Di Balik Pengunduran Diri Gita Wiryawan
Benny Susetyo ; Budayawan
SINAR
HARAPAN, 10 Februari 2014
“Politik adalah seni permaian untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara menyakinkan
publik.”
Langkah pengunduran diri Menteri Perdagangan
(Mendag) Gita Wirjawan masih menuai polemik. Muncul asumsi, pengunduran diri
mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini lantaran persoalan
impor beras ilegal yang belakangan mencuat.
Meski Gita menegaskan pengunduran dirinya
karena ingin fokus mengikuti konvensi capres, hal itu tetap mengundang tanda
tanya.
Apa pun alasannya, meskipun terlambat, sebagai
pejabat publik seharusnya ia bisa membedakan kepentingan bangsa dan partai politik
(parpol).
Etika politik, menurut Ricoeur, tidak hanya
menyangkut perilaku individual, tapi juga terkait tindakan kolektif. Ketika
suatu keputusan butuh persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara,
legitimasi kolektif publik dapat dimanfaatkan dalam menerapkan politik yang
beretika.
Biasanya untuk memperoleh persetujuan,
politikus perlu memiliki kemampuan yang meyakinkan. Agar tidak mudah
terpengaruh terpaan isu yang diangkat politikus, warga negara perlu kritis.
Langkah pengunduran diri Gita Wirjawan direspons publik negatif melihat
pejabat memiliki kepentingan ganda. Tujuannya, menaikkan posisi tawar agar
mempunyai kans terpilih dalam konvensi.
Hal ini dalam politik adalah seni permaian
untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara menyakinkan publik lewat kemasaan,
menjual sosok serta rekam jejak.
Pengunduran diri ini adalah momentum para
pejabat yang memiliki kepantasan publik menggunakan fasilitas jabatan. Itu
karena rakyat merindukan pemimpin berjiwa kesatria dan mampu membedakan mana
kepentingan negara atau kepentingan politik yang mencari kekuaasan semata.
Budaya mundur karena merasa konflik
kepentingan harus mendapatkan respons, baik menata keadaban politik. Itu
karena dalam budaya demokrasi kita, sudah lama tidak dikenal budaya mundur
karena ketidakmampuan atau alasan lain.
Budaya mundur dianggap sesuatu yang tabu,
sebagaimana budaya malu yang hampir musnah dalam kamus para pejabat. Mundur
bahkan sering dianggap aib karena masyarakat seolah akan seterusnya
menorehkan tinta hitam sepanjang masa untuk itu.
Seseorang akan merasa malu jika mundur karena
sepanjang masa publik melihatnya sebagai masalah. Berbeda dengan nilai di
Jepang, seorang pejabat tinggi atau pemimpin perusahaan dengan sangat cepat
memutuskan mundur bila berbuat salah atau merasa berbuat salah. Mereka malu
terhadap masyarakat.
Di sana, mundur menjadi kesepakatan umum,
bukan aib. Begitu pula di Inggris. Mengundurkan diri bagi kalangan politikus
dianggap tindakan perwira, jantan, dan ekspresi rasa malu karena merasa telah
melakukan kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas.
Tradisi ini dilakukan tanpa melihat seberapa
besar kekuasaannya atau betapa kuat posisi politiknya dibandingkan dengan
seberapa kecil kesalahannya. Banyak pula contoh dari negara besar, seperti
Amerika Serikat (AS) dan Australia. Dalam etika kekuasaan, mereka justru
lebih memiliki rasa malu.
Dalam banyak hal, para pejabat kita sering
memersepsikan yang ada dalam masyarakat sebagaimana apa yang ada dalam
dirinya, subjektif dan sering simplifikatif. Pandangannya sering meleset dan
tidak objektif. Hal yang dianggapnya sebagai benar, ternyata menurut sebagian
besar masyarakat salah. Begitu juga sebaliknya.
Hal esensial dalam sebuah jabatan publik
adalah etika dan kepantasan. Apakah suatu perbuatan menyalahi kepantasan
publik atau tidak, itulah yang seharusnya menjadi perhatian utama.
Semua orang berebut menjadi pejabat tanpa
mengukur kemampuannya. Segala cara dilakukan untuk menjadi pejabat, termasuk
melakukan hal-hal tersembunyi, walaupun bertentangan dengan hati nuraninya,
apalagi hati nurani publik.
Jabatan dimaknai sebagai kekuasaan daripada
kemampuan. Etika politik tidak
berjalan. Etika yang semestinya menyangkut
dimensi etis seorang pemimpin yang berani bertanggung jawab terhadap segala
persoalan, tidak lahir karena dimensi kekuasaan yang terlalu besar. Sikap
kesatria, yang mengakui bahwa dia tidak seharusnya menjalankan tugasnya,
tidak lahir.
Jalaluddin Rakhmat pernah mengatakan, “Kita gagal menjadi bangsa besar karena
kita kehilangan rasa malu.” Jepang menjadi bangsa yang kokoh karena
memiliki budaya malu (shame culture)
yang sangat tinggi. Padahal, malu adalah nilai moral yang paling utama, yang
mengendalikan perilaku moral masyarakat, walau tanpa aturan tertulis.
Bangsa ini membutuhkan teladan yang baik dari
pejabatnya. Teladan buruk yang selama ini diadopsi rakyat dari pejabat secara
tidak langsung telah ikut memengaruhi cara masyarakat umum berperilaku dan
menentukan tindakan.
Politik seharusnya mencerahkan, bukan menambah
awan kegelapan dan ketidakjelasan. Para elite kita bagai singa sirkus yang
lihai memerankan tipu muslihat yang membuai dan menipu penonton. Mereka bagai
pemain sulap yang pandai membuat penonton tertawa sekaligus menangis.
Mereka pandai menyembunyikan sesuatu tanpa
terlihat penonton dan memperlihatkan sesuatu yang menakjubkan. Demokrasi yang
kita tumbuhkan selama ini seharusnya disadari baru seumur jagung.
Kekeliruan kita dalam memelihara nilai dan
moralitas demokrasi secara tidak tepat akan menghasilkan kualitas demokrasi
yang buruk pula. Itu merupakan kualitas demokrasi yang rapuh dari dalam.
Setiap tindakan dan sikap pejabat merupakan pencerminan langsung dari
nilai-nilai demokrasi yang hendak dikembangkan.
Apabila selama ini demokrasi hanya ditegakkan
pada aspek ritual dan formal, perlahan-lahan demokrasi akan punah karena
kehilangan semangat dan nilai-nilai kokoh yang dihormati bersama.
Kekuasaan akan menjadi penguasa demokrasi,
bukan sebagai penjaga nilai-nilai yang ditaati bersam. Siapa pun kelompok
penguasa akan mudah membelokkan aturan dan menjadikan kepentingan rakyat
hanya untuk keuntungan pribadi.
Dalam konteks ini, kita sedang diuji untuk
menegakkan nilai-nilai demokrasi secara substansial. Teladan para pejabat
sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian bahwa demokrasi sungguh-sungguh
ditegakkan, bukan sekadar pemanis bibir. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar