RUU KUHP-KUHAP dan Modal Sosial
Andi Kristian ;
Advokat di Jakarta
SINAR
HARAPAN, 07 Maret 2014
Akhir-akhir
ini, isu terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHP-KUHAP) mengemuka
dan ramai dibicarakan publik.
Pangkal
permasalahannya dari munculnya beberapa pasal yang dianggap kontra produktif
dengan semangat pemberantasan korupsi.
Beberapa
lembaga penegak hukum, sebut saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri,
PPATK, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan badan Mahkamah Agung (MA)
mengajukan keberatan dan mengkritik beberapa materi yang dianggap
mengamputasi kewenangan lembaganya dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum.
Itu juga dianggap mengancam independensi peradilan.
Di
antara lembaga penegak hukum tersebut, yang paling ngotot dan keras
menyuarakan protes adalah KPK. KPK bahkan sempat mengirimkan surat kepada
pemerintah dan DPR.
Intinya,
lembaga ini meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU
KUHP-KUHAP, serta mengusulkan pembahasan itu ditunda dan dilakukan pemerintah
dan DPR periode 2014-2019. Tentu saja dengan melibatkan seluruh lembaga
penegak hukum, akademikus, dan unsur masyarakat terkait.
KUHP
diberlakukan di Indonesia sejak 1946 dan KUHAP pada 1981. Tentu saja UU
tersebut sudah usang dan tidak sesuai perkembangan zaman. Modus-modus
kejahatan pun saat ini sudah sangat berkembang, terutama korupsi yang semakin
hari semakin canggih dan sulit dibongkar.
Jadi,
usaha memperbaharui KUHP-KUHAP mutlak diperlukan. Kerja sama yang kompak
antara lembaga penegak hukum, pemerintah, dan DPR dalam merumuskan materi
dalam RUU KUHP-KUHAP menjadi syarat mutlak agar UU yang dihasilkan nantinya
berkualitas dan efektif dalam memerangi tindak pidana, khususnya korupsi.
Dalam
pembahasan RUU KUHP-KUHAP tersebut, wacana perlunya kontrol atas wewenang
penyadapan yang dimiliki lembaga penegak hukum, seperti KPK, patut
diapresiasi. Itu karena penyadapan terkait privasi dan hak asasi seseorang
yang perlu dijamin dan dilindungi hukum.
Meskipun
demikian, apakah bijak dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini,
ketika korupsi merajalela ke berbagai penjuru kehidupan berbangsa, penyadapan
harus meminta izin dahulu kepada pengadilan/hakim.
Kenyataannya,
pengadilan yang dianggap benteng terakhir untuk mencari keadilan tak kedap
rembesan korupsi. Hakim sekaliber Akil Mochtar tak mampu lepas dari godaan
tersebut.
Sangat
lumrah seandainya para penegak hukum, khususnya KPK, mencurigai dan
mempertanyakan komitmen pemerintah dan DPR dalam memerangi korupsi.
Namun
pada titik tertentu, rasa saling curiga yang berlebihan di antara para
penegak hukum, pemerintah, dan DPR dapat menghambat proses revisi RUU
KUHP-KUHAP. Selain itu, curiga yang berlebihan mengisyaratkan, rendahnya
modal sosial yang dimiliki para elite bangsa ini.
Modal
sosial bisa beraneka bentuknya, misalnya semangat saling memercayai (mutual trust), semangat saling menghormati
(mutual respect), maupun semangat
saling memahami (mutual understanding).
Modal sosial merupakan syarat mutlak terwujudnya karakter sosial yang
kondusif, yang membawa penegak hukum dan elite bangsa ini untuk bersekutu dan
bergerak dalam kebersamaan (togetherness).
Itu guna mencapai tujuan bersama.
Rendahnya
modal sosial memperbesar peluang terjadinya ketidakefektifan, kekisruhan, dan
saling lempar tanggung jawab dalam menyelesaikan setiap permasalahan
kolektif. Salah satu dampak dari rendahnya modal sosial tercermin dalam sikap
saling mencurigai, serta tidak memercayai antara KPK, DPR, dan pemerintah.
Ini mengakibatkan tarik ulur pembahasan RUU KUHP-KUHAP.
Pangkal
timbulnya rasa saling curiga ini dari persepsi-persepsi negatif. Persepsi
merupakan proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan
pesan indra dari lingkungan, dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan
dengan cara mengorganisasi dan menginterpretasi sehingga akan memengaruhi
perilaku individu (Robbins, 2003).
Apabila
objek yang dipersepsi tidak sesuai penghayatan dan tidak dapat diterima
rasional dan emosional, individu akan mempersepsikan negatif atau cenderung
menjauhinya, menolak dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek
persepsi tersebut. Persepsi negatif semacam ini ternyata menghinggapi para
penegak hukum dan elite bangsa ini.
Persepsi
negatif dapat dilihat dari cara pandang KPK yang menganggap pemerintah dan
DPR sebagai institusi yang ingin melemahkan KPK, tidak pro terhadap
pemberantasan korupsi. Begitu juga sebaliknya.
Persepsi negatif terlihat dari cara pandang pemerintah dan DPR yang
menganggap KPK sebagai institusi yang superpower, tanpa pengawasan, cenderung
tebang pilih dalam pemberantasan korupsi dan rawan ditunggangi kepentingan
politik tertentu.
Persepsi
semacam ini hendaknya dibuang-buang jauh dan diubah dengan cara pandang yang
lebih positif. Dengan demikian, di masa yang akan datang, diharapkan
komunikasi di antara kedua pihak berjalan lebih efektif dan mampu
menghasilkan titik temu.
Mengubah
persepsi semacam ini hanya mungkin dilakukan dengan meningkatkan modal
sosial. Dengan modal sosial yang tinggi, bangsa ini lebih mudah menyelesaikan
berbagai problem kolektif, terutama korupsi.
Suatu
negara yang memiliki modal sosial yang tinggi akan membawa dampak positif
dalam setiap pemecahan masalah. Pemecahan masalah
dilakukan dengan tindakan komunikatif, melibatkan berbagai pihak untuk
mencapai win-win solution. Begitu
juga seharusnya dalam pembahasan RUU KUHP-KUHAP saat ini. Jadi, tidak ada
pihak yang merasa dikorbankan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar