Pemilu Serentak dan Indikator Tata Negara Kusut
Benni E Matindas ;
Pengajar Filsafat;
Penulis buku Negara Sebenarnya
SINAR
HARAPAN, 03 Februari 2014
“Sistem
presidential bukan entitas opsional di antara sistem lain termasuk sistem
parlementer.”
Debat buntu ihwal pemilu serentak yang marak sekarang ini
mesti dilihat sebagai indikator tak terbantahkan mengenai kusutnya tata
negara kita, jangan dipandang kurang dari itu. Ini karena taruhannya
sebagaimana sudah sering dialami bangsa ini, terlalu parah.
Bermula dari gugatan judicial review oleh Effendi Ghozali
dan kawan-kawan mengenai aturan capres yang hanya ditentukan partai peraih
kursi DPR dengan jumlah tertentu, dinilai tak sesuai prinsip sistem
presidential. Namun, debat menyala justru ketika MK mengabulkan gugatan itu.
Itu karena MK setuju pemilu serentak, namun pelaksanaannya
nanti pada 2019. Yusril Ihza Mahendra, yang juga mengajukan gugatan senada
mencurigai ada “apa-apa” di balik keputusan MK. Ini disebabkan gugatan
Effendi yang sudah lama tidak dijawab, MK baru menjawab setelah ada gugatan
Yusril. Namun, malah tuntutan Yusril untuk pemilu serentak 2014 tak
dikabulkan.
Tambah ramai lantaran ikutnya parpol-parpol yang tentu
saja harus memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Ada yang
habis-habisan menuntut pemilu serentak harus 2014. Sebaliknya, ada yang gegap
gempita memamerkan “sikap bijak” menerima putusan MK tentang 2019, sebab di
situ ada hitung-hitungan bagi kepentingan politis pihak mereka.
Indikator
Semua titik krusial dalam perdebatan ini satu per satu
dapat kita tunjuk sebagai indikator tata negara kusut. Kita bisa mulai dengan
alasan gugatan awal yaitu mengenai hak parpol mengajukan capres berdasarkan
jumlah kursi di DPR. Hak ini jelas menginjak-injak konstitusi yang menegaskan
lembaga tertinggi di negara ini adalah MPR.
Di dalamnya pun bukan hanya DPR, tetapi ada DPD yang
merepresentasikan rakyat dengan kadar legitimasi yang tak kalah, bahkan bisa
mengalahkan DPR. Hal yang terpenting, pendasaran hak istimewa pada jumlah
kursi itu sesungguhnya tidak memiliki satu pun landasan logika kebajikan tata
negara. Semata-mata hanya logika yang diabdikan pada kepentingan partai
besar.
Salah pula jika gugatan didasarkan pada logika bahwa
presiden dalam sistem presidential tak perlu legitimasi parlemen. Setiap niat
ataupun kecenderungan menjauhkan eksekutif dari jangkauan daulat dewan rakyat
mesti selamanya ditolak sebagai kesalahan asasi berdemokrasi.
Sebenarnya sistem presidential bukan entitas opsional di
antara sistem lain termasuk sistem parlementer. Tata negara dengan parlemen
sebagai pemegang kekuasaan atas pencalonan hingga pemakzulan pimpinan
pemerintahan, apa pun namanya sistem ini, adalah satu-satunya pelembagaan
demokrasi.
Segala problem yang timbul kemudian hanyalah akibat
parlemen yang diisi secara keliru lantaran mengira kekuasaan parpol dalam
legislatif dan eksekutif adalah perwujudan hak asasi politik warga. Padahal
hak asasi hanya melekat pada warga secara individual, tidak secara
institusional kolektif warga, seperti parpol, yayasan, perusahaan, ataupun
grup band.
Ada yang bersikukuh harus pemilu serentak tahun 2014.
Alasannya, pemilu terpisah melanggar Pasal UUD tentang pemilu lima tahun
sekali. Ini tak lebih dari argumen ndagel, argumen yang biasa kita dengar
dalam lawakan kekanak-kanakan.
Memang banyak dari kita sudah biasa menerima silogisme
yang digunakan keliru seperti itu. Misalnya, hakim dan jaksa yang biasa
membenarkan argumen begitu saat diajukan pengacara yang membela
ketidakbenaran. Pemilu untuk anggota parlemen sekali dan pilpres sekali maka
katanya, dua kali pemilu. Kalau hitungannya seperti itu, bukan hanya dua
pemilu dalam lima tahun, tapi harus dibilang puluhan kali, bahkan dalam satu
tahun karena ditambah banyak pilkada.
Dasarnya kusut, mau dikemanakan pun buntu. Kalaupun pemilu
serentak nanti tahun 2019, problemnya tak serentak selesai. Siapakah yang
berhak menentukan capres yang pasti akan sangat banyak itu? Kalau partai,
baik sebelum maupun setelah duduk di DPR, sama saja dengan sebelum judicial
review.
Kalau bukan partai, lantas siapa? Dalam tata negara Iran,
misalnya, pembatasan jumlah capres (yang pernah sampai 814 orang) dibereskan
Guardian Council. Namun, setengah dari dewan itu dipilih DPR juga. DPR Iran
isinya pseudo-parpol, sedangkan DPR RI berisi parpol dalam maknanya yang
paling primitif. Buntu lagi, kan?
Alasan menunda sampai 2019 agar bisa lebih siap secara
teknis demi kemaslahatan pun dituding “faktor teknis mengalahkan substansi”.
Memang, jika betul, itu bukan saja inkonstitusional, tapi bahkan melawan
hakikat dan harkat konstitusi. Namun, sebetulnya ini pun hanya salah satu
pucuk gunung es kekusutan.
Segalanya jadi rancu. Konstitusi, substansi, dan prinsip
dilawankan secara diametral dengan faktor teknis, realitas, kemanfaatan
praktis, juga kemaslahatan. Dikira realitas dapat dipisah dari kebenaran
prinsip, justru kebenaranlah yang lebih sering harus dilegitimasi oleh
realitas. Seolah pula kemaslahatan bukan prinsip, padahal bahkan konstitusi
beserta substansinya harus mengabdi pada kemaslahatan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar