Rabu, 19 Februari 2014

Kekuatan Super MK

Kekuatan Super MK

Pangki T Hidayat  ;   Peneliti di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
HALUAN,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Dika­bul­kan­nya ju­­dicial re­view UU Nomor 4 Tahun 2014 ten­tang Pe­­neta­­pan Peraturan Peme­rintah Peng­ganti Un­dang-Undang (Per­ppu) No­mor 1 Tahun 2013 ten­tang Mah­kamah Kon­stitusi (MK) yang dike­luarkan oleh SBY, menyebabkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK dalam melakukan seleksi hakim MK berlaku kembali.

Peristiwa ini setidaknya mencerminkan sikap peme­rintah saat ini yang gam­pang kaget dan gamang dalam mengantisipasi suatu persoalan. Kualitas penyu­sunan peraturan sangat rendah, sehingga menim­bulkan banyak celah untuk diajukan uji materi ke MK.

Lebih jauh lagi, penan­datanganan perppu penye­lamatan MK oleh Presiden SBY kala itu sudah agak lama, kurang lebih satu bulan pasca penangkapan Akil Mochtar. Sehingga, aspek kegentingan yang mewajibkan untuk dikeluar­kannya perppu pun telah hilang.

Jika kita telaah lebih jauh UU Nomor 4 Tahun 2014 tersebut, isinya sering­kali bertentangan dengan undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, poin yang menyatakan kebera­daan Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan Mahka­mah Konstitusi. Hal ini jelas tidak tepat karena berten­tangan dengan pasal 24B ayat 1 UUD 1945, yang ada dalam putusan MK pada 2006.

Selain itu, perihal calon hakim MK harus pensiun dari parpol sekurang-kurang­nya 7 tahun, hal ini jelas merupakan bentuk krimi­nalisasi terhadap parpol itu sendiri. Banyaknya celah inilah yang kemudian di­man­faatkan 7 dosen Fa­kultas Hukum Universitas Jember (Unej) untuk meng­ajukan uji materi ke MK terkait UU Nomor 4 Tahun 2014 ini.

Ada beberapa hal yang menarik dicermati pasca gugurnya UU Nomor 4 Tahun 2014 oleh putusan MK yang dibacakan lang­sung Ketua MK, Hamdan Zoelfa ini. Pertama, keputu­san diambil dalam waktu yang relatif cepat.

Misalnya saja, bila diban­ding­kan dengan gugatan yang diajukan Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat terkait UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Per­mohonan ini membu­tuhkan waktu satu tahun lebih untuk dikabulkan oleh MK sejak diajukan per­mohonan judicial review pada Januari 2013 lalu.

Hal ini menunjukkan bahwa uji materi terkait UU Nomor 4 Tahun 2014 ten­tang Perppu Nomor 1 Ta­hun 2013 tentang MK ini mendapatkan prioritas utama dari hakim-hakim MK itu sendiri. Hakim MK jelas tidak menginginkan jika kewenangan yang dimiliki dibatasi oleh kebe­radaan UU tersebut.

Kedua, meski MK di tengarai mengalami conflic of interest ketika harus menguji UU terkait lem­baganya sendiri, fak­tanya keputusan judicial re­view kali ini diambil secara bulat oleh se­luruh hakim MK.

Ar­ti­nya, se­luruh ha­­kim MK se­pa­kat bah­wa UU terse­but memang harus se­gera digugurkan. Padahal, ber­dasarkan pada penga­laman judicial review yang terjadi sebelumnya, sering­kali terjadi perbedaan pendapat diantara hakim-hakim MK.

Ketiga, UU Nomor 4 Tahun 2014 ini ditolak secara keseluruhan oleh MK. Padahal biasanya, pasal-pasal yang masih sejalan dengan UUD 1945 masih bisa terima tanpa perlu turut dibatalkan dalam putusan judicial review.

Merujuk dari hal ini, seakan memang telah meng­isyaratkan bahwa gugurnya UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK ini hanya tinggal menunggu waktu pasca disahkan DPR pada awal Januari lalu. Dengan kata lain, MK sebenarnya telah menyiap­kan langkah-langkah antisi­pasi atas disahkannya UU tersebut.

MK jelas tidak ingin kewenangannya dikebiri oleh keberadaan undang-undang tersebut. Dengan gugurnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini, maka peluang munculnya Akil Mochtar baru dalam tubuh MK kembali terbuka lebar.

Oleh sebab itu, MK harus tetap diawasi dengan ketat dan transparan jika kita tidak ingin kecolongan untuk yang kedua kalinya. Jika hal itu sampai terjadi, bisa saja ini menjadi titik balik antipati masyarakat terhadap hukum dan apa­rat-aparat penegak hukum.

Mekanisme Pengawasan

Idealnya, setiap lembaga di negara ini memiliki mekanisme pengawasan yang jelas dan transparan, tak terkecuali MK. Bukan menjadi rahasia umum lagi jika di negara tercinta ini rawan akan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Pada tataran ini, MK harus menjadi prioritas karena peran signifikannya dalam menangani berbagai perkara yang berkaitan langsung dengan kehidupan demokrasi di negara ini. Oleh sebab itu, mau tak mau pemerintah harus mengamandemen UUD 1945 sebagai jalan untuk mem­buat mekanisme pengawa­san yang jelas, tegas, dan trasnparan terhadap MK.

Langkah ini harus ditem­ puh secepat mungkin, bila ingin martabat dan independensi MK tetap diakui oleh publik. Jika hanya berpato­kan pada UU yang ada saat ini, maka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan di MK sangat besar. 

Ar­tinya, perlu segera dila­kukan upaya tanggap ter­hadap mekanisme perekru­tan hakim MK yang trans­paran, partisipatif, akuntabel dan obyektif. Dengan begitu, diharapkan hakim-hakim yang berada di MK adalah hakim yang benar-benar berkualitas dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.

Meski begitu, agaknya amandemen terhadap UUD 1945 terkait UU MK akan sulit bila direalisasikan saat ini. Para anggota DPR saat ini, tentu lebih memilih untuk fokus memikirkan bagaimana cara agar terpilih kembali.

Beginilah realita kehidu­pan di Indonesia. Kita tidak bisa serta merta mengharapkan perubahan mekanis­me yang lebih baik. Kita hanya bisa berharap, bahwa suatu saat angota DPR bisa memilah, memilih serta memprioritaskan kepenti­ngan mana yang layak untuk didahulukan. Semoga!

KY Bukan Subordinat Kekuasaan Kehakiman

KY Bukan Subordinat Kekuasaan Kehakiman

Wiwin Suwandi  ;   Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Makassar
MEDIA INDONESIA,  19 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
PUTUSAN Mahkamah Konstistusi (MK) dalam pengujian Undang-Undang (PUU) No 4/2014 yang dibacakan pada Kamis (16/2) patut dicermati secara kritis-akademis. Menempatkan dirinya sebagai `penafsir tunggal konstitusi', MK dalam putusannya mengatakan bahwa semua pokok permohonan merupakan `jantung' atau substansi inti dari UU No 4 Tahun 2014. MK memutus mengabulkan semua permohonan. Itu artinya, UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional).
Termasuk yang diatur dalam UU tersebut, yakni pembentukan panel ahli, majelis kehormatan hakim (MKH), dan syarat tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik (parpol) bagi calon hakim konstitusi, akhirnya batal diwujudkan. Terus terang, dalam pengamatan penulis, putusan MK ini `rumit' dipahami alur logika dan interpretasi hukumnya, meskipun secara positif MK berhasil `membebaskan' dirinya dari intervensi kekuasaan lain (pemerintah/eksekutif) sebagai akibat terbitnya Perppu No 1 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Status `genting dan memaksa' itu juga tidak cukup kuat sebagai alasan keluarnya perppu karena UU MK mengatur masih bisa bersidang dengan 7 (tujuh) hakim (minimal).

Rumit, karena asas universal nemo judex in re sua yang berlaku dalam kekuasaan kehakiman, bahwa `hakim tidak boleh menilai dirinya sendiri', secara terang dilanggar oleh MK ketika memutus perppu ini (termasuk sejumlah putusan lain yang juga menyentuh langsung MK). Nemo judex in re sua adalah asas yang diterima secara universal dan sahih. Termasuk dalam aspek pengawasan. MK seakan membatasi diri untuk tidak diawasi, baik oleh elemen masyarakat sipil maupun oleh lembaga negara yang dibentuk oleh UUD ataupun UU, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY). Ini jelas menentang prinsip check and balances dalam politik kekuasaan kehakiman. Soal keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli memang mereduksi kewenangan tiga lembaga negara; Presiden (pemerintah), DPR (legislatif ), dan MA (yudikatif ), dalam pengajuan (bukan pengusulan) 3 (tiga) hakim konsitusi.Tafsir UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur kewenangan KY sampai sejauh itu. Sekali lagi, ini tafsir UUD 1945, bukan tafsir UU.

Menjaga Martabat

Meski demikian, kedudukan KY sebagai salah satu ‘pelaku’ kekuasaan kehakiman (judicial power) tidak bisa dinafi kan. KY tetap memiliki peran yang sangat signifi kan dalam politik kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menempatkan KY bersama MK dan MA dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Tafsir konstitusi tersebut memberikan peran yang sangat penting bagi KY. KY tidak bisa hanya dipandang sebagai state auxiliary organ sehingga berakibat ia dipandang inferior dan menjadi ‘subordinat’ MA dan MK dalam politik kekuasaan kehakiman.

Pertanyaan konstitusionalnya ialah mengapa UUD 1945 menempatkan KY--yang notabene sebagai auxiliary organ--ke Bab Kekuasaan Kehakiman bersama MA dan MK? Tentu penempatan ini tidak asal. Konstitusi sadar, bahwa sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman, MK dan MA, memiliki kewenangan yang sangat besar. Nah, kewenangan itu besar potensi untuk disalahgunakan jika tidak diawasi. Oleh karena itu, konstitusi ‘memerintahkan’ KY untuk melakukan fungsi pengawasan dan menjaga keluhuran dan martabat hakim, tidak hanya hakim struktural di bawah MA, tapi juga termasuk hakim konstitusi dan hakim agung sendiri.

Pengawasan tersebut berpijak pada teori ‘tidak ada kekuasaan tanpa pengawasan’. Pengawasan yang dimaksud ialah pengawasan terhadap perilaku hakim, bukan kinerja hakim dalam memutus sebuah perkara. ‘Hakim’ itu tidak bisa ditafsirkan secara rigid dan sempit hanya pada hakim pada pengadilan di bawah MA. Namun semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, harus menjadi objek pengawasan KY. Status ‘agung’ dan ‘konstitusi’ itu hanya embel-embel dalam struktur kekuasaan kehakiman yang menempatkan MK dan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi.

Seyogianya MK-MA lebih bijak menempatkan diri. Oleh konstitusi, keduanya ditempatkan dalam posisi yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir konstitusi dan UU Kekuasaan Kehakiman harus dipahami sebagai satu kesatuan, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, tanpa memandang hierarki-struktural dan tanpa embel-embel ‘hakim agung’ atau ‘hakim konstitusi’ yang lebih superior ketimbang yang lain sehingga menimbulkan arogansi dan narsisme yang berlebihan. Hakim bukan tuhan atau dewa, melainkan manusia yang punya kekurangan.

Keberadaan KY seyogianya dipandang sebagai perwujudan prinsip check and balances antarcabang kekuasaan kehakiman. Sebagaimana keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hubungannya dengan DPR dalam struktur kekuasaan legislatif. Hadirnya KY mewujudkan harmonisasi kekuasaan kehakiman agar tidak ada kekuasaan yang kebablasan, dan tidak ada kekuasaan yang melampaui batas atau disalahgunakan (abuse of power) sehingga pengawasan mutlak diperlukan.

Membatasi independensi

Menjadi aneh ketika MK menggunakan dalil `intervensi' terkait fungsi pengawasan KY ini, sementara MK sendiri tidak independen terkait mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang berasal dari pemerintah dan DPR. Karena itu, menjadi patut untuk dikritik kekuasaan yang bersumber dari pemerintah dan DPR itu. Apakah itu bukan sebuah intervensi? Itu jelas intervensi, karena teori independensi kekuasaan kehakiman itu berpijak pada 2 (dua) aspek; aspek kelembagaan dan teknis peradilan, termasuk putusan. Kewenangan pemerintah dan DPR dalam pengajuan 3 (tiga) hakim konstitusi merupakan bentuk dari intervensi itu meskipun kewenangan tersebut bersumber dari konstitusi. Jadi dengan sendirinya, konstitusi sudah membatasi status independensi hakim MK itu.

Juga, MK tidak cukup bijak saat memutus perkara ini dengan tetap melibatkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida. Padahal diketahui, SK pengangkatan Patrialis dan Maria oleh Presiden digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di PTUN Jakarta dan dimenangkan. Penulis sepakat, sebagai peradilan konstitusional (constitutional court), independensi MK perlu tetap dijaga. Hal itu tidak saja sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), tapi juga untuk menguatkan fungsi MK sebagai pengawal hak asasi manusia.

Meski demikian, hal tersebut tidak lantas membuat MK `alergi' dan membatasi diri dari pengawasan. Jangan sampai kasus Akil Mochtar terulang lagi hanya karena MK alergi untuk diawasi. Kekuasaan yang besar cenderung korup itu sudah terbukti dalam kasus Akil. Hendaknya MK memahami itu.

Korupsi Tanpa Dispensasi

Korupsi Tanpa Dispensasi

Reza Indragiri Amriel  ;   Konsultan bidang Psikologi Yudisial
pada sejumlah institusi penegakan hukum
SINAR HARAPAN,  19 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Surat Edaran Jaksa Agung (Seja) Nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 berisi petunjuk bagi para jaksa agar tidak membawa kasus korupsi dengan nilai kerugian negara kurang dari Rp 10 juta ke peradilan.

Arahan sedemikian rupa bertitik tolak dari perhitungan, ongkos yang harus dikeluarkan untuk penanganan setiap perkara jauh lebih tinggi daripada kerugian akibat korupsi tersebut. Jadi, ibarat besar pasak daripada tiang; akan sangat janggal apabila upaya mengembalikan kerugian negara justru menghasilkan beban keuangan negara yang lebih besar.

Kendati pertimbangan Jaksa Agung masuk akal, proses hukum diselenggarakan tidak sebatas pertimbangan pragmatis "berapa rupiah yang masuk dan berapa perak yang keluar".

Lebih-lebih ini untuk kejahatan luar biasa, seperti korupsi. Penindakan hukum terhadap pelaku dilakukan guna memunculkan dua ragam efek jera. Pertama, efek jera langsung agar pelaku korupsi tidak mengulangi perbuatannya. Kedua, efek jera tidak langsung supaya orang lain tidak berani mencoba melakukan tindak kejahatan lua biasa serupa.

Adanya fungsi proses hukum untuk membentuk efek jera mengarahkan perhatian ke dimensi mikro. Dimensi mikro adalah faktor psikologis yang memengaruhi terbentuknya perilaku korupsi. Dimensi yang berpusat pada diri pelaku korupsi inilah yang sangat mungkin luput dari pertimbangan Jaksa Agung saat menerbitkan surat edaran di atas.

Jadi, kebijakan agar koruptor yang berkorupsi di bawah Rp 10 juta tidak dipidana asalkan mengembalikan uang yang diambilnya, berpotensi besar gagal mengoreksi perbuatan pelaku korupsi tersebut. Pengabaian itu pula yang, seiring dikeluarkannya surat edaran tadi, dikhawatirkan tidak bisa menghentikan pemunculan “manusia-manusia tikus” berikutnya.

Korupsi merupakan perilaku yang dibentuk melalui proses belajar sosial. Seorang individu mengamati individu-individu lain yang sudah lebih dahulu menampilkan perilaku korupsi, serta memerhatikan situasi yang mendukung terjadinya aksi tersebut.

Dari sana, individu tadi membangun persepsi tentang perilaku korupsi berlandaskan perspektif moral. Individu bisa menganggap korupsi sepenuhnya salah. Bisa pula korupsi dinilai salah, namun tetap diterima (ditoleransi). Penilaian lain, korupsi adalah perilaku yang dipandang wajar sehingga diterima masyarakat.

Keinginan individu melakukan korupsi akan terbentuk dan mengalami penguatan saat, sesuai yang ia saksikan di lingkungan sosialnya, korupsi menghasilkan insentif finansial. Maraknya tindakan korupsi yang ternyata tidak dikenai risiko berupa sanksi hukum juga memperteguh niat meniru perbuatan jahat tersebut.

Ringkasnya, motivasi melakukan korupsi timbul dan semakin kokoh ketika korupsi didefinisikan individu sebagai sesuatu yang tidak salah. Kalaupun dipersepsikan salah, korupsi tetap bisa dibenarkan hingga derajat tertentu karena melihat dilakukan banyak orang tanpa hukuman.

Mekanisme belajar sosial di atas mendasari penjelasan tentang imbas yang akan berlangsung pascadikeluarkannya Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-113. Pertama, pada satu sisi korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Namun, pencantuman batasan rupiah dalam surat edaran Kejaksaan Agung justru membuka ruang toleransi, bahkan peluang berkompromi bagi penjahat koruptor tertentu.

Definisi evaluatif tentang korupsi pun tak ayal menjadi tidak sesolid yang dibayangkan. Ada ambivalensi. Terlepas dari hitungan-hitungan besar pasak daripada tiang yang dikemukakan Kejaksaan Agung, di kepala siapa pun kini dapat terbangun anggapan, pelaku korupsi tidak selalu merupakan musuh besar. Kedua, mindset yang terbentuk sedemikian rupa menghambat terealisasinya efek jera. Jadi, orang-orang tidak lagi khawatir berkorupsi dengan batas maksimal Rp 10 juta.

Korupsi kelas “sepele” akan marak. Tragisnya, itu justru “terjustifikasi” serta “terfasilitasi” kebijakan yang dikeluarkan lembaga penegakan hukum. Semakin ironis karena lembaga tersebut adalah Kejaksaan Agung, institusi yang sesungguhnya diberi mandat Bekerja dengan filosofi retributif, yakni penghukuman seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan, apalagi koruptor.

Ketiga, korupsi memunyai berbagai modus, antara lain penyuapan dan gratifikasi. Apakah Jaksa Agung juga menyertakan modus tersebut dalam surat edarannya dengan mengatur bentuk perlakuan bagi penyuap dan pemberi gratifikasi? Jika tidak diatur, jangan salahkan publik apabila kelak muncul dugaan penerima suap dan gratifikasi yang berasal dari pegawai negeri maupun penyelenggara negara seakan terlindungi jika besaran korupsi mereka tidak melebihi Rp 10 juta.

Saat yang sama, pemberi suap atau gratifikasi tetap dikenai sanksi berdasarkan aturan lain—Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi, misalnya—yang tidak memberikan toleransi apa pun bagi pemberi uang suap, maupun gratifikasi dalam jumlah berapa pun.

Keempat, aksi korupsi di bawah Rp 10 juta dapat dipastikan berlangsung di wilayah-wilayah yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat kecil dan sederhana.

Atas dasar itu, surat edaran Jaksa Agung menyimpan potensi bahaya besar karena berekses pada kian merajalelanya korupsi di lapisan masyarakat yang selama ini nyata-nyata menjadi pihak yang paling dibuat menderita akibat korupsi. Pemberian dispensasi bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara (pelayan publik) yang berkorupsi di bawah Rp 10 juta—disadari maupun tidak—menempatkan masyarakat kecil pada posisi yang semakin rentan mengalami viktimisasi.

Segenap komponen bangsa, wabil khusus otoritas penegakan hukum, kentara masih harus menyatukan spirit terkait pemberantasan korupsi. Surat edaran Jaksa Agung tersebut sewajarnya ditarik dari peredaran. Poin tentang aturan dispensasi bagi pelaku korupsi di bawah Rp 25 juta, yang tercantum pada RUU Tipikor (versi pemerintah), sepatutnya ditolak. Perang bubat terhadap korupsi sampai kapan pun! Allahu a'lam.

Penanganan Aset dan Harta Kekayaan

Penanganan Aset dan Harta Kekayaan

R Widyopramono  ;   Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus) Kejakgung
SUARA MERDEKA,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
SALAH satu instrumen internasional yang menjadi tonggak penting dan banyak memengaruhi praktik penegakan hukum, terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003. Resolusi PBB Nomor 58/4 tanggal 13 Oktober 2003 tentang Konvensi PBB mengenai antikorupsi tersebut, telah diteken oleh sedikitnya 116 negara dan banyak negara meratifikasi

Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat beradab dunia, pada 18 April 2006 telah meratifikasi UNCAC 2003, melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai negara pihak (states parties) maka kita pun wajib mengadopsi ketentuan dalam UNCAC 2003, termasuk mengimplementasikan dalam penegakan hukum.

Dalam tataran teoritik, ketentuan Pasal 54 Ayat (1) UNCAC 2003 yang mengatur tentang perampasan aset/harta kekayaan tanpa suatu putusan pidana dengan alasan tersangka/terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak dapat dihadirkan karena berbagai sebab, sesungguhnya berpijak dari doktrin Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau biasa dikenal dengan civil forfeiture.

Doktrin NCB yang berkembang dalam common law system, menungkinkan negara memperoleh aset yang berasal dari hasil kejahatan melalui mekanisme gugatan. Doktrin hukum NCB dan amanat Pasal 54 Ayat (1) Huruf c itulah, yang jadi pijakan teoritik dan normatif pengundangan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain.

Menjawab Kebutuhan

Di sisi lain, Perma Nomor 1 Tahun 2013 merupakan jawaban terhadap kebutuhan hukum, khususnya berkait penanganan perkara tipikor atau tindak pidana lain. Kelahiran Perma itu dilatarbelakangi kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan Pasal 67 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Di sisi lain, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) banyak mendapatkan laporan rekening tak bertuan dengan jumlah nominal sangat besar, dari luar negeri. Sebagai tindak lanjutnya, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Surat edaran untuk ketua Pengadilan Negeri itu antara lain menegaskan syarat pengajuan permohonan penanganan harta kekayaan berikut kelengkapannya. Hal yang terpenting dari edaran itu adalah terkait putusan hakim yang menyatakan aset/harta kekayaan yang dimohonkan sebagai aset negara harus dinyatakan dirampas untuk negara.

Setidak-tidaknya ada tiga hal pokok yang menarik dari substansi Perma Nomor 1 Tahun 2013. Ketiganya merupakan hal yang relatif baru, baik dari tataran teoritis maupun praktik penegakan hukum pidana.

Pertama; permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan penyidik.Tata cara pengajuan permohonan penentuan status harta kekayaan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2013, hampir sama dengan acara pemeriksaan singkat dalam perkara tindak pidana ringan (tipiring).

Persamaan itu terletak pada kewenangan penyidik, yang dapat langsung mengajukan ke persidangan tanpa melalui penuntut umum. Hanya dalam perkara tipiring, pengajuan berita acara pemeriksaan ke pengadilan diajukan penyidik atas kuasa penuntut umum. Adapun permohonan penanganan harta kekayaan yang dilakukan penyidik cukup memberitahukan ke Jaksa sebagaimana layaknya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Perbedaan lainnya terletak pada tidak adanya tersangka atau terdakwa dalam permohonan penanganan harta kekayaan, sementara dalam perkara tipiring yang diajukan penyidik ke siding pengadilan meliputi terdakwa beserta barang bukti, saksi ahli, dan juru bahasa. Tidak adanya tersangka atau terdakwa itulah, yang menjadi alasan pokok diajukannya permohonan penanganan harta kekayaan sehingga penyidik harus melengkapinya berita acara pencarian tersangka, berkas perkara hasil penyidikan dan berita acara penghentian sementara seluruh atau sebagian transaksi atas permintaan PPATK.

Kedua, perampasan aset tanpa tuntutan pidana. Selama ini, dalam praktik penegakan dan penuntutan perkara pidana dan penentuan status aset/harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan dilakukan sesudah atau bersamaan dengan pembuktian kesalahan atau penghukuman. Adapun Perma Nomor 1 Tahun 2013 fokus pada pemeriksaan aset/harta kekayaan, termasuk memutuskan statusnya apakah dirampas sebagai aset negara ataukah dikembalikan kepada yang berhak.

Ketiga; efektivitas proses penentuan aset/harta kekayaan. Pasal 7 Perma itu mengadopsi ketentuan Pasal 86 KUHAP. Termasuk memberikan ruang terhadap pimpinan instansi penyidik untuk mengusulkan tempat sidang, ketika karena alasan tertentu tidak memungkinkan memeriksa suatu permohonan harta kekayaan. Perma tersebut memberikan hak keleluasaan kepada penyidik untuk menentukan pengadilan negeri tertentu, ketika harta kekayaan berada di wilayah hukum beberapa pengadilan. 

Ketentuan Pasal 5 Perma itu, selain berbeda dari ketentuan Pasal 84 KUHAP, juga telah memberikan terobosan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan harta kekayaan sesuai dengan asas KUHAP.

Memahami substansi Perma Nomor 1 Tahun 2013 berikut latar belakang yang meliputi kelahirannya maka penegakan hukum pidana senantiasa berkembang sesuai dengan pemikiran dan dinamika praktik hukum di bebagai belahan dunia. Substansi hukum berasal dari dinamika pemikiran tersebut merupakan salah satu kebutuhan hukum, yang keberadaannya tidak dapat dihindarkan.

Religiositas Tan Malaka

Religiositas Tan Malaka

M Rasyid Ridha Saragih  ;   Asisten Peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute
SUARA MERDEKA,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
PUBLIK Indonesia akhir-akhir ini tengah dikagetkan oleh serangkaian tindakan yang ingin meredam semangat kebebasan pascareformasi. Di Surabaya, ada anggota ormas menghentikan acara bedah buku karya Harry A Poeze, Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.

Semarang yang diperkirakan sebagai kota majemuk nan damai, ternyata serupa. Diskusi tentang Tan Malaka yang digelar Komunitas Gerobak Hysteria, yang hendak menghadirkan pembicara yang sama dengan kegiatan di Surabaya direspons secara negatif oleh sebuah ormas yang kemudian berusaha memengaruhi aparat kepolisian untuk tidak memberikan izin.

Semarang dalam konteks sejarah, merupakan salah satu pusat pergerakan kaum kiri di Indonesia. Pergerakan mereka berbalut corak religius, dan pada 1920-an gerakan yang berkembang di Semarang adalah Sarekat Islam-Merah.

”SI Semarang dan Onderwijs” (1921) adalah salah satu tulisan Tan yang bercerita bagaimana pendidikan seharusnya diberikan kepada anak-anak. Waktu itu Tan mengusulkan revisi program SI Semarang yang seharusnya menyentuh dimensi pendidikan, karena dimensi inilah yang justru ampuh untuk melawan ketidakadilan pada masa depan.

Sebagai kota pelabuhan dan perindustrian, Semarang kala itu terkenal dengan banyak buruh industrinya, namun anak-anak mudanya miskin pendidikan dan intelektualisme. Bagi Tan, yang dibutuhkan oleh anak-anak Semarang adalah pendidikan kerakyatan, yang secara singkat terbagi dalam tiga bagian utama konsep.

Pertama; ia haruslah mengajarkan tentang pendidikan keterampilan, sebagai dasar keilmuan dalam dunia pendidikan. Kedua; pendidikan pergaulan, yang oleh Tan disebut pendidikan kecakapan berorganisasi. Model itu akan menumbuhkan sikap demokratis pada diri anak-anak. Ketiga; pendidikan yang berorientasi ke bawah, yang selalu peka pada ketertindasan rakyat.

Walaupun Tan beberapa kali mengasingkan diri, menghindari kejaran pemerintah kolonial, ia tetap berpegang pada pendiriannya untuk menciptakan negara Indonesia merdeka. Tulisannya berjudul ”Naar de Republiek Indonesia” (1924) merupakan salah satu bukti awal perancangan konsep besar Republik Indonesia, lebih awal ketimbang Soempah Pemoeda 1928.

Program Kerja

Selain menyinggung situasi perpolitikan dunia, ia juga menggagas beberapa program kerja krusial demi mewujudkan Indonesia yang merdeka, seperti dalam bidang ekonomi, militer, politik, sosial, pendidikan, hingga rencana aksi.

”Naar de Republiek Indonesia” ditulis Tan ketika masih di pengasingan, dan Moh Yamin mengakui tulisan itu layaknya Jefferson Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai, atau Rizal Bonifacio meramalkan Filipina sebelum revolusi di negara itu pecah. Itu benar-benar rancangan strategis yang tidak setengah-setengah.

Tidak berhenti sampai di situ, rancangan Tan makin dipertajamkan oleh konsep yang paling penting bagi Indonesia, yakni masalah pola pikir. ”Materialisme dialektika logika” (1943) merupakan karya magnum opus-nya sangat dipengaruhi oleh arus filsafat rasional Barat, dan dibumbui kekentalan cara berpikir sains.

Salah satu yang diupayakan Tan melalui buku ini adalah mendobrak cara berpikir masyarakat Indonesia, yang kala itu, dan kemungkinan hingga kini, masih dipengaruhi cara mistik. Dia berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara maju, dimulai dari pembaruan cara berpikir. Berpijak pada titik itu, ia meyakini Indonesia dapat memajukan aspek perkembangan sains dan teknologi.

Aspek Religiositas

Sebenarnya kita perlu mengoreksi ulang cap komunis yang terlanjur disematkan pada Tan mengingat sesungguhnya selepas 1926 ia sudah keluar dari lingkaran elite-elite komunis, baik internasional, maupun Partai Komunis Indonesia. Ia bahkan mendirikan Partai Republik Indonesia, yang makin menjadikannya dimusuhi oleh orang-orang PKI pada masa itu.

Komunisme yang oleh sebagian awam selalu diindentikkan ateisme sebenarnya tidaklah tepat, dan menjadi fatal jika dilekatkan pada Tan. Sebagai keturunan Minang yang religius, ia justru memegang teguh prinsip-prinsip agama.

Baginya, tidak ada pertentangan antara ajaran agama dan kehendak diri. Baginya, Islam adalah the way of life. Ketika ia menulis Islam dalam Tinjauan Madilog (1948), sebenarnya antara konsep pemikiran dalam Madilog dan semangat Islam adalah sama, bagaimana Islam menjunjung tinggi rasionalitas dan hukum alam (sunnatullah), namun menjunjung tinggi juga dimensi-dimensi pergerakan sosial, ekonomi, hingga politik.

Sebagaimana diakui Hamka dalam pengantar buku tersebut, Al Ustadz Tan Malaka menyebutkan bahwa Islam sejalan dan secorak dengan pergerakan sosial modern. Keteguhan  pendiriannya juga terlihat tahun 1920-an, ketika Tan menghadiri kongres komunis internasional.

Dia melontarkan pernyataan yang sama, yang berujung pada pengucilan dirinya oleh tokoh-tokoh komunis internasional.

Jadi, tidaklah tepat andai ada sekelompok orang ataupun ormas yang menuduhnya komunis-ateis atau PKI. Apalagi bila ada pihak hendak membubarkan diskusi yang membicarakan pemikiran-pemikiran Tan. Sesungguhnya tidak sesempit itu mengingat Tan adalah orang yang religius, rasionalis, dan nasionalis. 

Ketika di Semarang ada pembubaran diskusi mengenai pemikiran Tan, yang notabene kota majemuk, realitas itu justru akan mencoreng nama kota ini dalam sejarah. Selain itu, pelarangan tersebut secara eksplisit bertentangan dengan hukum, mengingat Pasal 28F UUD 1945 menyebut tiap orang berhak mendapatkan informasi, serta mendiskusikan, dan menyebarkannya.

Bangsa Darurat Membaca dan Kiamat Menulis

Bangsa Darurat Membaca dan Kiamat Menulis

Inggar Saputra  ;   Mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional
Universitas Indonesia
OKEZONENEWS,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Rendahnya budaya membaca masih menjadi persoalan pelik dalam meningkatkan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia Indonesia. Saat ini meski kampanye membaca sudah digalakkan pemerintah bersama kalangan peduli “melek aksara”, tradisi agung peradaban dunia ini masih membutuhkan gerakan massif sehingga dapat menjangkau semua kalangan masyarakat. Fakta membuktikan kuantitas buku Indonesia masih rendah di tengah semakin menggeliatnya budaya membaca dan menulis di belahan dunia lainnya.  Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius semua kalangan sehingga Indonesia tidak mengalami bencana “Darurat membaca dan kiamat menulis”.
 
Merujuk data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Indonesia hanya menerbitkan sekira 24.000 judul buku per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Ini artinya para penulis Indonesia hanya mampu menelurkan sekira 72 juta buku. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, berarti rata-rata sebuah buku di Indonesia dibaca 3-4 orang. 

Ironisnya mengacu aturan UNESCO, idealnya dalam sebuah negara satu orang membaca tujuh judul buku per tahun. Jika berpatokan standar ideal UNESCO, kita sepantasnya menyampaikan rasa duka cita mendalam atas kegagalan kampanye membaca yang digalakkan pemerintah. Adanya anggaran pendidikan 20 persen pun secara nyata tidak berkorelasi dengan membaiknya sektor pendidikan khususnya peningkatan budaya membaca di mana masyarakat masih mengalami kelangkaan produktivitas membaca dan bahan bacaan berkualitas. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan sebab berpotensi membuat bangsa Indonesia tertinggal dengan negara lain di tengah semakin massifnya budaya membaca digital yang membanjir di berbagai belahan dunia. 

Fenomena lemahnya semangat membaca tentu menjadi ancaman serius bagi eksistensi Indonesia di masa depan. Pasalnya membaca adalah salah satu cara untuk mendapatkan informasi dalam bentuk tertulis selain dengan mendengarkan dan melihat. Membaca perlu ditekankan kepada setiap individu sejak dini mengingat informasi yang paling mudah untuk diperoleh adalah melalui bacaan, baik koran, majalah tabloid, buku-buku dan lain lain. Orang yang menerapkan budaya membaca dalam hidupnya akan di penuhi oleh informasi yang up-to-date dan ilmu pengetahuan. Minimnya budaya membaca tidak dapat dianggap remeh karena besarnya rasa cinta membaca sama dengan kemajuan. Artinya, suatu tingkatan minat baca seseorang menentukan tingkat kualitas serta wawasannya. Kebiasaan membaca perlu ditingkatkan sebab mimpi melahirkan masyarakat modern dan berpengetahuan mustahil akan berhasil tanpa adanya “membaca” (Umi Ma’rufah; 2012)

Menurut Rozin (2008), budaya membaca adalah kegiatan positif rutin yang baik dilakukan untuk melatih otak untuk menyerap segala informasi yang terbaik diterima seseorang dalam kondisi dan waktu tertentu. Seseorang dianjurkan untuk membaca berbagai hal yang positif sehingga dapat terkonstruksi tindakan yang positif. Sumber bacaan bisa diperoleh dari buku, surat kabar, tabloid, internet, dan sebagainya. Luasnya sumber bacaan menandakan terbukanya ruang informasi bagi mereka yang membutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Namun meningkatkan budaya membaca dalam sebuah negara berkembang seperti Indonesia bukan perkara mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena jauhnya budaya membaca dapat dilihat dari gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka lebih senang menggenggam ponsel, mengobrol dan menonton televisi daripada membawa bacaan yang berkualitas sebagai teman dalam segala aktivitasnya. Berbeda misalnya dengan kebiasaan masyarakat Jepang yang rajin membawa buku untuk dibaca dalam setiap aktivitasnya sehingga mampu membentuk sebuah masyarakat modern yang berpengetahuan luas.

Dalam narasi kuantitatif, rendahnya budaya membaca membuktikan masih lemahnya gairah mendapatkan informasi dan pengetahuan. Jangan pernah memimpikan masyarakat Indonesia yang rajin menulis dan memproduksi bahan buku berkualitas tanpa kebiasaan membaca yang baik, teratur dan berkelanjutan. Untuk itu, penting rasanya menggalakkan kembali budaya membaca di Indonesia secara massif sehingga generasi kutu buku dan gila membaca dapat mengurangi potensi kiamat perbukuan nasional. Pertanyaannya, sejauhmana peran pemerintah dan masyarakat dalam mendorong setiap manusia Indonesia mencurahkan waktunya untuk membaca buku di tengah kepadatan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?

Dalam analisis penulis, teradapat empat faktor fundamental mengapa masyarakat Indonesia belum mampu tergerak untuk menyentuh buku sebagai makanan sehari-hari. Pertama mahalnya harga kertas sehingga membuat harga buku menjadi mahal. Kondisi ini sangat disayangkan sebab bahan baku utama dalam pembuatan buku cetak adalah kertas. Ketika harga kertas mahal tentunya berdampak kepada harga buku sehingga gagal mendorong tradisi membaca sebagai bagian dari gaya hidup. Untuk itu, pemerintah perlu menyediakan subsidi yang besar agar biaya produksi buku menjadi murah dan mudah, sehingga dapat dijual dengan harga murah dan terjangkau oleh masyarakat luas.

Kedua, lemahnya institusi pendidikan dalam mentradisikan pembudayaan membaca sejak dini. Budayawan Taufik Ismail (2014) menyindir gejala ini dengan membandingkan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia era penjajahan Belanda dengan zaman sekarang. Dalam pandangannya ketika  masa penjajahan Belanda, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 judul karya sastra setahun. Siswa AMS wajib membuat 1 karangan per minggu, 18 karangan per semester atau 36 karangan per tahun. Maka, selayaknya pemerintah dan institusi pendidikan harus mewajibkan tradisi membaca karya sastra kepada para siswa sebagai stimulus sehingga terbentuk budaya kritis-transformatif, aktif dan kaya akan pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Ketiga, masih kurangnya intervensi negara dalam mempromosikan budaya membaca. Selama ini kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat cenderung samar-samar sehingga gagal mendorong budaya membaca masyarakat Indonesia. Porsi 20 persen anggaran negara untuk pendidikan belum mampu menyentuh kalangan tidak terdidik dan termaginalkan untuk mendapatkan hak pengetahuannya sehingga jadilah mereka menambah catatan merah angka buta aksara di Indonesia. Dalam mengintervensi itu, pemerintah selayaknya dapat memaksimalkan anggaran untuk memproduksi buku murah dan berkualitas yang didistribusikan ke seluruh Indonesia. Dalam merealisasikan gagasan ini, pemerintah hanya menyiapkan dalam bentuk digital, sedangkan proses cetak dan distribusi diserahkan kepada pemerintah sehingga penyaluran buku tepat sasaran. 

Keempat, miskinnya keteladanan budaya membaca dari kalangan
public figur sehingga budaya membaca belum mengakar kuat di kalangan masyarakat Indonesia secara umumnya. Selama ini para politisi, artis dan professional di Indonesia terlalu asyik bermain dengan ruangnya sendiri dan cenderung gagal menampilkan keteladanan yang baik. Padahal seorang publik figur memiliki pengikut yang banyak dan segala tindakannya mudah ditiru masyarakat. Maka, sudah waktunya dijalin kemitraan strategis antara negara dan para public figur untuk mengampanyekan budaya membaca sehingga gerakan membaca dapat berkembang secara massif dan maksimal dalam segala lini kehidupan masyarakat Indonesia.

Akhirnya meminjam perkataan Yasraf Amir Pilliang
disebabkan menulis itu seperti orang merawat tubuh, dan membaca adalah gizi dari tulisan, maka membaca itu harus dibuatkan rumah yang nyaman. Perlu diciptakan ruang-waktu untuk aktivitas membaca. Bila ruang-waktu untuk membaca itu terbatas akibat berbagai kesibukan (struktural akademis) maka harus diciptakan ruang-waktu tersebut. Diperlukan ruang (rumah, lapangan, kantor) untuk membaca dan diperlukan waktu (istirahat, pagi, malam) untuk melakukannya. Dengan perkataan lain, perlu ditumbuhkan budaya membaca. Membaca tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, melainkan kebutuhan, dengan memberinya ruang-waktu yang memadai, yang kalau tidak diadakan akan mengakibatkan kondisi lapar pengetahuan.

Sampah, Abu Erupsi, dan Entrepreneurial

Sampah, Abu Erupsi, dan Entrepreneurial

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO,  20 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Ditemani secangkir kopi yang mengepul, saya membuka Twitter. Seorang teman mem-posting pesan ini, ”Jalan Cililitan ke arah Cawang macet. Ada truk sampah mogok. ” Aha, lagi-lagi sampah jadi masalah. Kali ini bukan sampahnya, tetapi truknya, sama seperti Bus Transjakarta yang semakin sering mogok belakangan ini. 

Soal truk mogok tadi tentu menambah daftar masalah yang membuat pening: mau dibuang ke mana 6.500 ton sampah yang setiap hari dihasilkan warga DKI? Kepada saya, Ahok pernah mengungkapkan kekesalannya, “TPA di Bekasi itu tanah DKI, tapi setiap kali buang, pemda harus bayar.” Pantaslah Wagub berang, lawannya bukan warga biasa, tetapi mafia yang bertameng warga. Kalau Anda jadi pengembang permukiman, Anda pasti paham, setiap kali mau membangun, selalu saja ada ribuan penghuni baru yang tiba-tiba datang dalam semalam, lengkap dengan pembuat rumah bedengnya. 

Anda barangkali sulit membayangkan berapa banyak 6.500 ton sampah itu. Supaya mudah, bayangkan saja sebuah lapangan sepak bola. Nah, volume sampah di DKI yang tidak dicacah sebelum dikirim ke TPA itu setiap harinya setara dengan empat kali lapangan sepak bola, tingginya sekitar satu meter. Atau kalau Anda pernah ke Candi Borobudur, volume sampah warga DKI per hari adalah setengah dari ukuran candi tersebut. Dalam lima tahun ke depan diperkirakan volumenya akan menjadi 8.000 ton per hari dan semakin hari semakin banyak sampah nonorganiknya. 

Selama ini Pemprov DKI selalu membuang sampahnya ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantargebang, Bekasi. Untuk mengangkut, Jakarta membutuhkan sekitar 700 truk. Celakanya, sampai saat ini truk yang layak operasi baru 104 unit. Jadi masih kurang hampir 600 unit. Untuk mengatasinya, Pemprov DKI mau membeli truk-truk, tapi konon anggarannya dianulir aparat sendiri. Untung ada swasta yang peduli, DKI dihibahi dana CSR buat beli truk. Tapi, itu belum menyelesaikan masalah. 

Masih kurang. Selain sering mogok, kemacetan gila membuat truk tidak bisa beroperasi bolak-balik seperti dulu. Akibatnya sampah busuk menumpuk. Saya hitung, dengan cara seperti ini, kalau warga maunya sampah diangkut dari rumah masing-masing, bukan buang didumpsterseperti di luar negeri, paling hanya satu RT yang bisa diangkut dalam sehari. Apa yang mesti dilakukan para gubernur atau wali kota? 

Entrepreneurial Government 

Seingat saya, negeri ini sudah punya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. PP ini adalah peraturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Intinya sampah harus diolah, tidak boleh lagi dibuang begitu saja. Nahkalau UU dan PP itu mau dijalankan, sebenarnya pemerintah daerah tak perlu bekerja sendiri. Pemkot tinggal pencet tombol kewirausahaan warga yang dibingkai dalam entrepreneurial government. 

Seperti apa itu? Ada banyak ciri, tapi saya ingin menekankan empat hal. Pertama, pemerintahan melakukan perubahan dengan change management, bukan asal perubahan. Artinya perubahan itu dikelola, diaspirasikan, dievaluasi, warganya dibuat melek, lalu ikut dengan sendirinya. Ada agen-agen perubahan yang dijadikan role model dan mereka secara sukarela menularkan virus perubahan karena melihat benefitnya lebih besar daripada biayanya. Kedua, pemerintah melihat setiap masalah adalah peluang. 

Di DKI Jakarta, sekarang warganya betul-betul merasa terganggu dengan tumpukan sampah di kawasan huniannya. Ini sebetulnya bisa menjadi momentum yang ampuh untuk mengajak warganya terlibat dalam pengelolaan sampah. Misalnya, dengan mulai memilah mana sampah basah dan mana sampah kering dan menempatkannya dalam kantong-kantong plastik yang terpisah. Dalam kondisi biasa, saya sudah mencoba berkali-kali dan tahukah Anda, sulitnya minta ampun. 

Kini, semua warga sudah merasa sangat terganggu dan kalau yang mengajak tokoh seperti Jokowi dan Ahok, ajakan ikut terlibat dalam pengelolaan sampah mungkin tak sesulit dulu lagi. Semua sama-sama melihat dan merasakan bahwa masalahnya ada di depan mata mereka. Ketiga, pemerintahan yang menawarkan solusi. Di Bandung, untuk mengatasi masalah sampah, dibangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage. Dari 500–700 ton sampah, saya dengar bisa dihasilkan listrik setara 7 megawatt. 

Lalu, abu hasil bakaran sampah pun masih bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan batu bata. Memang PLTSa Gedebage masih menyisakan beberapa masalah. Misalnya polusi karena cerobong asapnya hanya setinggi 35 meter dan menghadap ke permukiman warga. Singapura juga memiliki fasilitas serupa, hanya saja cerobong asapnya mencapai 70 meter dan terarah ke laut. Jadi, relatif tidak mengganggu. Rasanya Pemprov DKI bisa meniru PLTSa ala Singapura dengan mengarahkan cerobongnya ke laut. 

Ciri entrepreneurial government yang keempat adalah dalam menyelesaikan setiap permasalahan, mereka selaku berkolaborasi dengan banyak entrepreneur lokal. Bukan menanganinya sendirian. Ini artinya pemprov atau pemkot bisa mencetak banyak wirausaha sampah. Bisnis sampah itu rumit karena sering diganggu aparat dan warga sendiri yang mata duitan. Izinnya selalu dipertanyakan, demikian juga warga yang pura-pura terganggu oleh baunya. Padahal sekarang ada banyak cara mengusir bau asalkan sampahnya diolah di tempat dan langsung diolah pada hari yang sama. 

Bayangkan sampah-sampah itu bisa dibuat lebih ringkas karena dicacah. Komposnya bisa dikomersialkan, lalu plastiknya bisa dikembalikan jadi minyak bakar dan bahan-bahan recycle-nya banyak sekali. Biomassanya pun bisa dijadikan pendamping batubara untuk pabrik-pabrik tertentu, mulai dari pabrik semen sampai lio-lio pembuat batu bata. Kelak, kalau daerah-daerah bisa dipaksa untuk mengirim bahan-bahan pangan yang sudah diolah dan dibersihkan di daerah keberangkatan sebelum masuk ke DKI, bahan-bahan anorganik akan semakin banyak dan itu ada nilai ekonomisnya. 

Abu Gunung Kelud 

Kamis, 13 Februari 2014 pukul 22.50 WIB, Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur, meletus. Letusan itu memicu terjadinya hujan abu, pasir, dan kerikil. Abu Gunung Kelud bahkan dibawa angin ke arah barat, menyebar sampai Solo, Yogyakarta, dan bahkan sebagian wilayah di Jawa Barat. Beberapa hari pascaletusan, kita semua menyaksikan betapa sibuknya warga membersihkan abu dari rumah dan dari jalan-jalan. Saya miris menyaksikan mereka menyemprot abu itu dan mengalirkannya melalui selokan-selokan. 

Abu itu larut begitu saja bersama air lalu menjadi sedimen yang mendangkalkan sungai. Padahal, abu vulkanik tersebut mempunyai manfaat meningkatkan kesuburan tanah. Jika dikombinasi dengan pupuk organik, abu vulkanik tersebut bisa menjadi pupuk yang kaya mineral. Abu vulkanik biasanya juga kaya silika sehingga sangat baik dijadikan bahan baku beton atau campuran bahan bangunan lainnya. Kita pernah mengalami letusan Gunung Galunggung. Anda tahu, ketika itu pasir dari Gunung Galunggung laku dijual seharga Rp 900.000 per truk. 

Padahal, pasir biasa yang berkualitas bagus pun hanya laku dijual Rp500.000 per truk. Kalau saja pemerintah-pemerintah kita memiliki karakter entrepreneurship, mereka akan lebih gesit mengajak warganya melihat peluang dari musibah erupsi. Itu bisa kalau pemerintahnya begitu dan media TV tidak lagi mendendangkan ratapan kesedihan dengan mempertanyakan bantuan melulu. Bukankah selalu ada hikmah di balik musibah?