Rektor-rektor
Administratif
Rhenald Kasali ;
Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
KOMPAS
Pernah ada dalam pikiran saya bahwa
universitas adalah barometer pembaruan, mahasiswanya agen perubahan, dan
kampusnya dipimpin rektor inspiratif.
Prof Mahar
Mardjono (UI), dokter ahli saraf, berani mengusir tentara dari kampus dan
menolong mahasiswa yang dihajar aparat saat menuntut perubahan. Rektor pertama
UGM, Prof Dr M Sardjito, dikenal sebagai peracik obat dan vitamin untuk tentara
pejuang. Di Bogor, Rektor IPB Prof Andi Hakim Nasution memperkenalkan sistem
panduan bakat penerimaan mahasiswa baru yang berkembang menjadi penelusuran
minat dan kemampuan (PMDK). Ia mewarnai kaum muda menggeluti sains.
Kita juga
banyak mengenal bagaimana Prof Dr Mochtar Kusu- maatmadja (Unpad), Prof Herman
Johannes dan Prof Dr Teuku Jacob (UGM), serta Prof Dod- dy T Amijaya (ITB)
menginspirasi kaum muda. Mereka terkenal karena inspiratif dan membuat
mahasiswa terlibat dalam gerakan atau gagasannya.
Universitas
negeri berkesempatan pertama menyeleksi calon mahasiswa dan menjadi tujuan
utama kaum cerdik pandai. Kampus yang sehat bukan hanya belajar dari buku,
dosen, dan laboratorium, melainkan juga cara rektornya memimpin dan memberi
contoh. Negeri yang sehat tak hanya melahirkan orang pandai, tetapi juga
panggilan pengabdian, kepedulian sosial, dan daya kreasi-inovasi. Wajar jika
masyarakat berharap kampus-kampus itu dipimpin orang yang mampu menjadi role
model, mempunyai reputasi yang kuat, berwawasan, dan visioner.
Bagaimana
sekarang? Belakangan ini kita justru mendengar keluhan wisudawan dan mahasiswa
baru yang mengantuk mendengar pidato tak menarik. Mereka mengatakan ”Baik
rektor, dekan, maupun karya-karyanya sama-sama tak dikenal. Mereka hanya bicara
jumlah lulusan.”
Lalu
iseng-iseng saya buat survei kecil dengan kata kunci ”rektor”. Tak banyak yang
menyebut nama rektor pemangku jabatan di kampus masing-masing. Siapa pun
pemangku jabatannya, hampir semua mengaku rektornya bernama Prof Komaruddin
Hidayat atau Prof Anies Baswedan. Keduanya bukan dari kampus universitas yang
mengklaim diri sebagai ”barometer”, melainkan role model kaum muda.
Pada era
interaktif yang kaya akses ini, tokoh-tokoh bisa diakses kaum muda dari Aceh
hingga Papua. Kultwit-nya diikuti banyak orang: Anies dengan 270.000
pengikut, Komaruddin 230.000. Namun, penelusuran saya, pemangku jabatan rektor
yang aktif memakai Twitter ternyata hanya dengan 600-700 pengikut.
Apakah ini
bukan gejala kampus telah dipimpin rektor-rektor administratif yang, maaf,
miskin daya ungkit pengaruh? Pemimpin seperti ini disebut John Maxwell (2006)
sebagai penjaga kursi yang berada dalam tangga kepemimpinan terbawah. Maxwell
mengatakan, ”They don’t care how much you
know until they know how much you care.”
Sebaliknya, jejak-jejak
langkah para rektor inspiratif tidak hanya ilmiah, tetapi berdampak riil
terhadap perubahan. Mereka turun tangan terlibat dalam masalah aktual sehingga
gerakannya punya pengaruh yang kuat. Karena kata-kata dan gerakannya
inspiratif, mereka menjadi terkenal, bukan sebaliknya.
Administrator perkebunan
Satu-satunya
kata administrator yang masih dipakai pada era ini mungkin hanya di perkebunan
milik negara. Kalau bertemu mereka, Anda akan menyaksikan sosok pekerja keras
yang biasa bekerja rutin. Tak diperlukan kreativitas karena semua prosedur dan
agendanya sudah jelas, aset yang ditangani terletak pada area geografis yang
terbatas, dan koordinasi intensif ke dalam.
Karena terlalu
intens ke dalam, ia tak dikenal di luar; dan karena rutin, ia tak inspiratif.
Ia hanya dihormati pegawainya, tetapi tak merasa perlu menggeluti perubahan di
luar. Sebaliknya kampus yang sehat justru bergulat dengan dinamika yang cepat
berubah. Ilmu pengetahuan bertambah setiap 20 menit, generasi baru datang
dengan teknologi dan masalah yang berbeda-beda, persoalan bangsa kian kompleks,
membuat kampus yang hidup harus terus beradaptasi dan menggali kekuatan baru.
Keunggulan kampus besar berubah menjadi temporer.
Di tengah
dinamika itu, kita justru sulit menemukan rektor-rektor inspiratif. Semuanya
hanya sibuk mengurus mahasiswa baru, administrasi keuangan, kepegawaian,
pemilihan dekan, pengukuhan guru besar, dan turnamen olahraga antar-jurusan.
Pokok pekerjaannya adalah administratif, rutin, dan membuat laporan.
Dengan metode
kerja seperti itu, jelas universitas sulit menghasilkan pembaruan, apalagi
mencetak agen perubahan. Di dalam tempurungnya yang gelap, banyak ditemui
perselisihan paham seputar perebutan peran administratif dan alokasi anggaran,
politik kampus, dan kecemburuan. Belum lagi soal-soal primordial, mulai dari
”penduduk asli” (alumni sendiri) versus lulusan luar, etnisitas, latar agama,
dan aliran-aliran sempit. Dalam horizonnya yang terbatas, hanya terjadi
perkawinan pemikiran satu keturunan yang menghasilkan produk pengetahuan yang
lemah. Apa yang dipublikasikan tak dijalankan, dan sebaliknya.
Namun, satu-dua
orang memilih keluar dan membangun karier dari jendela-jendela kecil yang
mereka buka sendiri agar mendapat oksigen segar. Dari sosok mereka inilah
sebenarnya perubahan bisa diharapkan. Namun, kelompok kecil yang bekerja ini
tak diberi tempat layak di dalam karena kampus lebih banyak didominasi manusia
tipe administrator. Bagi mereka, sosok yang tepat adalah penjaga rutinitas yang
intensif bermain di dalam.
Saya mengerti,
mereduksi peran rektor sebagai administrator atau menyamakan kampus dengan
kebun bukan analogi yang enak dibaca. Namun, kita tak bisa menutup kesan itu
hanya dengan menampiknya. Perubahan tak bisa dilakukan dengan bantah-membantah,
mengagungkan kepentingan territory, atau debat kusir. Perubahan itu harus
dimulai dengan mata dan telinga yang sehat dan pikiran yang bersih. Melihat
yang terjadi di luar, memenuhi aspirasi-aspirasi yang tumbuh dari masyarakat,
dan melahirkan role model.
Indonesia butuh
pemimpin-pemimpin yang dicari dengan penuh kesungguhan, bukan pencari kerja
yang memimpikan jabatan melalui kongsi kekuatan dan office politics. Kalau ini tak bisa, lupakan saja konvensi di
partai-partai besar untuk menghasilkan kepala negara terbaik sebab masalahnya
berawal dari kampus yang gagal menelurkan agen perubahan karena pemimpinnya
bukan role model. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar