Memperkokoh Fundamental Ekonomi
Firmanzah ; Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi
dan Pembangunan
KORAN
SINDO, 10 Februari 2014
Ditengah
prospek perkembangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian, memperkuat
fundamental ekonomi merupakan tugas penting setiap negara.
Meski negara-negara maju dipandang sebagai katalisator pertumbuhan global tahun ini, sejumlah catatan masih perlu untuk terus diperhatikan, utamanya bagi negara berkembang. Pertama, wacana terkait kenaikan pagu utang Amerika Serikat (AS). Hingga saat tulisan ini dibuat belum ada keputusan final kenaikan pagu dari Kongres. Kedua, perbaikan output manufaktur di Amerika belum mampu memperbaiki kinerja ekspor di Desember 2013. Defisit neraca perdagangan Amerika di Desember 2013 meningkat 12% dari bulan sebelumnya mencapai USD38,7 miliar. Ketiga, ketimpangan neraca perdagangan disejumlah negara di Eropa, di mana sebagian besar negara mengalami defisit dan sedang menempuh kebijakan penguatan konsumsi domestik. Pasar keuangan global di minggu pertama Februari 2014 relatif bergerak positif pasca-rilis data pengangguran Amerika. Klaim pengangguran di Amerika turun dibanding minggu sebelumnya. Namun begitu, sebagian besar negara berkembang masih diselimuti tekanan eksternal yang menggerus nilai tukar mata uang dan risiko inflasi. Pelemahan nilai tukar mata uang negara berkembang salah satunya dipicu capital outflow. Capital outflow yang disertai dengan volatilitas harga komoditas dunia dan lemahnya permintaan global menstimulus inflasi yang tinggi dan menghadirkan cost of fund yang tinggi pula pada industri keuangan. Kondisi ini diperburuk oleh perubahan cuaca ekstrem yang mengganggu produksi dan menyebabkan kelangkaan komoditas di pasar dunia. Kebijakan otoritas bank sentral Turki, Brasil, Afrika Selatan untuk menaikkan suku bunga acuan merupakan respons untuk menahan tertekannya nilai tukar mata uang negara-negara tersebut dan potensi risiko inflasi. Situasi di atas tentunya meningkatkan ketidakpastian proyeksi ekonomi dunia ke depan. Di satu sisi, ekonomi global menunjukkan sinyal pemulihan yang ditopang oleh negaranegara maju. Namun di sisi lain, penguatan ekonomi negara maju akan terkendala oleh pelemahan permintaan negara-negara berkembang. Sementara itu, pasar negara maju terbesar saat ini adalah kawasan Asia yang sebagian besar adalah kumpulan negara-negara berkembang. Kata kuncinya adalah penguatan ekonomi negara maju hanya akan berdampak positif terhadap perekonomian dunia jika ekonomi negara-negara berkembang juga menunjukkan arah yang sama. Namun, sejumlah negara mengalami perlambatan pertumbuhan termasuk China. Kondisi China sejak 2012 masih terhadang oleh perlambatan industri dan transisi perubahan kebijakan pertumbuhannya dari ekspor dan investasi infrastruktur ke basis konsumsi domestik. Bagaimana dengan ekonomi Indonesia? Bagi Indonesia, saat ini sejumlah indikator ekonomi menunjukkan arah penguatan fundamental ekonomi. Neraca perdagangan di Desember 2013 mencatatkan surplus USD1,52 miliar atau tertinggi sejak 2011. Surplus ini tentunya akan memberi dampak positif terhadap neraca transaksi berjalan dan neraca modal. Surplus neraca perdagangan Desember 2013 juga telah mendorong peningkatan cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah per Januari 2014. Cadangan devisa hingga akhir Januari 2014 sebesar USD100,7 miliar atau setara dengan 5–6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Tekanan nilai tukar rupiah juga semakin menipis dan diharapkan terus menguat hingga akhir tahun 2014. Pendapatan per kapita di akhir 2013 juga meningkat hingga Rp36,5 juta dari Rp33,5 juta di 2012. Pemerintah terus mendorong sejumlah kebijakan untuk memperkukuh fundamental ekonomi nasional baik jangka panjang maupun respons cepat jangka pendek. Untuk jangka panjang, pemerintah terus mendorong agenda percepatan pembangunan yang sedang berjalan. Melalui program MP3EI, realisasi investasi hingga akhir 2013 telah mencapai lebih Rp800 triliun yang tersebar di enam koridor ekonomi. Begitu pula dengan catatan realisasi investasi dari BKPM yang menembus target di tahun 2013 mencapai Rp398,6 triliun. Sekitar 65% dari realisasi investasi ini merupakan pembukaan usaha baru yang artinya memperluas lapangan kerja. Kedua, sejumlah pembangunan infrastruktur sepanjang lima tahun terakhir terus diperkuat seiring dengan perbaikan sistem logistik nasional. Hal ini setidaknya telah membuahkan hasil di mana peringkat daya saing Indonesia tahun 2013 naik 12 level ke peringkat 38 dari peringkat 50 pada tahun sebelumnya. Ketiga, konsumsi rumah tangga terus diperkuat sebagai basis pertumbuhan ekonomi selama ini. Penguatan daya beli masyarakat ditempuh melalui efek berantai realisasi investasi yang menstimuli perluasan pasar tenaga kerja dan mendorong kapasitas konsumsi masyarakat. Keempat, penguatan sektor industri khususnya untuk barang- barang bernilai tambah tinggi dan menekan laju ekspor sumber daya alam tanpa nilai tambah. Kelima, penguatan sektor riil dan UMKM dengan berbagai kebijakan stimulus mulai dari program kredit usaha rakyat hingga pendampingan bagi UMKM dalam meningkatkan kapasitasnya (capacity building). Keenam, memperkuat struktur ekonomi melalui kebijakan meninggalkan era upah buruh murah. Terakhir dan yang menjadi basis kebijakan strategis sepanjang periode 2009–2014 yakni menekankan kebijakan fiskal yang hati-hati, prudent, akuntabel, dan disiplin tinggi. Kebijakan ini tentunya tanpa menegasikan ruang ekspansi fiskal untuk menstimuli perekonomian nasional dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan dinamika ekonomi dunia. Untuk respons cepat jangka pendek seperti yang dilakukan pada tahun 2013, ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia bersamaan dengan lonjakan konsumsi BBM subsidi. Saat ini pemerintah sedang melakukan antisipasi potensi risiko inflasi yang banyak disebabkan oleh faktor alam. Bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia yang menghadirkan kekhawatiran akan potensi inflasi tinggi setelah Januari inflasi mencapai 1,07%. Dua hal dalam jangka pendek ini sedang dilakukan pemerintah yakni tetap menjaga daya beli masyarakat dan mengantisipasi lonjakan inflasi. Untuk mengatasi hal ini dan menjaga fundamental ekonomi nasional tetap kukuh, pemerintah menempuh sejumlah kebijakan selain intervensi pasar oleh Bank Indonesia. Pertama, memastikan distribusi pasokan barang kebutuhan pokok secara memadai. Kedua, dalam rapat kabinet terbatas Jumat (7/2), Presiden SBY telah menginstruksikan agar segera dilakukan perbaikan sarana dan prasarana jalan yang rusak akibat bencana. Ketiga, pemerintah meminta bank sentral untuk menjadwal ulang dan memberi keringanan bagi para debitor (masyarakat di lokasi bencana) yang terkena dampak bencana. Keempat, pemerintah memberi bantuan tunai kepada para petani yang lahannya rusak akibat bencana hingga Rp2 juta per hektare. Kelima, cadangan BBM baik subsidi dan nonsubsidi dipastikan dalam status yang memadai. Keenam, intervensi pasar oleh Bulog dengan ketersediaan stok kebutuhan pokok di Bulog yang sangat mencukupi. Stok ini akan segera disalurkan ke titik-titik yang menghadapi kerentanan dan kendala pasokan. Kebijakan di atas diharapkan terus memperkukuh fundamental perekonomian nasional dan menambah daya dorong ekonomi untuk mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas serta berkesinambungan. Sinyalemen positif perkembangan ekonomi nasional di saat negara berkembang lainnya mengalami tekanan merupakan salah satu indikasi daya lenting ekonomi yang unggul dibanding negara berkembang lainnya. Hal ini juga mengonfirmasi upaya perbaikan struktural yang sudah dan sedang berjalan saat ini. Kita berharap kinerja perekonomian nasional terus tumbuh dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tentunya hal ini membutuhkan kerja keras dan dukungan dari seluruh elemen bangsa terutama menjelang pesta suksesi yang sebentar lagi akan kita selenggarakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar