BENTUK NEGARA:
Politik Konstilasi Antara Sistem Presidensial Dan Parlamenter Dalam Bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia
A. PENDAHULUAN
Sejarah dunia selalu memperlihatkan adanya kelompok yang menjadi cikal
bakal lahirnya masyarakat. Pada masyarakat sederhana, kelompok manusia selalu
bersama membentuk jaringan simbiosis atas dasar saling bantu dan saling butuh.
Sejak semula dalam kesadarannya manusia senantiasa membutuhkan manusia yang
lain. Manusia sadar untuk membentuk dan berada dalam komunitas sosialnya agar
tetap dapat meresapi keberadaanya dan agar
dapat tetap bertahan hidup.[1]
Setelah sejarah panjang perjalanan umat manusia, kelompok-kelompok yang
semakin membesar dan membiak, tata aturan yang sedari awal sudah disusun secara
bersama oleh anggota komunitas dengan sangat sederhana, mulai mengalami gerak
evolusi dengan tata nilai dan aturan yang kian kompleks. Saat itu masyarakat
mengalami fase perbesarannya dengan jejaring sistem pemerintahan yang kian
rumit dan menjadi latar bagi terbentuknya sebuah negara. Pada akhirnya, seorang
Prancis bernama Paul Renan mengatakan bahwa dasar segala negara adalah
keinginan para warga negara bersatu.[2]
Dalam sebuah negara, kelompok-kelompok sosial yang ada secara keseluruhan
adalah warganegara yang merefleksikan pekerjaan, pandangan-pandangan politik,
kepercayaan-kepercayaan agama dan gaya hidup di dalamnya. Dimana ada satu
kelompok yang meliputi semua bernama negara. Pendapat ini telah dikemukakan
oleh Aristoteles di abad ke-4 SM yang menyebut manusia sebagai zoon politikon.
Ia menganggap bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk yang tidak pernah bisa
lepas dari masyarakat. Manusia adalah mahkluk kompleks yang senantiasa
mengarahkan kediriannya kepada ikatan kelompok ataupun kepada individu dalam
ikatan kelompok. Sebagaimana pandangan Aristoteles, Ibn Khaldun juga menganggap
keberadaan negara sebagai fitrah dari kesempurnaan manusia. Pembicaraan tentang
politik, kekuasaan, dan negara adalah khas bagi mahluk bernama manusia. Ibn
Khaldun secara tegas memberikan beberapa penjelasan tentang letak perbedaan
antara manusia dan mahluk lainnya, yakni kepemilikan ilmu dan tekhnologi,
kebutuhan fitrowi akan hadirnya sosok pemimpin beriwibawa di tengah komunitas
atau suku, serta keinginan dasariah untuk berkumpul membentuk masyarakat (umran).
Ibn khaldun juga mempercayai bahwa sebagian negara terbentuk dari
penaklukan-penaklukan terhadap komunitas atau suku bangsa tertentu. Negara bagi
Ibn Khaldun, terbentuk oleh dua faktor yang saling terkait yaitu dari
solidaritas (ashabun) warganegara dan kemulian (al-hasab).[3]
Umumnya sejarah
ketatanegaraan suatu negara, konstitusi digunakan untuk mengatur dan sekaligus
untuk membatasi kekuasaan negara. Dengan demikian, dinamika ketatanegaraan
suatu bangsa atau negara ditentukan juga oleh dinamika perjalanan sejarah konstitusi negara yang bersangkutan.
Karena dalam konstitusi itulah dapat dilihat sistem pemerintahannya, bentuk
negaranya, sistem kontrol antara kekuasaan negara, jaminan hak-hak warga negara
dan tidak kalah penting mengenai pembagian kekuasaan antar unsur pemegang
kekusaan negara seperti kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial.[4]
Secara konstitusional UUD
1945 menyebutkan bahwa sistem
pemerintah Indonesia adalah sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya sering terlihat seperti sistem
pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tidak berdaya menyusun program kerja yang sudah
ditentukan dalam konstitusi dan kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik
untuk menghindari konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[5]
Berdasarkan hal di
ataslah penulis merumuskan sebuah judul makalah BENTUK NEGARA: POLITIK KONSTILASI ANTARA SISTEM PRESIDENSIAL DAN PARLAMENTER DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
B. PEMBAHASAN
1. Bentuk Negara
Negara merupakan gejala
kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah umat manusia. Konsep negara
berkembang mulai dari bentuknya yang paling sederhana sampai ke yang paling
kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam
masyarakat, negara selalu menjadi pusat perhatian dan obyek kajian bersamaan
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia. Banyak cabang ilmu
pengetahuan yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya. Misalnya, ilmu
politik, ilmu negara, ilmu hukum kenegaraan, ilmu Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, dan ilmu Administrasi Pemerintahan (Public
Administration), semuanya menjadikan negara sebagai pusat perhatiannya. Namun
demikian, apa sebenarnya yang diartikan orang sebagai negara tentulah tidak
mudah untuk didefinisikan. Secara sederhana, oleh para sarjana sering diuraikan
adanya 4 (empat) unsur pokok dalam setiap negara, yaitu: [6]
1) a definite territory,
2) Population,
3) a government,
4) Sovereignity.
Namun demikian, untuk
menguraikan pengertian negara dalam tataran yang lebih filosofis, dapat pula
merujuk kepada pendapat Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and
State”. yang menguraikan pandangannya tentang negara atau state a
juristic entitydan state as a politically organized societyatau state as power.
Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia
(human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi
kepentingan dan mencapai tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang
bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai tujuan sebagai satu unit
pemerintahan tertentu, maka perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan
secara politik, dan disebut body politicatau negara (state)
sebagai a society politically organized.[7]
Menurut
pemikiran negara barat, secara garis besar bentuk suatu negara terbagi menjadi
dua, yakni bentuk Negara Serikat dan bentuk Negara Kesatuan.[8]
Dalam penggolongan tersebut setiap bentuk negara memiliki ciri dan karakternya
masing-masing:
a.
Negara Serikat
Negara Serikat
atau federasi adalah bentuk Negara gabungan yang terdiri dari beberapa Negara
bagian dari sebuah Negara Serikat.Pada mulanya beberapa Negara bagian
tersebut adalah Negara yang berdaulat,
merdeka, dan berdiri sendiri. Akan tetapi karena Negara-negara ini mempunyai
presepsi dan tujuan yang hampir sama, maka Negara-negara bagian ini kemudian
menyerahkan kekuasaan ini dikenal dengan limitative (satu demi satu)
dimana hanya kekuasaan yang diberikan oleh Negara-negara bagian saja yang
menjadi kekuasaan Negara serikat. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya,
Negara serikat mengatur halyang bersifat strategis seperti kebijakan politik
luar negri, keamanan dan pertahanan Negara. Selain ketiga hal tersebut, negara
bagian mempuyai kebebasan untuk mengaturnya sendirir tanpa campur tangan Negara
serikat.[9]
b.
Negara
Kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk seatu Negara yang merdeka, berdaulat
dengan satu pemerintahan pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah.
artinya seluruh wilayah dan daerah diatur oleh pemerintahan pusat. Akan tetapi
dengan demikian dalam perkembangannya, Negara kesatuan ini terbagi menjadi dua,
yakni Negara kesatuan sentralisasi dan Negara kesatuan disentralisasi.Negara
kesatuan s entraliasasi yaitu suat negara yang
sistem pemerintahannya langsung dipimpin oleh pemerintah pusat, dan
pemerintahan dibawahnya melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat. Contoh;
Pemerintahan Orde Baru.[10]
Sedangkan negara kesatuan disentralisasi adalah suatu bentu Negara
dimana kepala daerah diberikan kesempatan atau wewenang untuk mengururs urusan
pemerintah di wilayah sendiri. Sistem ini di Indonesia dikenal dengan sistem
otonomi daerah seperti yang dijalankan Indonesia pasca reformasi. Dalam
bentuk-bentuk Negara, selain kedua bentuk tersebut yakni Negara Kesatuan dan
Negara Serikat, maka jika dilihat dari segi pelaksanaandan mekanisme
pemilihannya, bentuk Negara dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yakni:
monarki, oligarki, dan demokrasi:[11]
a.
Monarki adalah model pemerintahan
suatu negara dengan pimpinan seorang Raja atau Ratu. Dalam perkembangannya
monarki dibagi menjadi dua, yakni monarki absolut dan monarki konstitusional.
Monarki absolut adalah model pemerintahan yang kekuasaan tertinggi ditangan
satu orang Raja atau Ratu seperti Negara Arab Saudi. Sedangkan monarki
konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya
dibatasi oleh kontitusi Negara.
b.
Oligarki adalah pemerintahan yang
dijalankan oleh beberapa orang dari golongan atau kelompok tertent.
c.
Demokrasi adalah model pemerintahan
yang bersandar kepala kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada
pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) yang
berlangsung secara jujur, bebas, aman dan adil.
c. Sistem dan Jenis-Jenis Pemerintahan
Menurut Affan Gaffar suatu sistem adalah kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau
terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan halhal atau bagian-bagian
yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Yang
kemudian disempurnakan menjadi suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh,
dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen, yang pada gilirannya merupakan
sistem tersendiri, yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu
dengan yang lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai
suatu tujuan. Sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang
mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan
fungsional baik antara bagian-bagian yang akibatnya menimbulkan suatu
ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak
bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.[12]
Melihat pengertian antara sistem dan pemerintahan
diatas maka system pemerintahan pada dasarnya adalah berbicara tentang
bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara
dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara tersebut, dalam rangka
menyelenggarakan kepentingan rakyat. Pada garis
besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negaranegara demokrasi
menganut sistem perlementer atau
presidensial ataupun bentuk variasi yang
disebabkan situasi atau kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk
semu (quasi), misalnya quasi parlementer maupun quasi presidensial.[13]
Sebagaimana diketahui, UUD 1945 berlaku dalam periode
18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 dan periode 5 Juli 1959 sampai dengan
sekarang. Dengan adanya perubahan konstitusi yang diguankan Indonesia ini jelas
mempengaruhi sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia. Indonesia pun
pernah mencoba mempraktekkan sistem pemerintahan parlementer karena pluralisme
dan wilayahnya yang sangat luas yang terdiri dari pulau-pulau kecil membutuhkan
pemerintahan yang kuat dan stabil. Kemudian
diterapkanlah sistem pemerintahan presidensial dibawah UUD 1945 yang cenderung executive
heavy sudah terselesaikan melalui amandemen UUD 1945. Sehingga jelaslah
bahwa pasca amandemen UUD 1945 menetapkan menganut sistem presidensial dalam
sistem pemerintahan.[14]
Menurut Ni’matul Huda[15], ciri-ciri pemerintahan presidensial dalam UUD 1945
pasca amandemen antara lain pertama, presiden dan wakil presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat, kedua, presiden tidak lagi
bertanggung jawab kepada MPR, karena lembaga ini tidak lagi sebagai pelaksanan
kedaulatan rakyat. Adapun jenis-jenis pemerintah adalah sebagai berikut:[16]
1.
Sistem Parlementer
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara
eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan
adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet
yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari
parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh
meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen. Bertolak dari sejarah ketatanegaraan, sistem parlemen
ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara Monarki konstitusionil, dimana
kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi.
Karena dalam sistem parlementer, presiden, raja dan ratu kedudukannya
sebagai kepala negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem
parlementer adalah kabinet, yang terdiri dari perdana menteri dan
menteri-menteri yang bertanggung jawab sendiri atau bersama-samakepada
parlemen. Karena itulah Inggris dikenal istilah “The King can do no wrong”. Pertanggungjawaban
menteri kepada parlemen tersebut dapat berakibat kabinet meletakkan
jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala negara, manakala parlemen
tidak lagi mempercayai kabinet.
2.
Sistem Presidensial
Pemerintahan sistem presidensial adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan
eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata
lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen. Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang
kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang
mengetuai kabinet (dewan menteri). Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada
diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara lembaga tinggi
negara inilah yang disebut checking power with power. Menurut Selo Soemardjan, pemerintahan presidensial terdiri dari tiga unsure
yaitu:[17]
a. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan
mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
b. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan
yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
c. Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan
eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi
yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti
rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol
presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan
terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa
dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu,
biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.[18]
Presiden bertanggungjawab kepada pemilihnya (kiescollege).
Sehingga seorang Presiden diberhentikan atas tuduhan House of
Representattives setelah diputuskan oleh senat. Misal, sistem pemerintahan
presidensial di USA. Dengan demikian, pertama, sebagai kekuasaan
tertinggi, tindakan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial seringkali
menuntut adanya kekuasaan tak terbatas, demi kebaikan negara, setidak-tidaknya
selama periode tertentu; kedua, orang yang berada diposisi ini menjadi
suatukeseluruhan yang tak lebih baik dari anggotanya yang paling rendah, dan semua
menjadi buruk daripada anggota terendahnya. Adapun
ciri-ciri dari sistem presidensial adalah:[19]
a. Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin
kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia
sekaligus sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah
ditentukan dengan pasti oleh UUD
b. Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi
dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan
legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan
legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif.
d. Sebagai imbangannya, Presiden tidak dapat membubarkan
badan legislatif.
d. Komprasi Sistem Pemerintahan
Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial
Sebab-sebab timbulnya
perbedaan antara dua sistem pemerintahan tersebut diatas adalah karena latar
belakang sejarah politik yang dialami oleh masing-masing negara itu berlainan. Hal ini dapat dilihat dalam
tabel di bawah ini.[20]
TABEL 1
KELEMAHAN DAN KELEBIHAN SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem Pemerintahan Parlementer
|
Sistem Pemerintahan Presidensial
|
a. Latar belakang timbulnya
Timbul dari
bentuk negara Monarki yang kemudian mendapat pengaruh dari pertanggungjawaban
menteri. Sehingga fungsi Raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi
perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Misalnya, Kerajaan Inggris,
Perancis dan Belanda.
b. Keuntung
Penyesuaian
antara pihak eksekutif dan legislatif
mudah dapat dicapai
c. Kelemahan
1. Pertentangan antara
eksekutif dan legislatif bisa sewaktu-waktu terjadi menyebabkan cabinet harus
mengundurkan diri, dan akibatnya pemerintahan tidak stabil
2. Sebaliknya , seorang
Presiden dapat pula membubarkan leguslatif
3. Pada sistem parlemen
dengan multi partai (kabinet koalisi) apabila terjadi mosi tidak percaya dari
beberapa partai politik, sering terjadi pertukaran (pergantian) kabinet.
|
a. Latar belakang timbulnya
Timbul dari
keinginan untuk melepaskan diri dari dominasi Kekuasaan Raja, dengan mengikuti ajaran Montesquieu
dengan ajaran Trias Politica. Misalnya, Negara USA timbul sebagai kebencian
atas Raja George III (Inggris).
b. Keuntungan
Pemerintah
untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil.
c. Kelemahan
1. Kemungkinan terjadi bahwa
apa yang ditetapkan sebagai tujuan Negara menurut eksekutif bisa berbeda dari
pendapat legislatif
2. Untuk memilih Presiden
dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan yang timbul
pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan pandangan lembaga itu
berlainan.
|
Berdasarkan tabel diatas
dapat disimpulkan bahwa sistem komparatif adalah perpaduaan antara kedua sistem
diatas yang mengambil beberapakeuntungan dan kelemahan dari kedua sistem
tersebut yang sesuai dengan latar belakang sejarah politik suatu negara. Jadi,
sistem pemerintahan ini, selain memiliki presiden sebagai kepala negara, juga
memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, untuk memimpin kabinet
yang bertanggung jawab kepada parlemen. Adapun ciri-ciri dari sistem ini
adalah:[21]
a. Dalam sistem ini eksekutif terdiri dari presiden dan
perdana menteri.
b. Presiden tidak memiliki posisi yang dominan, artinya
presiden hanya sebagai lambang dalam suatu pemerintahan.
c. Kabinet tidak dipimpin oleh presiden melainkan oleh
perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
d. Presiden dapat membubarkan parlemen.
C. PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam
uraian di atas, maka kelompok kami mengambil kesimpulan dari makalah ini
sebagai berikut:
Pertama, dalam sebuah negara,
kelompok-kelompok sosial yang ada secara keseluruhan adalah warganegara yang
merefleksikan pekerjaan, pandangan-pandangan politik, kepercayaan-kepercayaan
agama dan gaya hidup di dalamnya. Dimana ada satu kelompok yang meliputi semua
bernama negara. Pendapat ini telah dikemukakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM
yang menyebut manusia sebagai zoon politikon. Ia menganggap bahwa pada dasarnya
manusia adalah mahluk yang tidak pernah bisa lepas dari masyarakat. Manusia
adalah mahkluk kompleks yang senantiasa mengarahkan kediriannya kepada ikatan
kelompok ataupun kepada individu dalam ikatan kelompok. Sebagaimana pandangan
Aristoteles, Ibn Khaldun juga menganggap keberadaan negara sebagai fitrah dari
kesempurnaan manusia. Pembicaraan tentang politik, kekuasaan, dan negara adalah
khas bagi mahluk bernama manusia. Ibn Khaldun secara tegas memberikan beberapa
penjelasan tentang letak perbedaan antara manusia dan mahluk lainnya, yakni
kepemilikan ilmu dan tekhnologi, kebutuhan fitrowi akan hadirnya sosok pemimpin
beriwibawa di tengah komunitas atau suku, serta keinginan dasariah untuk
berkumpul membentuk masyarakat (umran). Ibn khaldun juga mempercayai
bahwa sebagian negara terbentuk dari penaklukan-penaklukan terhadap komunitas
atau suku bangsa tertentu. Negara bagi Ibn Khaldun, terbentuk oleh dua faktor
yang saling terkait yaitu dari solidaritas (ashabun) warganegara dan
kemulian (al-hasab).
Kedua, secara konstitusional UUD 1945 menyebutkan bahwa sistem pemerintah Indonesia adalah sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya
sering
terlihat seperti sistem pemerintahan
parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia tidak berdaya menyusun program kerja yang sudah ditentukan dalam konstitusi
dan kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi
kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
DAFTAR PUSTAKA
Anam Khoirul, Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Inti Media, 2011.
Asshiddiqie Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta; Konstitusi
Press, 2005.
Asshiddiqie
Jimly, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Konpres, 2009.
Gaffar
Affan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Huda Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan
UUD 1945, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Husein
Wahyudin, Hukum, Politik dan Kepentingan, Yogyakarta: LaksBang, 2008.
Mahendra
Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Palamolo
Susanto dan Lusia Indrastuti, Hukum Tata Negara Dan Reformasi Konstitusi di
Indonesia : Refleksi Proses dan Prospek di Persimpangan, Yogyakarta: Total
Media, 2014.
Samad Raja
Sofyan, Negara dan Masyarakat: Studi Penetrasi Negara di riau Kepulauan Masa
Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Semma
Mansyur, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, Dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obaor, 2008.
Soemardjan Selo, Menuju Tata Indonesia Baru, Jakarta: Gramedia,
2000.
Ubaedillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, Jakarta:
Kencana, 2014.
[1]Mansyur
Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, Dan Perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obaor, 2008), hlm.1.
[3]Raja Sofyan
Samad, Negara dan Masyarakat: Studi Penetrasi Negara di riau Kepulauan Masa
Orde Baru, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.20.
[4] Susanto Palamolo dan Lusia Indrastuti, Hukum
Tata Negara Dan Reformasi Konstitusi di Indonesia : Refleksi Proses dan Prospek
di Persimpangan, (Yogyakarta: Total Media, 2014), hlm.43.
[7]Wahyudin
Husein, Hukum, Politik dan Kepentingan, (Yogyakarta: LaksBang, 2008),
hlm.12.
[8]Khoirul Anam, Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Inti Media, 2011), hlm.81.
[9]Ibid. Lihat juga
Ubaedillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
Kencana, 2014), hlm. 34-35.
[12]Affan
Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm.56.
[14]Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi
Press, 2005), hlm. 209-228.
[15]Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan
UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm.13.
[16]Yusril Ihza Mahendra, Dinamika
Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), hlm. 19
[20]Susanto
Palamolo dan Lusia Indrastuti, Hukum Tata Negara Dan Reformasi Konstitusi di
Indonesia : Refleksi Proses dan Prospek di Persimpangan, (Yogyakarta: Total
Media, 2014), hlm.50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar