Putusan MK: Tafsir Otoritatif Para Hakim Negarawan yang Memahami Konstitusi
Oleh: Yusril Ihza Mahendra
Pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, memutus mengabulkan permohonan Uji Materi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Effendi Gazali, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan sekaligus menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, persoalannya, pada angka 2 amar putusan bernomor 14/PUU-XI/2013 itu disebutkan bahwa “Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;” Di sinilah letak persoalan mendasar yang tersisa dari putusan yang prosesnya ternyata mendapat sorotan berbagai kalangan Ahli Hukum Tata Negara.
Saya, seperti telah diketahui sebelumnya, pun
mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Pilpres tersebut di atas.
Awalnya karena telah diputuskan oleh MK, saya menimbang-nimbang untuk
menarik permohonan. Namun, setelah menyadari dampak serius
dari Putusan MK itu, saya tetap meneruskan permohonan itu, dan telah
dilakukan Pemeriksaan II. Berikut adalah naskah lengkap perbaikan
permohonan yang saya ajukan. Mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca
setia kompasiana.
Jakarta, 28 Januari 2014
Kepada Yang Mulia
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Merdeka Barat No 6
Jakarta Pusat
Perihal: Perbaikan
Permohonan Pengujian Norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2)
dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) terhadap Pasal 4
ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [Reg. 108/PUU-XI/2013]
Dengan hormat,
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini,
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., usia 57 tahun, beragama
Islam, pekerjaan dosen, adalah perorangan warganegara Republik
Indonesia, beralamat di Jalan Karang Asem Utara No. 32, Kelurahan
Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta 12950, selanjutnya disebut
sebagai “Pemohon” (Bukti P-1).
Pemohon dengan ini mengajukan permohonan agar
sudilah kiranya Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang, yakni
menguji norma undang-undang dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176,
TLN 4924) selanjutnya disebut “Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden” (Bukti P-2), terhadap norma konstitusi dalam
Pasal 4 ayat (1), 6A ayat (2), Pasal 7C dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
selanjutnya disebut “UUD 1945” (Bukti P-3).
Sebelum melangkah untuk sampai kepada Petitum
permohonan ini, izinkanlah Pemohon untuk terlebih dahulu secara
sistematik menguraikan: (1) Hal-hal yang terkait dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara pengujian
undang-undang sebagaimana yang dimohonkan dalam permohonan ini; (2)
Hal-hal yang terkait dengan kedudukan hukum atau “legal standing”
Pemohon yang menerangkan adanya hak-hak konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang dirugikan dengan berlakunya
norma undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; (3) Hal-hal yang
terkait dengan argumentasi yuridis yang diajukan Pemohon sebagai
landasan untuk mengajukan Petitum dalam permohonan ini; dan (4)
Kesimpulan, sebagai berikut:
I. MAHKAMAH KONSTITUSI BERWENANG UNTUK MEMERIKSA, MENGADILI DAN MEMUTUS PERMOHONAN INI
1. Bahwa Pemohon memohon kepada Mahkamah
Konstitusi untuk sudilah kiranya melakukan pengujian norma undang-undang
dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) terhadap norma konstitusi
dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang menegaskan hal yang sama, yakni menyebutkan Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final, antara lain “menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
3. Bahwa penegasan serupa sebagaimana telah
diuraikan dalam angka 2 di atas, juga dikemukakan oleh Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk” antara lain “menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”. Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi”;
4. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 3 di
atas, maka Pemohon berkesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
II. PEMOHON MEMILIKI KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) MENGAJUKAN PERMOHONAN INI
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang selanjutnya disebut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
mengatakan bahwa Pemohon pengujian undang-undang adalah “pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan
warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat
(1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 jo
Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah
memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud
dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma
undang-undang, yaitu: (1) Adanya hak konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; (3) Kerugian
konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) Adanya hubungan
sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan (5) Adanya kemungkinan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
3. Bahwa Pemohon oleh partai politik yang Pemohon menjadi anggotanya, yakni Partai Bulan Bintang (Bukti P4),
telah diputuskan untuk menjadi calon Presiden Republik Indonesia dalam
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014
yang akan datang (Bukti P5). Dalam memutuskan
pencalonan tersebut, partai telah mempertimbangkan norma Pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Calon Presiden
dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu
secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden”. Pemohon telah memenuhi semua
persyaratan yang dirumuskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dan
karena itu secara konstitusional, Pemohon, berdasarkan asas persamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal
27 Undang-Undang Dasar 1945 –sebagaimana halnya warganegara yang lain
yang memenuhi syarat– mempunyai hak konstitusional untuk dicalonkan
sebagai Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia;
4. Bahwa selanjutnya ketika Pemohon ingin
melaksanakan keputusan partai politik yang telah memutuskan untuk
mencalonkan Pemohon sebagai calon Presiden tersebut, baik Pemohon maupun
partai tersebut akan mengikuti prosedur pencalonan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Bagi Pemohon, rumusan norma
Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ini sangat jelas, yakni
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
peserta pemilihan umum. Partai Bulan Bintang adalah partai politik
peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 dengan nomor urut 14 sebagaimana telah
ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan telah diketahui oleh
rakyat Indonesia pada umumnya. Dengan demikian, sekarang ini, Partai
Bulan Bintang adalah partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
5. Bahwa selanjutnya, partai politik peserta
pemilihan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diuraikan dalam angka 4 di atas,
haruslah melakukan pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden
tersebut “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pemilihan Umum yang
manakah yang dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) ini? Jawabannya ada di
dalam BAB VIIB Undang-Undang Dasar 1945 yang judulnya “PEMILIHAN UMUM”
yang membawahi 1 pasal saja, yakni Pasal 22E. Pasal 22E ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pasal 22E ayat (2) mengatakan: “Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah”. Di antara pemilihan umum itu, pemilihan
umum manakah yang pesertanya adalah partai politik? Jawabannya ada pada
Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik”. Dengan demikian, jelaslah
bahwa pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden itu harus dilakukan
sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan DPRD yang diikuti oleh partai
politik sebagai pesertanya. Tidak mungkin pencalonan itu sebelum
pemilihan umum DPD atau pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden,
karena dalam dua pemilihan umum terakhir ini, pesertanya bukan partai
politik, melainkan perorangan, baik perorangan calon anggota DPD maupun
perorangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden;
6. Bahwa hak konstitusional Pemohon
sebagaimana dikemukakan dalam angka 4 di atas dan prosedur pencalonannya
telah diatur dalam norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, terhambat
pelaksanaannya –dan oleh sebab itu Pemohon dirugikan hak
konstitusionalnya, dengan berlakunya norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9,
Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakan
“Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”;dan “Pasangan Calon
diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta
pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; dan “Masa
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh)
hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota
DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil
pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota”. Intinya kesemua pasal undang-undang ini mengatur bahwa
pencalonan dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden harus
dilakukan sesudah terlaksananya Pemilu DPR, DPD dan DPRD, yang
seluruhnya merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan prosedur untuk
melaksanakan hak konstitusional tersebut, sebagaimana yang dijamin oleh
Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
7. Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana
telah diuraikan dalam angka 1 sampai dengan 6 di atas, maka Pemohon
berkesimpulan, Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing
untuk mengajukan permohonan ini, berdasarkan 5 (lima) alasan, yakni:
(1) Pemohon adalah perorangan warga negara Republik Indonesia; (2)
Sebagai warganegara, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang normanya
telah diatur dan diberikan oleh UUD 1945, yakni hak konstitusional untuk
dicalonkan sebagai Presiden Republik Indonesia karena memenuhi
syarat-syarat yang diatur oleh Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum sebagaimana diatur dalam 6A ayat (2)Undang-Undang UD
1945; (3) Hak konstitusional Pemohon tersebut, nyata-nyata secara aktual
dan spesifik telah dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 3 ayat (5),
Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang memberikan
pengaturan yang pada intinya menghalang-halangi hak konstitusional
Pemohon untuk maju ke pencalonan Presiden yang seharusnya sekarang
inilah saatnya, setelah Partai Bulan Bintang yang kini berstatus sebagai
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014 mendaftarkan pencalonan
Pemohon ke Komisi Pemilihan Umum; (4) Kerugian konstitusional kini
nyata-nyata terjadi berdasarkan hubungan sebab-akibat (causal verband),
yakni hak-hak konstitusional Pemohon untuk dicalonkan sebagai calon
Presiden oleh partai politik peserta Pemilihan Umum dengan cara
mendaftarkannya ke Komisi Pemilihan Umum, telah dirugikan dengan
berlakunya norma undang-undang a quo; (5) Dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi yang diharapkan akan mengabulkan Petitum permohonan
ini, maka kerugian konstitusional Pemohon dimaksud, diharapkan tidak
akan terjadi.
III. ARGUMEN KONSTITUSIONAL BAHWA
PASAL-PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
ADALAH BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
1. Bahwa
amandemen UUD 1945 telah melakukan perubahan fundamental tentang
tatacara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dari yang sebelumnya
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat” sebagaimana diatur dalam norma
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Syarat untuk menjadi Presiden atau Wakil
Presiden juga berubah dari norma konstitusi yang lama, yang hanya
menyebutkan “orang Indonesia asli” menjadi “seorang warganegara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, dan seterusnya sebagaimana bunyi norma
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Sementara tatacara pencalonan dan pemilihan
yang sebelumnya diatur dalam Ketetapan MPR, setelah amandemen, diatur
lebih rinci di dalam norma undang-undang dasar yang selanjutnya diatur
dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 6A ayat
(1) sampai ayat (5) UUD 1945;
2. Bahwa norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum”. Frasa pertama dalam umusan norma pasal 6A ayat (2)
ini bagi Pemohon adalah terang dan jelas bahwa pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden “diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum”. Kapankah sebuah partai politik dapat
disebut sebagai “peserta pemilihan umum”? Pertanyaan ini hanya dapat
dipahami konteksnya dengan merujuk kepada norma-norma dan praktik
penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
sejumlah paling sedikit 50 orang warganegara Indonesia dapat mendirikan
partai politik dengan cara menuangkan keinginanannya tersebut dalam Akta
Notaris;
3. Bahwa
selanjutnya, partai politik itu akan sah berdiri setelah mendapat
pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008. Namun, meskipun sebuah partai politik telah berdiri, partai itu
tidaklah otomatis dapat menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi
peserta Pemilihan Umum, ketentuan Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, partai politik yang ingin
menjadi peserta Pemilihan Umum wajib mendaftarkan diriKPU. KPU
selanjutnya akan melakukan verifikasi administrasi dan faktual di
lapangan untuk memastikan apakah partai tersebut memenuhi syarat untuk
menjadi peserta Pemilihan Umum sebagaimana diatur oleh
undang-undang. Setelah melalui tahapan itu, barulah KPU memutuskan mana
partai politik yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum;
4. Bahwa dengan
pemahaman seperti dalam angka 2 di atas, maka jelaslah norma Pasal 6A
ayat (2) dalam frasa yang mengatakan bahwa “partai politik peserta
pemilihan umum” adalah partai yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta
pemilihan umum untuk tahun tertentu –mengingat Pemilihan Umum
sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 diadakan
setiap lima tahun sekali, misalnya Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
2009, Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014 dan seterusnya. Hanya
partai politik seperti itulah yang berhak untuk mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden dalam tahun tertentu setiap lima tahun sekali,
sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945;
5. Bahwa selain
frasa yang telah diuraikan dalam angka 2 dan 3 di atas, Pasal 6A ayat
(2) UUD 1945 memuat frasa lain yang mengatakan bahwa partai politik
peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden haruslah dilakukan “sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”. Pemilihan Umum manakah yang dimaksudkan oleh frasa dalam Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945 ini? Pemohon berpendapat, satu-satunya penafsiran
yang benar atas frasa ini adalah, bahwa yang dimaksud dengan pemilihan
umum itu adalah pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena hanya
pemilihan umum inilah yang pesertanya adalah partai politik seperti
dirumuskan dalam norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, bukan Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang tentunya diikuti oleh perorangan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan bukan pula Pemilihan Umum
untuk memilih anggota DPD yang pesertanya adalah perseorangan;
6. Berdasarkan
uraian dalam angka 1 sampai angka 5 di atas, maka jelaslah kiranya bahwa
norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden yang menyatakan, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan
DPRD”; dan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi
DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden”; dan “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara
nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga)
bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” adalah seluruhnya bertentangan dengan
norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang akan dirinci lebih lanjut dalam
uraian-uraian di bawah ini;
7. Frasa
“Pasangan Calon (Presiden dan Wakil Presiden) diusulkan oleh Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara
sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah jelas dan
tegas bertentangan dengan bunyi norma “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Norma Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini
terang-terangan memanipulasi kata “pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat
(2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Kalau perolehan kursi masing-masing
partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR telah
diumumkan dan telah diketahui, maka partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum
sebagaimana dimaksud oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan
sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena pemilihan
umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai dilaksanakan.
Demikian pula frasa “sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden telah memanipulasi maksud Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945, karena yang dimaksud dengan istilah “sebelum pelaksanaan
pemilihan umum” adalah pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya
adalah partai politik sebagaimana dimaksud norma Pasal 22E ayat (3) UUD
1945;
8. Bahwa
sejatinya, dengan memahami konteks frasa “sebelum Pemilihan Umum
dilaksanakan” yang dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 sebagaimana diterangkan dalam angka 7 di atas adalah pemilihan umum
untuk memilih anggota-anggota DPR dan DPRD yang pesertanya adalah
partai politik, maka pengaturan tentang adanya “presidential threshold” dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah sesuatu yang samasekali tidak mempunyai pijakan konstitusional serta penalaran yang logis,
karena, bagaimanakah orang bisa mengetahui adanya prosentase tertentu
yang diperoleh oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum, kalau pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD
belum dilaksanakan?;
9. Bahwa
pengaturan adanya “presidential threshold” dalam Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak
dapat dianggap sebagai “legal policy” yang merupakan kewenangan
pembentuk undang-undang, dengan dalil ketentuan Pasal 22E ayat (6)
Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Pengaturan lebih
lanjut di dalam undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang,
dalam hal ini Presiden dan DPR, tidaklah dapat menyimpang dari maksud
yang nyata dari sebuah norma yang telah tegas diatur di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi dalam konteks Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden yang lebih spesifik dibandingkan dengan Pemilihan
Umum DPR, DPD dan DPRD, ketentuan Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar
1945 membatasi pengaturan pada tingkat undang-undang itu hanya sejauh
mengenai “tatacara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden”.
Penentuan adanya “presidential threshold” menurut hemat Pemohon, bukan
lagi berada di tataran “tatacara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden” melainkan sesuatu yang berakitan secara langsung dengan
demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta prinsip kesetaraan partai-partai
politik yang seharusnya tidak dapat dibeda-bedakan satu dengan yang lain
di dalam sistem yang demokratis;
10. Bahwa
berdasarkan uraian dalam angka 9 di atas, Pemohon berpendapat bahwa
Mahkamah Konstitusi telah salah dalam membuat pertimbangan hukum terkait
dengan “presidential threshold” dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang
dibacakan tanggal 23 Januari 2014. Dalam halaman 75 sampai halaman 84
putusan mahkamah a quo, mahkamah di satu pihak mengemukakan
pendapat bahwa pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden harus disatukan dengan mempertimbangkan original intent pembentuk undang-undang dan berbagai metode penafsiran, namun di lain pihak mengatakan bahwa “Adapun
mengenai pengujian konstitusionalitas pasal 9 UU 42/2008, Mahkamah
mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka ketentuan
pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang dengan tetap mendasarkan pada
ketentuan UUD 1945”. Dengan diterimanya penyelenggaraan Pemilihan
Umum serentak untuk DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, maka
ketentuan “presidential threshold” sebagai syarat bagi partai politik
peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden
telah gugur dengan sendirinya, dan sebagai konsekuensinya Mahkamah
haruslah menyatakan bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah bertentangan dengan
Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
11. Bahwa
konkordans dengan argumentasi dalam angka 6 sampai dengan 10 di atas,
maka norma Pasal 14 ayat (2) UU Pemilihan Presiden yang normanya
berbunyi: “Masa pendaftaran (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”
adalah juga bertentangan dengan frasa partai politik peserta pemilihan
umum sebagaimana dirumuskan dalam norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Kalau partai politik atau gabungan partai politik baru diperkenankan
mendaftarkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden paling lama 7
(tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR,
maka pada saat itu partai politik atau gabungan partai politik tersebut
bukanlah lagi partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai
politik telah selesai. Kalau hasil pemilihan umum sudah ditetapkan, maka
partai politik tersebut bukan lagi partai politik peserta pemilihan
umum. Partai politik tersebut lebih tepat untuk disebut partai politik
“mantan” peserta pemilihan umum yang sudah selesai dilaksanakan;
12. Bahwa
proses pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah diuraikan
di atas, semuanya terkait dengan sistem pemerintahan menurut UUD 1945.
Dengan merujuk pada norma Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar” dan norma Pasal 7C yang menyatakan “Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, maka
Pemohon dapat menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia
menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial dan bukan
sistem pemerintahan parlementer. Meskipun terdapat banyak varian dari
kedua sistem ini, namun secara garis besar dapat dikatakan sistem
pemerintahan yang ada di dunia ini, di luar sistem monarki absolut,
adalah sistem presidensial dan parlementer;
13. Bahwa dalam
kaitannya dengan sistem pemerintahan presidensial, UUD 1945 tidak
memberikan pengaturan yang khusus tentang jadual pemilihan umum untuk
mengisi lembaga-lembaga negara yang memerlukan pemilihan umum untuk
mengisinya sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 22E ayat (2) UUD
1945. Norma pasal ini menyebutkan bahwa ada empat jenis pemilihan umum,
yakni (1) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
(2) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; (3)
pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan (4)
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah. Tidak ada
istilah pemilihan umum yang digunakan oleh UUD 1945 selain untuk mengisi
jabatan keempat lembaga negara tersebut. Pertanyaannya kemudian,
bagaimanakah urutan penyelenggaraan pemilihan umum antara pemilihan umum
eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) disatu pihak dengan pemilihan
umum legislatif (DPR, DPRD dan DPD)?;
14. Bahwa UUD
1945 ternyata tidak memberikan pengaturan eksplisit tentang urutan
penyelenggaraan pemilihan umum antara keempat lembaga negara sebagaimana
diuraikan dalam angka 9 dan 10 di atas, yang dapat disederhanakan
menjadi pemilihan umum eksekutif dan pemilihan umum legislatif. Namun,
kalau kita melakukan perbandingan konstitusi dan perbandingan sistem
pemerintahan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem parlementer,
maka pemilihan yang lebih dulu diselenggarakan adalah memilih
anggota-anggota parlemen. Selesai pemilihan umum parlemen, maka akan
diketahui partai manakah atau koalisi partai manakah yang memperoleh
kursi mayoritas di parlemen. Partai atau koalisi partai itulah yang akan
mengajukan calon Perdana Menteri kepada kepala negara. Ini terjadi pada
semua sistem parlementer, termasuk sistem parlementer yang pernah
dipraktikkan di negara kita di bawah UUD Sementara 1950 pasca Pemilihan
Umum 1955;
15. Bahwa
sebaliknya, dalam sistem pemerintahan presidensial di negara-negara yang
menganutnya, maka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah lebih
dulu diselenggarakan, baru kemudian memilih badan-badan perwakilan. Ini
terjadi di Amerika Serikat, Perancis, Mesir, Iran dan negara-negara
Amerika Latin. Hanya Republik Philipina yang menyelenggarakan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota congress dan senat
dilakukan serentak pada hari yang sama. Bahkan negara ini juga
menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Walikota serentak bersamaan
dengan Pemilu Presiden, Senat dan DPR;
16. Bahwa
dengan demikian, sesuai uraian dalam angka 13 di atas, tidak terdapat
alasan konstitusional apapun untuk menyelenggarakan dua kali pemilihan
umum secara terpisah dalam lima tahun, yakni pertama pemilihan DPR,DPRD
dan DPD, dan kedua disusul dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Tafsir yang paling mungkin untuk memahami maksud Pasal 22E ayat (1) dan
(2) dikaitkan dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C Undang-Undang Dasar
1945 maksud pasal ini, penyelenggaraan pemilihan umum DPR, DPRD,
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan serempak satu kali saja dalam
lima tahun. Penafsiran seperti ini sejalan dengan sistem pemerintahan
presidensial yang dianut oleh UUD 1945, dan saat ini satu-satunya negara
yang melaksanakannya hanyalah Republik Philipina. Melaksanakan
pemilihan badan-badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD) lebih dulu baru
kemudian memlilih badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) adalah
bertentangan dengan sistem presidensial sebagaimana diatur dalam norma
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945;
17. Meskipun
UUD 1945 tidak secara spesifik mengatur manakah pemilihan umum yang
diselenggarakan lebih dahulu, badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD)
ataukah badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), namun kalau
dibaca dengan seksama norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Jadi, tidak akan ada dua kali
atau tiga kali atau lebih pemilihan umum dalam lima tahun, kecuali hanya
satu kali saja. Sedangkan ayat (2) Pasal 22E itu menyatakan dalam satu
nafas “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
dan Dewan Perwakilan Daerah”. Secara sistematik kedua ayat dalam Pasal
22E itu menunjukkan bahwa pemilihan umum hanya diadakan satu kali dalam
lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.
Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
telah mengambil sikap dalam pertimbangan hukumnya bahwa Pemilihan Umum
memang harus dilaksanakan satu kali dalam lima tahun untuk memilih
anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPRD. Namun
pendapat Mahkamah tersebut belum dituangkan di dalam diktum putusan, dan
juga memang tidak dimohon secara tegas dalam petitum permohonan
Pemohon, walaupun diuraikan di dalam permohonannya;
18. Bahwa norma
Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD”; dan
“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 %
(dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota
DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”,dan
“Masa pendaftaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7
(tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”, dan
“Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabulaten/kota,” seluruhnya
adalah bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) dan 22E ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan (4) UUD 1945;
19. Bahwa
perumusan norma “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD”. “Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD”; dan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara
sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden”; dan “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan
secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan
setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat
(2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden tidaklah sungguh-sungguh dimaksudkan
untuk melaksanakan atau menegakkan norma-norma konstitusi, sebagaimana
layaknya sebuah negara hukum yang berlandaskan UUD 1945. Rumusan
norma-norma tersebut hanya untuk mewujudkan keinginan dari kekuatan yang
dominan pengaruhnya di Dewan Perwakilan Rakyat serta Presiden yang
memegang jabatan saat itu ketika undang-undang tersebut dibuat, untuk
menghalang-halangi munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden dari
kekuatan saingannya dengan cara yang bertentangan dengan prinsip
keadilan dan kesetaraan, yang sesungguhnya dijamin oleh Pasal 27 dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
20. Bahwa dalam
Pemilihan Umum 2014 yang akan datang, partai politik peserta pemilihan
umum yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terdiri atas
12 (dua belas) partai politik yang bertarung di tingkat nasional, dan 3
(tiga) partai lokal yang hanya bertarung dalam pemilihan umum di Aceh.
Dengan kenyataan ini, maka kekhawatiran calon Presiden dan Wakil
Presiden akan terlalu banyak, sehingga harus dibatasi dengan
“presidential threshold” 20 persen atau 25 persen suara sah nasional,
menjadi kehilangan relevansinya. Seandainya semua partai politik peserta
Pemilihan Umum 2014 masing-masing mengajukan satu pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, maka paling banyak calon yang akan
bertarung adalah 12 (dua belas) calon. Dibanding jumlah pasangan calon
dalam pemilihan umum kepala daerah, menurut hemat Pemohon, jumlah itu
masih dapat diterima;
21. Pemilihan
Walikota Makassar tahun 2013 diikuti oleh 10 (sepuluh) pasangan calon.
Pemilihan Bupati Kabupaten Deli Serdang tahun 2013 diikuti oleh 11
(sebelas) pasangan calon. Jadi, kalau pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden diikuti oleh 12 (dua belas) pasangan calon, hal itu menurut
hemat Pemohon, adalah berada dalam batas-batas yang wajar. Penafsiran
konstitusi haruslah dinamis. Penafsiran atas teks-teks konstitusi
haruslah mempertimbangkan ratio legis (asbabul wurud)
dirumuskannya sebuah norma. Begitu pula putusan Mahkamah Konstitusi,
yang di masa lalu menafsirkan adanya “presidential threshlod” tidak
bertentangan dengan norma UUD 1945 bukanlah sebuah tafsir absolut atas
konstitusi. Kaidah fiqh sebagaimana dirumuskan Imam Asy-Syatibi mengatakan bahwa “pembentukan norma hukum tergantung kepada sebab-sebab (illat) yang melahirkannya. Jika illat berubah, maka norma, atau setidaknya penafsiran terhadap norma harus pula berubah”.
Kalau tidak, maka yang terjadi adalah kejumudan belaka. Dalam beberapa
putusan mahkamah, dan terakhir dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Mahkamah telah pula mengambil sikap demikian;
22. Bahwa
Mahkamah Konstitusi, yang berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam berbagai pertimbangan
hukum putusannya ternyata telah menyebut dirinya sebagai “the sole
interpreter of the constitution” atau “penafsir tunggal konstitusi”.
Terkait dengan permohonan ini, maka Pemohon memohon sudilah kiranya
Mahkamah menafsirkan apakah sesungguhnya maksud teks norma dalam Pasal
6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) dikaitkan dengan sistem
pemerintahan presidensial sebagaimana diatur oleh norma Pasal 4 ayat (1)
dan Pasal 7C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
23. Bahwa
Pemohon dengan sengaja memohon kepada Mahkamah untuk menafsirkan secara
langsung makna Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3)
Undang-Undang Dasar 1945, setelah lebih dulu menyatakan bahwa
pasal-pasal Pasal 3 ayat (5), Pasal 9 Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, adalah
semata-mata untuk mengatasi adanya kevakuman hukum, jika
seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon ini. Putusan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang MK
“memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai dibacakan dalam sidang
pleno yang terbuka untuk umum”. Sementara pelaksanaan Pemilihan Umum
untuk anggota DPR, DPD dan DPRD sudah dijadualkan oleh KPU akan
dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dan Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden akan dilaksanakan pada bulan Juli 2014. Kevakuman hukum
itu tidak mungkin dapat diatasi dengan menunggu pembentuk undang-undang
(DPR dan Presiden) untuk merubah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
sekiranya permohonan ini dikabulkan, kecuali Presiden mempunyai
keberanian untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
24. Bahwa jika
seandainya Mahkamah mengabulkan Petitum Pemohon dengan menafsirkan
maksud Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3)
Undang-Undang Dasar 1945, maka pembentuk undang-undang tidak perlu lagi
mengubah pasal-pasal Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang diuji ini
–sekiranya dikabulkan– karena tafsir Mahkamah atas norma Pasal 6A ayat
(2) dan Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) langsung dapat dilaksanakan oleh
KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum dalam Pemilihan Umum tahun
2014 ini juga;
25. Bahwa
Pemohon berpendapat, sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-Undang MK, putusan
Mahkamah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno yang terbuka untuk umum. Ini bermakna, putusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum serta merta dan tidak dapat digantungkan kepada
sesuatu yang lain, termasuk menggantungkannya pada waktu kapan diktum
putusan itu baru berlaku. Inilah sesungguhnya esensi perbedaan antara
norma hukum dalam suatu peraturan perundangan-undangan dengan putusan
pengadilan. Norma peraturan perundang-undangan sangat mungkin menyatakan
bahwa peraturan tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian baru berlaku
pada tanggal tertentu jauh setelah peraturan itu disahkan dan/atau
diundangkan. Putusan pengadilan berlaku serta merta. Dalam perkara
pidana, tidak mungkin hakim menjatuhkan putusan pidana bersalah kepada
seorang Bupati yang menjadi terdakwa kejahatan korupsi, tetapi putusan
itu baru berlaku 5 (lima) tahun kemudian, sehingga dalam tenggang waktu 5
(lima) tahun itu terpidana itu tetap bebas tanpa harus menjalani pidana
dan tetap menjalankan tugasnya sebagai Bupati. Demikian pula putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu norma undang-undang
bertentangan dengan norma Undang-Undang Dasar 1945 dan menyatakannya
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tidaklah dapat
digantungkan berlakunya pada waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun
dengan mengemukakan alasan-alasan yang bersifat teknis yang berada di
luar jangkauan kewenangan Mahkamah Konstitusi, sementara selama 5 tahun
itu Mahkamah seolah membiarkan praktik penyelenggaraan negara didasarkan
atas norma undang-undang yang Mahkamah sendiri telah menyatakannya
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan telah pula
menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
26. Bahwa
berdasarkan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, Pemilihan Umum
dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap dan mandiri. Oleh karena itu, jika Mahkamah ragu-ragu apakah
putusannya terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat
dilaksanakan atau tidak, terhambat pada masalah waktu yang sempit atau
tidak, maka adalah fair jika Mahkamah memanggil Komisi
Pemilihan Umum untuk dimintai keterangannya di dalam sidang. Sangatlah
aneh jika dalam petimbangan hukum Mahkamah, seperti dibaca dalam halaman
85 Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang seolah-olah “tahapan Pemilihan
Umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi
terganggu atau terhambat” sementara KPU sendiri dalam berbagai
pemberitaan media massa mengatakan siap melaksanakan apapun yang
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi(Bukti P-6A; Bukti P-6B; Bukti P-6C; Bukti P-6D).
IV. PERMOHONAN TIDAK NE BIS IN IDEM
1. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana
telah dikemukakan dalam angka I sampai dengan III di atas, maka sebelum
sampai kepada Kesimpulan permohonan ini, Pemohon ingin menegaskan bahwa
sebelum mengajukan permohonan ini, Pemohon telah melakukan telaah
terhadap permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang telah dimohon sebelumnya
kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon dalam permohonan ini memohon
Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN
4924) terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E
ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Sementara sebelumnya, Mahkamah telah menguji Pasal 3 ayat (5), Pasal 9 dan Pasal 14 Undang-Undang a quo
sebagaimana telah diputus dalam Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 17
Januari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
tanggal 18 Pebruari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
26/PUU-VII/2009 tanggal 14 September 2009 yang pada pokoknya menguji
norma undang-undang tersebut dengan norma Pasal 6A ayat (2) dan Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Terakhir sekali,
Pemohon juga telah membaca dengan seksama Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohon oleh Saudara Effendi Ghazali dan baru
diucapkan tanggal 23 Januari 2014 yang menguji norma Pasal 3 ayat (5),
Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang-Undang a quo terhadap norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4
ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat
(1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan perbandingan
ini, jelaslah kiranya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 yang dimohonkan uji serta batu ujinya yakni norma pasal-pasal dalam
Undang-Undang Dasar 1945, di samping ada yang sama, ada pula yang
berbeda. Namun argumentasi konstitusional yang Pemohon ajukan serta
Petitum permohonan, juga terdapat perbedaan-perbedaan;
3. Bahwa norma Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang, menyatakan: “(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian
berbeda”. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang menyatakan: “(1) Terhadap materi muatan, ayat,
pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali; (2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas,
permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat
dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas
yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”;
4. Bahwa berdasarkan uraian-uraian dalam
angka 1 sampai 3 di atas, Pemohon berpendapat bahwa permohonan pengujian
pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan batu
uji yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar 1945, serta argumentasi
konstitusional yang dijadikan alasan adalah berbeda dengan
pengujian-pengujian sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah
Konstitusi. Atas dasar itu, maka Pemohon menyatakan tidak terdapat
alasan apapun untuk mengatakan bahwa permohonan Pemohon ini adalah ne bis in idem dengan permohonan-permohonan sebelumnya.
V. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian sebagaimana telah
dikemukakan dalam angka I, II, III, dan IV di atas, maka sampailah
Pemohon kepada kesimpulan dari permohonan ini yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Pemohon memohon Mahkamah Konstitusi untuk
menguji norma undang-undang sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (5),
Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap norma
konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2),
Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945;
2. Berdasarkan norma yang diatur dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final;
3. Permohonan Pemohon untuk menguji
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dalam perkara ini tidak bersifat ne bis in idemdengan perkara-perkara sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi;
4. Pemohon adalah persorangan warga negara
Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional, yang diberikan oleh
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yakni hak untuk dicalonkan sebagai calon
Presiden Republik Indonesia, yang selanjutnya pelaksanaan hak
konstitusional tersebut diatur dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal
22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hak-hak konstitusional
tersebut tata cara pelaksanaannya nyata-nyata telah dirugikan dengan
berlakunya norma undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat
(5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
5. Berdasarkan berbagai argumentasi yuridis
dan konstitusional yang telah Pemohon kemukakan dalam uraian-uraian
dalam Angka III di atas, Pemohon berkesimpulan bahwa norma undang-undang
yang diatur dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 dan karena itu terdapat alasan
yang cukup bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pasal dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945, dan sekaligus menyatakannya tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
6. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi sebagai
“the sole interpreter of the constitution” sebagai satu-satunya lembaga
yang berwenang untuk menafsirkan UUD 1945, kiranya dapat memberikan
penafsiran terhadap maksud dari norma-norma yang termuat di dalam Pasal
6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) terkait dengan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, dikaitkan dengan sistem pemerintahan
presidensial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
7. Penafsiran oleh Mahkamah Konstitusi atas
norma Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) tentang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dikaitkan dengan sistem
pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur oleh norma Pasal 4 ayat (1)
dan Pasal 7C UUD 1945 diharapkan akan menghasilkan tafsir yang
otoritatif dari para hakim yang merupakan “negarawan yang memahami
konstitusi” bukan tafsir para legislator di DPR dan Presiden yang
terkadang bias dalam menafsirkan norma konstitusi ke dalam undang-undang
karena berbagai kepentingan politik yang melatarbelakanginya.
VI. PETITUM
Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana telah
dikemukakan dalam keseluruhan isi permohonan ini, maka izinkanlah
Pemohon untuk memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
lebih dulu menyatakan bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini, dan memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal
9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No. 176, TLN
4924), bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal
7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal
9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No. 176, TLN
4924) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
3. Menyatakan bahwa maksud Pasal 4 ayat (1)
dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945
adalah sistem presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka
maksud frasa dalam norma Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yakni
pemilihan umum dilaksanakan “setiap lima tahun sekali” untuk memilih
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah pemilihan
umum itu dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan;
4. Menyatakan bahwa maksud Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah setiap partai
politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah
berhak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik,
yakni Pemilihan Umum DPR dan DPRD;
5. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
HORMAT PEMOHON
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar