Pelayan Publik Bergaya Entrepreneur
Khairul Rizal ; Ketua I
Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI)
MEDIA
INDONESIA, 08 Februari 2014
ISTILAH entrepreneurial
government/EG) merupakan istilah yang mungkin belum populer di negeri
ini. Padahal di Indonesia EG pernah diperkenalkan dan diterapkan dengan
istilah entrepreneurial public service/EPS) atau pelayanan publik bergaya
kewirausahaan.
EG atau EPS sebetulnya bukanlah barang baru.
Secara teori, hal itu diajarkan di sekolah administrasi publik paling
terkenal di dunia, Harvard University. Adalah Fadel Muhammad, ketika menjadi
Gubernur Gorontalo dan Menteri Perikanan dan Kelautan, yang menerapkan EG/
EPS ini dalam institusinya.
Pada praktik EG, seorang kepa la daerah
berperan layaknya seorang CEO (chief
executive officer) di perusahaan yang mengendalikan daerah dengan pola
berpikir kewirausahaan. Semua sumber yang ada baik dari sumber daya alam
(SDA)/infrastuktur, sumber daya manusia (SDM), dan sistem pemerin tahan
dikelola untuk mencapai keuntungan bagi pemegang saham (share holder).
Pada korporasi, keuntungan akan berupa profit
dan pembagian dividen ke pemegang saham, sedangkan dalam konteks EG
dividennya ialah peningkatan kepuasan dan kesejahteraan rakyat di daerah
tersebut. Hal itu dapat terlihat dari indikator meningkatnya pendapatan asli
daerah (PAD), berkurangnya orang miskin, meningkatnya kesejahteraan pegawai
yang menjalankan roda pemerintahan, yang otomatis berdampak pada kurangnya
tingkat korupsi di daerah tersebut.
Seorang kepala daerah ditantang untuk dapat
mengidentifikasi kekuatan (strenght) dan peluang di
daerahnya. Peluang ini dapat berupa potensi SDA (di bawah permukaan bumi,
lahan pertanian yang subur, pariwisata, perikanan, dan kelautan), atau letak
yang strategis sebagai logistik (trade
hub). Singapura menjadi contoh sebagai salah satu negara yang dapat
memanfaatkan lokasi/letaknya sebagai kota trade
and logistic hub sangat sukses.
Singapura menjadi kota atau negara maju yang
mampu memberikan dividen berupa kepuasan dan kesejahterakan kepada rakyatnya.
Dalam mewujudkan ini para kepala daerah untuk inisiasi dapat mengundang para
ahli, konsultan, atau wiraswastawan sukses sebagai partner atau bagian dari
tim implementasi.
Mengubah mindset
Anggaran berbasis kinerja (ABK) merupakan
salah satu produk reformasi birokrasi. Pada ABK, kinerja (outcome) dari sebuah program kerja dan
output dari sebuah kegiatan menjadi dasar utama pengeluaran anggaran. Dalam
konteks mewujudkan EG diperlukan strategi mengelola ABK ini dengan lebih
fokus dan terukur.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
harus didesain sedemikian rupa untuk mencapai target daerah yang jelas dan
tajam. Target daerah misalnya menaikkan produksi beras dari 3 ton/hektare
menjadi 6 ton/hektare, mencapai 1 juta ton produksi jagung/tahun,
meningkatkan kunjungan wisatawan dari 500 ribu orang/tahun menjadi 1 juta
orang/tahun, dll.
APBD didesain sebagai modal untuk mencapai
target yang dicanangkan dan berorientasi produktif dengan indikator
peningkatan pencapaian yang jelas. Semua kegiatan dan anggaran satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) diarahkan untuk mencapai target daerah. Jika misalnya
menaikkan produksi pertanian menjadi target dan fokus utama suatu daerah,
anggaran SKPD Pekerjaan Umum di daerah tersebut diarahkan untuk membangun
sarana/ prasana yang mendukung pertanian. Aggaran pada SKPD Pertanian
diarahkan untuk mendapatkan bibit, penyuluhan pertanian, dan membangun sistem
pertanian yang andal. SKPD-SKPD yang lain diarahkan untuk mendukung
pencapaian target tersebut dan masing-masing memiliki KPI (key performance
indicator) yang terukur.
Terhadap seluruh karyawan di daerah harus
ditanamkan dan diubah pola pikir (mindset)
mereka, bahwa anggaran belanja daerah adalah modal yang harus dikelola dan
dikeluarkan untuk suatu kegiatan yang akan memberikan nilai tambah, atau
penguatan terhadap program yang ditentukan, bukan sekadar biaya yang perlu
dihabiskan. Seorang kepala daerah (CEO) harus mampu meyakinkan dengan
menggunakan dan mengelola APBD yang baik dan benar, dan akan tercapai target
yang dicanangkan berupa peningkatan PAD atau kesejahteraan rakyat seperti
keuntungan di perusahaan.
Dengan peningkatan PAD, kepala daerah dapat
memberikan insentif atau tunjangan kinerja yang nilainya cukup besar bahkan
dapat beberapa kali lebih tinggi daripada pendapatan gaji. Peningkatan
pendapatan dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pajak dan retribusi
sebagai konsekuensi dari hasil pencapaian target daerah, juga dari dividen
yang dihasilkan oleh BUMD (badan usaha milik daerah). BUMD dapat menjadi
kendaraan strategis untuk meningkatkan penghasilan daerah. Sebagai
konsekuensinya BUMD harus dikelola profesional, tidak dicampuri dengan
kegiatan politis dan balas budi.
Masalah pengadaan
Sudah bukan rahasia lagi nilai pengadaan yang
rata-rata berkisar 40%-45% dari APBN/APBD merupakan lahan atau pos dalam
APBN/APBD yang digunakan banyak pihak untuk mendapakan penghasilan tambahan
yang tidak halal. Hampir 44% kasus di KPK merupakan kasus rekayasa pengadaan,
dan bisa dikatakan pengadaan menjadi kegiatan yang `ngeri-ngeri sedap'.
Pengadaan sudah tidak berorientasi sebagai modal atau bagian pencapaian
target daerah, tetapi menjadi pos untuk melewatkan komisi atau titipan yang akhirnya
membuat pusing panitia pengadaan dalam merekayasa volume, unit cost, dan dokumen pengadaan
lainnya.
Pengadaan saat ini dilakukan sangat
transaksional. Banyak paket pengadaan direkayasa menjadi paket-paket kecil
menghindarkan lelang, atau menjadi paket besar dan khusus sehingga tidak
banyak peserta yang bisa mengikuti. Umumnya pengadaan sudah dikemas dari
tahap perencanaan anggaran, perencanaan pengadaan, pelaksanaan, hingga
penentuan pemenang. Biasanya pemenang dan harga sudah didesain. Walau dokumen
terlihat rapi, pada akhirnya pengadaan tidak memenuhi tujuan pengadaan yang
5T (tepat kualitas, tepat kuantitas, tepat waktu, tepat sumber, dan tepat
harga). Pengadaan pun akhirnya menjadi kegiatan mengada-ada.
Melihat problem dan tantangan tersebut pemerintah
melakukan berbagai reformasi baik dari sisi regulasi, penyediaan
infrastruktur e-procurement (e-tender, e-purchasing, dan e-catalog)
sebagai alat bantu teknologi, maupun SDM. Reformasi ini mencoba mengembalikan
pengadaan sehigga mencapai tujuan pengadaan yang 5T dan dilakukan dengan
prinsip serta pedoman umum pengadaan. Pemerintah melalui LKPP dan IAPI
(Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) mendorong pengadaan yang strategis ini.
Untuk barang yang berspesifikasi standar, telah ada di pasar, dan telah terjadi
kompetisi dapat dimasukan ke catalog dan pengadaan seterusnya tidak perlu
dengan lelang.
Pengadaan yang strategis (strategic procurement) adalah pengadaan yang berorientasi untuk
memenuhi rencana strategis daerah. Dengan pengadaan yang strategis dan
kredibel akan dihasilkan barang/jasa untuk mencapai tujuan EG dengan lebih efisien.
Paket pengadaan yang selama ini dipecah-pecah menjadi paket-paket kecil
dikonsolidasi menjadi paket yang nilainya besar dan dapat di-e-catalog-kan.
Untuk kebutuhan yang selama
ini menjadi paket khusus dan hanya bisa diikuti oleh penyedia yang terbatas,
justru dipecah menjadi paket-paket yang spesifikasinya standar dan penyedianya
banyak agar terjadi kompetisi. Pengadaan berorientasi jangka panjang sebagai
bagian utama dalam mewujudkan dan mencapai rencana strategis daerah.
Pengadaan dilakukan dengan alat bantu
elektronik dan berorientasi procure to
pay,
pembayaran diusahakan dilakukan segera setelah barang/jasa telah
diterima atau berita acara pekerjaan diselesaikan, sehingga menjadi suatu
sistem yang kredibel.
Dalam kondisi reversal pengadaan strategis
diharapkan mendorong kegiatan efi siensi pengelolaan anggaran untuk mencapai
tujuan pengadaan serta target pencapaian dae rah yang direncanakan. Seorang
CEO (kepala daerah) berusaha mendorong pengadaan barang/jasa seefisien mungkin
untuk mendapatkan barang/jasa dengan kualitas tinggi dan harga kompetitif
atau di bawah harga pasar.
Pengadaan dilakukan untuk mendapatkan penyedia
yang kompeten, bukan penyedia yang hanya memiliki dokumen pengadaan tetapi
tidak memiliki peralatan, SDM maupun sistem pendukung dan pelayanan purnajual
yang baik.
Laba tambahan yang
menghasilkan dividen berupa kepuasan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat
juga para pelaksana secara halal menjadikan para kepala daerah (CEO) yang
berorientasi entrepreneur sebagai pribadi-pribadi yang didoakan dan akan
dipilih kembali tanpa perlu biaya kampanye yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar