ETIKA ILMU DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA[1]
Oleh:
abdul Qodir Jaelani[2]
1. PENDAHULUAN
Ilmu bukanlah merupakan
pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang
dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian
jelimet dan mendalam tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas
pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang
handal. Handal dalam arti bahwa system
dan struktur ilmu dapat di pertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena
itu pula ia terbuka untuk di uji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah
pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik yang penuh dengan semantik dan nilai sastra
yang perlu di interpretasi secara kritis, rasional,logis,objektif, dan terbuka.
Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan setelah dia membangun
suatu bangunan yang kokoh kuat. Masalahnya adalah kegunaan ilmu bagi kehidupan
manusia. tentang peran etika dalam membawa
perubahan yang sangat besar .
Keyword: Etika,Semantik, Sastra,
karekteristik,logis dan obyektif.
2. Identifikasi
Masalah
Untuk
memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentang peran etika dalam membawa
perubahan yang sangat besar maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain :
a)
Sejarah etika ilmu.
b)
Hubungan antara etika ilmu
dengan semantic sastra.
c)
Sikap ilmiah dalam kajian
semantik.
Dengan adanya identifikasi
masalah di atas maka muncullah pertanyaan yang akan di munculkan sebelum di
bahas lebih jauh.
1)
Bagaimana sejarah perkembangan
etika ilmu. ?
2)
Mungkinkah, ilmu yang kokoh,
kuat dapat menjadi penyelamat bagi manusia atau sebaliknya. ?
3)
Bagaimana Hubungan antara etika
ilmu dengan semantic sastra.
3. SEJARAH
ETIKA ILMU
Dalam
bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan
karekter,kebiasaan, kecendrungan . dan dalam bahasa Yunani kuno di kenal dengan
ethos, yang mempunyai arti tempat tinggal[3]. Kata
etika (adab) di kenal dalam bahasa arab sejak pra-Islam. Pemaknaannya
berkembang seiring evolusi kultural
bangsa Arab. Kata ini di pahami secara bervariasi dari zaman ke zaman
dan dari konteks ke konteks yang lain.
Pemaknaan
tertua dari kata adab mengimplikasikan suatu kebiasaan. Suatu norma tingkah
laku praktis, dengan konotasi ganda yaitu: pertama. Nilai tersebut di
pandang terpuji; dan kedua, nilai tersebut di wariskan dari generasi ke
generasi yang lain. Dengan demikian etika, unsur utama etika adalah muatan
nilai baik dan kelanggengan melalui pewarisan antar generasi. Sesuai sifat
dasarnya, etika pra-Islam terkait realitas kesukuan sebagai basis social
masyarakat Arab. Dalam kasus bangsa arab, misalnya, terdapat sejumlah nilai
yang di pandang terpuji, seperti kejujuran, harga diri, dan keberanian.
Seiring
datangnya Islam. Etika mengalami perkembangan muatan yang sejalan dengan
nilai-nilai yang di bawa islam. Perkembangan ini bias mengambil bentuk
pengenalan nilai baru sebagai bawaan agama baru atau bias pula merupakan
pengesahan terhadap nilai-nilai bangsa arab. Nilai lama dapat di akomodir
karena sejalan dengan islam. Di bidang pendidikan kata adab secara
spesifik di gunakan dalam dua makna. Pertama,
adab di maknai sebagai tingkah laku anak-anak sehingga memiliki etika dan
tingkah laku yang baik. Kedua, di pahami dalam lingkup pendidikan orang dewasa. Dalam lingkup ini, adab
bermakna aturan tingkah laku praktis yang di pandang menentukan kesempurnaan
kualitas proses pendidikan.
The
American Heritage dictionary, memberi makna etika adalah aturan-aturan
mengendalikan tindakan anggota sebuah profesi tersebut. Pesatnya perkembangan
peradaban islam mendorong munculnya rumusan etika yang secara spesifik di
pandang berlaku pada profesi atau aktivitas tertentu dengan ruang lingkup lebih
luas ketimbang profesi pendidikan. Seperti zaman abbasiyah rumusan etika di
kenal dengan etika bagi sekretaris (adab al-katib), pemberi fatwa hokum (adab
al-mufti)[4].
HUBUNGAN ANTARA ETIKA ILMU DAN
SEMANTIK SASTRA.
Semantik
(semantics) adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau
makna. Makna yang diteliti oleh semantik itu adalah makna bebas konteks. Makna
itu ada yang bersifat leksikal dan ada yang gramatikal.
Bahan penelitian semantik adalah semua
satuan lingual bermakna, seperti wacana, kalimat, frasa, kata, dan morfem.
Objek sasarannya adalah makna satuan-satuan lingual itu.
Dalam semantik dikenal konsep makna,
informasi, dan maksud. Ketiga konsep itu berbeda satu sama lain. Makna (meaning)
adalah sesuatu yang berada di dalam ujaran atau gejala dalam-ujaran.
Informasi (information) adalah sesuatu yang luar-ujaran di pihak
objek kenyataan yang dibicarakan. Maksud (sense) adalah sesuatu
yang luar-ujaran di pihak maksud si pengujar sendiri.[5]
Tidak jarang kita menemukan pernyataan yang mengillustrasikan erat kaitan antara
etika ilmu dan semantik sastra, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang
ilmuwan terdapat pada keindahan etikanya bahasa serta nilai sastra yang penuh
dengan estetika. Abu Zakaritta al-anbari
berkata: ilmu tanpa etika bagaikan api tanpa kayu bakar, dan etika tanpa ilmu
adalah seperti jiwa tanpa badan. Etika adalah sebuah Ilmu dan bukan sebuah
ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama, ilmu
mempunyai hubungan yang erat antara etika ilmu yang tercermin dalam atau
menggambarkan keindahan nilai etika . Bagaimana bila harus hidup, bukanlah
etika melainkan ajaran moral. Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang di
harapkan dapat meminimalkan dan menghintakan penyimpangan dan kejahatan di
kalangan masyarakat. Di samping itu, Ilmu dan etika di harapkan mampu
mengembangkan kesadaran moral di masyarakat agar dapat menjadi cendikiawan yang
memiliki moral dan ahlak yang baik/mulia[6].
Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur
pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya yang tercermin dalam semantic
sastra bahasa yang di gunakan. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk
ucapan ataupun aturan tertulis yang secara sistematik sengaja di buat
berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat di butuhkan dapat
difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang
logika-rasional serta nilai semantik umum (common sense) di nilai
menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai
kegunaan khusus yang penuh dengan nilai semantik yakni kegunaan universal yang perlu di intrepetasi hubungan antara kata
dengan prase dan prase dengan kalimat dan kalimat dengan pragmatic dan
pragmatic denga wacana bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat
kemanusiaan.
1. SIKAP
ILMIAH DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA
Ilmu sebagai usaha ilmiah di bagi menjadi
beberapa cabang menurut lingkup bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu di
bagi menjadi dua kelompok bahasan yaitu kelompok ilmu teoritis dan praktis.
Keelompok teoritis mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok
praktis membahas bagaimana manusia bersikap terhadaap apa yang ada tersebut.
etika termasuk kelompok ilmu praktis dan di bagi menjadi dua kelompok yaitu etika
umum dan etika khusus. masalah mendasar bagi etika khusus adalah bagaimana
seseorang harus bertindak dalam bidang tertentu, dan bidang itu perlu di tata
agar mampu menunjang pencapaian kebaikan
hidup manusia sebagai manusia. Menurut Magnis Suseno (1987), etika khusus di
bagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika social yang keduanya
berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika
individual membahas masalah kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam
kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika social
membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyrakat atau umat
manusia. Dalam masalah ini etika individual tidak bisa di lepaskan dari etika individu
social karena kewajiban terhadap diri sendiri, dan sebagai anggota masyarakat
yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Dewasa ini etika
tersebut harus di pahami dan di maknai sebagai upaya pencerahan terhadap
individual dan masyarakat sebagai
kekuatan yang sangat bersinergis. Sinergitas keduanya pada gilirannya membangun
peradaban baru yang lebih komunitas dan bermartabat. Di sinilah pencitraan etos
keilmuan harus di bangun dalam kerangka etika dan ilmu tanpa mendikotomikan
keduanya. Kita juga tidak boleh menempatkan kesalahan yang sama dengan
menempatkan knowlegde is power yang melahirkan keserakahan bahkan keangkuhan
bagi manusia pada tuhan. Dengan mensinergikan Religion is power bersama knowlegde is power[7]
akan melahirkan ilmu yang
bermanfaat bagi sesama di semesta alam ini. Hal-hal inilah yang kita lakukan
kedepan dengan menjadikan ilmu sebagai gawang peradaban manusia. Setelah memperhatikan
fenomena-fenomena yang terjadi sekarang ini maka semantic sastra keilmuan
merupakan suatu yang sudah mendesak
untuk di sebarluaskan kepada para cendikiawan-cendikiawan agar dalam
perkembangan ilmu tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak diharapkan oleh
manusia itu sendiri dalam memaknai makna sebuah kejadian. Para ilmuwan yang
jujur dan patuh pada norma-norma keilmuan saja belum cukup melainkan ia harus
dilapisi oleh moral dan ahlak, baik moral umum yang di anut oleh masyarakat
atau bangsanya maupun moral [8]agama
yang di anutnya. Hal tersebut di maksudkan jangan sampai menyimpang yang akibatnya menyengsarakan umat manusia.
Seperti contoh:
Kenapa BBM Harus Naik?
Maka tugas dari pada semantic
adalah menelaah kata-kata yang di ucapkan oleh pejabat sejak awal dengan kontek
di lapangan seperti:
1. Secara
subtansi kenaikan BBM sudah benar tetapi pemerintah perlu menaikkan angka
kesejahtraan bagi masyarakat.
2. Penimbunan
BBM Makin marak terjadi.
3. Di
depok 43 kepala SPBU di kumpulkan oleh Kapolres agar melarang pembelian bensin
dengan cerigen.
4. Pemerintah
mengajak TNI-Polri untuk mengatasi gejolak di masyarakat karena adanya kenaikan
BBM.
5. Pengunjuk
rasa kesal kepada SBY-Boedoeno sehingga sering terjadi bakar-bakar BAN sampai
sondakhpun menjadi korban akibat tidak maampu mengatasi internal partai dan
mensejahtrakan rakyat.
6. Anas
Urbaningrum mengeluarkan kata-kata “kalau anas korupsi di hambalang 1 rupiahpun
gantung anas di monas. Nilai semantic yang terkandung dalam kalimat ini adalah gantung
anas secara realita tidak ada hukum gantung di Indonesia yang ada
adalah hukuman mati makanya anas tepat dan cerdas dalam menggunakan sastra
untuk mengungkapkan pembelaannya.
Di dalam perkembangan pembangunan bangsa etika individual dan social
serta semantic sastra tidak bisa di lepaskan sebagai landasan untuk membangun
peradaban karena antara yang satu sangat terkait dengan yang lainnya. Hal ini
di sebabkan oleh karena manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
membangun bangsa dan negaranya. Ini merupakan moral khusus namun amat penting
agar dalam kehidupan membangun masyarakat tidak menyimpang dari tujuan luhur
keilmuan (objektivitas) dan kepentingan kemanusiaan agar dapat selalu
berdampingan dengan alam yang lestari dan harmoni dan sesuai dengan etika yang
di ajarkan oleh ilmu[9].
[1]
Tulisan ini pernah di publikasikan di Enha
Post, Narmada, Lobar, NTB.
[2]
Ketua Divisi Intelektual Korp.Kopi 2011 Rayon Ashram bangsa.
[3]
Adib Muhammad, Filsafat Ilmu sebuah ontology,Epistemologi,aksiologi, dan logika
Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011. Hal.204.
[4]
Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008.
Hal.1-5
[5] Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum. Cetakan Ketiga. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya
[6] Adib Muhammad, Filsafat Ilmu sebuah
ontology,Epistemologi,aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011. Hal.207.
[7]
Sutoyo DKK, Religiusitas Sains, Meretas jalan menuju peradaban zaman,Malang:
Brawijaya Press,2010.
[8]
Tim Dosen Filsafat ilmu Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
Liberty,2003. Hal.177.
[9]
Josep Angiel, Rahasia di Balik Kata-kata, Yogyakarta: Diva Press,2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar