SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH
SAW DAN MASA SAHABAT
A. PENDAHULUAN
Kapanpun
dan dimanapun arus perubahan yang
bergulir, diakui atau tidak, akan mempengaruhi cara berfikir dan prilaku
kehidupan masyarakat. Umat Muslim yang hidup bersama Nabi (muslimat
al-risalah) memang tidak mengalami hal ini karena disamping belum ada
akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi yang selalu menjadi
refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan.[1]
Keadaan
tersebut berbeda sekali dengan pasca kenabian, Kaum muslim, terutama yang
berada di daerah-daerah baru dibuka (muslimat al-futuh) sudah mengenal
peradaban yang lebih maju ketimbang peradaban yang ada di jazirah Arabia.
Berbagai problempun mengemuka akibat dari akulturasi budaya, dan tuntutan riil
dalam kehidupan. Peristiwa hukum sering tidak ditemukan paralelnya dalam
al-Qur’an dan Sunnah sehingga sulit membuat acuan penetapan hukum yang tepat.
Akibatnya muncul berbagai fatwa hukum yang saling bersebrangan, karena ada yang
terlampau rigid dalam memahami nash, dan ada pula yang terlalu “luas”.
Perbedaan-perbedaan pendapat yang mengemuka, kemudian terasa sangat tajam, di
sinilah letak pentingnya kehadiran metode dan kaidah ijtihad yang akademis dan
solutif, untuk meminimalkan perbedaan di tengah masyarakat.[2]
Memahami
sejarah fiqih dan ushul fiqih memiliki urgensi yang signifikan bagi umat Islam.
Pengetahuan historis atas kedua ilmu ini memberikan satu kejelasan tentang
kedudukannya dalam agama Islam, sehingga dapat menghindarkan umat Islam dari
misinterpretasi (salah penafsiran) terhadap ketetapan hukumnya. Sesuai dengan
sifatnya, kedua ilmu ini bersifat relatif, terbentuk karena adanya kepentingan
kondisional terkait dengan pelaksanaan ijtihad para ulama pada masanya. Dengan
demikian ketetapan dan rumusannya bukan bersifat mutlak, tidak final, tetapi
memungkinkan terjadi perubahan, rekonstruksi, bahkan dekontruksi.[3]
Kepentingan
lain dari kajian historis fiqih dan ushul fiqih adalah menghindarkan adanya
konflik yang tidak perlu akibat perbedaan praktek atau pemikiran keagamaan.
Selama perbedaan tersebut dalam ranah fiqih dan ushul fiqih, maka harus diterima sebagai bagian dari
toleransi berpendapat. Satu kelompok tidak dapat memaksakan keyakinannya
terhadap kelompok lain, apalagi dengan jalan kekerasan. Oleh karenanya, setiap
perbedaan pendapat harus dilihat, apakah perbedaan tersebut dalam hal cabang (furu)
atau dalam hal pokok (ushul). Jika perbedaan terjadi dalam hal furu
maka terbuka ruang untuk menafsirkan berbeda,[4]
tetapi jika dalam hal ushul maka hal itu dianggap menyimpang dari mainstream
Islam. Berdasarkan alasan inilah pengetahuan tentang sejarah perkembangan
fiqih dan ushul fiqih menjadi penting, agar ketetapan hukum dalam Islam tidak
tercabut dari masa lalunya.[5]
Fiqih
dahulu dipahami sebagai seluruh bangunan ilmu keislaman, yang meliputi dalam
bidang keyakinan yaitu aqidah, dalam bidang hukum syari’ah dan dalam bidang
akhlak yaitu tasawuf. Dalam perkembangannya fiqih menjadi dipersempit hanya
dalam bidang hukum saja. Oleh karena itu, selanjutnya banyak yang menyebutnya
sebagai hukum Islam, terutama setelah mengalami terjemahan ke dalam bahasa
Inggris menjadi Islamic Law. Islamic Law is an all embrancing body of
religious duties, the totality of Allah’s commands that regulate the life of
every Moeslem in its aspects. Hukum Islam, istilah dalam bahasa Indonesia,
yang identik dengan Islamic Law
(Muhammad Law) dalam kajian hukum Islam bagi para orientalis, merupakan
suatu “istilah baru”. Dalam kajian masa awal Islam, dikenal istilah syari’ah,
fiqih, dan hukum syar’i.[6]
Terlepas
dari pengistilahan fiqih atau hukum Islam tersebut, fiqih selama ini sampai
kepada masyarakat sebagai hasil pemikiran manusia dalam menerjemahkan syari’ah.
Fiqih merupakan produk pemikiran ulama. Dengan demikian, kitab-kitab fiqih yang
ditulis oleh para ulama terikat dengan zaman dan keadaan lingkungan tempat
penulis hidup.[7]
Tulisan ini membahas sejarah perkembangan ushul fiqh dan fiqih masa Nabi Muhammad SAW
dan Sahabat serta ciri-cirinya ?
B. PEMBAHASAN
1. Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan
Ciri-cirinya
a.
Sejarah
Perkembangan Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya.
Tarikh Tasyrik Islam, atau sejarah
fiqh Islam, pada hakikatnya, tumbuh dan berkembang di masa Nabi sendiri, karena
Nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan
wafatnya Nabi.[8] Para Fuqaha,
ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang
umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian
yang detail dengan mengistinbatkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau
ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas.[9]
Pada Masa Rasulullah adalah masa
fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan.
Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi yang diturunkan
untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang sunnah Rasul adalah
berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga segala
tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan semua hukum dan
keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa ini walaupun berusia tidak panjang, namun
masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh
yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan
dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi
masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya.[10] Masa Nabi SAW
ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri.
Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
1)
Periode Makkah
Periode
pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan
di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat
menjadi Nabi hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih
sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang
mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid
kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan
mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari
aneka rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong
Nabi SAW. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di
dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan
Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai
aqidah kepercayaan, akhlak dan sejarah.[11]
2)
Periode
Madinah
Periode kedua
ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi
menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa inilah umat
Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah.
Mulailah Nabi SAW membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena
itu timbulah keperluan untuk mengadakan syari’at dan peraturan peraturan,
karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur perhubungan antara anggota
masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan mereka dengan umat yang lainnya,
baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.[12]
Dalam hubungan
inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat, jual beli, sewa,
hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan
keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum kriminil dan lain sebagainya
individu dan sebagai masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang lebih
luas, antara seantero manusia di dunia. Karena itulah surat-surat Madinah,
seperti Surat Al-Baqoroh, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah,
An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping mengandung
ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain.[13] Kekuasaan
tasyri’iyah (legislatif) pada masa itu dipegang Nabi sendiri, walaupun dalam
hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihad mencari hukum,
seperti Ali Ibn Abi Thalib dikala melawat ke Yaman, Mu’adz Ibn Jabal ketika
menjadi Hakim di Yaman dan Amr Ibn Ash dan lain-lain.[14]
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti,
karena masa ini merupakan masa
pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah
ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum
dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat
lebih jelas.[15] Selanjutnya
suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan
turunnya ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak
semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian
dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi
memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya,
sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi
jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan
ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah
hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber
kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.[16]
Fiqih adalah hasil penalaran
seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah
yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila
penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas
ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut Fiqh atau
lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam
menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu
berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya “ Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada ulama yang
memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya
memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu.
Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat
al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah yang
disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.[17]
Perbedaan pendapat ulama dalam
memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi
berijtihad. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama mu’tazilah, Abu Ali al
Jubbani dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam
hukum syara’. Alasan mereka adalah Firaman Allah Surat Al-Najm ayat 3-4 yang
artinya, “ Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut kemauan hawa
nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang
muncul dari lisan nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wahyu.
Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul
dari ijtihadnya sendiri.[18]
Nabi SAW berkemampuan untuk sampai
kepada hukum secara menyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah
bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meyakinkan (qath’i),
maka tidak boleh menempuh yang tidak menyakinkan (zhanni). Disamping
itu, ijtihad hanya boleh dilakukan bila tidak ada nash, sedangkan selama Nabi
masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah berhenti.[19] Sering terjadi
nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sahabatnya
tentang kasus. Dalam keadaan demikian, nabi menyuruh menunggu sampai turunnya
wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat memberikan jawaban yang
hasil ijtihadnya, tentu nabi tidak perlu berlama-lama menunggu turun wahyu
untuk menjawabnya.[20]
Selanjutnya pendapat dari ulama
lain menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masa peperangan, tetapi
tidak dalam masalah hukum syara’. Bila diperhatikan dari beberapa pendapat
tersebut beserta argumennya masing-masing, cenderung pada pendapat yang
mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing wahyu. Dalam
kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu
Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari hal-hal yang tidak mendapat
koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagian sunnah nabi adalah berdasarkan
ijtihad.[21]
Adapun menurut Philips dalam
bukunya Evolusi Fiqh yang dikutip oleh Ali
Sodiqin, menyatakan
bahwa sumber hukum pada masa Rasul hanya wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah.
rasul juga melakukan ujtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun,
Hasil ijtihad Rasul inilah yang kemudian disebut dengan sunnah atau hadis.
Namun, hasil ijtihad Rasul pada periodenya tidak dianggap sebagai sumber hukum
yang independen karena faliditasnya tergantung kepada wahyu, apakah
dikonfirmasi atau dikoreksi.[22] Contoh aturan
dari Rasul yang dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian dengan cara
zihar. Rasul menetapkan zihar yang dilakukan oleh Aus bin As-Shamit kepada
istrinya, Khalwah binti Tsa’labahsebagai bentuk perceraian. Qur’an dengan
turunnya surah Al-Mujadalah (58) ayat 1-3 yang menetapkan bahwa zihar adalah
tidak sah sebagai bentuk perceraian.[23]
b.
Sejarah
Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah dan Ciri-cirinya.
Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak
terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah SAW, sampai pada
masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2
Hijriyah. Di zaman Rasulullah
SAW, sumber hukum Islam hanya ada sua , yaitu Al-Qur;an dan Assunnah. Apabila
muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan
hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka beliau menetapkan hukum
kasus tersebut melaiu sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunah. Ilmu
Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan
lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan timbulnya ilmu fiqh, tentu ada
metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut.dan metode ini tak lain adalah
ilmu Ushul Fiqh. [24]
Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul
Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an
dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
اَمَّا عِلْمُ اُصُولِ الفقه فَلَم يَنشَاء الأ
في القَرنِ الثاني الهِجرِى, لانه ف القرن الجهرى الاولِ لم تَدَع حَا جَةً اليه
فاالرسولُ كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من القرن بما يَلهِمُ به من
السُّنَنِ
“Mengenai ilmu Ushul Fiqh,
ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama
Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa
mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As
Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.[25]
Sumber hukum
pada masa Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( Al-Hadist). Pada
masa itu di temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan
ijtihad. Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh
Umar Bin Khatab RA, sebagai berikut:
صَنَعتُ اليوم يا رسول الله امرًا عَظِيمًا
قبّلت وانا صاءمٌ , فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بماءٍ
وانت صاءم , فقلت لا بأس بذا لك
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فصم
“Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat
suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang
berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya
kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa ? Lalu saya menjawab
: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Pada hadist
diatas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium
istrinya dengan mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena
berkumur-kumur”. Cara Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi
bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan
bahwa Ushul Fiqh ada bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman
Rasulullah. Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung
mengambil dari AL-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan
hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga.
Disamping itu beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu,
akan tetapi ijtihadnya dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa
memerlukan usul dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam
mengistimbatkan hukum. Pada masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita
kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab RAsulullah SAW dan para sahabat,
ketika itu dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh
Al-Qur’an.[26]
Rasulullah
SAW adalah seorang manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka
hasil ijtihadnya pun bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam
sebuah riwayat, beliau bersabda :
انما أنا بشرٌ فما حدثكم عن اللهِ فهو حقٌّ ,
وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بشرٌ أُخطىءوأصيبُ
“saya tidak lain
adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang
berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan dari diri saya
sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah dan bisa benar.
Hanya saja jika hasil
ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil
ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar. Sebagai contoh hasil beliau tentang tindakan yang diambil terhadap
tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada
para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar)
dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bi Khattab, mereka
harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari
Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian
turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan
kepada yang benar, yakni:
ماكان لنبىّ ان يكون له أسرى حتى يثخن فى الأرض
, تريدون عرض الدنيا , والله يريد الأخرة , رالله عزيز حكيم.
“tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana.[27]
Jika terhadap hasil
Ijtihad Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan
dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan
sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist).[28]
Dari
penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah
perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam
masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau
jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam
menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun
berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu
kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy
syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.[29]
2. Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
a. Sejerah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
Periode sahabat ini
dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir abad
pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas hingga meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan Persia, yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan
penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya.[30]
Pada periode sahabat ini ada usaha
yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide
untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin
Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam
peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada
mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang
baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma,
kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf
ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar
meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman
meminjam mushaf yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin
Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah,
Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita
sekarang.[31]
Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi
meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi
selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan
demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan
Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak
sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun Hadist
pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya dan
tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama
dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai
segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu
Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat
karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.[32]
Pada masa sahabat, Islam telah
menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan
Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai
adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan.
Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar
Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode
selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus
Usyuur
(bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin
Khatab. Adapun cara
berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila
tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan
bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila
mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian
menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya
mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan
musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan
para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun
musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting.[33]
Walaupun demikian tidaklah menutupi
kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya
pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Mereka
menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya.
Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nash-nya
para sahabat berijtihad. Jadi, pada
masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Qur’an, Alsunnah dan
Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal
yang bersifat pribadi.[34]
Ciri khas
yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai
berikut:[35]
1. Bersifat realistis,
karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi.
Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga
bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqih realistik).
2. Bersifat terbuka,
karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam
menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan
hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka menghargai kebebasan pendapat
tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
3. Mengedepankan
musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum.
Hal ini dipraktekkan oleh para Khulafaur
Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan
umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap menghormati pendapat pribadi
di antara mereka.
4. Bersifat kreatif,
dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan
modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut dan
atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad
Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk
mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan muaalaf tersebut tidak
dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah kuat. Contoh kedua
terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah, pernyataan tiga kali
talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq.
Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap
jatuh talaq tiga.
5. Khalifah Centris,
yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan
khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah
sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah
sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum
khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr dengan
40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80
kali cambuk.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam
uraian di atas, maka kelompok kami mengambil kesimpulan dari makalah ini
sebagai berikut :
Pertama Umat Muslim yang hidup
bersama Nabi (muslimat al-risalah) tidak mengalami banyak masalah karena
disamping belum ada akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi
yang selalu menjadi refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Ciri-ciri dari
sejarah perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam
masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau
jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam
menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun
berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu
kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah.
kemaslahatan dan permusyawaratan.
Kedua pada masa
sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri
Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan
yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan
ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar
Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode
selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus
Usyuur
(bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin
Khatab. Adapun cara
berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila
tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan
bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila
mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian
menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya
mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan
musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan
para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun
musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting
DAFTAR PUSTAKA
A Djazuli, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan
hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Ahmad Al-Mursi husain
Jauhar, Maqashid Syariah, Jakarta:
AMZAH, 2009.
Ash-Shiddieqy Teuku Muhammad
Hasbi, Pengantar Ilmu
Fiqh, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999.
Idri, Studi
Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.
Muchtar Kamal,
Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Musahadi, “Elemen Liberal dalam Kajian Fikih Pesantren: Studi atas Pesantren Ma’had
Aly Salafiyah Sukorejo Situbondo” Jurnal Asy-Syir’ah No. 47 Tahun 2013.
Sodiqin
Ali, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di
Indonesia, Yogyakarta: Beranda, 2012.
Syafe’i
Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN,
STAIN, PTAIS, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2007.
WahyunI Sri (Ed), Kitab Fiqih
Lokal, Menggali Kearifan Lokal Dalam Karya Ulama Indonesia, Yogyakarta:
Q-Media dan Jurusan PMH Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2012.
Yusdani,
dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012.
Yusuf Muhammad, dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Zahrah
Muhammad Abu, Alran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta:Gaya Media
Pratama, 2011.
[1]Yusdani,
dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012), hlm.1.
[3]Ali
Sodiqin, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di
Indonesia, (Yogyakarta: Beranda, 2012), hlm.29.
[4]Ibid. Sudah
menjadi fakta bahwa para pakar pada umumnya mempunyai cara berpikir yang
berbeda-beda. Kalaupun ada pakar yang mengatakan bahwa manusia, sejak fase awal
perkembangannya, sudah berfikir filosofis tentang alam, dapat dipastikan bahwa
imajinasi yang dihasilkan oleh cara berfikir itu akan tetap berbeda-beda sesuai
dengan obyek dan rangsangan yang mereka tangkap. Makin maju kebudayaan dan
peradaban manusia, makin terbuka lebar celah-celah perbedaan pendapat sehingga
pada gilirannya melahirkan berbagai aliran filsafat, sosiologi, dan ekonomi.
Sebab-sebab perbedaan pendapat tidak mungkin membatasinya, karena disebabkan
oleh berbagai faktor diantanya: Objek kajian yang masih gelap, Perbedaan
keinginan, kecendrungan dan kepribadian, Perbedaan orientasi, Bertaklid kepada para
pendahulu, Perbedaan kapasitas intelektual, cinta kekuasaan, hal ini dapat
dilihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Alran Politik dan Aqidah Dalam Islam,
(Jakarta:Gaya Media Pratama, 2011), hlm.1.
[6]Sri Wahyuni
(Ed), Kitab Fiqih Lokal, Menggali Kearifan Lokal Dalam Karya Ulama
Indonesia, (Yogyakarta: Q-Media dan Jurusan PMH Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), hlm.xiii.
[7]Ibid. Lihat juga
Musahadi, “Elemen Liberal dalam
Kajian Fikih Pesantren: Studi atas Pesantren Ma’had Aly Salafiyah Sukorejo
Situbondo” Jurnal Asy-Syir’ah No. 47 Tahun 2013, hlm.50.
[8]Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,”Pengantar
Ilmu Fiqh”,(Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1999), hlm,31.
[16]Muhammad Yusuf, dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm 26.
[19] Ibid,hlm, 30
[20] Ibid,hlm, 30
[23]Ibid.
[24]Muhammad Yusuf, dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm 34.
[25]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN,
STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2007) , hlm 70.
[27]Qur’an
Surat Al-Anfal Ayat 67.
[29]Yusdani,
dkk, Pribumisasi Hukum Islam… hlm.25. Lihat juga A Djazuli, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan
hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.37.
[33]Lihat http://ilmukamu.wordpress.com/sejarah
perkembangan fiqh pada masa sahabat/ accest at 4.31 tgl 18 Februari 2014.
beberapa motode ushul sudah dipraktekkan pada masa nabi, seperti nasakh, qiyas yang dilakukan oleh nabi, dan pembenaran qiyas sahabat. By: Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW
BalasHapusartikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah dan bermanfaat selalu... syukron
BalasHapus