Belajar dari Bencana
Benny
Susetyo ; Seorang Pastor
KORAN
JAKARTA, 17 Februari 2014
ALAM selalu menyimpan misteri. Bencana yang
datang dari alam selalu sulit diduga.
Manusia dengan kekuatannya hanya mampu
meramal, tetapi penguasa alamlah yang tetap menjadi pihak yang memberi
keputusan. Gempa, banjir, dan erupsi bisa saja diberi makna bukan peristiwa
alam biasa, melainkan ada petunjuk-petunjuk dan tanda-tanda di dalamnya.
Peristiwa ini merupakan sebuah misteri
Ilahi, dan manusia bertugas mengorek makna di dalamnya. Bencana alam bukan
semata-mata takdir yang harus diterima begitu saja.
Tuhan telah menganugerahkan manusia beragam
kemampuan untuk membaca tanda alam. Tuhan memberi kemampuan kepada manusia
lewat teknologi untuk memberi peringatan dini agar bencana yang besar bisa
dikurangi.
Setiap bencana seharusnya menjadikan
manusia selalu belajar. Bencana menjadi media proses pembelajaran
terus-menerus. Dari alam manusia bisa memperoleh pengalaman berharga bahwa
bencana bisa datang kapan pun. Kesiapan dan kesigapan menangani
dampak-dampaknya sangat penting.
Indonesia memiliki banyak gunung yang siap
memuntahkan lahar. Beberapa kali di antaranya sudah memberi pelajaran seperti
Sinabung dan Kelud. Sudah waktunya tidak ada lagi kata "lamban"
dalam menangani dampak yang terjadi pada masyarakat.
Letusan Gunung Kelud berdampak masif,
separo lebih penduduk Jawa terkena.
Jangan lagi muncul tudingan sinis
pemerintah lamban menangani musibah. Bantuan harus segera disalurkan.
Koordinasi harus efektif, jangan terjebak pada mental birokrasi yang rumit
dan lambat. Kurang tanggapnya aparat pemerintah dalam merespons peringatan
dini terhadap bencana sangat disayangkan.
Semua perlu belajar dari berbagai bencana
untuk mendidik warga tentang cara menghadapi musibah karena daerah-daerah di
Indonesia rawan bencana.
Di sisi lain, negara harus mampu menjamin
rasa aman warga menyangkut emergency system dan peringatan dini di berbagai
daerah rawan bencana. Dari pengalaman terus-menerus diguncang bencana erupsi
dan gempa di bumi, sudah sepatutnya pemerintah memiliki peta bencana alam.
Daerah rawan gempa seharusnya segera
dibangun sistem peringatan dini yang mensyaratkan pola komunikasi cepat,
tepat, dan akurat. Jangan lagi lamban dan berbelit-belit.
Sehat
Kesigapan pola komunikasi mengharuskan
sistem sinergi dari tiap kementerian terkait membangun kerja sama dan
koordinasi. Lemahnya sistem birokrasi disebabkan kurangnya koordinasi antar
kementerian. Ini membuat pola kerja mereka lambat dalam menangani bencana
alam.
Pemerintah perlu belajar dari berbagai
peristiwa bencana alam dahsyat yang membutuhkan sebuah habitus baru dalam
mengolah bencana. Habitus baru menyangkut mentalitas birokrat, bukan lagi
sebagai tuan yang minta dilayani dan dihormati. Sebab ini membuat wajah birokrasi kurang
tanggap terhadap penderitaan masyarakat.
Mentalitas menunggu perintah serta kurang
respek terhadap penderitaan orang lain merupakan cermin dari mentalitas
birokrasi yang masih berpikir reaktif terhadap peristiwa. Ini membuat birokrasi tidak mampu secara
cepat bergerak karena sistemnya masih bermental asal bapak senang warisan
Orde Baru. Peristiwa alam yang bertubi-tubi ini harus mengubah kebiasaan lama
yang tidak displin, bekerja asal-asalan.
Pola hidup selalu mencari yang mudah dengan
menghalalkan segala cara membuat biaya hidup tinggi sehingga melahirkan jiwa
korup. Sistem pemerintahan harus transparan, terutama dalam menggunakan dana
publik. Andaikan dana publik tidak dikorup, bisa untuk membiayai sistem
pengamanan bencana.
Rupanya birokrasi belum melihat peristiwa
sebagai momentum untuk mengubah kultur dalam pelayanan publik. Seharusnya,
lewat peristiwa ini, birokrasi pemerintah lebih sigap dan bergerak cepat dalam
merespons penderitaan masyarakat.
Respons yang cepat bisa memanfaatkan sarana
teknologi, tapi itu tidak dilakukan. Teknologi tidak digunakan secara
maksimal untuk peringatan dan antisipasi dini. Tak heran, polanya selalu
lambat sehingga mencerminkan birokrasi tidak profesional.
Tuhan tidak akan membiarkan manusia
menderita melebihi beban yang tidak bisa ditanggung. Lewat bencana alam,
manusia dengan kemampuan akal budi terus-menerus berusaha menemukan berbagai
metode mereduksi akibat. Dalam konteks ini, tentu dibutuhkan sarana teknologi
dan komunikasi.
Salahnya, kadang manusia baru sadar setelah
jatuh banyak korban. Seharusnya peristiwa demi peristiwa dapat menjadi
pelajaran agar manusia lebih peka terhadap tanda alam. Rasanya tidak adil
hanya menyalahkan alam tanpa mau berbenah diri. Sekaranglah saatnya manusia
berbenah diri untuk memperbaiki wajah keadaban publik yang mati suri.
Masyarakat sudah kehilangan kesadaran akan
nilai moralitas dan kepatutan sebagai bangsa yang beradab. Bangsa beradab
hidup dan digerakkan rasa kemanusiaan, solidaritas, dan kesetiaan yang
membangun kepatuhan pada norma hukum.
Hanya, hukum belum menjadi acuan hidup
dalam kebersamaan. Hukum kerap kali dikalahkan kepentingan bisnis dan
politik. Inilah yang membuat wajah keadaban publik menjadi hancur sehingga
orientasi hidup hanya mengejar materi duniawi.
Hidup menjadi konsumeristis. Manusia
Indonesia hanya menjadi pengguna. Mentalitas mau gampangnya saja membuat
masyarakat tidak inovatif. Wajar, tidak tercipta sebuah sistem teknologi
ramah lingkungan.
Sudah saatnya bangsa ini berbenah untuk
lebih memajukan diri menjadi bangsa yang berani mengakui kekurangan karena
terlalu lama hidup dalam lingkaran kepedulian hanya pada suku, agama, dan
kerabatnya. Sekarang semua harus bergandengan tangan
untuk bersama menghentikan tradisi lama tersebsut agar rasa kemanusiaan lebih
mekar. Jangan lagi hanya sibuk memikirkan golongan
sendiri. Marilah melangkah lebih maju dengan makin menghargai nilai
kemanusiaan, kejujuran, kesetiaan, serta solidaritas demi masa depan bangsa
yang lebih adil, sejahtera, dan damai.
Semangat baru ini akan membawa bangsa mekar
secara demokrasi. Publik memiliki kultur yang mementingkan tata nilai yang
menjadi acuan dalam kehidupan bersama yang dilandasi semangat kemanusiaan dan
keadilan. Inilah yang lama dilupakan dan sudah saatnya dihadirkan kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar