Jumat, 14 Oktober 2011

PENINJAUAN TENTANG SIFAT HAKIKAT NEGARA



    PENINJAUAN TENTANG SIFAT HAKIKAT NEGARA
  1. Peninjauan Sosiologis
a.       Pandangan Socrates
Semua manusia menginginkan kehidupan aman,tenteram,dan lepas dari gangguan yang memusnahkan harkat manusia. Kala itu,orang-orang yang mendambakan ketenteraman menuju bukit dan membangun benteng,serta mereka berkumpul disana menjadi kelompok. Kelompok inilah yang oleh Socrates dinamakan polis (satu kota saja).Organisasi yang mengatur  hubungan antara orang –orang yang ada di dalam polis itu tidak hanya mempersoalkan organisasinya saja,tapi juga tentang kepribadian orang-orang di sekitarnya. Socrates menganggap polis identik dengan masyarakat,dan masyarakat identik dengan Negara. (Abu Daud Busroh,2001:20-21).
b.      Pandangan Plato
Plato adalah murid dari Socrates. Ia banyak menulis buku,diantaranya yang terpenting adalah “Politeia” atau Negara, “Politicos” atau ahli negara, dan  “nomoi” atau undang-undang. Paham plato mengenai Negara adalah keinginan kerjasama antara manusia untuk memenuhi kepentingan mereka.Kesatuan mereka inilah kemudian disebut masyarakat,dan masyarakat itu adalah negara. Terdapat persamaan antara sifat-sifat manusia dan sifat-sifat Negara.(Abu Daud Busroh,2001:21).
c.       Pandangan Aristoteles
Menurut Aristoteles, negara itu adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan dalam negara akan tercapai bila terciptanya kebahagiaan individu (perseorangan). Sebaliknya,bila manusia ingin bahagia,dia harus bernegara,karena manusia saling membutuhkan  satu dengan yang lainnya dalam kepentingan hidupnya. Manusia tidak dapat lepas dari kesatuannya. Kesatuan manusia itu adalah negara. negara menyelenggarakan kemakmuran warganya. Oleh karena itu ,negara sebagai alat agar  kelompok manusia bertingkah laku mengikuti tata tertib yang baik dalam masyarakat. Dengan demikian ,negara sekaligus merupakan organisasi kekuasaan.(Abu Daud Busroh,2001:22).
d.      Pandangan Kranenburg dan Rudolf Smend
Yang dipersoalkan dalam peninjauan sosiologis ini adalah bagaimana kelompok manusia sebelum terjadinya negara. Karena kelompok itu perlu diatur,maka dibentuklah organisasi sebagai alat untuk mengatur kelompok tersebut,yaitu organisasi negara. Agar alat itu dapat bermanfaat, maka alat itu harus mempunyai kekuasaan/kewibawaan. Dengan demikian,maka muncul sifat hakikat negara adalah: 
·         Dwang organisatie;atau
·         Zwang ordnung;atau
·         Coercion instrument
 Jadi, Negara dalam hal ini semata-mata sebagai alat yang dapat memaksakan manusia-manusia dalam kelompok itu tunduk pada kekuasaannya,agar berlaku tata tertib yang baik dalam masyarakat.(Max Boli Sabon,1994:70-71).
Yang memiliki kekuasaan/kewibawaan ini pertama-tama dilihat dalam masyarakat keluarga, maka seorang ayah muncul sebagai yang mempunyai kekuasaan itu. Kemudian masyarakat itu menjadi makin besar yang disebut negara,kekuasaan demikian masih tetap terbawa oleh pemimpin Negara itu (from the family to state).perkembangan lebih lanjut,ternyata bahwa tidak semua kelompok masyarakat terjadi dengan sendirinya seperti masyarakat keluarga itu,melainkan ada pula kelompok masyarakat yang sengaja dibuat. Kelompok masyarakat itu sengaja dibuat,karena orang-orang yang berkelompok itu merasa dirinya senasib, sekeinginan, sekemauan , dan setujuan. untuk itu, Kranenburg mencoba mengadakan sistem pengelompokan manusia di dalam masyarakat berdasarkan dua ukuran,yaitu:
i.        Apakah perkelompokan itu ada disuatu tempat tertentu atau tidak
ii.      Apakah kelompok itu teratur atau tidak.
Dari dua unsur tersebut, diperoleh empat macam kelompok masyarakat sebagai berikut: 
i.        Kelompok yang ada di satu tempat tertentu dan teratur, contohnya, kelompok orang-orang dalam ruang kuliah, atau kelompok orang-orang yang menonton bioskop.
ii.      Kelompok yang ada disatu tempat tertentu,namun tidak teratur,misalnya,massa dalam demonstrasi liar
iii.    Kelompok yang tidak setempat dan tidak teratur;misalnya,kelompok tukang jual kacang rebus,kelompok penjaja Koran.
iv.    Kelompok yang tidak setempat tetapi teratur;kelompok inilah yang disebut Negara,oleh Kranenburg, karena kelompok ini terbentuk bukan karena kesamaan tempat, melainkan  membentuk kelompok yang teratur.
   Usaha mereka untuk mengadakan pengelompokan karena adanya rasa bersatu yang erat di samping mereka menghadapi bahaya bersama. Jadi yang penting menurut Kranenburg adalah pengelompokan itu terjadi atas dasar bahaya bersamaan tujuan kelompok itu adalah mengatur diri mereka sendiri. dengan peraturan yang dibuat.sebaliknya dari segi individu,timbul keinginan untuk menaati peraturan-peraturan yang dibuat (adanya ikatan keinginan). Ikatan keinginan itu lalu menjelma dalam ikatan kemauan bersama, yang terkenal dengan istilahwillenverhaltnis,baru kemudian secara logis timbul suatu tujuan bersama. Kesatuan akan tujuan bersama disebut teleologische einheit.Setelah adanya ikatan kemauan baru timbul soal penguasaan,yaitu persoalan siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai. Yang memegang kekuasaan adalah ikatan penguasa atau yang disebut dengan istilah Herrschaftsverhaltnis. Ikatan penguasa dilihat dari adanya kekuatan yang mengharuskan ditaatinya peraturan dalam Negara tersebut. Peninjauan sosiologis yang menimbulkan taraf demi taraf sampai timbulnya hubungan antara yang menguasai dan yang dikuasai inilah merupakan suatu peninjauan ilmiah yang sistematis.
Sebagai spesifikasi dari peninjauan sosiologis ini adalah peninjauan politis. Menurut Rudolf Smend,fungsi dari Negara yang terpenting ialah untuk integrasi (mempersatukan). Kerangka berfikir Rudolf Smend adalah Negara sebagai ikatan keinginan yang diusahakan agar selalu tetap (statis), dengan cara mengadakan faktor-faktor integrasi tersebut. Ikatan keinginan dikatakan sebagai faktor integrasi, karena jika ikatan keinginan itu lepas dari Negara, maka Negara menjadi tidak ada (lenyap) dan menimbulkan separatisme. Oleh karena Rudolf Smend mengatakan bahwa tugas Negara yang terpenting adalah integrasi, maka peninjauannya bersifat politis.
e.       Pandangan Heller dan Logemann
Berbeda dengan pendapat Kranenburg, Heller dan Logemann menyatakan, bahwa yang terlihat adalah bukan Negara sebagai suatu kesatuan bangsa,melainkan kewibawaan atau kekuasaan tertinggi ada pada siapa atau berlakunya untuk siapa.
Logemann mengatakan bahwa Negara itu pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Jadi, pertama-tama Negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, dalam mana terkandung pengertian dapat memeksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi ini. Maka, Logemann berpendapat bahwa yang primer itu adalah organisasi kekuasaannya, yaitu Negara. sedangkan kelompok manusianya adalah sekunder.
Heller juga mengatakan bahwa teori Kranenburg itu tidak benar karena jika dalam Negara jajahan maka antara yang menguasai dengan yang dikuasai tidak meupakan satu kesatuan bangsa. Demikian pila, seperti di Commenwealth Inggris.
f.       Pandangan Openheimer dan Gumplowicks
Bertolak dari herrschaftsverhaltnis, mereks berpendapat bahwa suatu Negara itu ada karena penaklukan kelompok yang satu dengan yang lain. Jadi, sifat hakikat Negara adalah organisasi yang melaklukan kelompok-kelompok lain.
g.      Pandangan Leon Duguit
Sebagaimana pandangan-pandangan sebelumnya yang bertolak dariherrschaftsverhaltnis, demikian pula Leon Duguit, namun dengan versi yang berbeda. Leon Duguit mengatakan, bahwa sifat hakikat Negara adalah oarganisasi dari orang-orang yang kuat untuk melaksanakan kehendaknya terhadap orang-orang yang lemah.
h.      Pandangan Harold J. Laski
Dengan adanya herrschaftsverhaltnis berarti adanya kekuasaan tertentu, yang biasanya disebut adanya suatu kedaulatan tertentu. Laski berpendapat, bahwa akibat perkembangan peradaban manusia, maka banyak kelompok masyarakat yang terbentuk karena kesadaran akan bahaya bersama. Kelompok-kelompok itu memiliki kedaulatannya sendiri dalam bidannya sendiri pula (misalnya perkumpulan/ organisasi mahasiswa, pemuda, sepakbola). Jika dibandingkan dengan Negara, maka organisasi Negara memiliki kedaulatan tertinggi (top organisatie). Pandangan ini disebut pliralistis karena mengakui kedaulatan ditiap kelompok organisasi, atau istilah lainnya polyaarchisme. Harold J, Laski adalah salah seorang tokohnya. Kedaulatan dalam organisasi yang bukan Negara ini yang bukan Negara ini yang kemudian oleh serjana-serjana belanda disebut souverinitet in eigen kring atau subsidiariteits beginsel, misalnya gereja-gereja yang mempunyai kedaulatan sendiri.
 

  1. Peninjauan Yuridis
Dalam peninjauan yuridis ini, ada tiga pokok persoalan dalam masyarakat yang perlu diketahui sebelumnya, yaitu:
a.       Rechts objek;
b.      Rechts subjek;
c.       Rechts verhaltnis;
Akan tetapi secara sistematis pembicaraan di mulai dengan Rechts subjek, yaitu mengenai siapa yang menjadi sujek dalam hukum, artinya yang mempunyai hak dan kewajiban. Rechts subjek yang satu mengadakan hubungan hukum dengan Rechts subjek yang lain. Hubungan ini disebut Rechts objek.
a.       Negara sebagai Rechts Objek
Negara sebagai Rechts objek berarti Negara dipandang sebagai objek dari orang untuk bertindak. Teori ini dengan sendirinya memandang Negara sebagai alat dari manusia tertentu untuk melaksanakan kekuasaannya. Oleh karena itu, manusia tertentu itu mempunyai status lebih tinggi dari Negara sebagai objek tadi.
Teori-teori ini ini dijumpai dalam abad pertengahan, dimana panglima, raja, dan tuan-tuan tanah sebagai Rechts subjek, dan Negara hanyalah Rechts objek, yaitu alat untuk menguasai orang yang ada di atas tanah. Jadi, status Negara lebih rendah daripada orang-orang tertentu tersebut. Negara ini terjadi karena tuan tanah tidak dapat mengawasi tanahnya yang begitu luas sehingga diangkatlah panglima, dengan memberikan tanah sebagai hadia. Selain tuan tanah mempunyai hak atas tanah, dia mempunyai hak untuk memungut pajak terhadap orang yang berada diatas tanah tersebut, mempekerjakan orang yang tinggal disitu, dan menghukum orang-orang yang tidak patuh pada peraturan yang dibuatnya. Agar orang tersebut dapat tunduk pada kekuasaan tuan tanah dan panglima itu, lau dibentuklah Negara. Maka Negara sebagai alat dari tuan tanah dan panglima tersebut.

b.      Negara sebagai Rechts verhaltnis
Pandangan pertama mengenai Negara sebagai alat, sedangkan yang kedua ini mengenai Negara sebagai hasil perjanjian. Setelah ada perjanjian masyarakat, lalu timbul ikatan (verhaltnis) dan ikatan inilah yang dinamakan Negara itu.
Dalam setiap perjanjian, termasuk ajaran Rousseau mengenai pejanjian pembentuk Negara, terjadilah pertemuan pentingan. Pandangan dualism pada abad pertengahan mengatakan bahwa para petani, pedagang, tukang, dan lainnya selaku warga masyarakat yang tidak dapat menjamin keselamatannya, maka mereka memerlukan perlindungan dengan mengadakan kontrak dengan penguasa sebagai orang sekotanya. Dalam hal ini terdapat dua kepentingan yang berbeda, yang satu pihak menghendaki jaminan keselamatan, sedangkan pihak lain menghendaki uang (berupa pajak). Ini perjanjian yang timbale balik atau disebut verdrag.
Sisi lain dari teori Rousseau, dimana melihat rakyat mempunyai keinginan yang satu, kemudian bersama-sama berjanji membentuk Negara, atau biasa disebut gesamtakt (suatu tindak hukum  bersama).
Baik verdrag maupun gesamtakt, sama-sama membentuk verhaltnis. Maka, sifat hakikat Negara jika dipandang sebagai Rechts verhaltnis, Negara adalah perjanjian yang merupakan tampat pertemuan kepentingan. Meskipun demikian, kontruksi tentang sifat hakikat Negara berdasarkan verhaltnis ini ada dua macam, yaitu:
i.        Pertemuan yang timbale balik (verdrag); dan
ii.      Pertemuan kepentingan yang sama (tidak timbal balik) atau gesamtakt.




c.       Negara sebagai Rechts subjek
Pandangan Negara sebagai Rechts subjek berarti Negara sebagai pembuat hukum. Oleh karena Negara merupakan organisasi kekuasaan, maka Negara juga dipandang sama dengan organisasi lainnya yang dipandang sebagai orang atau persoon atau subjek hukum  (Rechts persoon) sebagai Rechts persoon, Negara juga mempunyai hak dan kewajiban, termasuk hak untuk membuat hukum, dan kewajiban untuk melaksanakan hukum sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, sifat hakikat Negara jika di pandang dari sudut Rechts subjek, maka Negara adalah Rechts persoon.

  1. Penggolongan Lain
Selain peninjauan sifat hakikat Negara menurut penggolongan sosiologis dan yuridis, masih diketehui pula ada penggolongan lain yang meggolongkan dengan cara:
a.       Subyektif dan Obyektif
1.      Subyektif
Dari pandangan subyektif maka dapatlah dikenal sifat hakikat Negara yang selaraskan dengan pandangan Negara sebagai suatu gejala tertentu di dunia.
2.      Obyektif
Dari sudut obyektif, Negara dapatlah digolongkan sebagai berikut:
1)      Negara sebagai kenyataan (tatsche);
2)      Negara sebagai keadaan (zustand);
3)      Negara disamakan dengan sslah satu unsur:
-          Volk ;
-          Penguasa
4)      Negara sebagai organisme.



b.      Formil dan Materil
1.      Formil
Negara dalam arti formil, dimaksudkan bahwa Negara ditinjau dari aspek kekuasaan, Negara sebagai organisasi kekuasaan dengan suatu pemerintahan pusat. Pemerintah menjelmakan aspek formil dari Negara. Karakteristik dari Negara formil adalah wewenang pemerintah untuk menjalankan pakasaan fisik secara legal. Negara dalam arti formil adalah Negara sebagai pemerintah (staat-overheid).
2.      Materil
Negara dalam arti materil, dimaksudkan bahwa Negara sebagai masyarakat (staat-gamenschap), Negara sebagai persekutuan hidup.
[i]Bahan-Refrensi makalah ini:


[i] Sejarah dan Teori pemikiran dari zaman Klasik dan Modern, Bab.4 Teori Negara Hal 200-350
Negara dan Agama
Ilmu Negara
Pengantar Ilmu Hukum
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Baca Desertasi Hakikat Masyarakat dalam sebuah Negara.
Demokrasi pancasila.
Pendidikan Pancasila/.



Jumat, 30 September 2011

Hermeneutika

Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation).[1] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol. 

Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.[2] Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.

Teori Penafsiran Kitab Suci

Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.

Di Inggris, dan nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti kecenderungan umum yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama, setidaknya yang terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737, yakni “mengambil kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan tugas-tugas yang adil dan hermeneutika yang bijaksana.”[3]

Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks tersebut sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh Edward Burnett Taylor pada Primitive Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-mitologi.”[4] Dengan demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika pada bidang-bidang non kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus untuk menangkap makna tersebut.

Kata hermeneutika biasanya sering ditarik genesisnya sampai abad ke-17. Akan tetapi, proses menafsirkan, baik itu dalam bentuk penafsiran religius, sastra, maupun bahasa-bahasa hukum, dapat dirunut langsung kejaman Yunani maupun Romawi Kuno. Sejarahnya bisa dirunut sampai panjang sekali. Kedetilan historis semacam itu tidak dapat dipresentasikan disini. Akan tetapi, ada dua butir refleksi yang kiranya bisa berguna untuk kita, yakni akar hermeneutik yang sebenarnya bisa ditemukan dalam proses penafsiran Kitab Suci, dan pertanyaan lainnya yang mencangkup keluasan bidang refleksi hermeneutika.

Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan “sistem” penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.

Pertanyaan lain banyak berkaitan dengan keluasan dan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini, setidaknya ada pendapat yang saling berdebat satu sama lain, yakni disatu sisi ada pendapat yang melihat bahwa hermeneutika haruslah merumuskan sebuah teori yang eksplisit sebagai panduan dalam menafsirkan teks, dan disisi lain ada pendapat yang melihat bahwa metode hermeneutika haruslah tidak dirumuskan secara eksplisit, melainkan implisit dan terwujud di dalam praksis penafsiran yang dikaitkan dengan pengaruh-pengaruh lainnya. Misalnya, seorang teolog yang bernama Gerard Ebeling tengah melakukan studi tentang “hermeneutika Luther”. Dalam hal ini, apakah ia harus memfokuskan diri untuk tetap pada analisa persepsi Luther tentang penafsiran, atau ia harus juga menempatkan tesis Luther tentang hermeneutika dengan tulisan-tulisan Luther yang lainnya? Ebeling melakukan keduanya. Masalahnya, apakah metode yang ia gunakan tersebut harus dalam bentuk-bentuk prinsip yang jelas berkaitan dengan tesis hermeneutika yang dirumuskan Luther, ataukah biarkan metode tersebut mewujud di dalam praktek penafsiran yang melibatkan berbagai aspek lain, yang mungkin mempengaruhi cara Luther merumuskan tesis hermeneutikanya. Yang paling baik memang menggabungkan keduanya, seperti yang dilakukan oleh Ebeling.

Dengan demikian, di dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus pada satu fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi di balik fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomen yang ingin dianalisa, hermeneutika dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara epistemologis maupun ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian yang lebih dalam tentang cara manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan “dunianya”.


Minggu, 08 Mei 2011

Logika

LOGIKA
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang  dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan ini disebut logika.
Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata fikir. Bila dilacak studi logika ini berangkat dari Yunani kuno, ke Arabia, lalu Eropa, abat tengah, ke era pasca Renaissance yang matematik, dilanjutkan ke abad  XIX dan XX. Tradisi logika barat berkelanjutan seperti jalur diatas. Sedangkan filsafat India dan Cina berkembang terpisah.
PENGERTIAN LOGIKA
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logika episteme (latin: logica episteme) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berfikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana objek materialnya adalah berfikir (khususnya penalaran atau proses penalaran) dan objek formal logika adalah berfikir atau penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya. Sebagai cabang filsafat, logika merupakan cabang filsafat yang praktis. Praktis disini berarti logika dapat dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama lahirnya filsfat di Yunani. Dalam usaha untuk memperkenalkan pemikiran dan pendapat-pendapatnya, para filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika dapat didefinisikan sebagai: pengkajian untuk berfikir secara shahih. Logika dipakai untuk menarik kesimpulan dari suatu proses berfikir berdasar cara tertentu, yang mana proses berfikir disini merupakan suatu penalaran untuk menghasilkan suatu pengetahuan.
Logika secara garis besar dapat dipilahkan dalam dua bagian, yaitu: Induksi merupakan suatu cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Deduksi merupakan suatu cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Contoh suatu pemikiran induksi: fakta memperlihatkan, kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secar uum bahwa: semua binatang mempunyai mata.
MACAM-MACAM LOGIKA
Logika dipilahkan dalam logika alamiah dan logika ilmiah. Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berfikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecendrungan-kecendrungan ruang yang subjektif. Kemampuan logika manusia ada sejak lahir. Sedangkan logika ilmiah adalah memperluas, mempertajam, memperhalus pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan asas-asas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak mengurangi kesesatan.

KEGUNAAN LOGIKA
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika.

Adapun kegunaan logika secara terperinci antara lain: (1) membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berfikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren, (2) kemampuan berfikir secara abstrak, cermat, dan objektif, (3) menambahkan kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berfikir secara tajam dan mandiri, (4) memaksa dan mendorong orang untuk berfikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis, (5) meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berfikir, kekeliruan serta kesesatan dan, (6) mampu melakukan analis

Rabu, 20 April 2011

Studi Orientasi Islam di Indonesia





‘’STUDI ISLAM DI INDONESIA’’
‘Orientasi studi islam di Indonesia'

Tulisan ini mencoba mendiskusikan  sebuah Orientasi studi islam di Indonesia yang di tinjau  melalui pendekatan historis,sosiologi,culture and religious . Di dalamnya akan di uji bagaimana isu-isu tentang perkembangan pendidikan terutama pendidikan islam di indonesia yang mulai ramai di perhitungkan sejak zaman kolonial penjajahan di bahas melalui pandangan sosiologi,historis,culture yang sesuai dengan agama islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan hadits dalam rentang sejarah dengan memberikan pendekatan yang khusus pada masyarakat muslim abad ke-20. Selain itu, tulisan ini juga akan mengulas  konsistensi dan ke tidak sesuaian antara pengajaran, praktik dan implikasinya dengan mengasumsikan bahwa integrasi dan interkoneksi pendidikan islam yang berlandaskan pada original teks ( Qur’an dan Hadis) secara langsung bertolak belakang dengan prinsip humanism pada model pendidikan Barat yang berlandaskan pada pemikiran menurut orang orientalisme dan orang yang  kurang paham terhadap makna pendidikan islam. Meski demikian, sebelum melangkah pada pengujian yang dimaksud, penting kiranya untuk mengajukan beberapa ungkapan pendahuluan guna kajian perkembangan pendidikan  islam di indonesia secara umum dan pengaruh barat terhadap dunia islam di Indonesia secara khusus yang bisa dikaji.

SEJARAH PERKEMBANGAN DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA.
Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari semangat penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh para pendahulu dalam kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman. Tak heran, jika pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional dalam bentuk halaqah-halaqah. Namun seiring dengan kemajuan zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai tampak dengan diambilnya bentuk madrasah sebagai salah satu pendidikan Islam, selain pesantren. Semuanya ini dilakukan untuk memenuhi target atau tujuan pendidikan Islam yang berorientasi individual dan kemasyarakatan.
Secara umum, ada dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan Islam. Pandangan teoretis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan masyarakat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan terget pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan keahlian yang bermanfaat dan diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam masyarakat tersebut harus bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang ada.

STUDI ISLAM DI TIMUR DAN BARAT.

Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat belajar. Pandangan ini terdiri dari dua aliran. Aliran pertama, berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Dengan demikian, pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik.
a). Integrasi – interkoneksi metode dan model pendidikan  Timur dan  Barat di Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dari tingkat yang paling dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN, STAIN, PTAI), pencarian yang ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam yang adiluhung. Bagaimana pun harus diakui bahwa model pendidikan Islam di Indonesia masih jauh dari memuaskan, terutama jika dilihat dari sistem pengelolaan, kualitas kurikulum, hingga pada kualitas lulusannya.
Yang tak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan sebuah lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf internasional. Sebagaimana diketahui, orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara internasional. Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki kualifikasi internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang selama ini diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat.
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam di Barat; teologis dan sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang bersumber dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai agama-agama. Karena itu, kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi keimanan. Tetapi dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa atau Barat pada umumnya, kajian teologis yang normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama.
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman tentang fenomena historis dan empiris sebagai manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan, sesuai dengan perkembangan keilmuwan di Barat yang sejak abad ke-19 semakin fenomenologis dan positivis, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam di Barat.

Dengan kata lain, studi Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan peradaban, dan bukan sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum Muslimin melihatnya, tetap merupakan ciri yang tak mungkin dihapus. Oleh karena Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah, maka Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti karena apa yang mereka kehendaki adalah pemahaman, dan bukannya usaha mendukung Islam sebagai sebuah agama dan jalan hidup. Penempatan Islam sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni "ilmiah" tanpa komitmen apa pun terhdap Islam. Penggunaan berbagai metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah cukup mengagumkan, walaupun bukan tanpa cacat sama sekali.Dalam konteks inilah, pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai "tradisi keagamaan yang hidup", yang historis, ketimbang "kumpulan tatanan doktrin" yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits, menemukan momentumnya yang kuat dalam pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini tentu saja pertama kali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A. R. Gibb. Keduanya memperingatkan "bahaya" mengkaji hanya "Islam normatif", sebagaimana dirumuskan para ulama, dengan mengabaikan Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat umum.
Gagasan ini mendapatkan lahan yang subur di universitas-universitas Amerika. Dan, sejak 1950-an sejumlah universitas mulai mengembangkan pusat-pusat "studi kawasan" (area studies) Islam, yang pada dasarnya mencakup berbagai disiplin yang berbeda, tetapi memperoleh pendidikan khusus dalam bahasa-bahasa, kebudayaan dan masyarakat Muslim di wilayah tertentu.
Studi Islam kontemporer di Barat, yang berusaha keras menampilkan citra yang lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam sebagai agama dan peradaban, dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang dipelopori oleh sarjan-sarjana Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak perhatian dari generasi baru pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan memberikan dorongan lebih besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi tingkat pascasarjana ke Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman dosen-dosennya ke Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki dan Asia Selatan.
Sementara di tempat lain, studi Islam di Timur Tengah sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan. Usaha-usaha studi ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam keyakinan dan menarik maslahatnya bagi kepentingan umat. Orentasi studi di Timur lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas tertentu, menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada mengembangkan kritisisme. Meskipun kecenderungan ini tidak dominan, namun pengaruh kebangkitan fundamentalisme di Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi pendidikannya yang lebih normatif.
Dua orientasi studi Islam yang dikembangkan di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), masih dijalankan sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Namun demikian, jika dilihat dari perkembangan yang terjadi di UIN, IAIN, dan STAIN menunjukkan kecenderungan orientasi studi ke Barat. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya jumlah mahasiswa yang dikirim ke universitas-universitas Barat, semacam McGill University, Leiden University, Ohio Institute, dll. Pasca generasi Harun Nasution dan Mukti Ali menunjukkan meningkatnya gelombang pengiriman mahasiswa ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis.

Kecenderungan kedua, orientasi keilmuwan yang lebih luas. Jika pada masa sebelumnya orientasi keilmuwan cenderung ke Timur Tengah, khususnya Universitas Al-Azhar, dalam dua dasawarsa terakhir kelihatan semakin luas dan beragam. Dalam konteks ini, model pendekatan Barat terhadap Islam mulai banyak bermunculan; yang pada pokoknya cenderung lebih bersifat historis dan sosiologis. Pendekatan seperti ini mulai menemukan momentumnya dengan kembalinya sejumlah tamatan universitas Barat untuk mengajar di UIN, IAIN, STAIN, dll. Mereka kembali secara bergelombang, dimulai dengan generasi Mukti Ali dan Harun Nasution dan kemudian disusul kelompok tamatan McGill University. Gelombag selanjutnya adalah mereka yang dikirim belajar ke beberapa universitas Amerika pada masa Menteri Agama, Munawir Sjadzali.Tak heran jika dekade 80-an dan 90-an terjadi perubahan besar dalam paradigma Islam di kampus-kampus agama (PTAI). Kecenderungan pertama, terjadinya pergeseran dari kajian-kajian Islam yang lebih bersifat normatif kepada yang lebih historis, sosiologis, dan empiris. Pendekatan normatif dalam kajian Islam menghasilkan pandangan serba idealistik terhadap Islam, yang pada gilirannya membuat kaum Muslimin melupakan atau meniscayakan realitas dan, karena itu, sering mengakibatkan mereka terjebak dalam "kepuasan batin" yang semu. Sebaliknya pendekatan historis dan sosiologis membuka mata mahasiswa di lingkungan PTAI tentang realitas-realitas yang dihadapi Islam dan kaum Muslimin dalam perkembanagn dan perubahan masyarakat.

Kendatipun orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat, studi di Timur Tengah tetap memiliki nilai penting, terutama dalam memahami aspek doktrinal, yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam. Dengan demikian, orientasi studi islam di Timur dan Barat tetap signifikan dalam rangka pengembangan pendidikan Islam di lingkungan PTAI seluruh Indonesia.
b)Dunia timur ( Indonesia) mulai membuka kelas Internasional akibat dari pengaruh pendidikan Barat.
UIN dan IAIN  yang kurikulumnya merupakan rujukan bagi sekolah tinggi dan institut yang tersebar di seluruh Indonesia masih belum mampu menghadirkan kurikulum yang berisi elemen-elemen yang membentuk pandangan hidup Islam, yang di dalamnya metafisika dan epistemologi Islam dikonseptualisasikan dan dituangkan dalam mata kuliah wajib bagi semua fakultas sehingga menjadi asas bagi semua disiplin ilmu. Pembagian fakultas ushuluddin, syariah, tarbiyah, adab, dan dakwah masih memerlukan pengembangan lebih lanjut sehingga mencerminkan makna al-jami'ah atau kulliyah yang berarti universal. Kurikulumnya perlu diorientasikan agar dapat menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak hanya memiliki otoritas di bidangnya, tetapi juga otoritas dalam ilmu-ilmu keislaman di tingkat nasional dan internasional.
Jika di UIN, IAIN dan perguruan tinggi Islam lainnya ditanamkan konsep pandangan hidup Islam dengan pandangan metafisika yang sistematis, para mahasiswa akan dengan mudah mengidentifikasi isu-isu itu sebagai konsep metafisika dan epistemologi yang bukan berasal dari pandangan hidup dan tradisi pemikiran Islam. Karena itulah, kini, mulai diupayakan pengembangan pendidikan Islam yang mengarah pada tuntutan perbaikan mutu penyelenggaran, manajemen, kurikulum dengan standar internasional. Salah satunya adalah dengan membuka kelas internasional (pendidikan Islam), yang diharapkan dapat bersaing di tingkat global.



6
 
Inilah yang sedang diupayakan oleh Departemen Agama dengan membuka fakultas/jurusan baru yang memiliki kualifikasi internasional. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Syariaf Hidayatullah Jakarta, telah dibuka Fakultas Dirasat Islamiyah (setara dengan S-1) yang berorientasi pada studi Islam di Timur Tengah dan Kelas Interdispliner (setara dengan S-2) yang berorientasi pada studi Islam di Barat. Di tempat lain, yakni IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang juga membuka fakultas/jurusan baru yang memiliki kualifikasi internasional.
Dirasat Islamiyah
Fakultas Dirasat Islamiyah (Program Internasional) bertujuan menyiapkan lulusan yang ahli dan profesional di bidang studi Islam dan bahasa Arab. Fakultas ini didirikan atas kesepakatan kerjasama antara IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Universitas al-Azhar, Kairo Mesir, yang ditandatangai 17 September 1999. Fakultas ini mempunyai beberapa keistimewaan:
1.      Bertaraf internasional dengan standar mutu sama seperti Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
2.      Menyelenggarakan program studi Islam komprehensif (syariah, aqidah, dan bahasa Arab) yang diperlukan bagi pembinaan kader-kader mujtahid.
3.      Memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar resmi perkuliahan dan memberikan peluang bagi para lulusannya untuk mampu membaca langsung literatur utama studi keislaman.
4.      Mempersiapkan alumni sebagai kader ulama berwawasan keislaman moderat yang mampu menghadapi tantangan globalisasi, terutama dari sudut keislaman.
Fakultas Dirasat Islamiyah memiliki staf pengajar dari Mesir dan India, terutama untuk memenuhi standar yang mirip dengan Universitas al-Azhar. Sayangnya, staf pengajar yang didatangkan dari luar negeri relatif sangat sedikit, dan tidak memenuhi standar jumlah mahasiswa. Yakni, ada 2 staf pengajar dari Mesir, dan 1 staf pengajar dari India. Sementara, staf pengajar yang lain diisi oleh para lulusan Timur Tengah, seperti Mesir, Sudan, Yaman, dan Arab Saudi. Mata kuliah yang diajarkan misalnya, adab wa naqd, ushul al-adabiyah, tafsir, ulum al-tafsir, hadits, ulum al-hadits, tauhid, tayarat fiqriyah, balaghah, fiqh al-ibadah, fiqh al-lughah, ma'ajim, ashwat, lahjat, yang pada awalnya menggunakan sistem paket, namun sekarang ini sudah menggunakan sistem SKS, sama seperti mahasiswa UIN lainnya. Gelar yang diperoleh pun sama seperti sarjana UIN atau IAIN lainnya, yakni SSI, bukan Lc, seperti kebanyakan alumnus Universitas al-Azhar. Model penyampaian materi/perkuliahan tak ubahnya sistem lama, yakni model ceramah, apalagi staf pengajar dari Timur Tengah, yang cenderung menggunakan model ceramah, sehingga tidak mengundang partisipasi aktif mahasiswa dalam berdiskusi dan mempertajam materi. Praktis, hanya sedikit sekali staf pengajar yang menggunakan metode diskusi.
Gambaran ini menunjukkan betapa penyelenggaraam kelas internasional yang berorientasi pada studi Timur Tengah belum maksimal dan bisa dikatakan tidak memenuhi standar internasional, yang memiliki kualifikasi yang mumpuni, dengan tidak seriusnya para pengelola dalam menyelenggarakan pendidikan Islam berkualifikasi internasional.
Interdisciplinary Islamic Studies



7
 
Seyyed Hossein Nasr telah menegaskan bahwa kekacauan yang mewarnai kurikulum pendidikan modern di kebanyakan negara Islam sekarang ini, dalam banyak hal, disebabkan oleh hilangnya visi hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam pendidikan Islam tradisional. Dalam tradisi intelektual Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubungan antar-beragai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan (keesaan) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan, tetapi juga dalam dunia pengetahuan. Ditemukannya tingkatan dan hubungan yang tepat antar-berbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga filosof, dari sufi hingga sejarawan, yang banyak di antara mereka mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu. Subjek inipun merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik Muslim kontemporer melepaskan mata objektif atas kekacauan dan kerancuan yang berkecamuk dalam kurikulum pendidikan saat ini, dengan peniruan buta terhadap model-model yang tetap hidup dalam sistem madrasah.
          Dalam konteks inilah, Departemen Agama RI bekerjasama dengan McGill University Kanada, sejak September 2003, membuka program studi Islam Antar Disiplin (Interdisciplinary Islamic Studies) untuk S-2 di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Program studi ini bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana yang menguasai pengetahuan Islam yang luas dan dalam, dengan berbekal pada pendekatan interdisiplin dan inklusif. Lulusan program ini diharapkan mampu untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah sosial dan agama di dalam masyarakat.
          Mata kuliah yang diajarkan dibagi dalam tiga tingkatan: (1) Mata Kuliah Dasar, yang meliputi; Qur'an and Hadits in Modern Cenotext, Contemporary Islamic Thought and Movement, Islam in Southeast Asia, dan Methods and Theories in the Study of Islam, (2) Mata Kuliah Kosentrasi terdiri dari; Political Science, Contemporary Philosophy, Social Theories, dan Interdisciplinary Seminar, dan (3) Mata Kuliah Penunjang.
Di PPs UIN Jakarta program studi Interdisciplinary Islamic Studies lebih ditekankan pada kajian Islam yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (social sciences), sementara di PPs IAIN Yogyakarta berfokus pada aksi sosial (social work). Program studi ini bertujuan melahirkan sarjana Islam dlam bidang pemikiran Islam yang memiliki penguasaan teoritik-metodologis dan kemampuan analitis-kritis-implementatif dalam kajian kerja sosial untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang pluralis, akual, dan transformatif.
          Mata kuliah yang diajarkan dibagi dalam dua tingkatan; (1) Mata Kuliah dasar, yang terdiri dari: Qur'an and Hadits: theory and Methodology, Approaches to Islamic Studies, Islamic Thought and Civilization, Islamic Thought about the Role of Citizen in Social Life, dan Contemporary Islamic Movements, (2) Mata Kuliah Interdiscipliner terdiri dari: Anthropology of Community Empowerment, Human Behaviour and Social Environment, Social Welfare Policies and Services, Popular Education and Communication, Methodology of Social Work Research and Gender Analysis, Independence Studies in Social Work, Theories of democracy on Globalization and Civil Soceity, dan Islam and Gender.



8
 
Staf Pengajar, selain dari UIN/IAIN dan Universitas lain di Indonesia, juga didatangkan dari McGill University, seperti Bassam Tibi dan Van Der Meijk. Selain dari McGill, dosen-dosen tamu dari negara lain yang sedang berkunjung ke Indonesia, juga akan mengajar dan membimbing program studi ini. Bahasa yang digunakan dalam seminar (perkuliahan) maupun penulisan tesis adalah bahasa Inggris. Secara akademik, program studi Interdisciplinary Islamic Studies  tampak sangat menantang bagi proses pencarian pendidikan tinggi Islam, yang memiliki kualifikasi internasional, namun pada umumnya, seperti juga dialami mereka yang studi Islam di Barat, kemampuan doktrinal Islam tidak cukup memadai (Islam normatif), berbeda dengan studi Islam di Timur Tengah yang biasanya sangat mumpuni dalam penguasaan sumber-sumber Islam yang paling dasar, terutama dengan penguasaan bahasa Arabnya dalam menggali khazanah intelektual Islam yang otentik.
3.Kesimpulan.
          Di sinilah kita bisa melihat belum adanya perpaduan antara studi Islam di Timur Tengah yang kaya akan penguasaan khazanah Islam dengan studi Islam di Barat yang kaya metodologi. Prototype Fakultas Dirasat Islamiyah yang benar-benar ingin meniru Universitas al-Azhar, ternyata masih jauh dari harapan dengan terbatasnya pengelolaan, manajemen, kurikulum, dan staf pengajar, sehingga untuk dapat memenuhi kualifikasi yang sama seperti Universitas al-Azhar pun belum bisa dilakukan. Alih-alih, ingin mengembangkan yang lebih baik  dari Universitas al-Azhar, jelas masih sangat kesulitan.
Program studi Interdisciplinary Islamic Studies yang tampaknya ingin memindahkan McGill University di Indonesia masih terjebak pada pendekatan Barat yang empiris, historis, dan sosiologis. Padahal, studi Islam juga memerlukan penguasaan sumber-sumber Islam yang paling otentik, yang tentu saja dapat dilakukan dengan penguasaan bahasa Arab yang mumpuni. Bukan saja aspek metodologi yang penting dalam setiap pendidikan Islam, tetapi penguasaan dasar keislaman perlu terus diupayakan secara meyakinkan.
Jika model keduanya dapat digabung dan dipadukan menjadi satu model pendidikan Islam di lingkungan PTAI, kiranya dapat menjawab kekurangan masing-masing orientasi, yakni menguasa khazanah intelektual Islam yang paling dasar dan otentik, juga menguasai metodologi yang dapat digunakan untuk memecah masalah yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat. Apakah orientasi "studi Islam yang normatif dan historis dapat dipadukan?” Tentu saja, sangat bisa demi suksesnya pendidikan Islam di Indonesia, yang dapat disejajarkan dengan pendidikan Islam di Timur Tengah dan Barat.












DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Manusia dalam Kemelut Sejarah.Jakarta:LP3S,1978.
 peper presentasikan dalam seminar internasional, pada tanggal 5-8 november di semarang Indonesia.
  Amin Abdullah, “Uin bergeser ke umum berarti salah niat” Majalah kampus  potret Depag.
Artikel “Orientasi Studi Islam di Indonesia” yang diakses pada www.ditpertais.net/jurnal/vol62003c.asp.
Jurnal ilmiah Manahis “Madrasah Nizamiyah”.Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Suka,2008.
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam:History of the Moeslim Thought and Civilization by Prof.Dr.M.Abdul Karim ,MA. Published by Pustaka Book Publisher Pinus Fisrt edition,Yogyakarta,November, 2007.
Darmawan Andy DKK, Pengantar Studi Islam.Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2005.






10
 

Senin, 18 April 2011

‘Matn Criticism’


Matn Criticism
By Emad Hamdeh
16-03-2011 pukul 06.29
http://theiau.com/blog/islamic-sciences/hadith-criticism-part-4-matn-criticism/
Skeptics and rejecters of hadith often criticize hadith scholars for being obsessed with the chains of narrations while neglecting the matn, or actual text of the hadith.  This allegation is made by Orientalists as well as some Muslims.  For instance Sayyid Ahmad Khan (d. 1898), argues that hadith scholars focused mainly on the chain of narration; and because this was such a difficult task, they never got around to criticizing the actual text of the hadith1  Israr Ahmad Khan calls for a “redefining of the criteria”2 of authenticating hadith, with a strong emphasis on the text in place of the chain.  Jeffrey Lang prefers to use his “intuition”3 as the ultimate evaluator of a hadith’s authenticity.  Obviously it appears to be a problem for all of these authors and many other writers.  To allow the sort of matn criticism put forward by those who doubt the methods of hadith scholars would open the door to chaos, since each person’s reason is different and what one person may see as a contradiction may not be to someone else.  When looked at superficially, the allegation that there was a lack of matn criticism may appear true, since early scholars almost exclusively targeted to chain when criticizing a hadith.
For hadith scholars the chain of narration is a means, and not an end.  Nevertheless, they have established some signs that a hadith is fabricated, all based on the text itself:



1.      It should not contradict reason in such a way that it is impossible to interpret, for example the statement that Allah does not exist.
2.      It should not contradict the Qur’ān, a widely established sunnah of the Prophet( peace be upon him), or the ijmā’ (consensus) in a way that is impossible to interpret.
3.      It should not be a report about some event that a great number of people should have witnessed, but only one person narrates.
4.      It should not contradict well-established historical facts.
5.      It should not promise a great reward for a small deed, or a severe punishment for an insignificant mistake.
It should also be noted anytime there is a problem in the text, there must be a problem in the chain.  Therefore, when a hadith has something suspicious in the text, the root of the problem is in the chain.  Jonathan Brown correctly points out that in early Islamic history, hadith scholars found themselves locked in a struggle with rationalists who scorned their reliance on the chain and believed that content criticism was the only way to judge the authenticity of a hadith.  To admit that there was problem in the text without arriving to the conclusion through a criticism of the isnād would affirm the rationalist methodology. This is why the early hadith scholars’ matn criticism had to be concealed under the cover of isnād criticism4  Jonathan Brown says: “The whole purpose of the isnād was to guarantee that the Prophet said something without relying on man’s flawed reason.  If hadith critics admitted that a hadith could have an authentic isnād but still be a forgery because its meaning was acceptable, then they would be admitting that their rationalist opponents were correct!” 5
Further evidence that hadith scholars did not neglect the text is the concept of shudhūdh, which is when a narrator contradicts what stronger narrators narrate.  This cannot be known if hadith scholars were unfamiliar with the texts of hadith.  Moreover, the famous hadith collections were not gathered haphazardly, they were compiled under chapters relating to a certain topic, how then could these scholars have been unaware of the text?  Additionally, the scholars used hadith to prove a fiqh or theological position, in order to do so he meaning of the hadith had to be understood.
This series on the science of hadith was mean to demonstrate that the methodology used by scholars was and continues to be, the best method to preserve the sayings of the Prophet peace be upon him.  Most allegations made against hadith scholars come from people who do not specialize in the field of hadith and are based on a superficial understanding of the science.  Being that the Quran is difficult to attack, the next best thing to attack is hadith.  We should not allow ourselves to be fooled by ‘intellectuals’, be they Muslim or not, who claim to know better than generations of great hadith scholars.  Without the sunnah, the Quran is words without meaning or proper interpretation, and despite the many efforts Allah will protect both the Quran and the words of the walking Quran, Muhammad peace be upon him.  Verily, We have revealed the Reminder and We will most assuredly guard it.6










transelt
Orang-orang kafir (orientalis) menolak kebenaran matn dari sebuah hadits oleh sebab itu dia sering mengkritik ahli hadits karena terobsesi dengan rantai periwayat sementara mengabaikan Isi kandungan sebuah hadis (matn), atau teks sebenarnya dari hadits tersebut. Tuduhan ini dibuat oleh orientalis serta beberapa orang Muslim. Misalnya Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), berpendapat bahwa ahli hadits difokuskan terutama pada rantai periwayatan,karena itu tugas yang sulit untuk membuktikan kebenaran sebuah hadis, mereka tidak pernah sempat mengkritik teks sebenarnya dari hadith1 Israr Ahmad Khan "mendefinisikan kembali kriteria"2 hadits otentikasi, dengan penekanan yang kuat pada teks di tempat rantai periwayatan.
Jeffrey Lang lebih suka menggunakan "intuisi" nya3 sebagai evaluator akhir dari otentisitas sebuah hadits itu. Jelas tampaknya menjadi masalah bagi semua penulis. mungkin jenis kritik matn dikemukakan oleh mereka yang meragukan metode ahli hadits akan membuka pintu bagi kekacauan, karena alasan masing-masing orang berbeda antara yang satu dengan orang yang lain,ini dapat di lihat sebagai kontradiksi tidak mungkin untuk sama pendapat. Ketika melihat kejanggalan, tuduhan mereka bahwa ada kekurangan kritik matn mungkin muncul benar, sejak awal sarjana hampir secara eksklusif ditargetkan untuk mengkritik sebuah hadits.
Untuk ahli hadits rantai narasi adalah sarana, dan bukan akhir. Namun demikian, mereka telah mendirikan beberapa tanda-tanda bahwa hadis adalah palsu, semua didasarkan pada teks itu sendiri.
 1.Tidak boleh bertentangan dengan alasan yang sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk menafsirkan, misalnya pernyataan bahwa Allah tidak ada.
2.Tidak boleh bertentangan dengan Qur'an, sebuah sunnah harus disandarkan kepada diri Nabi (saw), atau ijma '(kesepakatan para ulama) dengan cara ini  yang tidak mungkin untuk menafsirkan.
3. Sanad hadis bersambung (muttasil) dari awal sanad hingga ke Nabi (marfuc). Tetapi periwayatan tentang beberapa peristiwa hanya sebagian besar orang yang telah menyaksikan, tetapi hanya satu orang yang meriwayatkan.
4. Seharusnya tidak bertentangan fakta historis mapan.
5. Seharusnya tidak menjanjikan pahala yang besar untuk amalan yang kecil , atau hukuman berat untuk kesalahan yang tidak signifikan.
Ini juga harus diperhatikan kapan saja ada masalah dalam teks, harus ada masalah di rantai.
Karena itu, ketika sebuah hadits memiliki sesuatu yang mencurigakan tingkatannya sangat lemah dan daif  dalam teks, akar masalahnya adalah dalam rantai tersebut. Jonathan Brown tepat menunjukkan bahwa dalam sejarah Islam awal, ahli hadits menemukan diri mereka terkunci dalam perjuangan dengan rasionalis yang dicemooh, ketergantungan mereka pada rantai periwayatan dan percaya bahwa kritik isinya hanya satu-satunya cara untuk menilai keaslian sebuah hadits. Untuk mengetahui bahwa ada masalah dalam teks  pada kesimpulan melalui kritik terhadap sanad akan menegaskan metodologi secara rasionalis. Inilah sebabnya mengapa kritik matn para ulama hadits terdahulu 'harus disembunyikan di bawah sebagai penutup dari sebuah sanad , criticism4 Jonathan Brown mengatakan: "Tujuan sanad adalah untuk menjamin bahwa Nabi berkata sesuatu tanpa menggunakan alasan yang cacat dan janggal kepada  manusia. Jika kritikus hadits mengakui bahwa hadis bisa memiliki sanad asli tapi dilain pihak masih melakukan pemalsuan karena maknanya dapat diterima, maka mereka akan mengakui bahwa lawan rasionalis mereka benar "5!


Lebih lanjut bukti bahwa ahli hadits tidak mengabaikan teks adalah konsep shudhūdh, adalah ketika narator yang bertentangan dengan apa yang perawi riwayatkan dengan kuat. tidak dapat diketahui apakah ahli hadits yang terbiasa dengan teks-teks hadits. Selain itu, koleksi hadis yang terkenal tidak dikumpulkan sembarangan, mereka telah dikompilasi di bawah bab yang berkaitan dengan topik tertentu, bagaimana bisa para ulama tidak menyadari teks? Selain itu, para ulama hadis, yang menggunakan untuk membuktikan posisi fiqh atau teologis, maka ia menterjemahkan sebuah hadis dan dari sebuah hadits itu harus dipahami maknanya.
 ilmu hadits berarti untuk menunjukkan bahwa metodologi yang pernah digunakan oleh ulama dan terus menjadi, metode terbaik untuk menjaga perdamaian perkataan Nabi saw. Kebanyakan tuduhan dilakukan terhadap ahli hadits datang dari orang yang tidak ahli  dalam bidang hadits dan didasarkan pada pemahaman yang dangkal dengan sandaran hanya ilmu pengetahuan. Untuk menyanagkal mereka para orientalis adalah berpegang teguh kepada Quran dan hadits. Kita tidak boleh membiarkan diri kita tertipu oleh 'intelektual', baik itu Muslim atau tidak, yang mengaku lebih tahu tentang generasi islam yang bejasa dalam penyebaran islam/ulama hadis. Tanpa Sunnah, kata-kata Quran sangat sulit untuk dijelaskan makna atau penafsiran yang tepat, meskipun Allah akan melindungi Quran. dan kata-kata Nabi Muhammad berjalan sesuai dengan Quran, kamilah yang menurunkan alkitab (Qur’an) maka kamilah yang akan menjaganya sampai hari akhir.

Writing Strategies

3 Strategies to Learn English



It’s important to have some strategies in learning English. That’s why I would like to share my strategies as far as I know. There are three strategies about that. The first one is you have to plan and determine your goal what you will reach in your schedule. The second one is, you have to practice hard and don’t be afraid to make some mistakes. The third one is, you have to set your mind like an english native, it means that will makes you familiar with strange words.



3 Thing I do After Graduation



I have plans, that I am going to do after graduation. The first one is, I want to continue my study in master degree program at Malaya University. I will try to look for some scholarships that have connection with that university. The second one is, I want to work at a company that cooporates with a company in other country. The third one is, I want to teach islamic lesson in islamic boarding school. I hope I will get all of the three things above.



3 Things I Love About Islam



I have three things I love about islam. The first one is, islam teaches us about peace. The second one is, moslems always keep cleanness in their life because they understand te cleanness is part of faith. The third is our prophet is the best example for everyone. There are still so many reasons that makes us more love it.

Abdul qodir jaelani/10150008