Pemilu Jangan “Dipermahal”
Chandra
Feri Caniago ; Mantan Ketua Umum
UKM PHP UNAND
HALUAN,
15 Februari 2014
Pelaksanaan Pemilu 2014 merupakan tanggungjawab pemerintah, termasuk
soal pembiayaannya. Tetapi, pemerintah harus pandai pula untuk
pilah-pilih dalam membuat kebijakan mengeluarkan dana APBN untuk membiayai
pelaksanaan pemilu. Pada intinya, tidak semua yang berhubungan dengan
kesuksesan pemilu harus dibiayai dengan dana publik.
Pemerintah tidak boleh terlalu
bernafsu dalam memanfaatkan APBN dengan alasan kepentingan suksesnya
pelaksanaan pemilu. Semuanya harus mempertimbangkan ketentuan hukum yang
ada serta rasa kepatutan. Anggaran Pemilu 2014 sekitar Rp16 triliun sudah
sangat mahal. Jadi, jangan “dipermahal” lagi.
Fenomena ini kini sedang
hangat-hangatnya diperbincangkan dan menjadi polemik di tengah masyarakat.
Pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan terkait pemberian honor saksi
parpol pada Pemilu 2014. Polemiknya adalah dana tersebut diambil dari APBN,
yang nilainya sekitar Rp700 miliar.
Banyak kalangan tidak setuju
dengan rencana ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dana saksi
parpol yang bersumber dari APBN, rawan kecurangan. KPK mengingatkan agar keinginan
menggunakan dana saksi parpol dari APBN diurungkan saja.
Selain itu Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) menyatakan sumber dana saksi parpol dari APBN rawan jadi
permasalahan. Ini karena penganggaran ini tidak direncanakan dengan baik,
jadi tidak jelas penanggungjawab tata kelolanya. Sampai saat ini pun belum
jelas siapa yang akan mengelola dana tersebut. Bawaslu yang digadang-gadang
mengelola dana tersebut sudah tegas menolaknya. Jika tidak jelas yang
mengelola, rawan “sunyi senyap” dana tersebut.
Pro kontra juga terjadi di
Senayan terkait permasalahan ini. PDIP dan Nasdem adalah dua parpol yang
menolak rencana pendanaan tersebut. Gerindra, Golkar, dan PBB masih bimbang
terkait permasalahan ini. Sedangkan yang menyambut hangat adalah Demokrat,
PKS, PPP, PAN, PKB, PKPI dan Hanura.
Permasalahan Hukum
Rencana pemerintah menggunakan
dana APBN untuk membiayai saksi parpol tidak didukung dasar hukum yang
jelas. Dana saksi pemilu tidak masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga UU APBN 2014. Selain itu di dalam UU Parpol dan UU Pemilu
tidak pula diatur tentang dana saksi parpol dibiayai APBN. UU
bersangkutan hanya mengatur adanya bantuan atau subsidi APBN untuk melaksanakan
pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Jika tidak didukung
oleh aturan hukum yang jelas, maka penggunaan anggaran negara
tersebut jadi ilegal dan berpotensi untuk disalahgunakan. Satu rupiah saja
uang yang keluar dari APBN harus ada dasar hukumnya, supaya jelas pertanggungjawabannya
secara hukum.
Pemerintah berupaya memuluskan
rencana penggunaan dana APBN untuk saksi parpol dengan membuat Peraturan
Presiden (Perpres) sebagai payung hukum. Jika Perpres itu jadi, maka dana
tersebut akan diambil dari anggaran cadangan negara (rekening 99).
Permasalahannya adalah, kenapa
wacana ini baru dimunculkan ketika mendekati pelaksanaan pemilu? Meskipun
Perpres berhasil “diada-adakan” sebagai payung hukum keluarnya dana tersebut
dari APBN, tetap saja akan ada permasalahan hukum setelah itu. Ini karena
anggaran yang dikeluarkan dari rekening 99 tidak sesuai dengan penganggaran
yang terencana. Anggaran yang tidak terencana rawan untuk
disalahgunakan. Akhirnya dana publik yang keluar menjadi tidak jelas,
dan terbuang sia-sia, atau akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Dalam Pasal 3 UU Keuangan
Negara disebutkan Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Lagi pula, Presiden
sebagai pemegang kewenangan tertinggi pengelolaan keuangan Negara (Chief Financial Officer) telah
mewanti-wanti setiap kementerian atau lembaga untuk mencegah praktik
kongkalingkong APBN 2013-2014 sebagaimana Surat Edaran Seskab No
SE-542/Seskab/IX/ 2012 mengenai pengawalan APBN.
Apabila pemerintah tetap
memaksakan untuk menggunakan dana APBN untuk honor saksi parpol, tentunya
itu bertentangan dengan ketentuan yang ada. Selain itu Presiden jadi tidak
konsisten dengan surat edaran yang telah dikeluarkan melalui Seskab.
Pemilu memang mahal, akan
tetapi masih banyak kepentingan lain yang membutuhkan anggaran dari APBN.
Idealnya pemerintah harus mendahulukan dan mementingkan yang memang penting
dan langsung menyentuh rakyat. Bantuan bencana misalnya.
Urusan Parpol
Alasan pemerintah berencana
membiayai saksi parpol dengan dana APBN, adalah untuk meminimalisir kecurangan
dalam Pemilu 2014 dan negara bertanggungjawab untuk itu. Jika itu alasannya,
maka sudah ada jawabannya. Pemerintah sudah punya Bawaslu untuk itu, dan
anggarannya pun sudah jelas.
Bawaslu sudah mengusulkan
untuk menempatkan dua Mitra Pengawas Pemilu Lapangan (Mitra PPL) untuk
mengawasi pelaksanaan pemilu. Tugas Bawaslu untuk mencegah kecurangan
pemilu yang menjadi tanggungjawab pemerintah. Jadi, untuk apa lagi saksi
parpol diurus-urus oleh pemerintah?
Saksi parpol, murni urusan
“dapur” parpol yang bersangkutan. Adanya saksi parpol pada setiap tahapan Pemilu
2014, tugasnya hanya melindungi kepentingan parpol supaya tidak dicurangi.
Jadi, jika parpol takut
dicurangi dan mau terlindungi kepentingannya, silahkan gunakan saksi dengan
biaya sendiri. Lagi pula parpol tidak perlu terlalu takut akan dicurangi.
Parpol harus mempercayai kinerja Bawaslu untuk melakukan pengawasan
pelaksanaan pemilu.
Penulis percaya bahwa semua
parpol yang ikut serta Pemilu 2014 sanggup menghadirkan saksi di setiap
TPS dengan biaya sendiri maupun tanpa biaya “volunteer”. Parpol bisa
memanfaatkan basis massa dan konstituen yang ada. Hal seperti itu rasanya
lebih baik bagi parpol dan iklim demokrasi Indonesia.
Adanya parpol yang mendukung
penggunaan dana APBN untuk honor saksi parpol, mengindikasikan bahwa mereka
(parpol) telah gagal dalam ideologi, pengkaderan, dan finansial. Tidak seharusnya
parpol berharap pada dana publik, di tengah kondisi rakyat jelata yang
semakin menyedihkan. Bukannya parpol ada untuk rakyat?
“Menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin lewat pemilu yang
murah tentunya lebih baik daripada pemilu mahal”. Jika murah lebih baik, kenapa harus mahal. Bukan begitu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar