Kamis, 26 April 2012

ETIKA ILMU DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA


ETIKA ILMU DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA[1]
Oleh: abdul Qodir Jaelani[2]
1.      PENDAHULUAN
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian jelimet dan mendalam tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal. Handal dalam arti bahwa system  dan struktur ilmu dapat di pertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena itu pula ia terbuka untuk di uji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik  yang penuh dengan semantik dan nilai sastra yang perlu di interpretasi secara kritis, rasional,logis,objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan setelah dia membangun suatu bangunan yang kokoh kuat. Masalahnya adalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. tentang peran etika dalam membawa perubahan yang sangat besar .
Keyword: Etika,Semantik, Sastra, karekteristik,logis dan obyektif.
2.   Identifikasi Masalah
Untuk memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentang peran etika dalam membawa perubahan yang sangat besar maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain :
a)      Sejarah etika ilmu.
b)      Hubungan antara etika ilmu dengan semantic sastra.
c)      Sikap ilmiah dalam kajian semantik.
Dengan adanya identifikasi masalah di atas maka muncullah pertanyaan yang akan di munculkan sebelum di bahas lebih jauh.
1)      Bagaimana sejarah perkembangan etika ilmu. ?
2)      Mungkinkah, ilmu yang kokoh, kuat dapat menjadi penyelamat bagi manusia atau sebaliknya. ?
3)      Bagaimana Hubungan antara etika ilmu dengan semantic sastra.


   


3.       SEJARAH ETIKA ILMU
     Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan karekter,kebiasaan, kecendrungan . dan dalam bahasa Yunani kuno di kenal dengan ethos, yang mempunyai arti tempat tinggal[3]. Kata etika (adab) di kenal dalam bahasa arab sejak pra-Islam. Pemaknaannya berkembang seiring evolusi kultural  bangsa Arab. Kata ini di pahami secara bervariasi dari zaman ke zaman dan dari konteks ke konteks yang lain.
     Pemaknaan tertua dari kata adab mengimplikasikan suatu kebiasaan. Suatu norma tingkah laku praktis, dengan konotasi ganda yaitu: pertama. Nilai tersebut di pandang terpuji; dan kedua, nilai tersebut di wariskan dari generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian etika, unsur utama etika adalah muatan nilai baik dan kelanggengan melalui pewarisan antar generasi. Sesuai sifat dasarnya, etika pra-Islam terkait realitas kesukuan sebagai basis social masyarakat Arab. Dalam kasus bangsa arab, misalnya, terdapat sejumlah nilai yang di pandang terpuji, seperti kejujuran, harga diri, dan keberanian.
     Seiring datangnya Islam. Etika mengalami perkembangan muatan yang sejalan dengan nilai-nilai yang di bawa islam. Perkembangan ini bias mengambil bentuk pengenalan nilai baru sebagai bawaan agama baru atau bias pula merupakan pengesahan terhadap nilai-nilai bangsa arab. Nilai lama dapat di akomodir karena sejalan dengan islam. Di bidang pendidikan kata adab secara spesifik  di gunakan dalam dua makna. Pertama, adab di maknai sebagai tingkah laku anak-anak sehingga memiliki etika dan tingkah laku yang baik. Kedua, di pahami dalam lingkup pendidikan  orang dewasa. Dalam lingkup ini, adab bermakna aturan tingkah laku praktis yang di pandang menentukan kesempurnaan kualitas proses pendidikan.
     The American Heritage dictionary, memberi makna etika adalah aturan-aturan mengendalikan tindakan anggota sebuah profesi tersebut. Pesatnya perkembangan peradaban islam mendorong munculnya rumusan etika yang secara spesifik di pandang berlaku pada profesi atau aktivitas tertentu dengan ruang lingkup lebih luas ketimbang profesi pendidikan. Seperti zaman abbasiyah rumusan etika di kenal dengan etika bagi sekretaris (adab al-katib), pemberi fatwa hokum (adab al-mufti)[4].




HUBUNGAN ANTARA ETIKA ILMU DAN SEMANTIK SASTRA.
Semantik (semantics) adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Mak­na yang diteliti oleh semantik itu adalah mak­na bebas konteks. Mak­na itu ada yang bersifat leksikal dan ada yang gramatikal.
     Bahan penelitian semantik adalah semua satuan lingual bermak­na, seperti wacana, kalimat, frasa, kata, dan morfem. Objek sasarannya adalah makna satuan-satuan lingual itu.
     Dalam semantik dikenal konsep makna, informasi, dan maksud. Ketiga konsep itu berbeda satu sama lain. Makna (meaning) adalah sesuatu yang berada di dalam ujaran atau gejala dalam-ujaran. Informasi (information) adalah sesuatu yang luar-ujaran di pihak objek kenyataan yang dibicarakan. Maksud (sense) adalah sesuatu yang luar-ujaran di pihak maksud si pengujar sendiri.[5]
     Tidak jarang kita menemukan pernyataan  yang mengillustrasikan erat kaitan antara etika ilmu dan semantik sastra, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang ilmuwan terdapat pada keindahan etikanya bahasa serta nilai sastra yang penuh dengan  estetika. Abu Zakaritta al-anbari berkata: ilmu tanpa etika bagaikan api tanpa kayu bakar, dan etika tanpa ilmu adalah seperti jiwa tanpa badan. Etika adalah sebuah Ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama, ilmu mempunyai hubungan yang erat antara etika ilmu yang tercermin dalam atau menggambarkan keindahan nilai etika . Bagaimana bila harus hidup, bukanlah etika melainkan ajaran moral. Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang di harapkan dapat meminimalkan dan menghintakan penyimpangan dan kejahatan di kalangan masyarakat. Di samping itu, Ilmu dan etika di harapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di masyarakat agar dapat menjadi cendikiawan yang memiliki moral dan ahlak yang baik/mulia[6].
     Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya yang tercermin dalam semantic sastra bahasa yang di gunakan. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk ucapan ataupun aturan tertulis yang secara sistematik sengaja di buat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat di butuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang logika-rasional serta nilai semantik umum (common sense) di nilai menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yang penuh dengan nilai semantik yakni kegunaan universal  yang perlu di intrepetasi hubungan antara kata dengan prase dan prase dengan kalimat dan kalimat dengan pragmatic dan pragmatic denga wacana bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan.
1.    SIKAP ILMIAH DALAM PANDANGAN SEMANTIK SASTRA
     Ilmu sebagai usaha ilmiah di bagi menjadi beberapa cabang menurut lingkup bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu di bagi menjadi dua kelompok bahasan yaitu kelompok ilmu teoritis dan praktis. Keelompok teoritis mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok praktis membahas bagaimana manusia bersikap terhadaap apa yang ada tersebut. etika termasuk kelompok ilmu praktis dan di bagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. masalah mendasar bagi etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidang tertentu, dan bidang itu perlu di tata agar mampu menunjang  pencapaian kebaikan hidup manusia sebagai manusia. Menurut Magnis Suseno (1987), etika khusus di bagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika social yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas masalah kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika social membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyrakat atau umat manusia. Dalam masalah ini etika individual tidak bisa di lepaskan dari etika individu social karena kewajiban terhadap diri sendiri, dan sebagai anggota masyarakat yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Dewasa ini etika tersebut harus di pahami dan di maknai sebagai upaya pencerahan terhadap individual dan  masyarakat sebagai kekuatan yang sangat bersinergis. Sinergitas keduanya pada gilirannya membangun peradaban baru yang lebih komunitas dan bermartabat. Di sinilah pencitraan etos keilmuan harus di bangun dalam kerangka etika dan ilmu tanpa mendikotomikan keduanya. Kita juga tidak boleh menempatkan kesalahan yang sama dengan menempatkan knowlegde is power  yang melahirkan keserakahan bahkan keangkuhan bagi manusia pada tuhan. Dengan mensinergikan Religion is power  bersama knowlegde is power[7]   akan melahirkan ilmu yang bermanfaat bagi sesama di semesta alam ini. Hal-hal inilah yang kita lakukan kedepan dengan menjadikan ilmu sebagai gawang peradaban manusia.          Setelah memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi sekarang ini maka semantic sastra keilmuan merupakan suatu yang sudah mendesak  untuk di sebarluaskan kepada para cendikiawan-cendikiawan agar dalam perkembangan ilmu tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak diharapkan oleh manusia itu sendiri dalam memaknai makna sebuah kejadian. Para ilmuwan yang jujur dan patuh pada norma-norma keilmuan saja belum cukup melainkan ia harus dilapisi oleh moral dan ahlak, baik moral umum yang di anut oleh masyarakat atau bangsanya maupun moral [8]agama yang di anutnya. Hal tersebut di maksudkan jangan sampai menyimpang  yang akibatnya menyengsarakan umat manusia. Seperti contoh:
Kenapa BBM Harus Naik?
Maka tugas dari pada semantic adalah menelaah kata-kata yang di ucapkan oleh pejabat sejak awal dengan kontek di lapangan seperti:
1.      Secara subtansi kenaikan BBM sudah benar tetapi pemerintah perlu menaikkan angka kesejahtraan bagi masyarakat.
2.      Penimbunan BBM Makin marak terjadi.
3.      Di depok 43 kepala SPBU di kumpulkan oleh Kapolres agar melarang pembelian bensin dengan cerigen.
4.      Pemerintah mengajak TNI-Polri untuk mengatasi gejolak di masyarakat karena adanya kenaikan BBM.
5.      Pengunjuk rasa kesal kepada SBY-Boedoeno sehingga sering terjadi bakar-bakar BAN sampai sondakhpun menjadi korban akibat tidak maampu mengatasi internal partai dan mensejahtrakan rakyat.
6.      Anas Urbaningrum mengeluarkan kata-kata “kalau anas korupsi di hambalang 1 rupiahpun gantung anas di monas. Nilai semantic yang terkandung dalam kalimat ini adalah gantung anas secara realita tidak ada hukum gantung di Indonesia yang ada adalah hukuman mati makanya anas tepat dan cerdas dalam menggunakan sastra untuk mengungkapkan pembelaannya.

     Di dalam perkembangan pembangunan bangsa etika individual dan social serta semantic sastra tidak bisa di lepaskan sebagai landasan untuk membangun peradaban karena antara yang satu sangat terkait dengan yang lainnya. Hal ini di sebabkan oleh karena manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan negaranya. Ini merupakan moral khusus namun amat penting agar dalam kehidupan membangun masyarakat tidak menyimpang dari tujuan luhur keilmuan (objektivitas) dan kepentingan kemanusiaan agar dapat selalu berdampingan dengan alam yang lestari dan harmoni dan sesuai dengan etika yang di ajarkan oleh ilmu[9].


[1] Tulisan ini pernah di publikasikan di Enha Post, Narmada, Lobar, NTB.
[2] Ketua Divisi Intelektual Korp.Kopi 2011 Rayon Ashram bangsa.
[3] Adib Muhammad, Filsafat Ilmu sebuah ontology,Epistemologi,aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011. Hal.204.
[4] Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008. Hal.1-5
[5] Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Cetakan Ketiga. Jakarta : PT. Asdi  Mahasatya

[6] Adib Muhammad, Filsafat Ilmu sebuah ontology,Epistemologi,aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011. Hal.207.
[7] Sutoyo DKK, Religiusitas Sains, Meretas jalan menuju peradaban zaman,Malang: Brawijaya Press,2010.
[8] Tim Dosen Filsafat ilmu Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty,2003. Hal.177.
[9] Josep Angiel, Rahasia di Balik Kata-kata, Yogyakarta: Diva Press,2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar