A.
LATAR BELAKANG
Membagi dan memperoleh
bagian dari harta peninggalan seseorang karena kematian, ketentuannya diatur
dalam hukum waris. Dari uraian tersebut, maka timbul apa yang dinamakan
warisan. Berbicara mengenai warisan
maka menyangkut 3 (tiga) unsur warisan
yaitu[1] :
- Adanya pewaris atau orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan yang akan mengalihkan.
- Adanya muwaris atau ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan itu yang terdiri dari ahli waris dan yang bukan ahli waris.
- Adanya mauruts atau harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan.
Menurut hukum Islam dalam surat An-Nisa 12 yang
menentukan bagian istri menjadi 2 macam, yaitu :
a. Satu perdelapan (1/8) harta warisan apabila mayit (pewaris)
meninggalkan anakyang berhak mewaris. Yang dimaksud anak termasuk juga cucu
(dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki. Anak atau
cucu yang diperoleh baik dari istri yang ditinggalkan maupun dari istri yang terdahulu.
b. Satu perempat (1/4)
harta warisan bila tidak ada anak atau istri seperti tersebut diatas.
Norma hukum di dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat
12 yang menentukan bagian ahli waris istri mendapat seperempat (1/4) bagian
warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan
anak maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang diterimanya. Dilihat secara
sepintas, kalau dikaitkan dengan istri yang ikut serta bekerja mencari
penghasilan membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sebagai
ketentuan yang bersifat diskriminatif dan tidak adil. Tetapi kalau dikaji
secara mendalam dan menyeluruh dalam satu sistem keluarga Islam, yaitu hukum
waris yang merupakan bagian dari hukum keluarga dan tidak dapat dipisahkan
dengan hukum perkawinan, maka keadilan justru akan terlihat karena ketentuan perolehan
warisan istri mendapat seperempat (1/4) bagian warisan jika pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka mendapat seperdelapan
(1/8) bagian yang diterimanya tersebut dalam kaitannya dengan hukum perkawinan
yang menentukan kewajiban seorang pria sebagai suami untuk menanggung beban
ekonomi di dalam keluarga. Sedangkan wanita sebagai istri tidak mempunyai
kewajiban yang demikian. Ini dijelaskan di dalam Q.S, 4 : 34 sebagai berikut :
A%y`Ìh9$#
cqãBº§qs% n?tã
Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/
@Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
4
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka .
Didalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan
bahwa suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuan (Pasal 34 ayat 1). Keperluan hidup berumah tangga
tersebut oleh komplikasi hukum Islam Pasal 20 ayat (4) disebutkan secara agak
rinci yaitu meliputi:
a.
Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman
istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya
perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
Demikianlah, menurut hukum Islam seluruh beban
ekonomi keluarga diletakkan di atas pundak pria sebagai suatu kewajiban hukum. Kecuali
istri memang secara sukarela membebaskan suaminya dari kewajiban tersebut. Namun
pembebasan ini hanya berlaku terhadap istri sendiri dan tidak berlaku bagi
anak-anaknya. Demikian kompilasi hukum Islam Pasal 80 ayat (6) menjelaskan.
Kewajiban istri untuk mengatur rumah tangga dan
juga ditegaskan di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 34 ayat (2) dan
kompilasi hukum Islam Pasal 83 ayat (2). Dinyatakan bahwa istri wajib
menyelenggarakan dan mengatur kehidupan rumah tangga sebaik-baiknya. Oleh
karena ketentuan di dalam hukum perkawinan itu harus dipandang sebagai bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari hukum keluarga sebagai satu sistem.
Yang menjadi masalah adalah apabila dalam suatu
sistim unit-unit yang ada tidak bekerja menurut sifatnya. Gejala ini nampak di
dalam kehidupan keluarga muslim. Menurut sistim hukum kekeluargaan Islam yang
secara positif berlaku baginya, beban dan tanggung jawab ekonomi di dalam
keluarga dipikul oleh kaum pria saja, sebagai suatu kewajiban hukum. Sedangkan
wanita mempunyai hak dari suaminya. Tetapi gejala sosial ini tidak selalu
demikian. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa para wanita sebagai istri banyak
memasuki sektor lapangan kerja di luar rumah, kecenderungan demikian selalu menampakkan
dirinya di dalam masyarakat di Indonesia. Para wanita banyak mempunyai peranan
dalam menanggung beban ekonomi keluarga. Para wanita tidak hanya bekerja
sebagai ibu rumah tangga semata-mata, yang hanya disibukkan dengan urusan
mengatur jalannya kehidupan keluarga, tetapi juga ikut bekerja mencari uang,
hal ini dilakukan bukan hanya untuk dimiliki atau untuk kepentingan sendiri
secara pribadi, tetapi untuk kepentingan seluruh anggota keluarganya.[2]
Saat ini menunjukkan bahwa wanita sebagai istri
banyak memasuki sektor lapangan kerja diluar rumah baik sebagai karyawan
perusahaan, pegawai negeri, pedagang maupun buruh. Semua ini menunjukkan adanya
aktivitas wanita dalam keikutsertaannya menanggung kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan
demikian beban ekonomi keluarga tidak hanya dipikul oleh pria saja seperti yang
diwajibkan oleh Al-Qur’an dan Hadits, tetapi wanita juga ikut menanggungnya.
Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, wanitalah yang menanggung beban ekonomi
keluarga, sedangkan pria mengurus jalannya kehidupan keluarga dirumah.
B. RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dan
agar makalah ini lebih terarah serta dapat tercapai sasaran yang diharapkan,
maka akan dikemukakan permasalahan yang akan menjadi pokok kajian dalam makalah
ini, adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hak wanita yang
bekerja untuk menanggung beban keluarga dalam pembagian warisan keluarga ?
2. Kendala-kendala yang
dihadapi wanita yang bekerja untuk menanggung beban keluarga dalam pembagian
warisan keluarga terhadap pembagian warisan yang diterimanya dan bagaimana
solusinya ?
C.
ASPEK HUKUM WANITA BEKERJA MENURUT
HUKUM ISLAM
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam
hukum Islam tanggung jawab dalam rumah tangga, terutama tanggung jawab dalam
menafkahi seluruh keluarga merupakan tanggung jawab seorang suami. Alasan
sehingga peletakan tanggung jawab kepada suami ini sering didasari pada adanya
perbedaan secara fisik antara laki-laki dan wanita, karena laki-laki dinilai
memiliki fisik yang kuat, maka dalam Islam laki-laki menjadi tulang punggung
bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan memberi segala
kebutuhan bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan
memberi segala kebutuhan bagi kaum wanita.
Disamping itu peletakan tanggung jawab ini juga
memiliki makna fungsional. Demikian misalnya dalam mengutip pemikiran Talcot
Persons sebagai tokoh aliran fungsionalis-Miqdad Yaljan melihat bahwa perbedaan
peran antara laki-laki dan wanita dalam rumah tangga ini memiliki makna
fungsional dalam mengatasi kemungkinan persaingan antara suami dan istri dalam
rumah tangga, sebab menurutnya jika perbedaan ini tidak diatur, keserasian dan
keharmonisan kehidupan dalam perkawinan dan masyarakat akan rusak.[3]
Perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya seorang
perempuan bekerja dalam khasanah fiqih bermula pada adanya surat al-ahzab ayat
73 (33:73) yang berbunyi : ”Dan hendaklah kamu tetap berdiam (waqama) di
rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
jahiliyah terdahulu”. Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat adanya perbedaan
dalam memahami kata perintah ”waqarna” yang menjadi kata kunci ayat tersebut.
Sebagian ulama Kufa-sebuah aliran pemikiran hukum yang
banyak diafiliasikan dengan rasionalisme Imam Abu Hanifah-memahami Waqama yang
berarti” tinggalah dirumah kalian dan tetaplah berada disana” sementara
ulamaulama Bashar dan sebagian ulama Kufa membaca Waqama dalam arti ”tinggalah
dirumah kalian dalam tenang dan hormat”[4]
Berkenaan dalam perbedaan penafsiran terhadap kata
waqama tersebut, secara sederhana setidaknya ada tiga pemikiran atau pendapat
yang berkenaan dengan wanita yang bekerja yaitu :
1. Mereka yang secara absolut melarang seorang wanita yang bekerja. Al-
Qurtubi misalnya berpendapat bahwa ayat tersebut bisa dipahami perempuan Islam
secara umum diperintahkan untuk menetap didalam rumah, walaupun ia mengakui
bahwa sebenarnya relasi ayat ini lebih terarah kepada istri-istri nabi Muhamad
SAW, tetapi perempuan selain istri nabi juga tercakup dalam perintah tersebut,
hal yang hampir senada juga terjemahkan oleh Ibnu Katsir, yang mengatakan bahwa
ayat diatas mengandung arti perempuan tidak dibenarkan kecuali ada kebutuhan
yang dibenarkan oleh agama.
2. Pendapat yang memperbolehkan wanita bekerja asal ada ijin dari suami,
serta dalam keadaan ”darurat”. Muhammad Qutub berpendapat bahwa ayat ini bukan
berarti bukan larangan terhadap perempuan untuk bekerja, karena Islam tidak
melarang perempuan bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut,
Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat dan bukan menjadikanya dasar. Hampir
sama dengan pendapatnya Muhammad Qutub diatas, Haya Binti Mubarok Al-Barik berpendapat
bahwa pada dasarnya adalah haram bagi seorang wanita bekerja diluar. Haramnya
seorang wanita bekerja diluar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang
dipunyai oleh seorang wanita, misalnya karena haid, hamil, melahirkan dan
nifas, menyusui dan merawat anak serta dilihat dari susunan tubuh yang dinilai
memiliki perbedaan dengan laki-laki. Bahkan
lebih lanjut menurutnya terhadap seorang wanita yang bekerja diluar akan banyak
menimbulkan dampak negatif jika dibandingkan positifnya, misalnya menelantarkan
anak-anak, meruntuhkan nilai moral dan sikap keagamaan wanita tersebut, dapat
kehilangan sifat naluri kewanitaanya dan lain-lainya. Namun demikian menurut
Haya Binti Mubarok Al-Barik bisa saja seorang wanita/istri bekerja diluar rumah
jika hal ini dalam keadaan darurat dengan tentunya memperoleh ijin dari suami
mereka, tidak bercampur dengan laki-laki atau melakukan khalwat (mojok) dengan
lelaki lain, tidak berlaku tabarruj dan tidak memakai wewangian yang bisa
membangkitkan birahi seseorang.[5]
3. Mereka yang membolehkan secara mutlak seorang wanita bekerja,
pendapat ini tidak lepas dari analisis
gender yang dilakukan terhadap ketentuan ayat tersebut. Demikian misalnya
Ashgar Ali Engineer, menurutnya kedua pendapat sebelumnya sangat dipengaruhi
oleh feodalisme. Oleh karena pemahaman terhadap ayat tersebut setidaknya dapat
dilepaskan dari konteks sosial pada saat ayat itu diturunkan.Struktur sosial
pada masa nabi tidaklah benar-benar mewakili kesetaraan laki-laki dan
perempuan, sehingga domestikasi perempuan dianggap kewajiban dan suatu hal yang
wajar.
Peletakan tanggung jawab pada kaum laki-laki ini
adalah hal yang wajar melihat kelebihan yang ada pada laki-laki, namun ini
tidak berarti Islam melarang terhadap kaum wanita yang ingin bekerja sebagai
wujud membantu ekonomi keluarga. Hanya yang terpenting adalah bagaimana menjaga
kehormatan dan akhlak Islami.
Namun demikian perbedaan fisik ini sebenarnya tidaklah
menunjukan perbedaan derajat dan pendidikanya, karena pembagian kerja dalam
masyarakat merupakan konstruksi sosial di masyarakat itu sendiri. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Roszak & Roszak bahwa laki-laki memerankan peran
laki-laki karena peran tersebut dikehendaki oleh wanita, dan sebaliknya wanita
memerankan wanita karena peran tersebut dikehendaki oleh laki-laki. Hanya dalam perspektif Islam, yang terpenting
terhadap wanita yang bekerja adalah menjaga kehormatan dan akhlak Islami.
D. HARTA BERSAMA DALAM
SISTEM KEWARISAN ISLAM
Dalam hukun Islam, yang dimaksud dalam harta
warisan ialah harta peninggalan pewaris setelah diadakan tindakan pemurnian
sebelum dialihkanya harta tersebut sebagai ahli waris. Tindakan pemurnian
tersebut diantaranya adalah pengeluaran harta yang menjadi hak janda atau duda
yang berupa harta pribadi, harta bawaan atau mungkin hadiah yang diperoleh
selama perkawinan.
Kemudian pelunasan hutang serta biaya yang
dikeluarkan dalam pengurusan jenazah serta zakat yang harus dikeluarkan.
Tindakaan pemurnian harta dalam sistem pewarisan Islam ini memperlihatkan
fungsi sosial dari harta seseorang, artinya Islam tidak mengenal pemutlakan kepemilikan
atas harta benda, sebab didalamnya terdapat hak orang lain. Secara normatif
pengaturan masalah pewarisan dalam sistem pewarisan Islam terdapat dalam
Al-Qur’an maupun hadist nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an yang membicarakan
masalah pewarisan ini terutama terdapat dalam surat An-Nisa pada ayat,
7,11,12,33 dan 176. Untuk lebih jelasnya, bunyi ayat-ayat yang berkenaan dengan
pewarisan ini adalah sebagai berikut adalah :
Surat
An-Nisa (4) ayat 7 : bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu/bapaknya dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu/bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Surat
An-Nisa ayat 11 : Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak wanita, dan jika anak itu
semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan jika anak wanita itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh
harta.Dan untuk dua orang ibu/bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya(saja) maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, pembagian
tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya, (tentang orang tuamu dan anak-anakmu), kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Surat
An-Nisa ayat 12 : Dan
bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu
mendapat sepeempat dari harta yang ditinggalkanya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat
harta yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) seseorang mati baik laki-laki maupun wanita yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempumnyai saudara
laki-laki (seibu saja) ada seorang saudara wanita (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya tidak dengan memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah. Dan
allah Maha Mengetahui dan Maha Penyantun.
Surat An-Nisa ayat 33 : Bagi tiap-tiap
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dari karib kerabatnya kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah
setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagianya.sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.
Surat An-Nisa ayat 176 : Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang Kalalah), katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah yaitu : jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara wanita maka bagi saudaranya yang wanita itu seperdua dari
harta yang ditinggalnya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara wanita), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara wanita
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal”. Dan jika mereka (ahli waris itu sendiri) saudara-saudara laki
dan wanita, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara wanita. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika dilihat dari beberapa
ayat tersebut diatas, terlihat bahwa ada kelompok ayat kewarisan yang
menjelaskan pembagian kewarisan dengan pembagiannya secara langsung. Namun ada
juga ayat yang berkenaan dengan pedoman preventif dari kemungkinan terjadinya
kasus di luar kebiasaan tersebut pada ayat 11 dan 12 dari surat An-Nisa, yaitu
berkenaan dengan ahli waris pengganti atau mawali. Atau ayat yang memberikan
kemungkinan lain, dimana pewaris tidak memiliki anak dan mawali anak atau yang
dinamakan kalalah seperti tersebut pada surat An-Nisa ayat 176 tersebut.
Terhadap sistem kewarisan
dan pembagian harta warisan seperti yang telah diatur dalam Al-Qur’an
menimbulkan beberapa persoalan, terutama berkenaan dengan hak, dimana terlihat
adanya perbedaan antara hak seorang wanita dengan seorang laki-laki. Hal ini
dinilai oleh banyak kalangan diskriminatif sifatnya.
Munculnya sistem pembagian
yang terkesan diskriminatif ini tentunya tidak bisa dilihat sebagai suatu
persoalan yang parsial saja, terutama besarnya pembagian dan perolehan yang
diatur, tanpa melihat dasar, ide serta asas dalam hukum kewarisan Islam secara
keseluruhannya. Gagasan sistem pembagian yang lebih memberikan posisi yang
besar kepada laki-laki terkait dengan tanggung jawab dalam keluarga. Ternyata
dalam Islam tanggung jawab dalam keluarga termasuk dalam hal ini yang mencari
harta adalah laki-laki (suami), sehingga atas dasar pemikiran ini Al-Qur’an
memandang adil jika yang bekerja, dalam hal ini laki-laki memperoleh bagian
yang lebih besar dari kaum wanita, yaitu sebesar dua kali.
Gagasan ini menurut Amir
Syarifudin tentunya sesuai dengan asas hukum kewarisan Islam yang menekankan
pada asas keadilan berimbang, disamping asas ijbari (dengan sendirinya),
bilateral, asas individual dan asas kewarisan semata akibat kematian.[6] Dalam
pengaturan masalah waris, ada satu hal yang cukup menarik untuk
diamati, jika harta bersama dimaknai sebagai harta
yang diperoleh selama perkawinan dengan tidak memandang siapa yang mencarinya,
maka secara eksplisit mengenai harta bersama dalam hukum Islam tidak dikenal.
Oleh karena itu munculnya konsep harta bersama dalam sistem kewarisan Islam
merupakan adopsi dari sistem kewarisan adat yang sudah lama dikenal dalam
masyarakat.
Sebagai contoh dalam masyarakat Jawa sudah lama
dikenal dengan istilah harta gono dan harta gono-gini. Perbedaan antara kedua
istilah tersebut terletak pada saat perolehannya, jika harta gono diperoleh
saat sebelum perkawinan maka pengertian gono gini diperoleh setelah berumah
tangga. Diterimanya konsepsi hukum adat mengenai harta bersama dalam sistem
kewarisan Islam (terutama dalam KHI) ini tidak terlepas dari sifat hukum Islam
sendiri yang tidak hanya toleran terhadap budaya lokal, tetapi jauh dari itu
hanya kebiasaan dalam hukum Islam dapat dijadikan dasar hukum sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Mendasarkan pada budaya lokal
atau budaya setempat yang telah menjadi adat tersebut, eksistensi harta bersama
oleh para pemikir hukum Islam dijadikan salah satu sumber pemecahan masalah
ketika terjadi perceraian dalam perkawinan pada masyarakat Islam di Indonesia[7]. Adalah KH. Syeik Arsyad
Al- Banjari[8]
untuk pertama kalinya memberikan fatwa terhadap keberadaan sistem dan konsep
harta bersama yang ada di dalam masyarakat ini, untuk diberlakukan dalam hukum
Islam dengan perlindungan terhadap seorang wanita atau istri ini terlihat dari
dasar pemikirannya bahwa meskipun seorang istri tidak bekerja sebagaimana yang
dilakukan oleh seorang suami, maka ketika terjadi cerai mati untuk seorang
istri memperoleh bagian yang sama terhadap harta bersama sebagai hasil kerja
suaminya.
Namun demikian ada satu hal
yang terpenting bahwa ternyata harta gonogini
yang ada dalam masyarakat adat pada umumnya tidak
mempermasalahkan siapa yang mencarinya, apakah harta tersebut diperoleh dengan
cara sendiri atau secara bersama-sama antara suami istri.
Hal
ini dikarenakan realitas dalam masyarakat memperlihatkan bahwa bekerjanya kaum
wanita juga sebagai bagian dari rasa tanggung jawabnya terhadap eksistensi
ekonomi keluarga. Bahkan pada masyarakat tertentu memiliki tradisi (Urf) dimana
seorang wanita justru yang lebih dominan bekerja dalam rangka membangun ekonomi
keluarga, dan keinginan wanita untuk bekerja sudah dilihat sebagai suatu
kebutuhan yang merupakan realisasi hak yang sama dengan laki-laki.
Pengambilan
lembaga hukum adat dalam menyelesaikan persoalan yang berkenaan dengan harta
bersama ini oleh peradilan juga dilakukan, hal inimisalnya terlihat dalam
putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Nopember 1976 No. 1448 K/Sip/1974 mengatakan
bahwa sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya cerai mati
harta bersama tersebut dibagi sama rata antara almarhum suami istri.
Pendirian
jurisprudensi demikian, jelas memperlihatkan masih diskriminatifnya sistem
hukum dalam melihat harta bersama ini, hal ini dikarenakan harta bersama secara
prinsip menghilangkan syarat keikutsertaan istri untuk bekerja dalam mewujudkan
adanya harta bersama tersebut, dengan menyatakan bahwa harta yang diperoleh
selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama dan pendapatan bersama,
sekalipun harta itu semata-mata hasil pencarian suami atau istri sendiri.
Artinya bagaimanapun penghargaan terhadap istri yang bekerja dan memiliki
penghasilan tetap tidak dilihat bahwa wanita tersebut memiliki hak penuh atas
apa yang telah dicarinya selama dalam masa perkawinan.
Terhadap
praktek demikian, juga sebagaimana diatur dalam kompilasi hukum Islam, masalah
pembagian harta bersama ini diatur dalam Pasal 96 dan 97. Hal ini tidak
memenuhi prinsip dan asas keadilan yang dijunjung tinggi dalam Islam, sehingga
perlu dilakukan tafsir ulang terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah
kewarisan, terutama yang menyangkut masalah harta yang diperoleh istri selama
dalam perkawinan.
Meskipun
tidak diatur secara tegas dalam hukum Islam, ini tidaklah berarti harta suami
dan istri tidak bisa dijadikan satu. Percampuran harta suami dan istri dalam
hukum Islam dimungkinkan, karena dalam hukum Islam dikenal dengan lembaga
“Syirkah” atau “persekutuan” yaitu percampuran sesuatu harta benda dengan harta
benda lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lainnya.
Bentuk-bentuk
syirkah ini ada tiga macam, yaitu antara lain :[9]
1)
Syirkah milik yaitu syirkah dalam memiliki
harta tanpa suatu perjanjian, karena terjadi sebagai akibat adanya kejadian
pada orang lain.
2) Syirkah harta melalui suatu
perjanjian. Dalam hal ini yang diperjanjikan dapat berupa modal dan usaha
(syirkah ‘inan), atau hanya berupa usaha untuk menjalankan kapital orang lain
(syirkah abdan) maupun dalam bentuk melakukan perbuatan (syirkah wujuh).
3) Syirkah harta harus melalui
suatu perjanjian antara orang yang punyai kapital dengan orang yang berusaha
dengan kapital tersebut.
Diperlakukannya perjanjian antara suami dan istri
dalam lembaga syirkah memperlihatkan bahwa dalam hukum Islam antara suami dan
istri memiliki kedudukan hukum yang sama, dan ini juga berarti pengakuan hak
kepemilikan pribadi dan bersama diakui dalam hukum Islam.
E.
HAK MILIK : STATUS HUKUM HARTA
DARI WANITA BEKERJA
Sesungguhnya Islam
merupakan agama fitrah, maka tidak ada satupun prinsip yang bertentangan dengan
fitrah atau merusah fitrah itu sendiri. Prnsip prinsip itu sesuai dengan
fitrah, bahkan terkadang meluruskannya dan meningkat bersamanya. Diantara
fitrah yang telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik
(kepemilikan) sebagaimana yang kita lihat. Pemilikan merupakan salah satu dari
karakter kebebasan (kemerdekaan). Pemilikan juga merupakan salah satu karakter
manusia, karena hewan tidak memiliki, manusialah yang merasa memiliki.
Surat Al-Ahqaf ayat 19
yang berarti : “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah
mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan
mereka sedang mereka tiada dirugikan”, secara umum kiranya merupakan dasar
dalam Islam memperbolehkan pemikiran, meskipun itu dapat menyebabkan pemiliknya
menjadi sangat kaya dan melimpah ruah hartanya, selama ia tetap memelihara diri
untuk mencari harta dengan cara yang halal dan menginfaqkan harta itu kepada
yang berhak, tidak dipergunakan untuk yang haram dan tidak berkelebihan di
dalam yang mubah, tidak pelit dengan yang haq, tidak menzhalimi seseorang,
serta tidak makan hak orang lain, sebagaimana konsekuensi prinsip istikhlaf
(pengamanan) dalam Islam (bukan pemilikan secara mutlak).
Pengakuan Islam terhadap
hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya membawa kebaikan untuk ummat dan
untuk perekonomian seluruhnya. Seperti diketahui bahwa dalam sistem kewarisan
Islam dikenal adanya pemisahan antara harta suami atau istri, terutama dalam
hal ini adalah harta bawaan maupun harta asal, dan eksistensi kepemilikannya
dalam system kewarisan Islam sudah diakui keberadaannya.
Artinya dalam hukum Islam kawinnya antara
wanita dan laki-laki tidaklah serta harta yang dimilikinya menjadi milik
bersama, sepanjang yang menyangkut kedua bentuk harta tersebut yaitu harta
bawaan maupun harta asal, tetap menjadi miliknya secara pribadi. Demikian juga
sebenarnya hak kepemilikan dari harta yang diperoleh suami atau istri selama
dalam perkawinan, berdasarkan Surat An-Nisa ayat 32 (4:32) merupakan hak
pribadi masing-masing. Implikasi dari surat An-Nisa ini jelas memperlihatkan
bahwa harta yang diperoleh istri selama bekerja merupakan haknya atas harta
tersebut.
Berdasarkan pada surat
An-Nisa ayat 32 tersebut maka jelas bahwa secara tegas hukum Islam mengakui
keberadaan hak kepemilikan dari harta yang diperoleh istri selama bekerja.
Ketentuan ini pada satu sisi jelas berbeda dengan konstruksi hukum adat maupun
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur masalah harta bersamanya, yang melebur
menjadi satu harta yang diperoleh istri menjadi harta bersama, sehingga
pengakuan hak seorang istri terhadap harta yang diperolehnya dengan bekerja
selama dalam perkawinan menurut hukum adat, Undang-undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam menjadi tidak ada.
F. KESIMPULAN
Pembagian warisan harta
bersama pada wanita bekerja untuk menghidupi ekonomi keluarga sering dirasakan
tidak adil oleh pihak wanita. Hal ini disebabkan harta milik wanita tersebut
diikutsertakan dalam pembagian harta warisan. Proses pembagian harta warisan
dalam keluarga kurang memandang harta kepemilikan wanita yang bekerja yang
diperoleh dari hasil jerih payahnya selama bekerja. Pengaturam mengenai harta
bersama dalam hukum positif masih mengabaikan kedudukan akan status dan kedudukan
harta seorang istri yang diperolaeh selama perkawinan. Pada pembagian harta
warisan keluarga terutama pada keluarga yang isteri ikut bekerja untuk
menghidupi beban keluarga menjadi polemik yang sering terjadi. Pembagian
warisan tidak melihat status kepemilikan harta yang ada sehingga sering terjadi
harta milik isteri ikut terbagi dalam pembagian tersebut. Hal ini disebabkan
tidak jelasnya status kepemilikan harta yang dibagi.
Kendala yang terjadi pada pembagian harta bersama,
tidak jelas penggolongan harta suami dan harta isteri. Hal ini sangat sulit
untuk dipisahkan karena dalam status kepemilikan harta, hanya isteri yang dapat
mengklaim kepemilikannya. Kondisi ini disebabkan selama suami masih hidup,
suami dan isteri tidak pernah memisahkan harta kepemilikannya.
Solusi yang dapat dilakukan dalam pemecahan
kendala tersebut adalah adanya kejelasan status kepemilikan ini dapat
memudahkan pembagian harta warisan baik bagi isteri yang bekerja maupun tidak
bekerja. Selain itu juga adanya kejelasan status kepemilikan dapat diterapkan
pada harta benda yang dapat memiliki identitas seperti tanah, bangunan,
kepemilikan usaha, kendaraan dan tabungan. Jika dalam status kepemilikan harta tersebut
atas nama suami, maka status kepemilikannya adalah milik suami. Sedangkan jika
dalam surat kepemilikannya atas nama isteri, maka harta tersebut adalah milik
isteri. Hal ini untuk memudahkan pemisahan harta isteri dan harta suami dalam
pembagian warisan.
G.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Hamzah Fachrudin, Terjemah Ensiklopedi
Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah 1424.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung,
1984.
Ali Muhanif, Perempuan Dalam Literature Islam
Klasik, Jakarta:Gramedia Pustaka, 2002.
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia,
Yogyakarta: Shalahuddin Press, 2001.
Ma’ruf Amin, Pemikiran Syeikh Arsyad Al-Banjari
tentang pembagian harta warisan terhadap budaya matrilineal,1989.
Miqdad
Yaljan, Potret Rumah
Tangga Islamy (Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo: Pustaka
Mantiq,1990.
R. Abdul
Djamali, SH.,
Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorium Ilmu Hukum, Bandung,: PT. Mandar Maju, 2002.
[1] R. Abdul Djamali, SH., Hukum Islam Berdasarkan
Ketentuan Kurikulum Konsorium Ilmu Hukum,
Bandung,: PT. Mandar Maju,
2002, halaman 112.
[2] Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy
(Al-Baitul Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo:
Pustaka Mantiq,1990, halaman 101.
[3] Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islamy (Al-Baitul
Islamy), Terjemahan SA Zemol, Solo:
Pustaka
Mantiq, halaman 89-90.
[4] Ali Muhanif, Perempuan
Dalam Literature Islam Klasik, Jakarta:Gramedia Pustaka, 2002, hal. 19-20.
[5] Amir Hamzah Fachrudin, Terjemah Ensiklopedi Wanita
Muslimah, Jakarta: Darul Falah 1424 H, hal 159-160
[6] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
hal. 8-27.
[7] Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia,
Yogyakarta: Shalahuddin Press,2011 hal 11.
[8] Ma’ruf Amin, Pemikiran Syeikh Arsyad Al-Banjari
tentang pembagian harta warisan terhadap budaya matrilineal,1989, halaman 42.
[9]
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. hal.
282-283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar