Demokrasi Kerumunan
Yasraf
Amir Piliang ; Pemikir
Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS,
17 Februari 2014
MENYAMBUT
semarak pesta demokrasi Pemilu 2014, sebuah pertanyaan esensial layak
diajukan: apakah pesta demokrasi akan membawa kita pada kehidupan lebih
bermakna, masyarakat politik lebih berdaya, dan kondisi manusia lebih mulia
di masa depan, atau sebaliknya?
Inilah pertanyaan tentang ”peta
jalan manusia”, ke arah mana manusia dibawa melalui pesta demokrasi: ke arah
kemaju- an atau kemunduran, ke arah humanitas atau animalitas? Mengapa
disebut ”pesta” demokrasi; apa yang kita rayakan melalui demokrasi? Apakah
perayaan kemenangan manusia, dengan kian mulianya derajat kemanusiaan atau
justru pesta ironi: merayakan ketakpedulian, kebebalan, dan keruntuhan
manusia dalam ruang politik yang rusak? Pertanyaan tentang demokrasi dan
manusia mempertanyakan ”dunia kehidupan” macam apa yang hendak dibangun (Lebenswelt) dan bagaimana semua
meningkatkan martabat manusia.
Sayangnya, melihat kondisi ruang
politik kita akhir-akhir ini, ada indikasi Pemilu 2014 tampaknya tak akan
membawa banyak perubahan pada peta jalan manusia Indonesia. Demokrasi sejauh
ini belum mampu menciptakan sebuah keadaban di dalam ruang politik karena
komunitas politik yang membentuknya (parpol, ormas) tak mampu mengangkat
derajat manusia lebih tinggi. Ketimbang komunitas politik yang cerdas, yang
ada hanya kumpulan dan kerumunan tanpa keadaban.
Akhir manusia
Demokrasi adalah milieu, di mana
individu dihimpun dalam komunitas politik untuk membangun subyektivitas
sebagai zoon politicon.
Kualitas manusia ditentu- kan oleh struktur milieu ini, yang membedakannya
dengan kumpulan binatang. Pembentukan komunitas politik yang sehat kini menjadi
sebuah pertaruhan karena kian kuat kehendak membangunnya, kian cerdik aparatus
(negara, politik, militer) menyelewengkannya.
Kualitas manusia ditentukan pula
oleh bentuk kehidupan yang mampu dibangun di dalam milieu. Di dalam demokrasi, ada empat ranah kehidupan manusia,
yang secara sinergis penentu kualitas manusia: seni, sains, politik, dan
cinta (dalam pengertian luas). Melalui empat ranah ini manusia mampu
membangun sensibilitas estetis, kebenaran dan obyektivitas, kebebasan dan
keadilan, serta kebersamaan dalam pengorbanan (Badiou, 1999).
Empat ranah humanitas inilah yang
membedakan ”politik” dengan ”yang politik”. Politik dapat dianalogikan
sebagai bentuk hidup sekadar hidup, hidup yang menggunakan cara apa pun demi
bertahan hidup (kekerasan, manipulasi, mafia, premanisme), semacam
Machiavelianisme. Yang politik justru dibangun kehendak membangun dan
memperjuangkan sensibilitas, keindahan, kebenaran, kebebasan, kebersamaan,
cinta melalui pengorbanan. Empat ranah itu pula yang membedakan komunitas
politik dan kerumunan binatang. Orang Yunani kuno membedakan dua bentuk
hidup. Pertama, zoe, hidup sekadar hidup atau hidup polos seperti
kehidupan umum semua makhluk hidup, termasuk orang-orang tersisihkan.
Kedua, bios, bentuk kehidupan
yang mampu membangun hidup baik, yang tak sekadar hidup, tetapi dimuati
nilai, keyakinan, ideologi, dan makna. Itulah esensi kehidupan yang politik (Agamben, 1995).
Kekuatan atas hidup (ekonomi,
politik) berupaya terus-menerus mengeksploitasi orang-orang tersisih demi
kepentingan mereka dengan mengondisikan mereka selamanya berada dalam hidup
polos. Di pihak lain, kekuatan hidup menjadi energi pendorong bagi yang
tersisih mengangkat diri mereka agar keluar dari perangkap hidup polos.
Biopolitik adalah pertarungan terus-menerus di antara kekuatan-kekuat- an ini
untuk membangun bentuk kehidupan baik. Manusia hanya jadi zoon politicon jika mampu
membangun diri dan menyadari eksistensi sebagai pembeda dari binatang.
Politik sebagai hidup sekadar hidup dihuni manusia setengah diri (semi-person) yang tak mampu
mengembangkan humanitasnya secara penuh. Hanya diri yang penuh yang layak
menghidupkan yang politik: sensibilitas, keindahan, kebenaran, dan
kebersamaan. Celakanya, ruang politik kita dipenuhi manusia setengah diri ini
(Esposito, 2012).
Kegagalan membangun diri yang
penuh dalam ruang politik kita menyebabkan hilangnya sensibilitas terhadap
sesama, dunia sosial, dan Tuhan. Dengan menjadikan ego sebagai pusat, elite
politik rela mengorbankan dan memangsa sesama demi kekuasaan: Homo homini lupus. Karena itu,
makna pengorbanan yang esensial dalam politik kini tak relevan lagi. Politik
kehilangan dimensi cinta dan rasa kebersamaan sebagai komunitas. Rangkaian
kasus kejahatan (korupsi, manipulasi, nepotisme) yang mendera nyaris semua
parpol menunjukkan gagalnya parpol membangun Homo humanus, manusia
politik yang memiliki sensibilitas, rasa keindahan, kebenaran, keadilan, dan
kebersamaan melalui pengorbanan. Kegagalan ini menandai akhir dari manusia
politik, manusia yang memperjuangkan kualitas humanitasnya sendiri, bukan
sekadar kekuasaan.
Politik tanpa organ
Demokrasi layaknya bilik atau
lingkungan sekitar (umwelt) yang di
dalamnya individu-individu dihimpun menjadi komunitas politik untuk merangkai
makna kehidupan. Melalui bilik ini kita mengawasi dunia di sekitar sebagai
cara menjamin rasa aman dan keberlanjutan komunitas. Di dalam bilik ini
manusia politik melihat dunia luar sebagai ancaman dari para pesaing. Bilik
ini memberikan kesadaran tentang tapal batas yang memisahkan dalam dan
luar, kami dan mereka. Komunitas politik (parpol, ormas) hanya
eksis jika ada kesadaran tentang keberadaan bersama komunitas berbeda
(ideologi, tujuan, utopia) yang memungkinkan berlangsungnya pertarungan
politik. Harus ada kesadaran timbal balik bahwa komunitas berbeda itu
bukanlah musuh yang harus dilenyapkan, melainkan lawan yang pandangan dan
keyakinannya kita tolak, tetapi eksistensinya sebagai komunitas kita akui.
Ruang politik dibangun oleh aneka
aparatus, segala sesuatu yang dalam berbagai cara memiliki kapasitas memberi
orientasi, menentukan, menghalangi, memodelkan, mengendalikan tindakan,
perilaku, opini atau wacana: penjara, sekolah, rumah ibadah, pabrik, aturan
hukum, sipir penjara, media. Celakanya, aparatus di ruang politik kita tak
bekerja, yang menggiring pada tindakan atau perilaku politik tanpa
penghalang, kendali, orientasi dan makna, sebuah nihilisme politik.
Hanya melalui komunitas politik
dapat dibangun Lebenswelt,
dunia kehidupan bermakna, di mana subyek politik membangun sebuah dunia,
melalui tindakan bertujuan, sebagai cara merangkai kehidupan bermakna.
Politik dibangun oleh komunitas dengan tujuan memperjuangkan bagian dari
mereka yang tak memiliki bagian, tak bernama, tak punya ruang, dan tak
dihitung. Politik adalah sebuah pembingkaian ulang relasi, posisi, subyek,
dan ruang pengalaman melalui pernyataan kolektif (Ranciere, 2010). Politik juga proses subyektifikasi, di mana
individu dipanggil menjadi bagian dari sebuah ideologi komunitas politik, di
dalam sebuah bingkai politik ideologi. Akan tetapi, di dalam ruang demokrasi
kita, individu terpanggil menjadi bagian komunitas politik (parpol) bukan
karena kesadaran ideologis, melainkan oleh godaan materi, uang, atau
kedudukan. Inilah desubyektifikasi politik.
Ketika komunitas politik kita tak
mampu menciptakan subyek politik yang memiliki kesadaran tentang gagasan
politik, ini artinya ruang politik kita tak mampu membangun yang politik,
yaitu gagasan, ideologi, nilai, utopia, dan makna-makna yang diperjuangkan di
dalam ranah politik, untuk mencapai hidup baik. Apabila tak ada lagi yang
politik, sesungguhnya tak ada lagi politik, selain teknikalitas mencari
kekuasaan yang bebas nilai.
Kegagalan aparatus
politik—khususnya parpol—dalam memberi orientasi, memodelkan, dan
mengendalikan tindakan, perilaku, serta kesadaran manusia politik sebagai
pribadi yang penuh—dengan sensibilitas, rasa keindahan, kebenaran, keadilan,
cinta, dan pengorbanan tinggi— menandai tak berfungsinya komunitas politik
yang kini tak lebih dari kerumunan manusia yang tak mampu mengembangkan nilai
dan makna di dalam ruang politik. Dalam ruang demokrasi kita, empat
penanda Homo humanus—seni,
sains, politik, cinta—bergerak liar ke arah yang berlawanan dengan yang
semestinya sehingga alih-alih dapat membangun hidup baik sebagai zoon politicon, ia menggiring manusia
politik ke arah hidup sekadar hidup, yaitu kehidupan politik yang direduksi
menjadi satu dimensi, dimensi kekuasaan demi materi.
Seni bergerak ke arah menjauh dari
nilai-nilai esensial seni itu sendiri dan kian mendekat pada nilai-nilai
pasar. Istilah seni pasar, komersialisme seni, dan teknik penggorengan seni
adalah indikasi dikooptasinya seni oleh mekanisme ekonomi. Seni menjadi bagian
inheren oikonomia dengan mengikuti selera pasar demi motif keuntungan, bukan
sebuah wahana membuka pengalaman estetis sublim bagi peningkatan sensibilitas
estetis. Sains bergerak bukan ke arah prinsip yang inheren di dalam dirinya
sendiri, yaitu mencari kebenaran dan obyektivitas, melainkan dikembangkan
sebagai bagian tuntutan pasar dan perusahaan multinasional. Sains bertumbuh
di atas fondasi merkantilisme pengetahuan, di mana pengetahuan dikembangkan
untuk motif keuntungan sehingga riset besar kini dikuasai perusahaan
multinasional, yang tujuan akhirnya adalah akumulasi kapital.
Cara kerja politik (komunikasi
politik, kampanye, pemilu) dan tujuan akhir politik telah mengalami
depolitisasi, menjauh dari ideal-ideal politik sendiri. Kini, politik tak bisa
bekerja tanpa uang, di mana hanya sekelompok orang kaya—yang mampu menguasai
media, membiayai kampanye—yang bisa bertarung di dalam ruang publik politik.
Demokrasi kini bergerak ke arah oligarki. Cinta (dalam pengertian luas,
termasuk cinta Tuhan) kini juga jadi bagian pasar. Cinta sesama manusia kini
tak luput dari skema ekonomi sehingga hasrat dan libido dijadikan sarana
meraup keuntungan, melalui mekanisme libidinal
economy. Cinta Tuhan sebagai manifestasi tertinggi kemanusiaan, tak luput
dari tawar-menawar harga dan keuntungan (zikir, doa, ceramah) melalui aneka
media elektronik atau digital.
Manusia estetis, manusia pencari
ilmu, zoon politicon, dan
manusia pencinta kini semuanya digerakkan oleh sistem oikonomia, menghasilkan Homo
economicus. Inilah ”manusia satu dimensi” yang bentuk hidupnya ”hidup
sekadar hidup”. Demokrasi gagal membangun politicum socius. Yang ada hanya ”kerumunan” individu yang
berkumpul ”mencari hidup” dengan memangsa sesama. Zoon politicon digusur Homo economicus, bios diambil alih zoe, hidup bermakna digantikan ”hidup sekadar hidup”,
layaknya Homo animalis.
Pesta demokrasi 2014 meninggalkan
sebuah pesan bagi para kandidat pemimpin bahwa politik bukan lingkaran tanpa
akhir ”pertarungan materi (melalui citra) demi kekuasaan untuk mengembalikan
materi”. Politik adalah sebuah Lebenswelt,
sebuah peta jalan membangun ”hidup baik” bagi semua, melalui pemanusiaan
manusia, yaitu mengangkat manusia dari jurang animalitas—Homo economicus satu dimensi—menjadi Homo humanus multidimensi, yaitu
manusia yang memiliki kekuatan-kekuatan sensibilitas, keindahan, pengetahuan,
kebenaran, dan cinta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar