Jumat, 07 Maret 2014

Ketika yang Muda Berpolitik


Ketika yang Muda Berpolitik

David Krisna Alka  ;   Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
dan Populis Institute
MEDIA INDONESIA,  07 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
“Kaum muda memiliki peran strategis dalam penentuan perubahan kekuasaan. Akan tetapi, jika hasil pemilu dan pilpres tahun ini berjalan biasa seperti yang sudah-sudah, apa yang salah dengan demokrasi kita..”

SEJATINYA dalam politik tak ada istilah biarlah berjalan seperti air yang mengalir di sungai. Pasalnya, perubahan tak akan mengalir jika tak ada yang menggerakkan. Perubahan bukan sekadar kata dan suara. Perlu ada tindakan nyata yang membuat air memancur menyirami sekitarnya sehingga menjadi tumbuh dan berubah.

Pemilu tahun ini menjadi momen penting bagi generasi muda Indonesia untuk bergerak dan tumbuh dalam politik, mengubah sirkulasi politik dalam belantika politik Tanah Air. Bukan sirkulasi elite politik baru yang masih korup malah hadir. Inilah saatnya seluruh generasi politik muda Indonesia untuk unjuk peduli, unjuk bersih, dan unjuk prestasi dalam politik untuk kebaikan publik.

Generasi politik hari ini mestinya berani keluar dari kurungan yang lembap dan gelap. Berani bersuara dan bergerak mengubah sistem kaderisasi partai politik yang lumut dan berkarat. Bung Hatta pernah berkata, hanya negara totaliter yang suka mempertahankan kepemimpinan orang tua.

Yang lama

Pemilu legislatif yang akan diselenggarakan pada 9 April 2014 sepertinya menjadi pertarungan yang menarik. Jika tak ada rintangan, ratusan ribu orang akan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Dari ratusan ribu calon legislator itu, harus terpilih 560 anggota DPR yang berkualitas dan berintegritas. Begitu juga dengan 77 DPD ataupun 2.137 DPRD provinsi serta 17.560 DPRD kabupaten/kota. 
Hasil pemilu legislatif itu menentukan parpol mana yang bisa mengajukan calon presiden/wakil presiden pada pemilu presiden-wakil presiden yang akan digelar 9 Juli 2014.

Walau sejumlah lembaga survei telah meraba-raba partai politik mana yang paling besar dan paling kecil persenannya, dan siapa figur pemimpin yang paling tinggi dan paling rendah peringkatnya, sehebat apa pun metode prediksi akademis survei tersebut, tetaplah kenyataan yang sebenar-benarnya belum terjadi, kita tinggal menghitung hari, menunggu pemilu terjadi.

Persoalannya, regenerasi kepemimpinan politik di Indonesia berjalan lambat. Buntu dan lesunya muncul generasi baru politik Indonesia menjadi cermin seperti apa masa depan politik Indonesia. Dalam kepemimpinan organisasi kemasyarakatan dan dalam tubuh kepemimpinan organisasi politik, regenerasi kepemimpinan sepertinya tak selalu diutamakan.

Lihatlah rata-rata elite masyarakat atau elite politik lama yang masih bercokol dalam organisasi-organisasi tersebut. Begitu pula dengan calon anggota legislatif dan figur-figur yang digadang bakal memimpin Republik ini. Di samping itu, juga masih mencoloknya kekuatan politik dinasti serta partai politik seolah menjadi `hak milik' ketua umumnya. Itulah salah satu sebab kenapa regenerasi politik di Republik ini lesu dan buntu.

Ironisnya, sebagian politikus muda `terkurung' oleh hegemoni elite politik lama dalam merintis karier politik. Beberapa politikus muda potensial seolah pasrah karena lingkaran elite dalam tubuh partai politik dilingkari oleh orang-orang yang disukai dan dianggap nyaman oleh pimpinan tertinggi partai politik saja. Mereka enggan mempromosikan generasi baru yang bermutu sebagai penerus kepemimpinan dalam tubuh partai politik. Dikhawatirkan, politik Indonesia bagai pohon tua yang berlumut-lumut dan keropos.

Jadi, kehidupan politik tak akan berkembang dan lesu gairah jika tak ada regenerasi politik, tak ada figur baru dalam politik kepartaian. Yang muncul ialah figur tenar atas dasar kepemimpinan dan keberhasilannya di tingkat daerah, bukan disebabkan faktor didikan internal sebuah partai politik. Akibatnya, lahirlah politikus instan sekadar bermodal kekuatan uang dan sekadar mengandalkan hubungan feodal dalam persaudaraan struktural.

Yang baru

Namun, kini mulai tampak gejala kebosanan terhadap figur-figur politik lama yang berkukuh terhadap jabatan politik dalam sebuah partai politik. Namun, tetap saja terjadi hambatan individual, struktural, dan kultural kaderisasi politik karena tak ada upaya transformatif politik, dan minimnya rancangan strategis pengelolaan parpol untuk memunculkan aktoraktor politik baru yang ber mutu.

Akibatnya, belum ada gerak an politik dari generasi politik hari ini yang dianggap sangat berarti dan berpengaruh pada perubahan politik nasional. Jika ada, hanya riak-riak kecil dalam kicauan di media sosial dan sekadar kegelisahan dalam diskusi.

Sejatinya, organisasi politik menghasilkan kader politik matang, bukan kader politik yang curiga ke segala arah sehingga tak tahu apa tujuannya berpolitik. Bukan pula generasi politik yang sekadar menjadi tim sukses untuk memenangkan jagoannya dalam pertarungan politik.

Pemilu tahun ini bisa menjadi momen penentuan kepada siapa takhta kepemimpinan republik akan disematkan oleh generasi politik hari ini. Sepertinya tahun ini bakal menjadi pertaruhan masa depan generasi politik Indonesia, atau biasa-biasa saja seperti pemilu sebelumnya.

Kaum muda memiliki peran strategis dalam penentuan perubahan kekuasaan. Akan tetapi, jika hasil pemilu dan pilpres tahun ini berjalan biasa seperti yang sudah-sudah, apa yang salah dengan demokrasi kita jika suasana kepengapan udaranya menyesakkan, asapnya mengaburkan, dan angkatan muda yang gigih berjuang tetapi dalam politik masih `terkekang'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar