Jumat, 07 Maret 2014

BENTUK NEGARA: Politik Konstilasi Antara Sistem Presidensial Dan Parlamenter Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia



BENTUK NEGARA:
Politik Konstilasi Antara Sistem Presidensial Dan Parlamenter Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia


A.    PENDAHULUAN
Sejarah dunia selalu memperlihatkan adanya kelompok yang menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat. Pada masyarakat sederhana, kelompok manusia selalu bersama membentuk jaringan simbiosis atas dasar saling bantu dan saling butuh. Sejak semula dalam kesadarannya manusia senantiasa membutuhkan manusia yang lain. Manusia sadar untuk membentuk dan berada dalam komunitas sosialnya agar tetap dapat meresapi keberadaanya dan agar  dapat tetap bertahan hidup.[1]
Setelah sejarah panjang perjalanan umat manusia, kelompok-kelompok yang semakin membesar dan membiak, tata aturan yang sedari awal sudah disusun secara bersama oleh anggota komunitas dengan sangat sederhana, mulai mengalami gerak evolusi dengan tata nilai dan aturan yang kian kompleks. Saat itu masyarakat mengalami fase perbesarannya dengan jejaring sistem pemerintahan yang kian rumit dan menjadi latar bagi terbentuknya sebuah negara. Pada akhirnya, seorang Prancis bernama Paul Renan mengatakan bahwa dasar segala negara adalah keinginan para warga negara bersatu.[2]
Dalam sebuah negara, kelompok-kelompok sosial yang ada secara keseluruhan adalah warganegara yang merefleksikan pekerjaan, pandangan-pandangan politik, kepercayaan-kepercayaan agama dan gaya hidup di dalamnya. Dimana ada satu kelompok yang meliputi semua bernama negara. Pendapat ini telah dikemukakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM yang menyebut manusia sebagai zoon politikon. Ia menganggap bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk yang tidak pernah bisa lepas dari masyarakat. Manusia adalah mahkluk kompleks yang senantiasa mengarahkan kediriannya kepada ikatan kelompok ataupun kepada individu dalam ikatan kelompok. Sebagaimana pandangan Aristoteles, Ibn Khaldun juga menganggap keberadaan negara sebagai fitrah dari kesempurnaan manusia. Pembicaraan tentang politik, kekuasaan, dan negara adalah khas bagi mahluk bernama manusia. Ibn Khaldun secara tegas memberikan beberapa penjelasan tentang letak perbedaan antara manusia dan mahluk lainnya, yakni kepemilikan ilmu dan tekhnologi, kebutuhan fitrowi akan hadirnya sosok pemimpin beriwibawa di tengah komunitas atau suku, serta keinginan dasariah untuk berkumpul membentuk masyarakat (umran). Ibn khaldun juga mempercayai bahwa sebagian negara terbentuk dari penaklukan-penaklukan terhadap komunitas atau suku bangsa tertentu. Negara bagi Ibn Khaldun, terbentuk oleh dua faktor yang saling terkait yaitu dari solidaritas (ashabun) warganegara dan kemulian (al-hasab).[3]
Umumnya sejarah ketatanegaraan suatu negara, konstitusi digunakan untuk mengatur dan sekaligus untuk membatasi kekuasaan negara. Dengan demikian, dinamika ketatanegaraan suatu bangsa atau negara ditentukan juga oleh dinamika perjalanan sejarah konstitusi negara yang bersangkutan. Karena dalam konstitusi itulah dapat dilihat sistem pemerintahannya, bentuk negaranya, sistem kontrol antara kekuasaan negara, jaminan hak-hak warga negara dan tidak kalah penting mengenai pembagian kekuasaan antar unsur pemegang kekusaan negara seperti kekuasaan eksekutif,  kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial.[4]
Secara konstitusional UUD 1945 menyebutkan bahwa sistem pemerintah Indonesia adalah sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya sering terlihat seperti sistem pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tidak berdaya menyusun program kerja yang sudah ditentukan dalam konstitusi dan kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[5]
Berdasarkan hal di ataslah penulis merumuskan sebuah judul makalah BENTUK NEGARA: POLITIK KONSTILASI ANTARA SISTEM PRESIDENSIAL DAN PARLAMENTER DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

B.  PEMBAHASAN
1.    Bentuk Negara
Negara merupakan gejala kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah umat manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalu menjadi pusat perhatian dan obyek kajian bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia. Banyak cabang ilmu pengetahuan yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya. Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum kenegaraan, ilmu Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan ilmu Administrasi Pemerintahan (Public Administration), semuanya menjadikan negara sebagai pusat perhatiannya. Namun demikian, apa sebenarnya yang diartikan orang sebagai negara tentulah tidak mudah untuk didefinisikan. Secara sederhana, oleh para sarjana sering diuraikan adanya 4 (empat) unsur pokok dalam setiap negara, yaitu: [6]
1)   a definite territory,
2)   Population,
3)   a government,
4)   Sovereignity.
Namun demikian, untuk menguraikan pengertian negara dalam tataran yang lebih filosofis, dapat pula merujuk kepada pendapat Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”. yang menguraikan pandangannya tentang negara atau state a juristic entitydan state as a politically organized societyatau state as power. Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia (human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai tujuan sebagai satu unit pemerintahan tertentu, maka perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan secara politik, dan disebut body politicatau negara (state) sebagai a society politically organized.[7]
Menurut pemikiran negara barat, secara garis besar bentuk suatu negara terbagi menjadi dua, yakni bentuk Negara Serikat dan bentuk Negara Kesatuan.[8] Dalam penggolongan tersebut setiap bentuk negara memiliki ciri dan karakternya masing-masing:
a.    Negara Serikat
 Negara Serikat atau federasi adalah bentuk Negara gabungan yang terdiri dari beberapa Negara bagian dari sebuah Negara Serikat.Pada mulanya beberapa Negara bagian tersebut  adalah Negara yang berdaulat, merdeka, dan berdiri sendiri. Akan tetapi karena Negara-negara ini mempunyai presepsi dan tujuan yang hampir sama, maka Negara-negara bagian ini kemudian menyerahkan kekuasaan ini dikenal dengan limitative (satu demi satu) dimana hanya kekuasaan yang diberikan oleh Negara-negara bagian saja yang menjadi kekuasaan Negara serikat. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, Negara serikat mengatur halyang bersifat strategis seperti kebijakan politik luar negri, keamanan dan pertahanan Negara. Selain ketiga hal tersebut, negara bagian mempuyai kebebasan untuk mengaturnya sendirir tanpa campur tangan Negara serikat.[9]


b.   Negara Kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk seatu Negara yang merdeka, berdaulat dengan satu pemerintahan pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. artinya seluruh wilayah dan daerah diatur oleh pemerintahan pusat. Akan tetapi dengan demikian dalam perkembangannya, Negara kesatuan ini terbagi menjadi dua, yakni Negara kesatuan sentralisasi dan Negara kesatuan disentralisasi.Negara kesatuan s entraliasasi yaitu suat negara yang sistem pemerintahannya langsung dipimpin oleh pemerintah pusat, dan pemerintahan dibawahnya melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat. Contoh; Pemerintahan Orde Baru.[10]
Sedangkan negara kesatuan disentralisasi adalah suatu bentu Negara dimana kepala daerah diberikan kesempatan atau wewenang untuk mengururs urusan pemerintah di wilayah sendiri. Sistem ini di Indonesia dikenal dengan sistem otonomi daerah seperti yang dijalankan Indonesia pasca reformasi. Dalam bentuk-bentuk Negara, selain kedua bentuk tersebut yakni Negara Kesatuan dan Negara Serikat, maka jika dilihat dari segi pelaksanaandan mekanisme pemilihannya, bentuk Negara dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yakni: monarki, oligarki, dan demokrasi:[11]
a.    Monarki adalah model pemerintahan suatu negara dengan pimpinan seorang Raja atau Ratu. Dalam perkembangannya monarki dibagi menjadi dua, yakni monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan yang kekuasaan tertinggi ditangan satu orang Raja atau Ratu seperti Negara Arab Saudi. Sedangkan monarki konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya dibatasi oleh kontitusi Negara.
b.    Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang dari golongan atau kelompok tertent.
c.    Demokrasi adalah model pemerintahan yang bersandar kepala kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung secara jujur, bebas, aman dan adil.
c.    Sistem dan Jenis-Jenis Pemerintahan
Menurut Affan Gaffar suatu sistem adalah kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan halhal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Yang kemudian disempurnakan menjadi suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen, yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri, yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan yang lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan. Sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional baik antara bagian-bagian yang akibatnya menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.[12]
Melihat pengertian antara sistem dan pemerintahan diatas maka system pemerintahan pada dasarnya adalah berbicara tentang bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara tersebut, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat. Pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negaranegara demokrasi menganut sistem perlementer  atau presidensial  ataupun bentuk variasi yang disebabkan situasi atau kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semu (quasi), misalnya quasi parlementer maupun quasi presidensial.[13]
Sebagaimana diketahui, UUD 1945 berlaku dalam periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 dan periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang. Dengan adanya perubahan konstitusi yang diguankan Indonesia ini jelas mempengaruhi sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia. Indonesia pun pernah mencoba mempraktekkan sistem pemerintahan parlementer karena pluralisme dan wilayahnya yang sangat luas yang terdiri dari pulau-pulau kecil membutuhkan pemerintahan yang kuat dan stabil. Kemudian diterapkanlah sistem pemerintahan presidensial dibawah UUD 1945 yang cenderung executive heavy sudah terselesaikan melalui amandemen UUD 1945. Sehingga jelaslah bahwa pasca amandemen UUD 1945 menetapkan menganut sistem presidensial dalam sistem pemerintahan.[14]
Menurut Ni’matul Huda[15], ciri-ciri pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 pasca amandemen antara lain pertama, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, kedua, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, karena lembaga ini tidak lagi sebagai pelaksanan kedaulatan rakyat. Adapun jenis-jenis pemerintah adalah sebagai berikut:[16]
1.    Sistem Parlementer
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen. Bertolak dari sejarah ketatanegaraan, sistem parlemen ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi.
Karena dalam sistem parlementer, presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah kabinet, yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggung jawab sendiri atau bersama-samakepada parlemen. Karena itulah Inggris dikenal istilah “The King can do no wrong”. Pertanggungjawaban menteri kepada parlemen tersebut dapat berakibat kabinet meletakkan jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala negara, manakala parlemen tidak lagi mempercayai kabinet.
2.    Sistem Presidensial
Pemerintahan sistem presidensial adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen. Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet (dewan menteri). Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara lembaga tinggi negara inilah yang disebut checking power with power. Menurut Selo Soemardjan, pemerintahan presidensial terdiri dari tiga unsure yaitu:[17]
a.    Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
b.    Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
c.    Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.[18]
Presiden bertanggungjawab kepada pemilihnya (kiescollege). Sehingga seorang Presiden diberhentikan atas tuduhan House of Representattives setelah diputuskan oleh senat. Misal, sistem pemerintahan presidensial di USA. Dengan demikian, pertama, sebagai kekuasaan tertinggi, tindakan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial seringkali menuntut adanya kekuasaan tak terbatas, demi kebaikan negara, setidak-tidaknya selama periode tertentu; kedua, orang yang berada diposisi ini menjadi suatukeseluruhan yang tak lebih baik dari anggotanya yang paling rendah, dan semua menjadi buruk daripada anggota terendahnya. Adapun ciri-ciri dari sistem presidensial adalah:[19]
a.       Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD
b.      Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
c.       Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif.
d.      Sebagai imbangannya, Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
d.   Komprasi Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial
Sebab-sebab timbulnya perbedaan antara dua sistem pemerintahan tersebut diatas adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh masing-masing negara itu berlainan. Hal ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.[20]
TABEL 1
KELEMAHAN DAN KELEBIHAN SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem Pemerintahan Presidensial
a.     Latar belakang timbulnya
Timbul dari bentuk negara Monarki yang kemudian mendapat pengaruh dari pertanggungjawaban menteri. Sehingga fungsi Raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Misalnya, Kerajaan Inggris, Perancis dan Belanda.
b.     Keuntung
Penyesuaian antara pihak eksekutif dan legislatif mudah dapat dicapai
c.     Kelemahan
1.     Pertentangan antara eksekutif dan legislatif bisa sewaktu-waktu terjadi menyebabkan cabinet harus mengundurkan diri, dan akibatnya pemerintahan tidak stabil
2.     Sebaliknya , seorang Presiden dapat pula membubarkan leguslatif
3.     Pada sistem parlemen dengan multi partai (kabinet koalisi) apabila terjadi mosi tidak percaya dari beberapa partai politik, sering terjadi pertukaran (pergantian) kabinet.
a.    Latar belakang timbulnya
Timbul dari keinginan untuk melepaskan diri dari dominasi Kekuasaan Raja, dengan mengikuti ajaran Montesquieu dengan ajaran Trias Politica. Misalnya, Negara USA timbul sebagai kebencian atas Raja George III (Inggris).
b.   Keuntungan
Pemerintah untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil.
c.    Kelemahan
1.      Kemungkinan terjadi bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan Negara menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif
2.      Untuk memilih Presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan pandangan lembaga itu berlainan.

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sistem komparatif adalah perpaduaan antara kedua sistem diatas yang mengambil beberapakeuntungan dan kelemahan dari kedua sistem tersebut yang sesuai dengan latar belakang sejarah politik suatu negara. Jadi, sistem pemerintahan ini, selain memiliki presiden sebagai kepala negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, untuk memimpin kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Adapun ciri-ciri dari sistem ini adalah:[21]
a.    Dalam sistem ini eksekutif terdiri dari presiden dan perdana menteri.
b.    Presiden tidak memiliki posisi yang dominan, artinya presiden hanya sebagai lambang dalam suatu pemerintahan.
c.    Kabinet tidak dipimpin oleh presiden melainkan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
d.   Presiden dapat membubarkan parlemen.
C.  PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam uraian di atas, maka kelompok kami mengambil kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut:
Pertama, dalam sebuah negara, kelompok-kelompok sosial yang ada secara keseluruhan adalah warganegara yang merefleksikan pekerjaan, pandangan-pandangan politik, kepercayaan-kepercayaan agama dan gaya hidup di dalamnya. Dimana ada satu kelompok yang meliputi semua bernama negara. Pendapat ini telah dikemukakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM yang menyebut manusia sebagai zoon politikon. Ia menganggap bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk yang tidak pernah bisa lepas dari masyarakat. Manusia adalah mahkluk kompleks yang senantiasa mengarahkan kediriannya kepada ikatan kelompok ataupun kepada individu dalam ikatan kelompok. Sebagaimana pandangan Aristoteles, Ibn Khaldun juga menganggap keberadaan negara sebagai fitrah dari kesempurnaan manusia. Pembicaraan tentang politik, kekuasaan, dan negara adalah khas bagi mahluk bernama manusia. Ibn Khaldun secara tegas memberikan beberapa penjelasan tentang letak perbedaan antara manusia dan mahluk lainnya, yakni kepemilikan ilmu dan tekhnologi, kebutuhan fitrowi akan hadirnya sosok pemimpin beriwibawa di tengah komunitas atau suku, serta keinginan dasariah untuk berkumpul membentuk masyarakat (umran). Ibn khaldun juga mempercayai bahwa sebagian negara terbentuk dari penaklukan-penaklukan terhadap komunitas atau suku bangsa tertentu. Negara bagi Ibn Khaldun, terbentuk oleh dua faktor yang saling terkait yaitu dari solidaritas (ashabun) warganegara dan kemulian (al-hasab).
Kedua, secara konstitusional UUD 1945 menyebutkan bahwa sistem pemerintah Indonesia adalah sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya sering terlihat seperti sistem pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tidak berdaya menyusun program kerja yang sudah ditentukan dalam konstitusi dan kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).









DAFTAR PUSTAKA
Anam Khoirul, Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Inti Media, 2011.
Asshiddiqie Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta; Konstitusi Press, 2005.
Asshiddiqie Jimly, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Konpres, 2009.
Gaffar Affan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Huda Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan UUD 1945, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Husein Wahyudin, Hukum, Politik dan Kepentingan, Yogyakarta: LaksBang, 2008.
Mahendra Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Palamolo Susanto dan Lusia Indrastuti, Hukum Tata Negara Dan Reformasi Konstitusi di Indonesia : Refleksi Proses dan Prospek di Persimpangan, Yogyakarta: Total Media, 2014.
Samad Raja Sofyan, Negara dan Masyarakat: Studi Penetrasi Negara di riau Kepulauan Masa Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Semma Mansyur, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, Dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obaor, 2008.
Soemardjan Selo, Menuju Tata Indonesia Baru, Jakarta: Gramedia, 2000.
Ubaedillah dan Abdul Rozaq,  Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana, 2014.



[1]Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, Dan Perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obaor, 2008), hlm.1.
[2]Ibid.
[3]Raja Sofyan Samad, Negara dan Masyarakat: Studi Penetrasi Negara di riau Kepulauan Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.20.
[4] Susanto Palamolo dan Lusia Indrastuti, Hukum Tata Negara Dan Reformasi Konstitusi di Indonesia : Refleksi Proses dan Prospek di Persimpangan, (Yogyakarta: Total Media, 2014), hlm.43.
[5]Ibid.
[6]Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konpres, 2009), hlm.234.
[7]Wahyudin Husein, Hukum, Politik dan Kepentingan, (Yogyakarta: LaksBang, 2008), hlm.12.
[8]Khoirul Anam, Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Inti Media, 2011), hlm.81.
[9]Ibid. Lihat juga Ubaedillah dan Abdul Rozaq,  Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 34-35.
[10]Ibid, hlm.81.
[11]Ibid, hlm.82.
[12]Affan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.56.
[13]Ibid.
[14]Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hlm. 209-228.
[15]Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm.13.
[16]Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 19
[17]Selo Soemardjan, Menuju Tata Indonesia Baru, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm.134.
[18] Ibid.
[19]Ibid., hlm.137.
[20]Susanto Palamolo dan Lusia Indrastuti, Hukum Tata Negara Dan Reformasi Konstitusi di Indonesia : Refleksi Proses dan Prospek di Persimpangan, (Yogyakarta: Total Media, 2014), hlm.50.
[21]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar