
KAJIAN
NORMATIF HISTORIS TERHADAP
TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM HADIS
A. PENDAHULUAN
Hampir dua
abad yang lalu, Lord Acton dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton
menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara “korupsi” dengan “kekuasaan”,
yakni: “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely”,
bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cendrung
korupsi absolut.[1]
Makalah ini sengaja saya awali dengan mengutip ungkapan dari Lord Acton
tersebut, karena pada kenyataannya yang terjadi dinegara kita saat ini adalah
sama persis dengan apa yang diungkapkan oleh Lord Acton tersebut bahwa “power
tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely”, kekuasaan
cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.[2]
Bukan hanya
di Indonesia korupsi terjadi, tetapi dibelahan dunia yang lain tindak pidana
korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan
tindak pidana yang lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat dimaklumi,
karena mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi
yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu
negara, bahkan juga terhadap kehidupan antarnegara.[3]
Seperti diketahui
korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di segala segi
kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia. Secara
sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi.
Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab dalam realitanya kompleksitas
korupsi dirasakan bukan masalah hukum semata, akan tetapi sesungguhnya
merupakan pelanggaraan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi
telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar. Masyarakat
tidak dapat menikmati pemerataan hasil pembangunan dan tidak menikmati hak yang
seharusnya diperoleh. Dan secara keseluruhan, korupsi telah memperlemah
ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Korupsi di Indonesia yang
sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and deep-rooted) akhirnya
akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self
destruction). Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan
pohon itu mati dan di saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati
karena tidak ada lagi yang bisa di hisap.[4]
Pemberantasan korupsi
bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan
mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan
menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan
hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya
menghapuskan kemiskinan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak
lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia yang sudah
sangat menderita karena korupsi yang semakin merajarela.[5] Masdar F. mas’udi mengatakan bahwa korupsi yang
merajalela pada saat ini justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri.
Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi
tidak terbendung meskipun masjid semakin penuh sesak, dan yang menunaikan
ibadah haji semakin membludak. Semarak kehidupan beragama tersebut terbukti
sama sekali tidak mempunyai korelasi positif terhadap pembentukan ahklak dan
moralitas kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wajar
apabila kemudian muncul kritik kepada agama dalam hal ini islam “kitab sucinya
tidak berhasil mendidik umatnya menghadapi masalah kemanusian, terutama
dalam hal korupsi.[6]
Dalam makalah ini, penulis ingin mengkaji dan membaca secara
komprehensif tentang problematika tindak pidana korupsi melalui kacamata hadis,
yaitu dengan melacak hadis-hadis yang mengandung makna subtansial tentang
korupsi atau tindak pidana korupsi. Jika digali lebih dalam, hadis-hadis yang
bertema tentang korupsi sangatlah banyak. Selama ini hadis yang terkait kurang
dipopulerkan pada masyarakat luas, masyarakat lebih banyak menggali dan
menggunakan hadis-hadis tentang poligami, perceraian dan halal-haram. Tentu hal
ini membawa konsekuensi logis terhadap tumbuh suburnya budaya korupsi di
kalangan masyarakat. Bagi kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh korupsi,
jelas bahwa penyebarluasan hadis korupsi berarti mempersempit ruang gerak bagi
kelompok yang koruptif. Tapi bagi penulis, yang mempunyai komitmen pada
pemberantasan korupsi, menulis tentang hadis-hadis korupsi sangatlah penting
untuk mendorong kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang baik, adil beradab
dan kemakmuran demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
B. PEMBAHSASAN
1. Hadis Berbicara
Tentang Korupsi
a. Teks Hadis
عن
الزهرى أنه سمع عروة أخبرنا أبو حميد السّاعديُّ قال: استعمل النّبيٌّ صلّى الله
عليه وسلام رجلاً من بنى أسدٍ يقال له ابن الأُتبية على صدقة, فلما قدم قال: هذا
لكم وهذا أهدي لى. فقام النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم على المنبر – قال سفيان
أيضاً فصعد المنبر- فحمد الله و أثنى عليه, ثمّ قال: ما بال العامل نبعثه, فيأتي
يقول هذا لك وهذا لى. فهلاً جلس في بيت أبيه وأمِّه فينظر أيهد له أم لا, والّذى
نفسى بيده لا يأتي بشيء إلاّ جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته, إن كان بعيراً
له رغاءٌ, أو بقرةً لها خوارٌ, أو شاةً تيعر. ثمّ رفع يديه حتّى رأينا عفرتى
إبطيه: ألا هل بلغت. ثلاثاً.
قال
سفيان: قصّه علينا الزهريّ. وزاد هشامٌ عن أبيه عن أبي حميد قال: سمع أذناى
وأبصرته عينى, وسلوا زيد بن ثابثٍ فإنه سمعه معى. ولم يقل الزّهرىّ سمع أذنى.
Artinya: Dari Az-zuhri, bahwa dia mendengar Urwah, Abu Humaid As-Sa’idi
mengabarkan kepada kami, dia berkata: Nabi SAW pernah menugaskan seorang
laki-laki dari bani Sa’ad yang disebut Ibnu Al Utaibiyyah, untuk mengambil
sedekah. Ketika kembali dia berkata, “ini untuk kamu dan ini dihadiahkan
kepadaku.” Nabi SAW kemudian berdiri di atas mimbar-Sufyan Berkata pula,
“beliau naik mimbar” – lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, lantas bersabda, “Apa
urusan petugas yang kami utus, dia datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini
untukku’, Mengapa dia tidak duduk dirumah bapak dan Ibunya, lalu diperhatikan
apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya,
tidaklah dia datang membawa sesuatu melainkan pada hari kiamat nanti datang
sambil membawanya di atas pundaknya, apabila unta maka ia bersuara, apabila
sapi maka ia akan menguak, apabila kambing ia akan mengembik.” Setelah itu
belia mengangkat kedua belah tangannya hingga kami melihat putih kedua
ketiaknya, “apakah aku sudah menyampaikannya,” tiga kali.
Sufyan berkata,
“Az-Zuhri menceritakannya kepada kami, Hisyam menambahkan, ‘Dari bapaknya, dari
Abu Humaid, dia berkata, “Kedua telingaku mendengar dan kedua mataku melihat,
dan tanyalah Zaid bin Tsabit, bahwa dia pernah mendengarkan bersamaku”,’ Az-Zuhri
tidak mengatakan, ‘Telingaku mendengar.”
Khuwar artinya suara. Sedangkan ju’aar berasal dari kata taj’aruun,
artinya suara sapi.[8]
b. Keyword Teks Hadis[9]
No
|
Keyword
Teks Hadis
|
Artinya
|
1.
|
عن
الزهرى
|
(Dari
Az-Zuhri). Telah disebutkan
pada bagian akhirnya keterangan yang menunjukkan bahwa Sufyan mendengarkannya
dari Az-zuhri. Keterangan yang dimaksud adalah perkataannya, قال سفيان: قصّه علينا الزهريّ. Dalam riwayatAl Humaidi dalam kitab Al Musnad disebutkan hadits
dari Sufyan. Abu Nu’aim menceritakan pula dari jalurnya. Sementara dalam
riwayat Al Ismaili dari Muhammad bin Manshur, dari Sufyan.
|
2.
|
أنه
سمع عروة
|
(Bahwa
dia mendengar Urwah). Dalam
riwayat Syu’aib, dari Az-Zuhri, pada pembahasan tentang sumpah dan nadzar.
|
3.
|
استعمل
النّبيٌّ صلّى الله عليه وسلام رجلاً من بنى أسدٍ
|
(nabi saw
memperkerjakan seorang laki-laki dari bani asad). demikian redaksi yang tercantum di tempat ini. ini memberi asumsi
bahwa huruf sin pada kata أسدٍ di beri harakat fathah karena dinisbathkan kepada bani asad bin
khuzaimah, salah satu suku yang masyhur, atau kepada bani asad bin abdul uzza
salah satu marga di kalangan Quraisy. padahal sebenarnya tidak demikian.
hanya saja Imam Ibnu Hajar
Al Asqalani dan Al Imam Al Hafiz mengatakan memberi asumsi karena Al-Azdi
senantiasa disertai huruf alif dan lam dalam nama. Kemudian
tercantum dalam riwayat Al Ashili di tempat ini من
بنى أسد . Tetapi ini tidak menimbulkan kemusykilan bila diberi harakat sukun
pada huruf sin.
|
4.
|
أسدٍ
يقال له ابن الأُتبية
|
(Dia biasa disebut Ibnu Al
Atabiyyah). Demikian redaksi
yang tercantum dalam riwayat Abu Dzar, yaitu dengan harakat fathah
pada huruf hamzah dan ta’ serta harakat kasrah pada
hurup ba’. Sementara catatan kaki disebutkan dengan huruf lam
ganti hamzah. Demikian pula disebutkan seperti versi pertama oleh
periwayat lainnya sebagaimana halnya yang tercantum pada pembahasan tentang
hibah. Dalam riwayat Muslim, disebutkan dengan huruf lam yang diberi
harakat fathah kemudian ta’ yang diberikan harakat sukun
dan sebagaian memberi harakat fathah. Kemudian terjadi perbedaan pada
Hisyam bi Urwah dari bapaknya bahwa dia juga menggunakan huruf lam
atau hamzah seperti dalam bab “Imam Melakukan Perhitungan (audit)
terhadap Pegawainya”, tetapi dalam riwayat Muslim menggunakan hurup lam.
|
5.
|
على
صدقة
|
(Atas Sedekah). Pada pembahasan tentang hibah (pemberian) disebutkan dengan redaksi على
الصدقة . Demikian juga dalam riwayat Imam Muslim. Sementara pada pembahasan
tentang zakat telah disebutkan dengan jelas orang yang ditugaskan kepada
mereka.
|
6.
|
فلما
قدم قال: هذا لكم وهذا أهدي لى
|
(Ketika dia datang, maka dia
berkata, “Ini untuk kamu dan ini ini dihadiahkan kepadaku). Dalam riwayat Ma’mar disebutkan,فخاء بالمال فدفعه الي النبي صلي الله علىه وسلم فقال: هدا مالكم وهده
هديت أهديت لى (dia kemudian datang
membawa harta lalu menyerahkannya kepada Nabi SAW lantas berkata, “Ini harrta
kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku).
|
7.
|
فقام
النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم على المنبر
|
(Nabi SAW kemudian berdiri
di atas mimbar).
|
9.
|
قال
سفيان أيضاً فصعد المنبر
|
Sufyan
Berkata pula, “Beliau Naik mimbar. Maksudnya Sufyan terkadang
mengatakan ‘berdiri’ dan terkadang mengatakan ‘naik’.
|
10.
|
ما
بال العامل نبعثه, فيأتي يقول
|
Apa
urusan petugas yang kami utus datang lalu berkata.
|
11.
|
هذا
لك وهذا لى
|
Ini
untukmu dan ini untukku.
|
12.
|
فهلاً
جلس في بيت أبيه وأمِّه فينظر أيهد له أم لا
|
Mengapa
dia tidak duduk di rumah bapaknya dan ibunya lalu melihat apakah dia
dihadiahkan atau tidak.
|
13.
|
والّذى
نفسى بيده
|
Demi zat
yang jiwaku berada di tangannya.
|
14.
|
لا
يأتي بشيء إلاّ جاء به يوم القيامة
|
(Tidaklah dia datang dengan
membawa sesuatu melainkan dia akan datang dengannya pada Hari Kiamat). Maksudnya, dia tidak akan
datang dengan membawa sesuatu yang dipersiapkan untuk dirinya. Selain itu,
dalam riwayat Abu Az-Zinad yang dikutip Abu Awanah disebutkanلا يغل منه شيعا إلا جاء به (tidaklah dia mencuri sesuatu darinya
melainkan dia akan datang membawanya). Maksudnya, dengan redaksi yagul
dan makna dasarnya adalah khianat dalam rampasan perang. Kemudian kata ini
digunakan untuk setiap perbuatan khianat.
|
15.
|
يحمله
على رقبته
|
Dia
membawanya di atas pundaknya. Dalam riwayat Abu Bakar disebutkan, علي عنقه (Di atas lehernya).
|
16.
|
إن
كان
|
(Jika dia). Maksudnya,
apa yang dia khianati itu.
|
17.
|
بعيراً
له رغاءٌ
|
(Unta yang bersuara). Kata
rughaa’ adalah sebutan untuk suara unta.
|
18.
|
, أو شاةً تيعر
|
( Atau kambing yang
mengembik). Dalam riwayat Ibnu
At-Tin disebutkan, أو شاة
لها يعار, (atau kambing yang mengembik). Disebut juga dengan ya’aar.
Al-Qazzaz berkata, “itu adalah ya’aar tanpa diragukan yakni diberi
harakat fathah pada huruf ya’ dan ain tidak diberi tasydid.
Itu adalah suara kambing yang keras.
|
19.
|
ثمّ
رفع يديه حتّى رأينا عفرتى إبطيه
|
Kemudian
beliau mengangkat kedua tangannya hingga kami melihat putih kedua ketiaknya.
|
20.
|
ألا
هل بلغت. ثلاثاً.
|
Ketahuilah,
Bukankah saya telah menyampaikan, tiga kali. Maksudnya, aku telah menyampaikan hukum Allah kepada kamu (Para Sahabat) dalam rangka
melaksanakan perintah Allah.
|
21.
|
وزاد
هشامٌ
|
Hisyam
Menambahkan. Ini adalah
perkataan Sufyan dan bukan riwayat mu’allaq dari Imam Bukhari.
Disebutkan dalam riwayat Al Humaidi dari Sufyan, Az-Zuhri dan Hisyam bin
Urwah menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Urwah bin Az-Zubair
menceritakan kepada kami.
|
22.
|
سمع
أذناى
|
Telingaku
Mendengar.
|
23.
|
وسلوا
زيد بن ثابثٍ فإنه سمعه معى
|
Tanyalah
Zaid bin Tsabit, karena sesungguhnya dia mendengarnya bersamaku.
|
24.
|
. ولم يقل الزّهرىّ سمع أذنى
|
Az-Zuhri
tidak mengatakan, “Telingaku mendengar)” ini adalah perkataan Sufyan.
|
25.
|
خوارٌ:
صوتٌ, والجؤار من تجأرون كصوت البقرة.
|
Khuwaar adalah suara. Al Ju’aar berasal dari kata taj’aruun
seperti suara sapi.
|
c. Asbab wurud al-hadis (konteks munculnya hadis)
Berdasarkan
teks yang sudah dijelaskan di atas jelaslah bahwa Asbab wurud hadis ini adalah berkenaan dengan seorang
laki-laki yang pernah ditugasi oleh Nabi SAW dari bani Sa’ad yang disebut Ibnu
Al Utaibiyyah, untuk mengambil sedekah. Ketika kembali dia berkata, “ini untuk
kamu dan ini dihadiahkan kepadaku.” Nabi SAW kemudian berdiri di atas
mimbar-Sufyan Berkata pula, “beliau naik mimbar” – lalu memuji Allah dan
menyanjung-Nya, lantas bersabda, “Apa urusan petugas yang kami utus, dia
datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku’, Mengapa dia tidak duduk
dirumah bapak dan Ibunya, lalu diperhatikan apakah dia diberi hadiah atau
tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah dia datang membawa
sesuatu melainkan pada hari kiamat nanti datang sambil membawanya di atas
pundaknya, apabila unta maka ia bersuara, apabila sapi maka ia akan menguak,
apabila kambing ia akan mengembik.” Setelah itu belia mengangkat kedua
belah tangannya hingga kami melihat putih kedua ketiaknya, “apakah aku sudah
menyampaikannya,” tiga kali.[10]
d. Syarh al-hadis (penjelasan isi hadis dari literature hadis yang ada)
Hadis
tentang hadiah para pegawai pemerintah. Judul hadis ini ini merupakan redaksi
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Awanah dari Yahya bin Sa’id Al
Anshari, dari Urwah, dari Abu Humaid secara marfu, هدا يا العمال غلول (Hadiah-hadiah para pegawai
pemerintah adalah khianat). Ini adalah
riwayat Ismail bin Ayyasy, dari Yahya. Ini juga termasuk riwayat Ismail dari
orang-orang Hijaz adalah lemah. Ada yang mengatakan bahwa dia meringkasnya dari
hadits dalam bab ini seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang
hibah (pemberian). Imam Bukhari menyebutkan di tempat ini kisah Ibnu Al
Utaibiyah. Sebagian penjelasannya sudah diuraikan pada pembahasan tentang
hibah, zakat, dan meninggalkan tipu daya serta shalat jum’at. Sedangkan perkara
yang beraitan dengan penipuan dari rampasan perang telah diulas pada pembahasan
tentang jihad.[11]
2. Pengaturan Tindak
Pindana Korupsi di Indonesia
Korupsi
sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan,
dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan
filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal
merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption).
Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng,
hingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin
oleh hkum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.[12]
Korupsi
berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul
dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie,
selanjutnya dalam bahasa Indonesian dengan sebutan korupsi. Menurut
Sutarto yang dikutip oleh
Mansyur Semma menjelaskan kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang
rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Demikian pula ada
pendapat lain dari Henry Campbell Black mendefinisikan korupsi sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang
tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya
atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Di dalam konvensi PBB menentang
korupsi, United Nation
Convention Againts Corruption, 2003 (UNCAC) yang telah
diratifikasi pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 ada beberapa
perbuatan yang dikategorikan korupsi yaitu:[13]
a.
Penyuapan, janji, tawaran atau
pemberian kepada pejabat publik atau swasta, permintaan atau penerimaan oleh
pejabat publik atau swasta atau internasional, secara langsung atau tidak
langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang
atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti
bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh
keuntungan dari tindakan tersebut.
b.
Penggelapan, penyalahgunaan atau
penyimpangan lain oleh pejabat publik/swasta/internasional.
c.
Memperkaya diri sendiri dengan
tidak sah.
Menurut undang-undang 31 tahun 1991
jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 bahwa pengertian korupsi:[14]
Pasal 2
“Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan melawan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Pasal 3
“Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”.
Hafidhuddin
mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia
menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasul perbuatan fasad atau
perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan Jinayah
Kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong
tangan atau kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau
sebaliknya) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam lebih luas, korupsi
merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas
(al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya
yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat
dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi,
yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.[15]
Di
Indonesia langkah langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah
dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa
perubahan perundang-undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun
1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah
kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa
peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai
berikut:
1.
Masa Peraturan Penguasa Militer
2.
Masa Undang-Undang
Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi.
3.
Masa Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Masa Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI-387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI
4150), tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan
penjelasan di atas pengaturan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia secara
yuridis formal sudah lama dilaksanakan, namun indeks korupsi Indonesia dari
tahun ke tahun terus meningkat, hal ini dapat dilihat dari data yang dipublish
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi:
Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah. Skor IPK
pada tahun 2013 masih merujuk pada angka 3,2. Skor yang sama dengan perolehan
pada tahun 2012. Kendati begitu, peringkat Indonesia naik dari posisi 118 pada
tahun 2012 menjadi 114 pada tahun 2013. Kondisi hampir serupa juga terjadi
pada sebagian besar negara anggota ASEAN. Hal ini terlihat dari hasil survei
Lembaga Tranparency Internasional yang mencatat hanya Singapura dan Brunei
Darusalam yang memiliki IPK tinggi yakni 8,6 dan 6,0. Sementara itu, negara
lainnya memiliki skor IPK di bawah 5,0; sebut saja Kamboja ( 2,0), Myanmar
(2,1), Laos (2,6), Timor Leste (3,0), Vietnam
(3,1), Filipina, (3,5), dan Thailand (3,6).[16]
Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK)
Tahun 2004-2014 (per 31
Januari 2014)[17]
Penindakan
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Jumlah
|
Penyelidikan
|
23
|
29
|
36
|
70
|
70
|
67
|
54
|
78
|
77
|
81
|
7
|
592
|
Penyidikan
|
2
|
19
|
27
|
24
|
47
|
37
|
40
|
39
|
48
|
70
|
6
|
359
|
Penuntutan
|
2
|
17
|
23
|
19
|
35
|
32
|
32
|
40
|
36
|
41
|
6
|
283
|
Inkracht
|
0
|
5
|
17
|
23
|
23
|
39
|
34
|
34
|
28
|
40
|
0
|
243
|
Eksekusi
|
0
|
4
|
13
|
23
|
24
|
37
|
36
|
34
|
32
|
44
|
3
|
250
|
NB: Penyidikan 6 Kasus. Mengawali
di tahun 2014, KPK melakukan penyelidikan 7 perkara, penyidikan 6 perkara,
penuntutan 6 perkara, inkracht 0 perkara, dan eksekusi 3 perkara. Dan dengan
demikian, maka total penanganan perkara tindak
pidana korupsi dari tahun 2004-2014 adalah penyelidikan 592 perkara, penyidikan
359 perkara, penuntutan 283 perkara, inkracht 243 perkara, dan eksekusi 250
perkara.
Korupsi di
tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun
diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih
berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila
disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari
diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi
karena sebab-sebab dari luar.[18]
Faktor
internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa
malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial
seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor
eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak
mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan
politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi
yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam
buruknya wujud perundangundangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek
sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti
korupsi.[19]
Pandangan
lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi antara lain:[20]
(1) aspek perilaku
individu.
(2) aspek organisasi
(3) aspek masyarakat
tempat individu dan organisasi berada
Terhadap
aspek perilaku individu, Isa Wahyudi memberikan gambaran, sebab-sebab seseorang
melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula
dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Lebih jauh
disebutkan sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain: [21]
(a) sifat
tamak manusia,
(b) moral
yang kurang kuat menghadapi godaan
(c) gaya
hidup konsumtif
(d) tidak
mau (malas) bekerja keras
C. PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam
uraian di atas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan dari makalah ini sebagai
berikut:
Pertama agama Islam melalui hadis
di atas menggambarkan korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan Jinayah
Kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong
tangan atau kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau
sebaliknya) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam lebih luas, korupsi
merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas
(al-amanah), dan tanggung jawab.
Kedua, korupsi
yang merajalela pada saat ini justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri.
Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi
tidak terbendung meskipun masjid semakin penuh sesak, dan yang menunaikan
ibadah haji semakin membludak. Semarak kehidupan beragama tersebut terbukti
sama sekali tidak mempunyai korelasi positif terhadap pembentukan ahklak dan
moralitas kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Qodir Jaelani, dkk, Mahasiswa dan
Masa Depan Bangsa,Yogyakarta: Bagian Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014.
Abdul Qodir Jaelani, Urgensi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga
Dalam Membangun Pradigma Hukum Progresif Indonesia, “Naskah Lomba Karya
Ilmiah Tingkat UIN Sunan Kalijaga Tahun 2013.
Amiruddin, Fathul
Baari 35 Penjelasan
Kitab Sahih Al Bukhari: Fitnah, Hukum, Harapan dan Khabar Ahad, Jakarta:
Pustaka Azam, 2012.
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi
Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi: Kajian Yuridis UURI Nomor 31 Tahun 1999
Juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 Juncto UURI
Nomor 46 Tahun 2009, Jakarta: Sinar Grafika,2010.
Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Imam Al Hafiz, Fathul
Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, tt.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2011.
Mansyur
Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, Dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obaor, 2008.
Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Jakarta: Gramedia, 2007.
Satgas PMH, Mafia Hukum, Jakarta: Satgas PMH – UNDP, 2010.
Suyitno, Korupsi,
Hukum dan Moralitas Agama, Yogyakarta: Gama Media, 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003.
Wiyono, Pembahasan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
[1]Ermansjah
Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi: Kajian
Yuridis UURI Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI
Nomor 30 Tahun 2002 Juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009, (Jakarta: Sinar
Grafika,2010), hlm.1.
[4]Abdul Qodir Jaelani, dkk, Mahasiswa dan
Masa Depan Bangsa, (Yogyakarta: Bagian Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014), hlm.73. Lihat juga Abdul Qodir Jaelani, Urgensi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga
Dalam Membangun Pradigma Hukum Progresif Indonesia, “Naskah Lomba Karya
Ilmiah Tingkat UIN Sunan Kalijaga Tahun 2013” hlm.5.
[7]Amiruddin, Fathul Baari 35 Penjelasan Kitab Sahih Al Bukhari: Fitnah,
Hukum, Harapan dan Khabar Ahad, (Jakarta:
Pustaka Azam, 2012), hlm.564.
[8]Hadis ini merupakan hadis yang ke-7174 Dalam
Kitab Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Imam Al Hafiz, Fathul
Baari Syarah Shahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, tt),
hlm.564.
[12]Mansyur
Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, Dan Perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obaor, 2008), hlm.32..
[13]Lihat Penjesan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
[14]Wiyono, Pembahasan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm.15.
[15]Mansyur
Semma, Negara dan … hlm.33.
[16]Melihat
indeks ini korupsi indonesia menurut KPK tahun 2012
korupsi Indonesia tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mencapai Rp. 37 T . 37 T
Rupiah atau 2.2 Billion Euro sama dengan 400 M Euro per tahun. Korupsi di Uni
Eropa tahun 2012: 122 billion Euro sama dengan 2000 Trilyun, korupsi di UE ini
244 kali lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
[18]Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan
Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
2011), hlm.37.