Perempuan Pemikir Bangsa
Sutrisno ; Mahasiswa
Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
REPUBLIKA,
08 Maret 2014
Setiap 8 Maret, komunitas
pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional.
Melalui tulisan ini, penulis ingin memaknai Hari Perempuan Internasional.
Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang
menyelimuti kaum perempuan. Perempuan adalah realitas yang terasing. Ia
tersubordinasi di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum
teolog serta represi politik kaum elite. Ia tersandera oleh kungkungan
kultural dan struktural sejak milenium keempat sebelum Masehi sampai kini.
Secara kultural dan struktural,
perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan
hegemonik di ranah publik. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan bahwa
masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum perempuan. Berbagai perlakuan yang
tidak merata masih kerap menimpa kaum perempuan. Potensi-potensi besar yang
dimiliki oleh kaum perempuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kemakmuran,
kemajuan sosial, perdamaian, dan pemerintahan yang baik masih belum
tersentuh.
Pada tataran praksis, kaum perempuan
tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara secara
kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Perempuan. Namun, mengapa semua
landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi
perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan. Persoalannya,
sejauh mana negara memberi peluang bagi aktualisasi potensi kaum perempuan?
Sarekat Hijau Indonesia dalam
peringatan Hari Perempuan Internasional, pada 8 Maret 2010 menyatakan bahwa
negara gagal memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan bagi hak asasi
perempuan. Perempuan mengalami lapis-lapis kekerasan mulai dari pengabaian
dan pengucilan terhadap pengetahuan pengalaman perempuan dalam berupaya
menyelamatkan sumber-sumber kehidupan mereka, yang berbasis pada pengalaman
dan kekhasan perempuan itu sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam,
termasuk bagaimana pengetahuan perempuan sebagai penjaga pangan keluarga dan
komunitasnya.
Kita juga harus mengelus dada karena
peran positif kaum ibu dalam kancah pembangunan juga ternoda dengan perliku
negatif, yaitu terlibat dalam kasus korupsi. Sebut saja, Malinda Dee, Miranda
Gultom Swaray, Nunun Nurbaeti, Neneng Nazaruddin, Mindo Rossa Manulang, Wa
Ode Nurhayati, Angelina Sondakh, Ratu Atut Chosiyah, tokoh "bunda putri",
dan lain sebagainya.
Mereka adalah sosok ibu masa
kini yang berperan menjadi perantara, "pembelanja" dan aktor utama
korupsi serta tindak pidana pencucian uang. Mungkin inilah satu satu "buah"
dari gegap gempitanya gerakan emansipasi di negeri ini, di mana para kaum
hawa berbondong-bondong hijrah dari zona domestik menuju ranah publik.
Perlu pembelaan negara terhadap
nasib perempuan melalui berbagai kebijakan. Menurut A Bakir Ihsan (2007), setidaknya
ada empat agenda terkait eksistensi perempuan. Pertama, perlindungan terhadap
kaum perempuan dari kekerasan, kejahatan, dan tindakan yang ekstrem. Kedua,
peningkatan kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia.
Ketiga, memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang, baik
politik, ekonomi, maupun sosial. Keempat, memastikan bahwa tatanan kehidupan,
UU dan peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak
diskriminatif.
John Naisbitt dan Patricia
Aburdene mengatakan bahwa abad XXI adalah abad kebangkitan perempuan. Pakar
manajemen Tom Peters mengatakan, tomorrow
belongs to women. Perempuan harus mampu memainkan peran dan tugas
utamanya sebagai wanita yang sesungguhnya. Misi sejati memperingati Hari
Perempuan adalah untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam
upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tecermin semangat kaum
perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama.
Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum
kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep- konsep adil gender dan
feminisme berkembang di negeri ini.
Menjadi perempuan bukan hanya
berpikir dalam lingkup kecil rumah tangganya, tetapi juga menjadi pemikir
bagi bangsanya. Itulah sebenarnya makna sejati dari perjuangan politik, berpikir
untuk bangsa, berpikir untuk rakyat, berpikir untuk cita-cita negara,
berpikir untuk keberlangsungan masyarakat bangsanya.
Hari Perempuan kali ini harus diarahkan
untuk mengembalikan semangat juang kaum ibu dalam memajukan dan
menyejahterakan bangsa dengan se genap potensi dan kemampuan yang ada. Kaum
perempuan harus lebih optimal berperan serta dan berkontribusi secara signifikan
dalam gerakan kebangkitan nasional serta kemajuan masyarakat, bangsa, dan
negara. Di negara mana pun juga peranan kaum ibu sangat signifikan bagi kemajuan
bangsanya. Ingat sabda Nabi Muhammad SAW, "Perempuan
adalah tiang negara. Jika perempuan baik, negara itu akan sejahtera secara
penuh. Tetapi, jika perempuan rusak, negara itu akan rusak secara penuh
pula." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar