Pemimpin Berwawasan Kependudukan
Omas
Bulan Samosir ; Peneliti Senior Lembaga Demografi FEUI
KOMPAS,
17 Februari 2014
TAJUK ”Indonesia Satu” Kompas
beberapa waktu terakhir menampilkan figur pemimpin partai politik yang akan
bertarung dalam Pemilu 2014.
Sangat sedikit di
antara mereka yang memiliki pemahaman yang komprehensif tentang Indonesia.
Isu yang diusung antara lain sebatas pada demokrasi, taat konstitusi,
memerangi korupsi, perubahan, kekuatan ekonomi, peningkatan kesejahteraan,
akses terhadap pekerjaan, peningkatan penghasilan dan daya beli,
penanggulangan kemiskinan, kebersamaan, serta keadilan dan kemakmuran.
Indonesia butuh
pemimpin yang memiliki pemahaman komprehensif tentang negara ini. Suatu
pemahaman bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara dinamika
kependudukan dan pembangunan. Pengetahuan akan situasi jumlah dan
pertumbuhan, struktur umur dan jenis kelamin, persebaran spasial dan tingkat
kelahiran, serta kematian dan migrasi penduduk dalam lima tahun ke depan akan
menentukan keberhasilan seorang pemimpin masa depan.
Pengenalan akan
karakteristik penduduk pemilih akan memudahkan parpol dan calon pemimpin
membuat program dan janji pembangunan. Penanganan dinamika kependudukan yang
tepat akan meningkatkan peluang terwujudnya tujuan pembangunan mewujudkan
bangsa yang maju, mandiri, dan adil. Pemimpin Indonesia 2014-2019 harus melek
pembangunan berwawasan kependudukan.
Mengurangi ketimpangan
Hasil proyeksi penduduk
Indonesia 2010-2035, yang diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
29 Januari 2014, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan bertambah
sekitar 15,9 juta jiwa, dari 252,2 juta jiwa pada 2014 menjadi 268,1 juta
jiwa pada 2019 dengan pertumbuhan penduduk 1,23 persen per tahun. Tren jumlah
penduduk ini hanya akan terjadi jika tingkat kelahiran turun seperti yang
diperkirakan. Pemanfaatan dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi,
termasuk KB, harus ditingkatkan terutama bagi perempuan berpendidikan rendah,
berasal dari keluarga miskin, dan tinggal di wilayah yang sulit dijangkau.
Periode 2014-2019 juga
jendela kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan pencapaian pembangunan.
Jumlah penduduk usia produktif yang besar dan bertambah akan menurunkan rasio
ketergantungan Indonesia dari 48,9 pada 2014 jadi 47,8 pada 2019. Artinya,
penduduk usia tidak produktif (usia muda dan usia lanjut) yang harus
ditanggung 1.000 penduduk usia produktif akan berkurang dari 489 orang jadi
478 orang. Indonesia harus meningkatkannya.
Akan tetapi, pada
periode 2014-2019, Indonesia juga akan mengalami tantangan triple
burden, yaitu penduduk usia muda (0-14 tahun) yang besar jumlahnya (sekitar
70 juta jiwa), penduduk usia produktif (15-64 tahun) bertambah sekitar 12
juta jiwa menjadi 181,4 juta jiwa pada 2019, dan penduduk usia lanjut yang
terus meningkat menjadi 16,1 juta jiwa pada 2019. Implikasi struktur umur
penduduk ini adalah peningkatan kebutuhan layanan kesehatan dan pendidikan
dasar bagi penduduk usia muda, pendidikan menengah dan tinggi serta
kesempatan kerja yang numeratif, produktif dan berdaya saing bagi penduduk
usia produktif, serta perlindungan sosial bagi penduduk usia lanjut.
Pada periode
2015-2019, lebih dari separuh penduduk Indonesia akan bermukim di perkotaan.
Akan tetapi, perubahan persebaran spasial penduduk ini belum ditangani dengan
optimal, yang telah mengakibatkan berbagai persoalan perkotaan yang kita
hadapi saat ini. Tantangan pembangunan perkotaan meliputi perumusan kebijakan
serta implementasi pembangunan terpadu Jawa dan luar Jawa, pembangunan
terpadu perkotaan dan pedesaan, pemerintahan yang baik yang punya visi dalam
pembangunan kota kecil dan kota menengah, peningkatan manajemen bersama dan
partisipasi pemangku kepentingan, perumusan kebijakan nasional yang
diimplementasikan secara konsisten untuk menstimulasi pembangunan kota-kota
di luar Jawa, serta pelaksanaan RUTR secara efektif dan efisien.
Pada periode
2014-2019, tingkat kelahiran dan kematian Indonesia diperkirakan turun,
tetapi masih tinggi. Antara 2010 dan 2014 angka fertilitas total akan turun
dari 2,42 anak per perempuan menjadi 2,28, dan angka kematian bayi turun dari
23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup menjadi 21. Penurunan ini hanya
akan terjadi jika pemanfaatan dan akses terhadap layanan kesehatan ibu dan
anak serta layanan kesehatan reproduksi, termasuk KB yang tersedia hingga
tingkat desa, berstandar dan berkelanjutan ditingkatkan.
Ketimpangan
pembangunan antarprovinsi harus ditangani dengan optimal pada periode 2014-
2019. Di provinsi dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat kelahiran yang
lebih tinggi pengeluaran per kapita lebih rendah, indeks pembangunan manusia
lebih rendah, persentase penduduk miskin lebih tinggi, serta akses penduduk
terhadap sanitasi dasar layak dan air bersih lebih rendah. Di provinsi dengan
rasio ketergantungan yang lebih tinggi pengeluaran per kapita lebih rendah,
indeks pembangunan manusia lebih rendah dan persentase penduduk miskin lebih
tinggi. Penanganan kuantitas penduduk penting untuk mengurangi ketimpangan
pencapaian pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Harmonis dan bersinergi
Berbagai persoalan
pembangunan yang dihadapi bangsa ini disebabkan pembangunan di Indonesia
belum berwawasan kependudukan. Pembangunan berwawasan kependudukan (i)
menempatkan penduduk sebagai titik sentral pembangunan, (ii) didasarkan pada
situasi penduduk, (iii) ditujukan untuk mencapai situasi penduduk yang
diinginkan, (iv) berkelanjutan, (v) ditujukan untuk membangun kualitas sumber
daya manusia penduduk, (vi) menyejahterakan penduduk dan pro-penduduk, (vii)
partisipatif, serta (viii) disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah.
Pembangunan berwawasan
kependudukan mendukung penguatan data dan informasi kependudukan agar
tersedia informasi jumlah, struktur umur dan jenis kelamin, persebaran
spasial, tingkat kelahiran, kematian dan migrasi, serta kualitas sumber daya
manusia penduduk agar dapat digunakan sebagai dasar perencanaan dan
penyusunan kebijakan pembangunan. Efektivitas dan efisiensi pembangunan
berwawasan kependudukan didukung oleh landasan hukum dan kelembagaan
kependudukan yang harmonis dan bersinergi dengan landasan hukum lainnya.
Indonesia memerlukan
pemimpin nasional dan daerah yang melek pembangunan berwawasan kependudukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar