Korupsi Tanpa Dispensasi
Reza
Indragiri Amriel ; Konsultan
bidang Psikologi Yudisial
pada sejumlah institusi penegakan hukum
SINAR
HARAPAN, 19 Februari 2014
Surat Edaran Jaksa Agung (Seja) Nomor
B-113/F/Fd.1/05/2010 berisi petunjuk bagi para jaksa agar tidak membawa kasus
korupsi dengan nilai kerugian negara kurang dari Rp 10 juta ke peradilan.
Arahan sedemikian rupa bertitik tolak dari
perhitungan, ongkos yang harus dikeluarkan untuk penanganan setiap perkara
jauh lebih tinggi daripada kerugian akibat korupsi tersebut. Jadi, ibarat
besar pasak daripada tiang; akan sangat janggal apabila upaya mengembalikan
kerugian negara justru menghasilkan beban keuangan negara yang lebih besar.
Kendati pertimbangan Jaksa Agung masuk akal,
proses hukum diselenggarakan tidak sebatas pertimbangan pragmatis
"berapa rupiah yang masuk dan berapa perak yang keluar".
Lebih-lebih ini untuk kejahatan luar biasa,
seperti korupsi. Penindakan hukum terhadap pelaku dilakukan guna memunculkan
dua ragam efek jera. Pertama, efek jera langsung agar pelaku korupsi tidak
mengulangi perbuatannya. Kedua, efek jera tidak langsung supaya orang lain
tidak berani mencoba melakukan tindak kejahatan lua biasa serupa.
Adanya fungsi proses hukum untuk membentuk
efek jera mengarahkan perhatian ke dimensi mikro. Dimensi mikro adalah faktor
psikologis yang memengaruhi terbentuknya perilaku korupsi. Dimensi yang
berpusat pada diri pelaku korupsi inilah yang sangat mungkin luput dari
pertimbangan Jaksa Agung saat menerbitkan surat edaran di atas.
Jadi, kebijakan agar koruptor yang berkorupsi
di bawah Rp 10 juta tidak dipidana asalkan mengembalikan uang yang
diambilnya, berpotensi besar gagal mengoreksi perbuatan pelaku korupsi
tersebut. Pengabaian itu pula yang, seiring dikeluarkannya surat edaran tadi,
dikhawatirkan tidak bisa menghentikan pemunculan “manusia-manusia tikus”
berikutnya.
Korupsi merupakan perilaku yang dibentuk
melalui proses belajar sosial. Seorang individu mengamati individu-individu
lain yang sudah lebih dahulu menampilkan perilaku korupsi, serta memerhatikan
situasi yang mendukung terjadinya aksi tersebut.
Dari sana, individu tadi membangun persepsi
tentang perilaku korupsi berlandaskan perspektif moral. Individu bisa
menganggap korupsi sepenuhnya salah. Bisa pula korupsi dinilai salah, namun
tetap diterima (ditoleransi). Penilaian lain, korupsi adalah perilaku yang
dipandang wajar sehingga diterima masyarakat.
Keinginan individu melakukan korupsi akan
terbentuk dan mengalami penguatan saat, sesuai yang ia saksikan di lingkungan
sosialnya, korupsi menghasilkan insentif finansial. Maraknya tindakan korupsi
yang ternyata tidak dikenai risiko berupa sanksi hukum juga memperteguh niat
meniru perbuatan jahat tersebut.
Ringkasnya, motivasi melakukan korupsi timbul
dan semakin kokoh ketika korupsi didefinisikan individu sebagai sesuatu yang
tidak salah. Kalaupun dipersepsikan salah, korupsi tetap bisa dibenarkan
hingga derajat tertentu karena melihat dilakukan banyak orang tanpa hukuman.
Mekanisme belajar sosial di atas mendasari
penjelasan tentang imbas yang akan berlangsung pascadikeluarkannya Surat
Edaran Jaksa Agung Nomor B-113. Pertama, pada satu sisi korupsi dianggap
kejahatan luar biasa. Namun, pencantuman batasan rupiah dalam surat edaran
Kejaksaan Agung justru membuka ruang toleransi, bahkan peluang berkompromi
bagi penjahat koruptor tertentu.
Definisi evaluatif tentang korupsi pun tak
ayal menjadi tidak sesolid yang dibayangkan. Ada ambivalensi. Terlepas dari
hitungan-hitungan besar pasak daripada tiang yang dikemukakan Kejaksaan
Agung, di kepala siapa pun kini dapat terbangun anggapan, pelaku korupsi
tidak selalu merupakan musuh besar. Kedua, mindset yang terbentuk sedemikian rupa menghambat terealisasinya
efek jera. Jadi, orang-orang tidak lagi khawatir berkorupsi dengan batas
maksimal Rp 10 juta.
Korupsi kelas “sepele” akan marak. Tragisnya,
itu justru “terjustifikasi” serta “terfasilitasi” kebijakan yang dikeluarkan
lembaga penegakan hukum. Semakin ironis karena lembaga tersebut adalah
Kejaksaan Agung, institusi yang sesungguhnya diberi mandat Bekerja dengan
filosofi retributif, yakni penghukuman seberat-beratnya bagi pelaku
kejahatan, apalagi koruptor.
Ketiga, korupsi memunyai berbagai modus,
antara lain penyuapan dan gratifikasi. Apakah Jaksa Agung juga menyertakan
modus tersebut dalam surat edarannya dengan mengatur bentuk perlakuan bagi
penyuap dan pemberi gratifikasi? Jika tidak diatur, jangan salahkan publik
apabila kelak muncul dugaan penerima suap dan gratifikasi yang berasal dari
pegawai negeri maupun penyelenggara negara seakan terlindungi jika besaran
korupsi mereka tidak melebihi Rp 10 juta.
Saat yang sama, pemberi suap atau gratifikasi
tetap dikenai sanksi berdasarkan aturan lain—Undang-Undang (UU) Tindak Pidana
Korupsi, misalnya—yang tidak memberikan toleransi apa pun bagi pemberi uang
suap, maupun gratifikasi dalam jumlah berapa pun.
Keempat, aksi korupsi di bawah Rp 10 juta
dapat dipastikan berlangsung di wilayah-wilayah yang bersentuhan langsung
dengan kebutuhan masyarakat kecil dan sederhana.
Atas dasar itu, surat edaran Jaksa Agung
menyimpan potensi bahaya besar karena berekses pada kian merajalelanya
korupsi di lapisan masyarakat yang selama ini nyata-nyata menjadi pihak yang
paling dibuat menderita akibat korupsi. Pemberian dispensasi bagi pegawai
negeri dan penyelenggara negara (pelayan publik) yang berkorupsi di bawah Rp
10 juta—disadari maupun tidak—menempatkan masyarakat kecil pada posisi yang
semakin rentan mengalami viktimisasi.
Segenap komponen bangsa, wabil khusus otoritas
penegakan hukum, kentara masih harus menyatukan spirit terkait pemberantasan
korupsi. Surat edaran Jaksa Agung tersebut sewajarnya ditarik dari peredaran.
Poin tentang aturan dispensasi bagi pelaku korupsi di bawah Rp 25 juta, yang
tercantum pada RUU Tipikor (versi pemerintah), sepatutnya ditolak. Perang
bubat terhadap korupsi sampai kapan pun! Allahu
a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar