Jumat, 07 Maret 2014

RUU KUHP-KUHAP dan Modal Sosial

RUU KUHP-KUHAP dan Modal Sosial

Andi Kristian  ;   Advokat di Jakarta
SINAR HARAPAN,  07 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
Akhir-akhir ini, isu terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHP-KUHAP) mengemuka dan ramai dibicarakan publik.
Pangkal permasalahannya dari munculnya beberapa pasal yang dianggap kontra produktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Beberapa lembaga penegak hukum, sebut saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, PPATK, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan badan Mahkamah Agung (MA) mengajukan keberatan dan mengkritik beberapa materi yang dianggap mengamputasi kewenangan lembaganya dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum. Itu juga dianggap mengancam independensi peradilan.
Di antara lembaga penegak hukum tersebut, yang paling ngotot dan keras menyuarakan protes adalah KPK. KPK bahkan sempat mengirimkan surat kepada pemerintah dan DPR.
Intinya, lembaga ini meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU KUHP-KUHAP, serta mengusulkan pembahasan itu ditunda dan dilakukan pemerintah dan DPR periode 2014-2019. Tentu saja dengan melibatkan seluruh lembaga penegak hukum, akademikus, dan unsur masyarakat terkait.
KUHP diberlakukan di Indonesia sejak 1946 dan KUHAP pada 1981. Tentu saja UU tersebut sudah usang dan tidak sesuai perkembangan zaman. Modus-modus kejahatan pun saat ini sudah sangat berkembang, terutama korupsi yang semakin hari semakin canggih dan sulit dibongkar.
Jadi, usaha memperbaharui KUHP-KUHAP mutlak diperlukan. Kerja sama yang kompak antara lembaga penegak hukum, pemerintah, dan DPR dalam merumuskan materi dalam RUU KUHP-KUHAP menjadi syarat mutlak agar UU yang dihasilkan nantinya berkualitas dan efektif dalam memerangi tindak pidana, khususnya korupsi.
Dalam pembahasan RUU KUHP-KUHAP tersebut, wacana perlunya kontrol atas wewenang penyadapan yang dimiliki lembaga penegak hukum, seperti KPK, patut diapresiasi. Itu karena penyadapan terkait privasi dan hak asasi seseorang yang perlu dijamin dan dilindungi hukum.
Meskipun demikian, apakah bijak dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini, ketika korupsi merajalela ke berbagai penjuru kehidupan berbangsa, penyadapan harus meminta izin dahulu kepada pengadilan/hakim.
Kenyataannya, pengadilan yang dianggap benteng terakhir untuk mencari keadilan tak kedap rembesan korupsi. Hakim sekaliber Akil Mochtar tak mampu lepas dari godaan tersebut.
Sangat lumrah seandainya para penegak hukum, khususnya KPK, mencurigai dan mempertanyakan komitmen pemerintah dan DPR dalam memerangi korupsi.
Namun pada titik tertentu, rasa saling curiga yang berlebihan di antara para penegak hukum, pemerintah, dan DPR dapat menghambat proses revisi RUU KUHP-KUHAP. Selain itu, curiga yang berlebihan mengisyaratkan, rendahnya modal sosial yang dimiliki para elite bangsa ini.
Modal sosial bisa beraneka bentuknya, misalnya semangat saling memercayai (mutual trust), semangat saling menghormati (mutual respect), maupun semangat saling memahami (mutual understanding). Modal sosial merupakan syarat mutlak terwujudnya karakter sosial yang kondusif, yang membawa penegak hukum dan elite bangsa ini untuk bersekutu dan bergerak dalam kebersamaan (togetherness). Itu guna mencapai tujuan bersama.
Rendahnya modal sosial memperbesar peluang terjadinya ketidakefektifan, kekisruhan, dan saling lempar tanggung jawab dalam menyelesaikan setiap permasalahan kolektif. Salah satu dampak dari rendahnya modal sosial tercermin dalam sikap saling mencurigai, serta tidak memercayai antara KPK, DPR, dan pemerintah. Ini mengakibatkan tarik ulur pembahasan RUU KUHP-KUHAP.
Pangkal timbulnya rasa saling curiga ini dari persepsi-persepsi negatif. Persepsi merupakan proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indra dari lingkungan, dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan dengan cara mengorganisasi dan menginterpretasi sehingga akan memengaruhi perilaku individu (Robbins, 2003).
Apabila objek yang dipersepsi tidak sesuai penghayatan dan tidak dapat diterima rasional dan emosional, individu akan mempersepsikan negatif atau cenderung menjauhinya, menolak dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut. Persepsi negatif semacam ini ternyata menghinggapi para penegak hukum dan elite bangsa ini.
Persepsi negatif dapat dilihat dari cara pandang KPK yang menganggap pemerintah dan DPR sebagai institusi yang ingin melemahkan KPK, tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Begitu juga sebaliknya.
Persepsi negatif terlihat dari cara pandang pemerintah dan DPR yang menganggap KPK sebagai institusi yang superpower, tanpa pengawasan, cenderung tebang pilih dalam pemberantasan korupsi dan rawan ditunggangi kepentingan politik tertentu.
Persepsi semacam ini hendaknya dibuang-buang jauh dan diubah dengan cara pandang yang lebih positif. Dengan demikian, di masa yang akan datang, diharapkan komunikasi di antara kedua pihak berjalan lebih efektif dan mampu menghasilkan titik temu.
Mengubah persepsi semacam ini hanya mungkin dilakukan dengan meningkatkan modal sosial. Dengan modal sosial yang tinggi, bangsa ini lebih mudah menyelesaikan berbagai problem kolektif, terutama korupsi.
Suatu negara yang memiliki modal sosial yang tinggi akan membawa dampak positif dalam setiap pemecahan masalah. Pemecahan masalah dilakukan dengan tindakan komunikatif, melibatkan berbagai pihak untuk mencapai win-win solution. Begitu juga seharusnya dalam pembahasan RUU KUHP-KUHAP saat ini. Jadi, tidak ada pihak yang merasa dikorbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar