Kekuatan Super MK
Pangki
T Hidayat ; Peneliti di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
HALUAN,
19 Februari 2014
Dikabulkannya judicial review UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah
Konstitusi (MK) yang dikeluarkan oleh SBY, menyebabkan UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang MK dalam melakukan seleksi hakim MK berlaku kembali.
Peristiwa ini setidaknya
mencerminkan sikap pemerintah saat ini yang gampang kaget dan gamang dalam
mengantisipasi suatu persoalan. Kualitas penyusunan peraturan sangat rendah,
sehingga menimbulkan banyak celah untuk diajukan uji materi ke MK.
Lebih jauh lagi, penandatanganan
perppu penyelamatan MK oleh Presiden SBY kala itu sudah agak lama, kurang
lebih satu bulan pasca penangkapan Akil Mochtar. Sehingga, aspek kegentingan
yang mewajibkan untuk dikeluarkannya perppu pun telah hilang.
Jika kita telaah lebih jauh UU
Nomor 4 Tahun 2014 tersebut, isinya seringkali bertentangan dengan
undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, poin yang menyatakan
keberadaan Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Hal ini jelas tidak tepat karena bertentangan dengan pasal 24B ayat 1 UUD
1945, yang ada dalam putusan MK pada 2006.
Selain itu, perihal calon hakim
MK harus pensiun dari parpol sekurang-kurangnya 7 tahun, hal ini jelas
merupakan bentuk kriminalisasi terhadap parpol itu sendiri. Banyaknya celah
inilah yang kemudian dimanfaatkan 7 dosen Fakultas Hukum Universitas
Jember (Unej) untuk mengajukan uji materi ke MK terkait UU Nomor 4 Tahun
2014 ini.
Ada beberapa hal yang menarik
dicermati pasca gugurnya UU Nomor 4 Tahun 2014 oleh putusan MK yang dibacakan
langsung Ketua MK, Hamdan Zoelfa ini. Pertama, keputusan diambil dalam
waktu yang relatif cepat.
Misalnya saja, bila dibandingkan
dengan gugatan yang diajukan Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat
terkait UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Permohonan ini membutuhkan waktu satu tahun lebih untuk dikabulkan oleh MK
sejak diajukan permohonan judicial
review pada Januari 2013 lalu.
Hal ini menunjukkan bahwa uji
materi terkait UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2013
tentang MK ini mendapatkan prioritas utama dari hakim-hakim MK itu sendiri.
Hakim MK jelas tidak menginginkan jika kewenangan yang dimiliki dibatasi oleh
keberadaan UU tersebut.
Kedua, meski MK di tengarai
mengalami conflic of interest ketika harus menguji UU terkait lembaganya sendiri, faktanya
keputusan judicial review kali ini diambil secara
bulat oleh seluruh hakim MK.
Artinya, seluruh hakim MK
sepakat bahwa UU tersebut memang harus segera digugurkan. Padahal, berdasarkan
pada pengalaman judicial review yang terjadi sebelumnya,
seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara hakim-hakim MK.
Ketiga, UU Nomor 4 Tahun 2014
ini ditolak secara keseluruhan oleh MK. Padahal biasanya, pasal-pasal yang
masih sejalan dengan UUD 1945 masih bisa terima tanpa perlu turut dibatalkan
dalam putusan judicial review.
Merujuk dari hal ini, seakan
memang telah mengisyaratkan bahwa gugurnya UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK ini hanya tinggal menunggu waktu pasca
disahkan DPR pada awal Januari lalu. Dengan kata lain, MK sebenarnya telah
menyiapkan langkah-langkah antisipasi atas disahkannya UU tersebut.
MK jelas tidak ingin
kewenangannya dikebiri oleh keberadaan undang-undang tersebut. Dengan
gugurnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini, maka peluang munculnya Akil
Mochtar baru dalam tubuh MK kembali terbuka lebar.
Oleh sebab itu, MK harus tetap
diawasi dengan ketat dan transparan jika kita tidak ingin kecolongan untuk
yang kedua kalinya. Jika hal itu sampai terjadi, bisa saja ini menjadi titik
balik antipati masyarakat terhadap hukum dan aparat-aparat penegak hukum.
Mekanisme Pengawasan
Idealnya, setiap lembaga di
negara ini memiliki mekanisme pengawasan yang jelas dan transparan, tak
terkecuali MK. Bukan menjadi rahasia umum lagi jika di negara tercinta ini
rawan akan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Pada tataran ini, MK harus
menjadi prioritas karena peran signifikannya dalam menangani berbagai perkara
yang berkaitan langsung dengan kehidupan demokrasi di negara ini. Oleh sebab
itu, mau tak mau pemerintah harus mengamandemen UUD 1945 sebagai jalan untuk
membuat mekanisme pengawasan yang jelas, tegas, dan trasnparan terhadap MK.
Langkah ini harus ditem puh
secepat mungkin, bila ingin martabat dan independensi MK tetap diakui oleh
publik. Jika hanya berpatokan pada UU yang ada saat ini, maka peluang
terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan di MK sangat besar.
Artinya,
perlu segera dilakukan upaya tanggap terhadap mekanisme perekrutan hakim
MK yang transparan, partisipatif, akuntabel dan obyektif. Dengan begitu,
diharapkan hakim-hakim yang berada di MK adalah hakim yang benar-benar
berkualitas dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.
Meski begitu, agaknya amandemen
terhadap UUD 1945 terkait UU MK akan sulit bila direalisasikan saat ini. Para
anggota DPR saat ini, tentu lebih memilih untuk fokus memikirkan bagaimana
cara agar terpilih kembali.
Beginilah realita kehidupan di
Indonesia. Kita tidak bisa serta merta mengharapkan perubahan mekanisme yang
lebih baik. Kita hanya bisa berharap, bahwa suatu saat angota DPR bisa
memilah, memilih serta memprioritaskan kepentingan mana yang layak untuk
didahulukan. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar