Kerawanan Berlapis Pemilu 2014
Kiki
Syahnakri ; Ketua
Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS,
17 Februari 2014
PELAKSANAAN Pemilu 2014 semakin
dekat, konvensi calon presiden oleh parpol sudah bergulir, pemasangan atribut
kampanye sempat marak sebelum waktunya, kampanye terselubung dan berbagai
trik serta silat politik mulai jadi tontonan, suhu politik pun telah
meningkat.
Namun, persiapan
pemilu masih banyak menyisakan masalah, seperti daftar pemilih tetap (DPT)
yang belum juga rampung dan pro-kontra terhadap pendanaan honor saksi dari
APBN. Sementara itu, hampir tidak ada parpol yang bersih dari tindak pidana
korupsi sehingga menjelang pemilu banyak elite parpol, bahkan pimpinan
parpol, yang diincar Komisi Pemberantasan Korupsi. Perlu kita sadari dan
waspadai bersama bahwa kondisi ini dapat memunculkan berbagai kerawanan yang
berpotensi melahirkan keributan dengan kekerasan yang bisa berujung pada penundaan,
bahkan kegagalan pemilu, sehingga menjadi alasan kuat penguasa untuk
menetapkan ”keadaan darurat”.
Peta kerawanan
Setidaknya terdapat
lima kerawanan yang patut diwaspadai. Pertama, ditinjau dari teknis
penyelenggaraan pemilu, Bawaslu menyebut empat kerawanan yang bisa
menimbulkan keributan, yaitu pada tahap pendaftaran dan pemutakhiran daftar
pemilih, kampanye, distribusi logistik, serta pemungutan dan penghitungan
suara (Kompas, 27/1).
Kedua, kerawanan yang
ditimbulkan oleh kasus hukum yang sedang diproses oleh KPK dan terkait dengan
pemerintah yang sedang berkuasa, terutama kasus Bank Century dan Hambalang.
Apabila proses ini
terus bergulir sebelum pelaksanaan pemilu dan KPK memperoleh cukup bukti,
niscaya akan terjadi kerawanan politik yang cukup serius. Sebaliknya, apabila
KPK menundanya sampai selesai pemilu, kemungkinan besar akan menimbulkan
reaksi dan gejolak politik yang tidak kecil pula karena dianggap telah
melabrak rasa keadilan.
Ketiga, kerawanan
akibat uji materi terhadap beberapa UU, terutama UU Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Uji materi ini lebih diwarnai
kepentingan politik golongan ketimbang kepentingan konstitusional. Maka,
keputusan MK mengabulkan dengan catatan diimplementasikan pada 2019 menjadi
kontroversial yang tampaknya akan berkepanjangan dan rawan terhadap
legitimasi Pemilu 2014 nantinya.
Keempat, kerawanan
akibat gejolak ekonomi, terutama yang diakibatkan nilai tukar rupiah. Apabila
nilai tukar menembus Rp 15.000 per dollar AS, dapat dipastikan akan timbul
gejolak ekonomi dan menembus ranah politik yang akan mengganggu proses
pemilu. Memang kecil kemungkinannya, tetapi menihilkan masalah ini adalah
sebuah kesalahan karena pengalaman membuktikan bahwa geliat ekonomi global
sering kali tidak bisa diprediksi dengan tepat.
Kelima, kerawanan yang
ditimbulkan oleh berbagai kepentingan global, terutama dari negara-negara
yang memiliki kepentingan besar di Indonesia, dan kelompok-kelompok radikal transnasional (baik berlatar belakang agama
maupun ideologi) sehingga Pemilu 2014 rawan intervensi mereka.
Ada beberapa penyebab
atau sumber kerawanan tersebut. Pertama, sistem demokrasi liberal yang
berbasis paham individual dengan bercirikan: kompetisi bebas,
langsung, one man one vote. Sistem ini jelas tidak cocok dengan
akar budaya bangsa Indonesia yang bersifat kolektif ataupun dengan tingkat
kedewasaan elite politik. Akibatnya, kerap menimbulkan kegaduhan dan konflik
politik yang diwarnai kekerasan sehingga mengancam keutuhan bangsa.
Kedua, tingkat
kedewasaan/sportivitas para elite politik yang masih memprihatinkan,
khususnya mereka yang akan ikut bertarung di arena Pemilu 2014, termasuk yang
akan lengser keprabon. Pada sisi lain, tingkat kesadaran nasional mereka
pun rata-rata jauh dari cukup, buktinya sering kali kepentingan nasional
dikalahkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Ketiga, sikap
perburuan kekuasaan yang melanda banyak lapisan elite masyarakat dilatari
libido kekuasaan yang tinggi tak terkendali. Hal ini tidak hanya melanda para
politisi, tetapi juga para pengusaha, artis, cendekiawan, bahkan agamawan.
Semuanya mengangkat alasan demi kepentingan rakyat dan kepentingan nasional
sebagai bungkus ambisi politiknya.
Keempat, budaya
korupsi yang melanda bangsa kita dalam semua lapisan masyarakat, terutama
para pemegang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kelima, UUD 1945 hasil amandemen dan sejumlah UU turunannya yang liberalistik
ternyata melahirkan kebebasan nyaris tanpa batas. Akhirnya banyak menimbulkan
masalah yang secara politik melahirkan konflik dan secara ekonomi sangat
merugikan bangsa.
Tindakan solutif
Dalam jangka panjang,
harus dilakukan kaji ulang terhadap UUD 1945 hasil amandemen. Dalam waktu
singkat, mendesak bagi KPU/KPUD untuk menginisiasi adanya kesepakatan nasional
yang melibatkan mereka yang akan ikut bertarung dalam pemilu legislatif
ataupun presiden, semua institusi yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu
di pusat dan daerah.
Menyatakan tekad untuk
mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan pribadi/kelompok;
membangun sportivitas; bertanggung jawab terhadap proses pemilu yang jujur
dan adil, akan menerima apa pun hasilnya; dan—mungkin ini yang paling
berat—bersikap konsisten apabila ternyata ada kader parpolnya atau bahkan
dirinya sendiri terlibat kasus hukum, khususnya korupsi, serta mampu
menghadapinya dengan jiwa kesatria. KPK dan MK pun harus bersih dari
pragmatisme, konsisten dengan penegakan hukum dan penyempurnaan
konstitusi, tidak terjebak dalam arus kepentingan politik golongan.
Pada sisi lain, para
pemilih, terutama dari kalangan bawah, harus dicerahkan agar melek politik.
Harus tahu elite politik mana yang tidak Pancasilais, tidak mengabdi pada
kepentingan nasional, lebih mementingkan diri sendiri dan keluarga, serta
elite yang tidak bersih hukum sehingga mereka tidak salah pilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar