Memilih dengan Wawasan
Toeti Prahas Adhitama ;
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA
INDONESIA, 07 Maret 2014
KITA bersyukur suasana negeri
ini relatif tenang dan damai selama masa reformasi. Memang dalam dua
pemerintahan pertama di masa reformasi kita memerlukan penyesuaian sistem
baru yang berlandaskan demokrasi. Selain itu, juga terjadi letupan-letupan di
sana-sini yang tidak berarti. Namun, akhir-akhir ini kita memang sering
terganggu oleh perilaku sebagian elite yang membuat rakyat kecewa.
Syukurlah
tiba waktunya untuk pembaruan. Sebulan lagi kita menggelar pemilu. Sudah siap
mencoblos? Rasanya sudah. Pilih yang mana? Itu yang belum pasti. Padahal,
pilihan bersama itu menentukan jajaran pimpinan baru.
April mendatang, kita memilih
para pemimpin untuk masa depan di lembaga deliberatif pembuat hukum.
Sayangnya, pemahaman tentang para caleg yang menawarkan diri belum meluas.
Kalau terpaksa memilih, mayoritas konstituen ibaratnya terpaksa memilih
kucing dalam karung. Ketika dibuka, bisa jadi yang meloncat bukan kucing,
melainkan tikus atau harimau. Yang dari karung pun belum tentu mampu
membawakan misinya. Bagaimana nurani mereka sebagai wakil rakyat? Apakah
mereka mewakili rakyat, partai, atau kepentingan sendiri?
Di sisi lain, seberapa besar
sebenarnya pengetahuan/pemahaman konstituen tentang misi yang harus diemban
para anggota legislatif? Mungkin karena pemberitaan tentang para caleg belum
tersebar luas, tidak seluas pemberitaan tentang partai-partai politik atau
perilaku mencemaskan sebagian tokoh partai dan/atau kader partai yang
mengikis rasa percaya rakyat, maka saat ini ada wacana tentang kemungkinan
meningkatnya golput, terutama di kalangan rakyat banyak. Lagi pula masyarakat
luas belum tahu benar tugas perwakilan rakyat.
Sampai saat ini, pemberitaan
pers berkaitan dengan pemilu lebih menjadi sajian bagi kalangan
terdidik/elite. Kampanye khusus untuk rakyat banyak belum seramai yang
diharapkan, maka hal-ihwal para caleg, ataupun misi mereka, belum tergerai
untuk rakyat. Toh banyak orang partai meyakini, rakyat tidak senaif yang
orang kira.
Dana kampanye oleh semua partai
kenyataannya mencapai ratusan miliar rupiah. Sosialisasi oleh partai politik
yang dirasa masih kurang. Itu bisa membuat konstituen apatis. Apalagi bila
para caleg tidak merakyat. “Belum jadi
saja sudah sombong, apalagi nanti,” kata mereka. Ada persepsi tentang
kurangnya rasa kepedulian.
Mungkin karena banyak kalangan politik mengira
uang bisa mengatasi segalanya. Mereka lupa, uang bisa diterima, tetapi yang
dicoblos lain, sekalipun mereka mengambil hati rakyat bisa saja dilakukan
dengan cara lain, misalnya dengan penyediaan sembako atau melaksanakan
pembangunan yang diperlukan rakyat, seperti membangun tempat-tempat ibadah,
jembatan, dan jalan. Di beberapa tempat, ini sudah berjalan.
Demokrasi dalam masyarakat konservatif
Gegap gempita pemberitaan
tentang pemilu menunjukkan pengertian demokrasi sepertinya memfokus pada
kelas terdidik/menengah ke atas. Kemampuan melihat situasi politik dengan
jernih, apalagi mengatasinya, bergantung pada bagaimana persepsi kita tentang
diri kita. Bila masyarakat berpandangan konservatif, apalagi diwarnai sikap
paternalistis atau feodalistis, kaum elitelah yang dianggap wajib mengatur
dan menentukan segala-galanya.
Situasi semacam itu yang kita
hadapi sekarang. Kita menganggap kaum elite bisa melihat kekurangan demokrasi
kita dan wajib mengatasi. Dalam hal itu, rakyat banyak yang seharusnya
menjadi bagian dari pelaku demokrasi pada akhirnya hanya menjadi objek.
Tentunya bukan itu tujuan utama
demokrasi: demos kratos-pemerintahan
oleh dan untuk rakyat. Namun, apa yang bisa diharapkan bila rakyat banyak
belum cukup berpendidikan dan belum mafhum tentang politik? Apa arti politik
bagi mereka? Inilah yang menumbuhkan keyakinan pada segolongan di antara kita
bahwa harus ada perubahan; agar demokrasi tidak dipecundangi, agar kepedulian
tidak diabaikan, dan agar ketimpangan tidak berlarut-larut.
Mencari rujukan
Januari 2014 lalu, Kompas
meluncurkan buku SBY, Selalu Ada Pilihan, setebal lebih dari 800 halaman,
terdiri dari 141 judul. Buku itu oleh SBY diperuntukkan bagi para pecinta
demokrasi dan para pemimpin Indonesia mendatang. Isinya berkisar pengalaman
SBY sebagai presiden, selain pengamatan politik pada umumnya. Dalam judul ‘Makna Pemimpin yang Tegas dalam Era
Demokrasi’ antara lain dinyatakan, Ia
dinilai tegas karena memang tegas, konsisten, dan teguh pada tujuan. Termasuk
tujuan nasional, maupun kepentingan masyarakat luas. Ia keras dan tegas pada
prinsip, serta terhadap sasaran. Tidak bisa dipengaruhi. Tidak bisa didikte
dan ditekan.... Ia tegas bukan dilihat dari pernyataan dan sikapnya yang
tergolong ‘pemberani’....’
Banyak lagi ungkapan yang bisa
menjadi wacana masyarakat. Tentu banyak yang menimbulkan pendapat pendapat
kontroversial. Apa pun, buku itu rasanya wajib dibaca oleh mereka yang
menawarkan diri untuk menjadi pemimpin masa depan, termasuk para calon
legislatif yang akan memperebutkan kursi DPR bulan April nanti.
Mereka bisa
memilih, yang mana yang bermanfaat bagi mereka. Diperlukan pembekalan
sebanyak-banyaknya agar mereka menjadi anggota legislatif idaman rakyat.
Jangan lagi mengecewakan seperti perbuatan sejumlah anggota DPR periode
sekarang yang menodai reputasi lembaga, reputasi partai politik, dan reputasi
diri sendiri.
Meskipun kritik sering
dilancarkan tentang ketidakdisiplinan anggota-anggota DPR, termasuk tindakan
korupsi, sebenarnya masyarakat pun menyadari masih banyak lainnya yang
menjalankan misi sesuai panggilan dan komitmen pada rakyat. Dalam kaitan
tindak korupsi, Budiman Soedjatmiko, anggota DPR dari PDIP, baru-baru ini
dikutip Media Indonesia bahwa dia memilih ‘jeneng
daripada jenang’, memilih reputasi atau integritas daripada kekayaan.
Namun, seberapa banyak anggota legislatif dan bahkan para caleg yang yakin
tentang itu? Dana pemilu dari dompet pribadi apakah memengaruhi perilaku
mereka?
Kejelian dan wawasan membuat
konstituen memilih caleg-caleg terbaik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar