Kamis, 26 April 2012

Etika dan Ilmu Pengetahuan


A.    Latar Belakang.
Ilmu Pengetahuan (science) adalah seperangkat pengetahuan tentang suatu obyek yang tersusun secara sistematis dengan mempertanggung jawabkan obyeknya ialah dengan menunjukkan sebab-sebab terdalam. Ciri-ciri ilmu pengetahuan adalah universal,abstrak, pemikiran dan teori. Ilmu pengetahuan merupakan hasil cipta, karya, karsa manusia, manusia adalah mahluk pribadi yang memiliki jasmani dan rohani, memiliki kelebihan-kelebihan di bandingkan mahluk lainnya, hanya pada diri manusialah proses terjadinya pengertian menjadi Ilmu pengetahuan. Pada dasarnya manusia berpikir mengenai manusia dengan mencari keseimbangan yang sulit, yang di satu sisi ilmu itu terikat oleh nilai-nilai sosial dan agama (Etika) yang berhaluan dengan spiritualistis merupakan saksi-saksi sejarah. Nilai-nilai itu merupakan buah dari keseimbangan dan ketidak seimbangan berfikir.[1]
Eksestensi Etika yang berlandaskan pada nilai agama, di yakini akan membawa pemeluknya dalam hidup dan sistem kehidupan yang mencakup segala aspek kehidupan menuju kehidupan yang lebih baik, tertib dan berkualitas. Pendekatan dalam pengkajian ilmu pengetahuan dengan menempatkan etika sebagai landasan ilmu pengetahuan, bukan etika sebagai ilmu pengetahuan semata sehingga pengkaji ‘Etika” di sebutnya Science sesuai dengan kehidupan pokok  etikalog bagi pemeluknya.
            Eksistensi Ilmu Pengetahuan bagi etika berfungsi sebagai fondasi, pengokohan, dan penguat agama bagi pemeluknya, karena dengan ilmu pengetahua mampu mengungkap rahasia-rahasia alam semesta dan seisinya sehingga akan menambah keyakinan kalau manusia mempunyai hubungan dengan mikrosomos dan makrosomos. Lebih lanjut akan mendapatkan kehidupan yang bahagia,sejahtra, damai dan makmur[2].
Dengan ungkapan etika dan Ilmu pengetahuan bagi manusia akan memperkokoh dan memperkuat hubungan mikrosomos dan makrosomos. Hubungan etika dan ilmu pengetahuan bagaikan dua sisi mata uang tidak bisa di pisah-pisahkan. Di samping itu apabila di kaji secara fitrah, etika manusia dan ilmu pengetahuan  pada hakikatnya berasal dari agama dan agama berasal dari tuhan. Sebagai tantangan era global ini bagaimana mengintegrasikan etika dan ilmu pengetahuan bagi kita semua sehingga terwujud hubungan sinergis, sistematis dan fungsional bagi keduanya. Etika tidak menjauhkan ilmu pengetahua, dan demikian juga ilmu pengetahuan tidak meninggalkan etika, tetapi ilmuan yang beretika, dan beretika dengan ilmu[3].
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal tersebut maka rumusan permasalan yang muncul dalam makalah ini sebagai berikut :

1.Apakah pengertian etika dan ilmu pengetahuan ?.
2.Bagaimana implementasi ajaran etika dalam ilmu pengetahuan di tengah masyarakat beragama dan berpengetahuan tinnggi ?.
3. Bagaimana pengaruh etika terhadap ilmu pengetahuan ?.
                                                                                    

A.    ETIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
1.       Pengertian Etika dan Ilmu Pengetahuan.
         Etika berasal dari kata Yunani ethikos, ethos yang berarti adab, kebiasaaan atau praktek. Aristoteles menganggap bahwa etika mencakup ide, karakter dan disposisi (kecondongan). Tujuan kehidupan bagi Aristoteles adalah kebahagiaan atau eudaimonia (kesejahteraan, kesentosaan). Cicero (106-43 SM) memperkenalkan kata moralis ekiuvalen dengan kata ethikos yang diungkapkan Aristoteles. Dalam bahasa Indonesia etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlaq (moral).
Etika secara terminologis adalah cabang filasafat yang mempelajari perbuatan atau tingkah laku dan nilai moral (baik dan buruk) manusia. Perbuatan yang dapat dinilai baik buruknya adalah tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, yang dilakukan dengan kesadaran. Dalam banyak pemakaian, istilah etika merupakan sinonim “moral”. Moral berasal dari kata latin moralis-mos, moris yang artinya adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku atau mores yang berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup. Dalam bahasa Indonesia moral berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban). Ada perbedaan tentang etika dan moral dalam penilaian sehari-hari. Moral atau moralis dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Menurut kamus new Collegiate Webster, definisi ilmu adalah pengetahuan yang dicapai melalui studi/ praktek, “atau” pengetahuan yang meliputi kebenaran umum, pengoperasian hokum umum, dll. Diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah dan berhubungan dengan dunia fisik. Ilmu mengacu pada system memperoleh pengetahuan dengan menggunakan oberservasi dan eksperimentasi untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena alam[4].   

2. Ilmu Pengetahuan dalam ajaran etika.
            Manusia adalah mahluk ciptaan tuhan yang paling sempurna, mulia,karena di karunia oleh Allah SWT akal, perasaan dan kehendak. Menurut abdul kadir Muhammad, akal adalah alat berfikir sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan akal manusia menilai mana yang benar dan yang salah, sebagai nilai kebenaran. Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan sebagai sumber seni. Dengan perasaan manusia menilai mana yang indah (estetika), dan yang jelek. Kehendak adalah alat untuk menyatakan penilaian, sebagai kebaikan. Dengan kehendak, manusia menilai mana yang baik dan mana yang buruk, sebagai moral.
            Kesadaran manusia tentang kebenaran di maknai dengan sesuatu yang indah, yang menyenangkan, yang menentramkan, dan membahagiakan, sedangkan kesadaran manusia tentang sesuatu yang salah adalah sesuatu yang jelek,buruk,menyengsarakan dan membosankan. Begitu banyak  realitas kehidupan yang begitu ironis. Ilmuan menyombongkan hasil karyanya dan menganggap karyanya sebagai kehendaknya sendiri tanpa ada sentuhan tuhan maupun agama di dalam usahanya. Pemuka agama memberikan doktrin akan indahnya surga dan menyalahkan Ilmu pengetahuan umum dalam kehidupan beragam. Keduanya berjalan pada relnya masing-masing dengan senyum dan sinis di antara keduanya.
            Ilmu pengetahuan adalah buah karya manusia yang memiliki sifat dan makna yang sangat multi dimensi, dalam perkembangannya selalu berintikan nilai tentang kebenaran. Hal ini di pengaruhi oleh keberadaan manusia sebagai mahluk yang kompleks yang tidak sederhana adanya. Manusia itu mahluk yang misteri, yang selalu menarik, tidak ada habis-habisnya di bicarakan. Seperti aristoteles mengatakan manusia menurut kodrat ingin mengetahui dan tidak pernah merasa puas.[5]
            Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Dalam pandangan etika, ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai ketuhanan mendasar berdasrkan kepada kebenaran. Dalam ajaran etika dan ilmu pengetahuan secara filosofis atau idealnya ilmu pengetahuan nilai-nilai etika, karena etika membicarakan masalah tingkah laku dan perbuatan manusia, dalam hubungan baik buruk, yang dapat di nilai baik dan buruk adalah sikap manusia yang menyangkut sebuah gerakan, perbuatan dan perkataan. Dan menjadi catatan bahwa dalam ilmu pengetahuan perlu di terapkan nilai-nilai etika sebagai roh ilmu pengetahuan, sehingga menjadi pegangan bagi ilmu pengetahuan untuk mencapai kebenaran.
            Dari uraian di atas jelas bahwa Ilmu pengetahuan dalam ajaran etika merupakan satu rangkaian abadi yang tidak dapat di pisahkan. Menurut Sahrawardi K.Lubis menyatakan dalam bahasa agama etika berarti bagian dari ahlak karena ahlak  bukanlah sekedar hal yang menyangkut perilaku manusia yang bersifat bathin yang di motori oleh hati nurani. Akan lebih sempurna, jika ilmu yang di laksanakan dengan pertimbangan etika di perkuat dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan. Karena kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran ilmu yang temporal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran obsolut. Ibarat pepatah: “science without relegions blind, relegion without science is lame, yang berarti ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu akan lumpuh.
3.Pengaruh Ajaran Etika terhadap Ilmu Pengetahuan.
            Menurut aristoteles tujuan manusia adalah kebahagiaan, yang dapat dicapai dengan cara memandang yang Ilahi. Namun, pemikiran filsuf tidak dapat memuaskan manusia secara sempurna. Satu-satunya pemandangan yang memuaskan sepenuhnya adalah pemandangan Nilai Tertinggi dan Abadi. Dalam mencapai tujuan hidup tersebut manusia selalu di dasarkan pada akal budinya, terarah pada realitas yang terbatas, sehingga manusia akan mencapai kepuasan apabila telah sampai nilai tertinggi yaitu tuhan, sehingga tujuan terakhir adalah tuhan. Adapun pengaruh ajaran etika terhadap ilmu pengetahuan adalah[6]:
1)      Adanya rasa cinta.
      Rasa cinta sebagaimana menurut pendapat Ibnu arabi adalah, asal wujud-wujud, tidak ada gerakan dalam alam kecuali cinta. Cinta adalah perangkul dan penyambung, tidak hanya antara laki-laki dan perempuan, tetapijuga manusia dengan alam, dan manusia dengan penciptanya. Para filsuf mengatakan cinta adalah keinginan untuk merangkul realitas dan menguasai jaman. Dengan cinta manusia mengerti dimensinya yang tidak terbatas, dengan perantara wujud menyatu, tersusun dan seirama. Cinta merupakan salah satu bentuk potensi dari etika jika di lakukan denga tulus ikhlas tanpa ada niat negative, cinta membentuk manusia menghormati, menghargai, dan menyayangi antar manusia.
2)      Adanya pemikiran yang sistematis.
      Etika adalah  pemikiran yang sistematis tentang ilmu pengetahuan, yang di hasilkan oleh secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang mendasar dan kritis. Etika tidak dapat menggantikan agama dan tidak bisa bertentangan dengan agama bahkan etika sangat di perlukan oleh agama.
3)      Mencegah egoisme.
      Etika sangat di butuhkan dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak dapat hidup tanpanya, karena etika berpikir selalu berusa mencari mana yang benra dan mana yang salah. Menurtu Jenny Teichman “ egoisme di anggap sebagai teori mengenai kodrat manusia yakni teori yang menyatakan bahwa setiap manusia selalu di gerakkan oleh motivasi cinta diri dan tindakan-tindakan yang tampaknya tidak untuk cinta diri sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan cinta diri secara sendiri”. Dari pandangan tersebut jelas bahwa sikap egois cendrung mencari keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan kepentinagan orang kain. Egoisme adalah sifat keakuan dan tidak mengindahkan nilai kebersamaan dan memandang rendah orang lain.
4)      Berfikir Bijaksana.
      Socrates menjelaskan kebijaksanaan yaitu sama nilainya dengan pengetahuan, karena tindakan yang bijaksana tidak mungkin timbul dari orang yang bodoh. Karena kebijakan itu di jiwai oleh sifat wisdow, di sebabkan karena kebajikan itu inti dari kebijaksanaan, kejujuran.
5)      Bertanggung Jawab.
      Eksistensi manusia didunia menurut aliran materealisme adalah bahwa manusia itu merupakan hasil dari proses dan daya seperti hanya barang-barang, benda-benda. Aliran ini merumuskan satu visi berharga yang berusaha mempertanggung jawabkansuatu kenyataan yang tidak boleh di abaikan[7].


4. Hubungan etika dengan ilmu pengetahuan
Tidak jarang kita menemukan pernyataan yang mengillustrasikan erat kaitan antara ilmu dan etika, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang ilmuwan terdapat pada keindahan etikanya. Abu Zakaritta al-anbari berkata: ilmu tanpa etika bagaikan api tanpa kayu bakar, dan etika tanpa ilmu adalah seperti jiwa tanpa badan. Etika adalah sebuah Ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Bagaimana bila harus hidup, bukanlah etika melainkan ajaran moral. Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang di harapkan dapat meminimalkan dan menghintakan penyimpangan dan kejahatan di kalangan masyarakat. Di samping itu, Ilmu dan etika di harapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di masyarakat agar dapat menjadi cendikiawan yang memiliki moral dan ahlak yang baik/mulia.
   Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja di buat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat di butuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang logika-rasional umum (common sense) di nilai menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan[8].
B.     KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan dalam ajaran etika merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan hal ini bermakna ilmu pengetahuan bermakna ilmu pengetahuan mengandung nilai-nilai etika atau ethis yaitu nilai tentang baik dan buruk atau benar dan salah tentang objek yang berada dalam ruang lingkup manusia. Dalam ajaran etika Ilmu pengetahuan dapat di pertahankan denga etika. Etika berfungsi sebagai rambu-rambu prilaku, sehingga pemaknaan ilmu pengetahuan begitu indah dan damai untuk mewujudkan kesempurnaan dan bertanggung jawab. Pengaruh etika dapat di rasakan dalam ilmu pengetahuan dengan adanya rasa cinta, adanya pemikiran yang sistematis, mencegah egois, berpikir bijaksana dan bertanggung jawab.

        
Daftar pustaka
Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008.
Abdullah, M. Amin. “Relevansi Studi agama-agama dalam millennium ketiga: Mempertimbangkan kembeli metodologi dan filsafat keilmuan agama dalam upaaya memecahkan persoalan keagamaan kontemporer, Jurnal Ulumul qur’an No.5/VII/97 Jakarta: Cipta Prima Budaya,1997.
Ermi Suhasti. Pengantar Filsafat Ilmu. 2012. Yogyakarta: Prajnya Media.
Maksudin, (Pradigma Ilmu Pengetahuan nondikotomik (persfektif filsafat ilmu) Makalah disksusi ilmiah dosen tetap UIN sunan kalijaga Tahun ke-32,2011 Tanggal 6 januari 2012.
Suryani Any, Relegiousitas sains dalam ajaran etika  dan moral, malang:Brawijaya Press,2010.
Surajiyo, Ilmu filsafat suatu pengantar, Jakarta: Bumi aksara,2005.
Sutoyo DKK, Religiusitas Sains, Meretas jalan menuju peradaban zaman,Malang: Brawijaya Press,2010.


[1] Suryani Any, Relegiousitas sains dalam ajaran etika  dan moral, malang:Brawijaya Press,2010,hal.240.
[2] Maksudin, (Pradigma Ilmu Pengetahuan nondikotomik (persfektif filsafat ilmu) Makalah disksusi ilmiah dosen tetap UIN sunan kalijaga Tahun ke-32,2011 Tanggal 6 januari 2012.
[3] Abdullah, M. Amin. “Relevansi Studi agama-agama dalam millennium ketiga: Mempertimbangkan kembeli metodologi dan filsafat keilmuan agama dalam upaaya memecahkan persoalan keagamaan kontemporer, Jurnal Ulumul qur’an No.5/VII/97 Jakarta: Cipta Prima Budaya,1997.
[4] Ermi Suhasti. Pengantar Filsafat Ilmu. 2012. (Yogyakarta: Prajnya Media) hal. 97 s.d 98
[5] Surajiyo, Ilmu filsafat suatu pengantar, Jakarta: Bumi aksara,2005.
[6] Sutoyo DKK, Religiusitas Sains, Meretas jalan menuju peradaban zaman,Malang: Brawijaya Press,2010,Hal 247.
[7] Suryani Any, Relegiousitas sains dalam ajaran etika  dan moral, malang:Brawijaya Press,2010,hal.240.
[8] Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008. Hal.1-5.

2 komentar: