Penanganan Aset dan Harta Kekayaan
R
Widyopramono ; Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus)
Kejakgung
SUARA
MERDEKA, 19 Februari 2014
SALAH satu instrumen
internasional yang menjadi tonggak penting dan banyak memengaruhi praktik
penegakan hukum, terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) Tahun 2003. Resolusi PBB Nomor 58/4 tanggal 13 Oktober
2003 tentang Konvensi PBB mengenai antikorupsi tersebut, telah diteken oleh
sedikitnya 116 negara dan banyak negara meratifikasi
Indonesia, sebagai bagian dari
masyarakat beradab dunia, pada 18 April 2006 telah meratifikasi UNCAC 2003,
melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai negara pihak (states parties) maka kita pun wajib mengadopsi ketentuan dalam
UNCAC 2003, termasuk mengimplementasikan dalam penegakan hukum.
Dalam tataran teoritik,
ketentuan Pasal 54 Ayat (1) UNCAC 2003 yang mengatur tentang perampasan
aset/harta kekayaan tanpa suatu putusan pidana dengan alasan
tersangka/terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak dapat
dihadirkan karena berbagai sebab, sesungguhnya berpijak dari doktrin Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau biasa dikenal
dengan civil forfeiture.
Doktrin NCB yang berkembang
dalam common law system,
menungkinkan negara memperoleh aset yang berasal dari hasil kejahatan melalui
mekanisme gugatan. Doktrin hukum NCB dan amanat Pasal 54 Ayat (1) Huruf c itulah,
yang jadi pijakan teoritik dan normatif pengundangan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak
Pidana Lain.
Menjawab Kebutuhan
Di sisi lain, Perma Nomor 1
Tahun 2013 merupakan jawaban terhadap kebutuhan hukum, khususnya berkait
penanganan perkara tipikor atau tindak pidana lain. Kelahiran Perma itu
dilatarbelakangi kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan Pasal 67 UU Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Di sisi lain, Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) banyak mendapatkan laporan rekening
tak bertuan dengan jumlah nominal sangat besar, dari luar negeri. Sebagai
tindak lanjutnya, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2013
tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
Surat edaran untuk ketua
Pengadilan Negeri itu antara lain menegaskan syarat pengajuan permohonan
penanganan harta kekayaan berikut kelengkapannya. Hal yang terpenting dari
edaran itu adalah terkait putusan hakim yang menyatakan aset/harta kekayaan
yang dimohonkan sebagai aset negara harus dinyatakan dirampas untuk negara.
Setidak-tidaknya ada tiga hal
pokok yang menarik dari substansi Perma Nomor 1 Tahun 2013. Ketiganya
merupakan hal yang relatif baru, baik dari tataran teoritis maupun praktik
penegakan hukum pidana.
Pertama; permohonan penanganan
harta kekayaan yang diajukan penyidik.Tata cara pengajuan permohonan
penentuan status harta kekayaan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2013,
hampir sama dengan acara pemeriksaan singkat dalam perkara tindak pidana
ringan (tipiring).
Persamaan itu terletak pada
kewenangan penyidik, yang dapat langsung mengajukan ke persidangan tanpa
melalui penuntut umum. Hanya dalam perkara tipiring, pengajuan berita acara
pemeriksaan ke pengadilan diajukan penyidik atas kuasa penuntut umum. Adapun
permohonan penanganan harta kekayaan yang dilakukan penyidik cukup
memberitahukan ke Jaksa sebagaimana layaknya surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan (SPDP).
Perbedaan lainnya terletak pada
tidak adanya tersangka atau terdakwa dalam permohonan penanganan harta kekayaan,
sementara dalam perkara tipiring yang diajukan penyidik ke siding pengadilan
meliputi terdakwa beserta barang bukti, saksi ahli, dan juru bahasa. Tidak
adanya tersangka atau terdakwa itulah, yang menjadi alasan pokok diajukannya
permohonan penanganan harta kekayaan sehingga penyidik harus melengkapinya
berita acara pencarian tersangka, berkas perkara hasil penyidikan dan berita
acara penghentian sementara seluruh atau sebagian transaksi atas permintaan
PPATK.
Kedua, perampasan aset tanpa
tuntutan pidana. Selama ini, dalam praktik penegakan dan penuntutan perkara
pidana dan penentuan status aset/harta kekayaan yang diduga berasal dari
hasil kejahatan dilakukan sesudah atau bersamaan dengan pembuktian kesalahan
atau penghukuman. Adapun Perma Nomor 1 Tahun 2013 fokus pada pemeriksaan
aset/harta kekayaan, termasuk memutuskan statusnya apakah dirampas sebagai
aset negara ataukah dikembalikan kepada yang berhak.
Ketiga; efektivitas proses
penentuan aset/harta kekayaan. Pasal 7 Perma itu mengadopsi ketentuan Pasal
86 KUHAP. Termasuk memberikan ruang terhadap pimpinan instansi penyidik untuk
mengusulkan tempat sidang, ketika karena alasan tertentu tidak memungkinkan
memeriksa suatu permohonan harta kekayaan. Perma tersebut memberikan hak
keleluasaan kepada penyidik untuk menentukan pengadilan negeri tertentu,
ketika harta kekayaan berada di wilayah hukum beberapa pengadilan.
Ketentuan Pasal 5 Perma itu,
selain berbeda dari ketentuan Pasal 84 KUHAP, juga telah memberikan terobosan
dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan harta kekayaan sesuai
dengan asas KUHAP.
Memahami substansi Perma Nomor
1 Tahun 2013 berikut latar belakang yang meliputi kelahirannya maka penegakan
hukum pidana senantiasa berkembang sesuai dengan pemikiran dan dinamika
praktik hukum di bebagai belahan dunia. Substansi hukum berasal dari dinamika
pemikiran tersebut merupakan salah satu kebutuhan hukum, yang keberadaannya
tidak dapat dihindarkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar