Pemilu 2014 dan Regenerasi Kepemimpinan
Muhammadun
; Analis Studi
Politik pada program pascasarjana UIN Yogyakarta
SINAR
HARAPAN, 17 Februari 2014
Tokoh muda dan regenerasi kepemimpinan menjadi
catatan sangat krusial dalam Pemilu 2014. Ini tercermin dari survei yang
dilakukan Pusat Kajian Pancasila, Hukum, dan Demokrasi Universitas Negeri
Semarang (Puskaphdem-Unnes); keinginan publik untuk regenerasi kepemimpinan
87,37 persen.
Jika capres muda yang disuguhkan, publik yang
akan menggunakan hak pilihnya 92,19 persen (Sinar Harapan, 10/02).
Hadirnya sosok kaum muda dalam Pemilu 2014
akan menjadi penawar rindu publik yang mulai bosan dengan tokoh lama yang
hanya itu-itu saja. Walaupun kapasitas dan kredibilitas kaum muda belum
dibuktikan seutuhnya, publik melihat kaum muda mempunyai semangat perubahan
dalam menjawab berbagai persoalan bangsa.
Regenerasi kepemimpinan kepada kaum muda
menjadi tantangan sekaligus godaan, tinggal bagaimana elite politik mampu
mengelola kekuatan politik kaum muda menjadi energi perubahan bagi Indonesia
masa depan.
Macetnya Regenerasi
Walaupun sudah mulai muncul tokoh muda bangsa
ini, Jokowi misalnya, masih sangat sedikit ketika dilihat dari besarnya tantangan
yang dihadapi negara sebesar Indonesia. Selama ini, tokoh muda tidak punya
dan tidak mendapatkan “tempat” dalam panggung politik yang dikuasai intrik
dan kepentingan. Pemimpin hanya didominasi segelintir orang (lama).
Ari Dwipayana (2012) menilai, fenomena ini
sebagai kuatnya patron politik yang dikuasai figur lama. Politik patron ini
meniscayaan kebekuan dalam regenerasi kepemimpinan nasional.
Kalau ada regenerasi, pemimpin muda berada
dalam bayang-bayang tokoh tua. Kondisi ini akan berdampak buruk pada
demokrasi dan politik di Indonesia. Bangsa ini akan kehilangan pemimpin
alternatif dan pemilih tak punya tawaran lain. Proses politik akan
terperengkap dalam dalam lingkaran politik patron.
Menurut Ismed Hasan Putro (2012), ada beberapa
faktor yang menyebabkan regenerasi kepemimpinan macet dan mandek. Pertama,
sebagian pemimpin potensial enggan masuk politik praktis karena khawatir
terjebak dalam politik transaksional yang korup. Kedua, banyak pemimpin muda
yang gagal berkembang karena terjebak perilaku korup, sehingga sulit menjadi
negarawan.
Macetnya regenerasi kepemimpinan, setidaknya
bisa ditilik dari suksesi kepemimpinan di berbagai daerah yang belum
menjanjikan harapan lebih baik di masa depan.
Justru, suksesi sering menghadirkan konflik
horizontal baru yang semakin memperkeruh krisis kebangsaan yang masih
menumpuk. Tidak sedikit pemimpin daerah justru masuk bui kala usai menjabat.
Ini jelas tragedi buruk dalam demokrasi lokal yang sedang berkembang di
Indonesia.
Retak dan Tercerabut
Tata kepemimpinan yang dijalankan elite
politik sekarang telah tercerabut dari akarnya. Setidaknya indikasinya ada
dua hal.
Pertama, setiap suksesi kepemimpian hanya
dimaknai sebagai ruang menggapai kuasa. Kalau itu terjadi, ragam kebijakan
seorang pemimpin hanya lahir untuk memuaskan syahwat politik kelompok
tertentu saja. Terjadilah kemudian fragmentasi kepentingan yang terus
melakukan tarik-ulur dalam berbagai gerak langkah kebijakan.
Syahwat politik aliran, partai politik,
organisasi massa, kharisma tokoh, dan berbagai perangkat lainnya akan terus
digelorakan untuk memenangkan fragmentasi kepentingan tersebut. Lahirlah
politik dagang sapi, politik kambing hitam, politik tebang pilih (kasih), dan
istilah metaforik lainnya.
Kedua, pembagian kekuasan (power description) hanya diperuntukkan
untuk penopang suksesnya kepemimpinannya. Orang yang duduk dalam pengambil
kebijakan adalah aktor politik yang ambisi pragmatismenya begitu tinggi,
sehingga dana jutaaan, miliaran, dan triliunan sering masuk saku kepentingan
kelompok. Rakyat hanya mendengar ada proposal pemberdayaan kaum miskin,
tetapi hanya kabar saja.
Tak pernah ada realisasi yang terwujud. Ini
terbukti dengan berbagai headline media massa yang selalu menampilkan
gagasan pemberdayaan dan pengentasan kaum miskin, tetapi gagasan itu hanya
ada dalam koran, televisi, dan berita radio.
Selebihnya nihil, kosong. Inilah
bukti pemimpin gagal me-manage aset dan potensi bangsa, juga bukti miskinnya
intelektualitas dan profesionalitas dalam bekerja.
Label bangsa yang miskin
kepemimpinan akan terus melekat. Situasi keindonesiaan, mulai dari
elite sampai grass root, akan
pincang. Tidak ada set up gerakan kepemimpian yang bisa merubah secara
revolusioner terhadap falsafah, etik, dan kerangka konseptual. Inilah tragedi
buruk yang sedang menimpa Indonesia.
Teladan Negarawan
Para founding fathers bangsa pada awal
abad ke-20 telah telah mencontohkan, kepemimpinan adalah kenegarawanan dan
keteladanan. Pemimpin adalah mereka yang dekat dengan rakyat, membaur, mengayomi,
menyelami keluh kesah, dan bertindak lebih dulu dalam berbagai kebijakan
kemasyarakatan.
Memerintah gotong royong, mestinya sang
pemimpin harus berdiri lebih dulu di garda depan memimpin warganya. Mengajak
perang melawan kolonial, pastilah berdiri paling depan mencongkakkan
mukanya di depan penjajah.
Mengentaskan kemiskinan, pastilah ia orang
pertama yang merelakan hartanya untuk kemakmuran warga. Memberantas penjahat
(koruptor, misalnya), pastilah ia yang pertama akan membersihkan anggota
keluarganya dari intrik politik korupsi tersebut.
Para pemimpin itu begitu tulus dan gigih
memperjuangkan Indonesia. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan,
mereka tidak berebut kue kekuasaan. Mereka legowo, kembali ke daerah masing-masing untuk memperjuangkan
nasib warga lokalnya yang belum berdaya. Mereka yang mendapatkan amanat
kekuasaan menjalankan dengan sepenuh khidmat demi menegakkan Indonesia.
Potret kepemimpinan inilah yang banyak
dipraktikkan Soekarno, Moh Hatta, Syahrir, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan,
Soedirman, dan lainnya. Terlepas dari berbagai kekurangan mereka,
sumbangsihnya dalam mencipta konsep kepemimpinan di Indonesia amatlah besar.
Jalan kepemimpinan yang ditasbihkan para founding fathers telah menitahkan
mereka sebagai manusia yang, dalam istilah Gede Prama, mendapatkan berkah
agung, “memandang perbedaan sebagai
keindahan, melindungi diri dengan perisai kesabaran, kekayaannya adalah rasa
kecukupan, hidupnya diterangi matahari kesabaran, dan kalau terpaksa
mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan”.
Meminjam istilah Karen Amsrong (2007), para
pemimpin mampu bertindak sebagai pembela rasa; rasa yang berbuah keadilan,
kesederajatan, kesetaraan, dan kedamaian. Jalan inilah, yang oleh Amstrong,
pernah dilakukan Musa, Yesus, Muhammad, Konfusius, Sidharta, dan para kaum
bijak pada zaman aksial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar