Mahkamah (yang) Kebablasan
Refly
Harun ; Pengamat dan Praktisi Hukum Tata Negara,
Direktur Eksekutif
Corret (Constitutional and Electoral Reform Centre)
MEDIA
INDONESIA, 15 Februari 2014
TERTANGKAP tangannya
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar pada 2 Desember 2013 merupakan
peristiwa besar, bahkan sangat besar, yang menampar wajah penegakan hukum
negeri ini. Bagaimana tidak, seorang ketua lembaga tertinggi keadilan ditangkap
karena perbuatan hina dina, memungut rente dari pihak yang beperkara.
Peristiwa Akil
tersebut menyeruakkan dua hal yang selama ini luput dari perhatian publik
karena begitu terpukau oleh prestasi MK. Harus dikatakan, ada yang salah
dalam rekrutmen hakim konstitusi dan ketiadaan pengawasan terhadap hakim MK
makin membuktikan adagium Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely. Bila rekrutmen hakim konstitusi baik, tentu tidak akan
pernah terpilih sosok seperti Akil, terlebih sebagai hakim konstitusi periode
kedua, karena sebelumnya telah ada pengaduan terhadap sosok tersebut.
Good governance
Perkara rekrutmen dan
pengawasan itulah yang hendak dijawab Perppu Penyelamatan MK yang kemudian
disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013
tentang Perubahan Kedua atas UU No 2004 tentang MK. Dari sisi rekrutmen,
diatur syarat hakim konstitusi yang tidak boleh berasal dari anggota partai
politik (parpol) kecuali sudah berhenti sekurang-kurangnya tujuh tahun.
Diatur pula mengenai keberadaan panel ahli independen yang ditugaskan untuk
`membantu' Mahkamah Agung (MA), DPR, dan presiden dalam melakukan uji
kelayakan dan kepatutan (fit and proper
test) calon-calon hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara
tersebut.
Meskipun pengajuan
hakim konstitusi merupakan kewenangan ketiga lembaga tersebut, MA, DPR, dan
presiden tetap harus menjunjung tinggi prinsip good governance. Semua lembaga negara, termasuk semua pejabat
negara, pada hakikatnya terikat pada prinsip good governance dalam menjalankan atau melaksanakan kewenangan.
Dengan demikian diharapkan, tidak lagi terjadi MA dan presiden asal main
tunjuk hakim konstitusi, lalu DPR mengadakan uji kelayakan dan kepatutan
pura-pura karena pemenang sudah ditentukan di belakang layar.
Dari sisi pengawasan,
setelah MK melumpuhkan kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi hakim
konstitusi pada 2006, UU Nomor 4 Tahun 2014 mengintroduksi Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi (MKHK) yang bersifat permanen, yang sekretariatnya berada di
KY. Maksudnya agar setiap saat ada lembaga yang mengawasi hakim-hakim MK,
sekaligus saluran tetap bagi seluruh masyarakat yang mau melaporkan perilaku
menyimpang hakim konstitusi.
Diharapkan, tidak akan ada lagi Akil-Akil baru
dalam sejarah MK sampai kapan pun.
Sayangnya, segala
upaya untuk melihat segera pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap MK justru
dihancurkan hakim-hakim konstitusi sendiri. Dalam pandangan hakim konstitusi,
aturan tentang larangan anggota parpol menjadi hakim konstitusi, pembentukan
panel ahli independen, dan den, dan MKHK permanen bertentangan dengan
konstitusi. Tidak ada dissenting
opinion dalam putusan yang dibacakan pada 13 Februari tersebut, yang
proses persidangannya hanya memakan waktu 11 hari kerja!
Putusan tersebut
ibarat reaksi balik dari hakim-hakim MK yang marah atas opini atau desakan
publik selama ini. Hari-hari terakhir ini kita akan segera menyaksikan reaksi
balik publik yang mungkin juga akan marah. Namun, tulisan ini tidak hendak
memprovokasi putusan MK tersebut. Sebagai sebuah putusan hukum, kita
menghargai apa yang telah dituliskan para hakim tersebut walaupun dengan
perasaan menggerutu dan geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin ada lembaga
yang tidak mau diawasi padahal memiliki kekuasaan superhebat?
Konfirmasi Akil
Pekan depan, perkara Akil Mochtar akan mulai
diperiksa di Pengadilan Tipikor Jakarta. Akil akan duduk dalam kursi
pesakitan sebagai terdakwa korupsi. Dari Pengadilan Tipikor Jakarta itu
pulalah nanti akan terkonfirmasi apakah hakim hakim lain terlibat sebagai
jemaah korupsi Akil.
Bila iya, tidak ada
lagi moral ground bagi para hakim itu untuk bertahan di kursi suci hakim
konstitusi kendati formalisme hukum asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) tetap dijunjung
tinggi. Bila tidak, kita harus moving
on, berjalan ke depan, untuk tetap memercayakan kereta MK kepada
sais-sais konstitusi tersebut.
Walaupun sebagian besar dari mereka tidak
terpilih dalam mekanisme yang menjunjung tinggi prinsip transparan,
partisipatif, objektif, dan akuntabel yang telah menjadi empat mantra dalam
rekrutmen hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Seiring dengan hal
itu, DPR, MA, dan presiden harus didesak untuk membuat aturan internal yang
dapat mengejawantahkan prinsip partisipatif, transparan, objektif, dan
akuntabel dalam rekrutmen hakim konstitusi ke depan, terlebih kepada DPR yang
harus mengisi kekosongan dua hakim konstitusi. Selain Akil yang sudah
diberhentikan, Hakim Konstitusi Harjono yang juga berasal dari DPR akan
pensiun awal April nanti.
Dari sisi pengawasan,
kita harus mendesak MK segera melantik para anggota Dewan Etik. Tidak ada
rotan akar pun jadi, tidak ada MKHK permanen, Dewan Etik pun tidak apa. Yang
penting, jangan biarkan MK terjerembap kembali pada kasus korupsi karena
ketiadaan pengawasan.
Mencintai MK bukan
berarti membiarkan dan mengamini semua yang dilakukan para hakim konstitusi.
Mencintai MK harus berani `menjewer' hakim-hakimnya kalau tidak benar.
Kecintaan itu pernah saya ejawantahkan ketika mengungkapkan dugaan pemerasan
oleh Akil Mochtar pada 2010. Tidak banyak yang percaya pada waktu itu, bahkan
MK `mengucilkan' saya, orang yang pernah menjadi bagian MK sebagai staf ahli.
Namun, kebenaran akhirnya terungkap ketika Akil tertangkap tiga tahun
kemudian.
Mudah-mudahan gerutuan
dan `kemarahan' saya atas putusan MK kali ini, yang menurut saya sangat
keterlaluan, menjadi `jeweran' yang bermanfaat bagi para hakim untuk menjadi
lebih baik, bukan untuk kembali mengucilkan dan mengancam siapa pun yang
kritis kepada MK dengan bahasa baru yang dikenalkan dalam putusan MK kali
ini, contempt of court! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar