KY Bukan Subordinat Kekuasaan Kehakiman
Wiwin
Suwandi ; Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Makassar
MEDIA
INDONESIA, 19 Februari 2014
PUTUSAN Mahkamah Konstistusi
(MK) dalam pengujian Undang-Undang (PUU) No 4/2014 yang dibacakan pada Kamis
(16/2) patut dicermati secara kritis-akademis. Menempatkan dirinya sebagai
`penafsir tunggal konstitusi', MK dalam putusannya mengatakan bahwa semua
pokok permohonan merupakan `jantung' atau substansi inti dari UU No 4 Tahun
2014. MK memutus mengabulkan semua permohonan. Itu artinya, UU No 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU tidak lagi
memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional).
Termasuk yang diatur
dalam UU tersebut, yakni pembentukan panel ahli, majelis kehormatan hakim
(MKH), dan syarat tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik (parpol)
bagi calon hakim konstitusi, akhirnya batal diwujudkan. Terus terang, dalam
pengamatan penulis, putusan MK ini `rumit' dipahami alur logika dan
interpretasi hukumnya, meskipun secara positif MK berhasil `membebaskan'
dirinya dari intervensi kekuasaan lain (pemerintah/eksekutif) sebagai akibat
terbitnya Perppu No 1 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4
Tahun 2014. Status `genting dan memaksa' itu juga tidak cukup kuat sebagai
alasan keluarnya perppu karena UU MK mengatur masih bisa bersidang dengan 7
(tujuh) hakim (minimal).
Rumit, karena asas
universal nemo judex in re sua yang
berlaku dalam kekuasaan kehakiman, bahwa `hakim
tidak boleh menilai dirinya sendiri', secara terang dilanggar oleh MK
ketika memutus perppu ini (termasuk sejumlah putusan lain yang juga menyentuh
langsung MK). Nemo judex in re sua
adalah asas yang diterima secara universal dan sahih. Termasuk dalam aspek
pengawasan. MK seakan membatasi diri untuk tidak diawasi, baik oleh elemen
masyarakat sipil maupun oleh lembaga negara yang dibentuk oleh UUD ataupun
UU, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY). Ini jelas menentang prinsip check and balances dalam politik
kekuasaan kehakiman. Soal keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli memang
mereduksi kewenangan tiga lembaga negara; Presiden (pemerintah), DPR
(legislatif ), dan MA (yudikatif ), dalam pengajuan (bukan pengusulan) 3
(tiga) hakim konsitusi.Tafsir UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak
mengatur kewenangan KY sampai sejauh itu. Sekali lagi, ini tafsir UUD 1945,
bukan tafsir UU.
Menjaga Martabat
Meski demikian,
kedudukan KY sebagai salah satu ‘pelaku’ kekuasaan kehakiman (judicial power) tidak bisa dinafi kan.
KY tetap memiliki peran yang sangat signifi kan dalam politik kekuasaan
kehakiman. UUD 1945 menempatkan KY bersama MK dan MA dalam Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman. Tafsir konstitusi tersebut memberikan peran yang sangat
penting bagi KY. KY tidak bisa hanya dipandang sebagai state auxiliary organ sehingga berakibat ia dipandang inferior
dan menjadi ‘subordinat’ MA dan MK dalam politik kekuasaan kehakiman.
Pertanyaan
konstitusionalnya ialah mengapa UUD 1945 menempatkan KY--yang notabene
sebagai auxiliary organ--ke Bab
Kekuasaan Kehakiman bersama MA dan MK? Tentu penempatan ini tidak asal. Konstitusi
sadar, bahwa sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman, MK dan MA,
memiliki kewenangan yang sangat besar. Nah, kewenangan itu besar potensi
untuk disalahgunakan jika tidak diawasi. Oleh karena itu, konstitusi
‘memerintahkan’ KY untuk melakukan fungsi pengawasan dan menjaga keluhuran
dan martabat hakim, tidak hanya hakim struktural di bawah MA, tapi juga
termasuk hakim konstitusi dan hakim agung sendiri.
Pengawasan tersebut
berpijak pada teori ‘tidak ada
kekuasaan tanpa pengawasan’. Pengawasan yang dimaksud ialah pengawasan
terhadap perilaku hakim, bukan kinerja hakim dalam memutus sebuah perkara.
‘Hakim’ itu tidak bisa ditafsirkan secara rigid
dan sempit hanya pada hakim pada pengadilan di bawah MA. Namun semua hakim,
termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, harus menjadi objek pengawasan KY.
Status ‘agung’ dan ‘konstitusi’ itu hanya embel-embel dalam struktur
kekuasaan kehakiman yang menempatkan MK dan MA sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman tertinggi.
Seyogianya MK-MA lebih
bijak menempatkan diri. Oleh konstitusi, keduanya ditempatkan dalam posisi
yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir konstitusi dan UU Kekuasaan Kehakiman
harus dipahami sebagai satu kesatuan, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
tanpa memandang hierarki-struktural dan tanpa embel-embel ‘hakim agung’ atau ‘hakim konstitusi’ yang lebih superior
ketimbang yang lain sehingga menimbulkan arogansi dan narsisme yang
berlebihan. Hakim bukan tuhan atau dewa, melainkan manusia yang punya
kekurangan.
Keberadaan KY
seyogianya dipandang sebagai perwujudan prinsip check and balances
antarcabang kekuasaan kehakiman. Sebagaimana keberadaan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) hubungannya dengan DPR dalam struktur kekuasaan legislatif.
Hadirnya KY mewujudkan harmonisasi kekuasaan kehakiman agar tidak ada
kekuasaan yang kebablasan, dan tidak ada kekuasaan yang melampaui batas atau
disalahgunakan (abuse of power)
sehingga pengawasan mutlak diperlukan.
Membatasi independensi
Menjadi aneh ketika MK
menggunakan dalil `intervensi' terkait fungsi pengawasan KY ini, sementara MK
sendiri tidak independen terkait mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang
berasal dari pemerintah dan DPR. Karena itu, menjadi patut untuk dikritik
kekuasaan yang bersumber dari pemerintah dan DPR itu. Apakah itu bukan sebuah
intervensi? Itu jelas intervensi, karena teori independensi kekuasaan
kehakiman itu berpijak pada 2 (dua) aspek; aspek kelembagaan dan teknis
peradilan, termasuk putusan. Kewenangan pemerintah dan DPR dalam pengajuan 3
(tiga) hakim konstitusi merupakan bentuk dari intervensi itu meskipun
kewenangan tersebut bersumber dari konstitusi. Jadi dengan sendirinya,
konstitusi sudah membatasi status independensi hakim MK itu.
Juga, MK tidak cukup
bijak saat memutus perkara ini dengan tetap melibatkan hakim konstitusi
Patrialis Akbar dan Maria Farida. Padahal diketahui, SK pengangkatan
Patrialis dan Maria oleh Presiden digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia di PTUN Jakarta dan dimenangkan. Penulis sepakat, sebagai peradilan
konstitusional (constitutional court),
independensi MK perlu tetap dijaga. Hal itu tidak saja sebagai upaya untuk
mewujudkan demokrasi konstitusional (constitutional
democracy), tapi juga untuk menguatkan fungsi MK sebagai pengawal hak
asasi manusia.
Meski demikian, hal tersebut
tidak lantas membuat MK `alergi' dan membatasi diri dari pengawasan. Jangan
sampai kasus Akil Mochtar terulang lagi hanya karena MK alergi untuk diawasi.
Kekuasaan yang besar cenderung korup itu sudah terbukti dalam kasus Akil.
Hendaknya MK memahami itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar