A. Latar Belakang.
Umumnya sejarah ketatanegaraan suatu negara, konstitusi
digunakan untuk mengatur dan sekaligus untuk membatasi kekuasaan negara. Dengan
demikian, dinamika ketatanegaraan suatu bangsa atau negara ditentukan pula oleh
bagaimana dinamika perjalanan sejarah konstitusi negara yang bersangkutan.
Karena dalam konstitusi itulah dapat dilihat sistem pemerintahannya, bentuk
negaranya, sistem kontrol antara kekuasaan negara, jaminan hak-hak warga negara
dan tidak kalah penting mengenai pembagian kekuasaan antar unsur pemegang
kekusaan Negara seperti kekuasaan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan yudisial.
Secara konstitusional UUD 1945 adalah sistem pemerintahan
Presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya adalah system
pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri
karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik
dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet,
19 menteri berasal dari delapan partai politik.
B.
Identifikasi Masalah
Untuk memperkaya wawasan
dan pemahaman pembaca tentang“Sistem
Pemerintahan Negara” (Sebuah
tulisan yang menggunakan pendekatan
yuridis normatif, digunakan untuk mengkaji atau menganalisis data skunder yang
berupa bahan-bahan hukum. Spesifikasi penulisan ini dipergunakan adalah
deskriptif Analitis.),, maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain:
- Sistem Pemerintahan di Indonesia sebelum dan sesudah UUD 1945 di amandemen.
- Problem system Presidensial di tengah system Multi partai di Indonesia.
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut maka rumusan
permasalan yang muncul dalam makalah ini sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengaruh konstelasi politik di DPR terhadap system Presidensial
Indonesia?
2. Bagaimana penerapan sistem Presidensial
yang ideal di tengah sistem multi partai yang dianut oleh Indonesia?
A.
SISTEM PEMERINTAHAN
1.Bentuk
Pemerintahan
Pemerintahan berasal dari kata
perintah, dimana kata perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua
pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki
hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah
memiliki ketaatan.
Apabila dalam suatu negara kekuasaan
pemerintahan, dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara
pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan
dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurus pelaksanaan roda
pemerintahan (disebut eksekutif), sedangkan pemerintahan dalam arti luas selain
eksekutif termasuk lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan (disebut
legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif). Menurut W.S.
Sayre : Goverenment is best at the organized agency of the state, expressing
and exercing is authority. Maksudnya pemerintah dalam definisi
terbaiknya adalah sebagai organisasi dari negara, yang memperlihatkan dan
menjalankan kekuasaanya.
Menurut C.F. Strong dalam bukunya Modern Political
Constitution mengatakan :
Government
in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security
of state with in and with out. It must therefore, have first military power or
the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making
law, thirdly financial power or the ability to extract sufficient money from
the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law
it makes on the state behalf.
Maksudnya
pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian
dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu, pertama harus
mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang,
yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan
undang-undang, yang ketiga, harus mempunyai kekuatan financial atau kemampuan
untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan
Negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka
penyelenggaraan kepentingan negara.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah
dirumuskan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang
dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif, yudikatif
dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional), sedangkan
pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh
organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahn negara.
Sehingga bentuk pemerintahan khusus menyatakan struktur organisasi dan fungsi
pemerintahan saja dengan tidak menyinggung struktur daerah, maupun bangsanya.
Dengan kata lain, bentuk pemerintahan melukiskan bekerjanya organ- organ tertinggi
itu sejauh organ-organ itu mengikuti ketentuan yang tetap.
Mengenai
bentuk pemerintahan (regerings vormen) berkaitan dengan pilihan :
a. Bentuk Kerajaan (Monarkhi)
b. Bentuk Republik (Republic)
Masih berdasar pada pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan Yang Berbentuk Republik”, dari kalimat
tersebut tergambar bahwa the faunding fathers Indonesia sangat menekankan
pentingnya konsepsi Negara Kesatuan sebagai definisi hakiki negara Indonesia
(hakikat negara Indonesia). Bentuk dari negara kesatuan Indonesia tersebut
adalah republik. Jadi jelaslah bahwa konsep bentuk negara yang diartikan disini
adalah republik merupakan pilihan lain dari kerajaan (monarkhi) yang
telah ditolak oleh para anggota BPUPKI mengenai kemungkinan penerapannya untuk Indonesia
modern.
2.
Sistem Pemerintahan.
Menurut S. Pamuji dalam
bukunya Teori Sistem dan Pengetrapannya dalam Managemen dikatakan bahwa
suatu sistem adalah kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir;
suatu himpunan atau perpaduan halhal atau bagian-bagian yang membentuk
suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Yang kemudian
disempurnakan menjadi suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di
dalamnya terdapat komponen-komponen, yang pada gilirannya merupakan sistem
tersendiri, yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan
yang lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu
tujuan.
Menurut Carl J. Friedich, sistem adalah suatu keseluruhan
terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara
bagian-bagian maupun hubungan fungsional baik antara bagian-bagian yang
akibatnya menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya
jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi
keseluruhannya itu.
Melihat pengertian antara sistem dan
pemerintahan diatas maka system pemerintahan pada dasarnya adalah berbicara
tentang bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga
negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara tersebut, dalam rangka
menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Pada garis besarnya sistem
pemerintahan yang dilakukan pada negaranegara demokrasi menganut sistem
perlementer atau presidensial ataupun bentuk variasi yang disebabkan
situasi atau kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semu (quasi),
misalnya quasi parlementer maupun quasi presidensial.
Bagaimanakah dengan sistem pemerintahan yang ada di
Indonesia? Sebagaimana diketahui, UUD 1945 berlaku dalam periode 18 Agustus
1945 sampai 27 Desember 1949 dan periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang. Dengan
adanya perubahan konstitusi yang diguankan Indonesia ini jelas mempengaruhi
sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia. Indonesia pun pernah mencoba
mempraktekkan sistem pemerintahan parlementer karena pluralisme dan wilayahnya
yang sangat luas yang terdiri dari pulau-pulau kecil membutuhkan pemerintahan
yang kuat dan stabil.
Kemudian diterapkanlah sistem pemerintahan presidensial
dibawah UUD 1945 yang cenderung executive heavy sudah terselesaikan
melalui amandemen UUD 1945. Sehingga jelaslah bahwa pasca amandemen UUD 1945
menetapkan menganut sistem presidensial dalam sistem pemerintahan.
Menurut Sri
Soementri, ciri-ciri pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 pasca amandemen
antara lain pertama, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat, kedua, presiden tidak lagi bertanggung jawab
kepada MPR, karena lembaga ini tidak lagi sebagai pelaksanan kedaulatan rakyat.
3.
Jenis-Jenis Sistem Pemerintahan.
a. Sistem
Parlementer.
Sistem parlementer
merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan
perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan adanya
pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet yang
dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari
parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh
meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.
Bertolak dari sejarah
ketatanegaraan, sistem parlemen ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara
Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Karena
dalam sistem parlementer, presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala
negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah
kabinet, yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggung
jawab sendiri atau bersama-samakepada parlemen. Karena itulah Inggris dikenal
istilah “The King can do no wrong”. Pertanggungjawaban menteri kepada
parlemen tersebut dapat berakibat kabinet meletakkan jabatan dan
mengembalikan mandat kepada kepala negara, manakala parlemen tidak lagi
mempercayai kabinet.
b. Sistem
Presidensial
Pemerintahan sistem presidensial
adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada
badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar
pengawasan (langsung) parlemen.
Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat,
karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang
mengetuai kabinet (dewan menteri). Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada
diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara lembaga tinggi
negara inilah yang disebut checking power with power.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial terdiri dari
tiga unsure yaitu:
a.
Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat
pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
b.
Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa
saling menjatuhkan.
c. Tidak ada status yang
tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang
relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti
rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol
presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan
terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa
dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu,
biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
Presiden bertanggungjawab kepada pemilihnya (kiescollege).
Sehingga seorang Presiden diberhentikan atas tuduhan House of
Representattives setelah diputuskan oleh senat. Misal, sistem pemerintahan
presidensial di USA.
Dengan
demikian, pertama, sebagai kekuasaan tertinggi, tindakan eksekutif dalam
sistem pemerintahan presidensial seringkali menuntut adanya kekuasaan tak
terbatas, demi kebaikan negara, setidak-tidaknya selama periode tertentu; kedua,
orang yang berada diposisi ini menjadi suatukeseluruhan yang tak lebih baik
dari anggotanya yang paling rendah, dan semua menjadi buruk daripada anggota
terendahnya.
Adapun
ciri-ciri dari sistem presidensial adalah:
a.
Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya
diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala
negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti
oleh UUD;
b.
Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah
pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam
sistem pemerintahan parlementer;
c.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat
dijatuhkan oleh badan legislatif,
d. Sebagai imbangannya,
Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
4. Komprasi Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial.
Sebab-sebab timbulnya perbedaan
antara dua sistem pemerintahan tersebut diatas adalah karena latar belakang
sejarah politik yang dialami oleh masing-masing negara itu berlainan.
TABEL
1
KELEMAHAN
DAN KELEBIHAN SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem
Pemerintahan Parlementer
|
Sistem
Pemerintahan Presidensial
|
a. Latar
belakang timbulnya
Timbul dari bentuk negara Monarki yang
kemudian mendapat pengaruh dari pertanggungjawaban menteri.
Sehingga
fungsi Raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara
eksekutif dan legislatif. Misalnya, Kerajaan Inggris, Perancis dan Belanda.
b.
Keuntungan
Penyesuaian antara
pihak eksekutif dan
legislatif mudah dapat
dicapai
c.
Kelemahan
1.
Pertentangan antara eksekutif dan legislatif bisa sewaktu-waktu terjadi
menyebabkan cabinet harus mengundurkan diri, dan akibatnya pemerintahan tidak
stabil;
2.
Sebaliknya , seorang Presiden dapat pula membubarkan leguslatif;
3.
Pada sistem parlemen dengan multi partai (kabinet koalisi) apabila terjadi
mosi tidak percaya dari beberapa partai politik, sering terjadi pertukaran
(pergantian) kabinet.
|
a.
Latar belakang timbulnya
Timbul
dari keinginan untuk melepaskan
diri
dari dominasi Kekuasaan Raja, dengan mengikuti ajaran Montesquieu dengan
ajaran Trias Politica. Misalnya, Negara USA timbul sebagai kebencian atas
Raja George III (Inggris).
b.
Keuntungan
Pemerintah
untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil.
c.
Kelemahan
1.
Kemungkinan terjadi bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan Negara menurut
eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif;
2.
Untuk memilih Presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga
perbedaan yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan
pandangan lembaga itu berlainan.
|
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sistem
komparatif adalah perpaduaan antara kedua sistem diatas yang mengambil
beberapakeuntungan dan kelemahan dari kedua sistem tersebut yang sesuai dengan
latar belakang sejarah politik suatu negara. Jadi, sistem pemerintahan ini,
selain memiliki presiden sebagai kepala negara, juga memiliki perdana menteri
sebagai kepala pemerintahan, untuk memimpin kabinet yang bertanggung jawab
kepada parlemen. Adapun ciri-ciri dari sistem ini adalah:
a.
Dalam sistem ini eksekutif terdiri dari presiden dan perdana menteri.
b. Presiden tidak memiliki
posisi yang dominan, artinya presiden hanya sebagai lambang dalam suatu
pemerintahan.
c. Kabinet tidak dipimpin oleh
presiden melainkan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
d. Presiden dapat membubarkan parlemen.
B. Sistem
Pemerintahan di Indonesia
1. Sistem
Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pra Amandemen
Bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut system
pemerintahan presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung
jawab atas jalannya pemerintahan negara (eksekutif) adalah presiden sedangkan
para menteri hanyalah pembantu presiden, artinya presiden berperan sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, hal tersebut itu tertuang dengan
tegas di dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945, yaitu :
a. Pasal
4 ayat (1) berbunyi ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah
menurut Undang-undang Dasar.” Sesuai dengan ayat selanjutnya mengatakan bahwa
“Dalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil
presiden.”
b. Pasal
17 ayat (1) berbunyi ” Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara” sedangkan
ayat (2) berbunyi ” Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
presiden”. Diperkuat dalam penjelasan yang mengatakan bahwa ”Presiden
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung
dari pada dewan, akan tetapi tergantung daripada presiden. Mereka ialah
pembantu presiden.”
c.
Penjelasan UUD 1945 BAB III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara
mengatakan bahwa :
1. Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif
dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk
menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair)
2. Kekuasaan-kekuasaan dalam pasal ini adalah
konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai kepala negara, yaitu pasal
10,11,12,13,14,15.
Walaupun Indonesia secara konstitusional menganut system
pemerintahan presidensial, ternyata banyak pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
bernuansakan parlementer, pasal tersebut antara lain:
a. Pasal
3 berbunyi : ”Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-undang Dasar dan
garis-garis besar daripada haluan negara.”
b. Pasal
5 ayat (1) berbunyi : ”Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
c.Pasal
6 ayat (2) berbunyi : ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”
d. Pasal
10 berbunyi : ”Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat,
angkatan laut, dan angkatan udara.”
e. Pasal
21 ayat (1) berbunyi : ”Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan rancangan Undang-undang.
Dan ayat (2) jika rancangan itu
meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
Berdasarkan uraian diatas maka Presiden sangat besar
kekuasaannya (executive heavy) karena disamping mempunyai kekuasaan
eksekutif juga menguasai cabang-cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif.
Sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945.
Padahal dalam sistem pemerintahan presidensial, pemisahan kekuasaan merupakan
ciri mutlak yang membedakan dengan sistem pemerintahan parlementer.
Apalagi jika dilihat dari pertanggungjawaban Presiden kepada
MPR yang secara tidak langsung sebenarnya bertanggungjawab kepada DPR, karena
anggota MPR adalah terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan
daerah dan golongan yang mana besarnya anggota DPR jauh lebih besar daripada
utusan daerah dan golongan. Walaupun pertanggung jawaban ini bukan terhadap
keanggotaan MPR melainkan MPR sebagai lembaga. DPR tidak dapat menjatuhkan
Presiden, dan sebaliknya. Dengan demikian sistem pemrintahan Indonesia menurut
UUD 1945 pra amandemen adalah sistem pemerintahan quasi presidensial.
2. Sistem
Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pasca Amandemen.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 dengan mengatas namakan
kedaulatan rakyat untuk mewujudkan demokratisasi yang kita kenal dengan
Reformasi tersebut kemudian dimanifestasikan dengan perubahan UUD 1945 melalui
Amandemen UUD 1945, dimana UUD 1945 merupakan panduan sistem ketatanegaran
Indonesia. Amandemen UUD 1945
sebenarnya
selain merupakan manifestasi dari gerakan reformasi adalah hal yang seharusnya
dilakukan melihat banyaknya kelemahan UUD 1945 dan juga sifatnya yang sementara
jika dilihat dari historis pembuatannya.
Kelemahan tersebut dapat dilihat dari kewenangan eksekutif
yang terlalu besar (executive heavy) dan kurangnya checks and
balances, materi muatannya yang masih umum sehingga multi tafsir. Akan
tetapi perubahan paradigma tersebut terjadi pada amandemen ketiga dan
keempat yang mengubah secara fundamental system pemerintahan yang
berimplikasi pada kedudukan MPR dan asas kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, tampak perubahan drastis antara amandemen
pertama yang bertujuan melakukan demokratisasi UUD 1945 dan amandemen ketiga
yang mengubah sistem pemerintahan. Demokratisasi jelas berbeda dengan perubahan
sistem pemerintahan, karena esensi demokratisasi adalah persamaan dan kebebasan
politik yang tidak identik dengan sistem presidensial.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa
kesepakatan tentang sistem pemerintahan presidensial justru berujung pada
perubahan sistem ketatanegaraan. Pertanyaannya, mengapa harus menggunakan
sistem pemerintahan presiensiil murni, mengapa tidak menggunakan sistem
pemerintahan parlementer murni?.
Menurut Ali Masykur Musa, perlu kiranya sebelum memilih,
untuk memperinci beberapa kelebihan dan kekuarangan dari sistem pemerintahan
presidensial dan sistem pemerintahan parlementer ini.
Pertama,
dalam
sistem pemerintahan presidensial stabilitas kekuasaan eksekutif sangat dijamin
akibat adanya penentuan masa jabatan yang ditetapkan oleh UUD yang sangat
dimilikinya, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer stabilitas
eksekutif sangat tergantung dari ada atau tidaknya mosi atau kepercayaan
parlemen.
Kedua, dalam sistem pemerintahan
presidensial pemilihan kepala pemerintahannya dianggap lebih demokratis karena
dipilih langsung oleh rakyat atau melalui badan pemilihan, sedangkan dalam
system pemerintahan parlementer kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen, hal
ini dianggap tidak demokratis karena tidak dapat menampung aspirasi langsung
warga masyarakat.
Ketiga, dalam
sistem pemerintahan presidensial terjadi pemisahan kekuasaan antara eksekutif
dan legislatif, terutama dalam keanggotaan antara eksekutif dan legislatif
dipandang sebagai sebuah ancaman bagi terjadinya tirani pemerintahan yang dapat
mengekang atau membatasi kebebasan individu.
Keempat, akibat
adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di dalam system
pemerintahan presidensial, maka hal ini dianggap dapat menimbulkan kemandegan
atau kelumpuhan pemerintahan, di saat terjadi ketidaksesuaian diantara
keduanya. Namun terjadi sebaliknya pada sistem pemerintahan parlementer;
potensi kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan sangat minimal, karena tidak
ada pemisahan jabatan atau keanggotaan diantara eksekutif dan legislatif.
Kelima, adanya penentuan masa jabatan
yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan UUD yang ada dalam system
pemerintahan presidensial, menyebabkan adanya kekakuan atau ketidak elastisan
pemerintahan yang dapat merespon situasi dan kondisi temporal yang terjadi, hal
ini kondisinya berlainan dengan sistem pemerintahan parlementer, dimana masa
jabatan pemerintahan yang sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan
parlemen, sehingga masa jabatan pemerintahan sangat ditentukan dari mosi atau
ketidakpercayaan parlemen, yang berarti sewaktu-waktu dapat mengganti
pemerintahan sesuai dengan kebutuhan atau situasi yang ada.
Keenam, karena
hanya ada satu pemenang yang akan menguasai pemerintahan dalam sistem
pemerintahan presidensial, berakibat pada makin minimalnya kemungkinan untuk
membentuk koalisi atau pembagian kekuasaan pada kelompok oposisi (kalah) yang
ada. Hal ini dianggap sebagai ancaman bagi pembangunan sistem demokrasi,
terutama di sebuah negara yang memiliki pluralitas yang tinggi. Lain halnya
dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem ini terjadi pembagian
kekuasaan atau terjadi koalisi diantara partai yang ada, sehingga dapat
menampung sebagian besar aspirasi warga masyarakat.
Sistem
pemerintahan presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi
tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias
politica oleh Montersquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung
oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya
ditentukan
oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan. Selain itu, para menteri adalah pembantu presiden yang
diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Hukum yang berlaku secara umum dalam sistem pemerintahan
presidensial adalah adanya pemisahan kekuasaan menetapkan semua lembaga negara
berada di bawah UUD 1945, sehingga UUD 1945 pun bersifat normatif closed yaitu
hanya dapat diubah oleh badan yangberwenang dan melalui cara yang telah
ditentukan oleh UUD tersebut.
Dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa terdapat 8 (delapan)
lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945 (atributif), dengan kata
lain kedelapan lembaga negara ini menerima secara langsung kewenangan
konstitusionalnya dari UUD 1945 (supremacy of law). Kedelapan lembaga
negara tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden dan Wakil Presiden, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi
Yudisial (KY).
KESIMPULAN
Agar tercipta stabilitas sistem presidensial di Indonesia,
maka ada 3 hal yang perlu dibenahi dalam sistem presidensial kita, yaitu:
a. perlunya penyederhanaan partai politik
melalui produk perundang-undangan, hal ini dimaksudkan agar konstelasi politik
di DPR melalui hasil pemilu dapat memperkuat stabilitas pemerintahan dan
memperdalam demokrasi;
b. perlunya pelembagaan koalisi,hal ini niscaya
dilakukan karena tidak ada kekuatan politik yang dominan di DPR, untuk itu
pelembagaan koalisi di DPR agar memudahkan proses check and balance antara
pemerintah dan DPR melalu dukungan partai di DPR;
c. perlunya pelembagaan oposisi, tradisi oposisi
formal yang telah konsisten dirintis dengan PDI-P harus dilembagakan dalam
produk perundang-undangan. Melemahnya oposisi formal tidak saja mengancam
mekanisme check and balances, tetapi juga menyumbat kanalisasi gerakan
oposisi informal ke oposisi formal.
Ketiganya bisa tercapai
dengan mendasain sistem pemilihan umum dan sistem pemilihan presiden yang
sesuai dengan sosial budaya masyarakat tanpa mengurangi kekhasan dan esensi
demokrasi Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, Kamus
Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,Jakarata: Pusat Bahasa Depdiknas,2001.
Bagir
Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta :UII
Press, 2003.
Dahlan
Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum
Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta
D.
Mutiara’as, Ilmu Tata Negara Umum, Jakarta: Pustaka
Islam, 1955.
Firmanzah, Mengelola
Partai Politik,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Inu
Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi
Revisi),Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Nukthoh
Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Padmo Wahjono, Indonesia
Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1983,
Hadisoeprapto Hartono, Pengantar
Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: liberty, 2008.
Sunarno Siswanto, Hukum
Pemerintahan Daerah di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika,2009.
Latif Abdul dan Ali
hasbi, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,2010.
J.Kaloh, Kepemimpinan
Kepala Daerah, Jakarta, sinar grafika, 2010
Samad sofyan, Negara
dan Masyarakat, Yogyakarta, pustaka Pelajar,2010.
Marzuki
Suparman, Tragedi politik hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka
pelajar,2011.
M.Ilham
Habib, Tesis (Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem
Presidensial di Indonesia), Semarang, UNDIP, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar