Jumat, 07 Maret 2014

Legislator Modal Baliho

Legislator Modal Baliho

Usep Sobar  ;   Pengamat Sosial
SINAR HARAPAN,  07 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Semaraknya baliho dan spanduk di ruang publik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 mencerminkan genderang pertarungan calon anggota legislatif (caleg) dimulai. Sayangnya, awal pertarungan para politikus ini dimulai dengan keprihatinan yang sangat mendalam.
Itu ketika ada salah seorang anggota DPR dari salah satu partai politik (parpol) dan sekarang mencalonkan kembali pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 mengemukakan, kampanye dengan baliho atau spanduk itulah yang paling efektif dan efisien ketimbang blusukan yang menghabiskan waktu cukup lama dengan biaya cukup besar. Boleh-boleh saja caleg tersebut menggunakan model alat peraga kampanye baliho dapat mendongkrak elektabilitas. Namun, itu karena caleg tersebut sudah ngetop, alias selebriti yang sering muncul di televisi.
Tetapi, apa jadinya terhadap caleg-caleg yang belum populer? Ujug-ujug pasang baliho, warga di dapilnya sendiri tidak mengenalnya betul. Dengan hanya modal membuat baliho dan berpose gaya negarawan pejuang rakyat atau mungkin melakukan “serangan fajar”, alias politik uang, caleg tersebut bisa melenggang dan duduk di kursi DPR yang terhormat.
Kenapa harus modal baliho dan kenapa tidak menginvestasikan “kebajikan” jauh-jauh hari sebagai bagian dari modal sosial? Jati seseorang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik, sudah pasti kebaikan itu melekat di dirinya dan menjadikan “aura” bagi yang melihatnya.
Di samping itu, faktor intensitas interaksi seseorang dengan orang lain atau kelompok akan menghasilkan rekatan hubungan emosional yang relatif kuat. Ini sekaligus menimbulkan kepercaayaan bagi orang di sekelilinganya.
Itu seperti apa yang dikemukakan Cohen dan Prusak ( 2001), modal sosial adalah stok dari hubungan yang terjadi diikat kepercayaan, kesalingpengertian, dan nilai-nilai bersama yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan efisien dan efektif.
Jika demikian, bisa diyakini jika seseorang aktif membangun modal sosial dengan baik, “aura” caleg terpercaya sudah di tangannya. Dukungan akan timbul dengan sendirinya terhadap seseorang tersebut apabila mencalonkan menjadi caleg.
Ia tidak lagi harus repot-repot mengeluarkan uang untuk membeli baliho dan lainnya. Akan tetapi, dalam konteks menjadi manusia terpercaya itu perlu melakukan langkah-langkah elegan menuju politikus yang memiliki kebajikan sosial (social virtue)
Kepercayaan
Dalam obrolan di warung kopi hingga cafe menjelang pileg, pemilihan kepala daerah (pilkada), atau pemilihan presiden (pilpres), kata “terpercaya” sering terselip. Maksudnya, orang terpercaya dalam menjalankan amanah. Namun, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum memahami arti sebenarnya kata “terpercaya” dalam konteks ranah politik.
Menurut penulis, menjelang Pemilu 2014, masyarakat butuh informasi sebagai referensi tentang pemaknaan kata “kepercayaan” itu, sehubungan pileg tinggal hitungan bulan. Jadi, masyarakat tidak salah pilih dan terjebak dengan baliho.
Semakin banyaknya partai peserta yang mengikuti pesta demokrasi, semakin banyak pula kontestan yang diusung masing-masing partai untuk memperebutkan kursi dewan yang terhormat. Ini berujung pada bingungnya konstituen untuk memilih.
Kepercayaan, menurut penulis, bisa saja dijadikan benchmark atau alat pengetesan untuk mengukur/menilai seseorang layak dipilih atau tidak. Kepercayaan dalam konteks modal sosial merupakan salah satu katalisator dalam mengikat kebersamaan untuk melakukan tindakan tertentu.
Menurut Rousseau (1998), kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya, berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang lain. Dalam membangun kepercayaan, harus terdapat unsur kredibilitas, kedekatan, dan reliabilitas.
Orang berkualitas yang memiliki kemampuan mumpuni disertai moral yang baik adalah orang yang jujur. Predikat orang tersebut merupakan salah satu bagian dari orang terpercaya. Fombrun (1996) maupun Keller (1998) secara eksplisit menyatakan, elemen penting dalam kredibilitas adalah keahlian dan kejujuran.
Kredibilitas yang baik dari seseorang bisa dikenali secara pasti ketika ia melakukan tindakan kebajikan di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja tanpa pandang bulu. Dengan seringnya melakukan “kebajikan”, sudah pasti mengarah kepada terbangunnya hubungan emosional yang erat, serta disenangi lingkungan sekitar.
Unsur lainnya dari kepercayaan adalah kedekatan. Menurut Durkin (1995), kedekatan merupakan suatu hubungan yang didukung tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut. Dengan demikian, kedekatan dapat memberikan kepastian atas kejelasan seseorang itu kredibel atau tidak.
Unsur reliabilitas dalam membangun kepercayaan merupakan salah satu alat ukur konsistensi seseorang dalam kurun waktu tertentu. Itu dengan berbagai ujian-ujian dalam melakukan “kebajikan”.
Persoalannya sekarang adalah kebingungan dalam memilih caleg 2014, bagaimana cara mengenali orang-orang terpercaya dengan waktu yang relatif singkat, serta dengan pilihan yang sudah “tersedia”. Sebagai contoh, kebingungan penulis ketika kontestan/caleg berasal dari artis, yang “baru” memasuki dunia politik dengan berbekal ilmu seni peran, kecantikan, atau ketampanannya. Ia berharap menjadi wakil rakyat. Itu sah-sah saja karena tidak ada larangan artis menjadi wakil rakyat.
Namun, apa jadinya bila rakyat pemilih/konstituen tidak mengetahui rekam jejak kebajikan sosial para caleg tersebut. Semakin parah, ketika masyarakat memilih karena termanipulasi ingatan sosok atau figur yang akan dipilih itu adalah figur orang “baik”. Padahal, ingatan tersebut timbul karena referensi dari sinetron/film yang tidak lain merupakan bentuk rekayasa.
Mengenali orang terpercaya bukanlah hal yang mudah, tetapi sekecil apa pun, masyarakat saat ini membutuhkan peran para tokoh masyarakat dan media massa untuk melakukan langkah bersama dalam mengeksplorasi informasi dan data para caleg, lalu disampaikan ke masyarakat luas. Mudah-mudahan dengan langkah itu, panggung lembaga perwakilan rakyat terisi para wakil rakyat yang terpercaya, serta terhindar dari legislator “pengemis kerah putih”.
Wallahu a’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar