Rabu, 19 Februari 2014

Bangsa Darurat Membaca dan Kiamat Menulis

Bangsa Darurat Membaca dan Kiamat Menulis

Inggar Saputra  ;   Mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional
Universitas Indonesia
OKEZONENEWS,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Rendahnya budaya membaca masih menjadi persoalan pelik dalam meningkatkan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia Indonesia. Saat ini meski kampanye membaca sudah digalakkan pemerintah bersama kalangan peduli “melek aksara”, tradisi agung peradaban dunia ini masih membutuhkan gerakan massif sehingga dapat menjangkau semua kalangan masyarakat. Fakta membuktikan kuantitas buku Indonesia masih rendah di tengah semakin menggeliatnya budaya membaca dan menulis di belahan dunia lainnya.  Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius semua kalangan sehingga Indonesia tidak mengalami bencana “Darurat membaca dan kiamat menulis”.
 
Merujuk data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Indonesia hanya menerbitkan sekira 24.000 judul buku per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Ini artinya para penulis Indonesia hanya mampu menelurkan sekira 72 juta buku. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, berarti rata-rata sebuah buku di Indonesia dibaca 3-4 orang. 

Ironisnya mengacu aturan UNESCO, idealnya dalam sebuah negara satu orang membaca tujuh judul buku per tahun. Jika berpatokan standar ideal UNESCO, kita sepantasnya menyampaikan rasa duka cita mendalam atas kegagalan kampanye membaca yang digalakkan pemerintah. Adanya anggaran pendidikan 20 persen pun secara nyata tidak berkorelasi dengan membaiknya sektor pendidikan khususnya peningkatan budaya membaca di mana masyarakat masih mengalami kelangkaan produktivitas membaca dan bahan bacaan berkualitas. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan sebab berpotensi membuat bangsa Indonesia tertinggal dengan negara lain di tengah semakin massifnya budaya membaca digital yang membanjir di berbagai belahan dunia. 

Fenomena lemahnya semangat membaca tentu menjadi ancaman serius bagi eksistensi Indonesia di masa depan. Pasalnya membaca adalah salah satu cara untuk mendapatkan informasi dalam bentuk tertulis selain dengan mendengarkan dan melihat. Membaca perlu ditekankan kepada setiap individu sejak dini mengingat informasi yang paling mudah untuk diperoleh adalah melalui bacaan, baik koran, majalah tabloid, buku-buku dan lain lain. Orang yang menerapkan budaya membaca dalam hidupnya akan di penuhi oleh informasi yang up-to-date dan ilmu pengetahuan. Minimnya budaya membaca tidak dapat dianggap remeh karena besarnya rasa cinta membaca sama dengan kemajuan. Artinya, suatu tingkatan minat baca seseorang menentukan tingkat kualitas serta wawasannya. Kebiasaan membaca perlu ditingkatkan sebab mimpi melahirkan masyarakat modern dan berpengetahuan mustahil akan berhasil tanpa adanya “membaca” (Umi Ma’rufah; 2012)

Menurut Rozin (2008), budaya membaca adalah kegiatan positif rutin yang baik dilakukan untuk melatih otak untuk menyerap segala informasi yang terbaik diterima seseorang dalam kondisi dan waktu tertentu. Seseorang dianjurkan untuk membaca berbagai hal yang positif sehingga dapat terkonstruksi tindakan yang positif. Sumber bacaan bisa diperoleh dari buku, surat kabar, tabloid, internet, dan sebagainya. Luasnya sumber bacaan menandakan terbukanya ruang informasi bagi mereka yang membutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Namun meningkatkan budaya membaca dalam sebuah negara berkembang seperti Indonesia bukan perkara mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena jauhnya budaya membaca dapat dilihat dari gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka lebih senang menggenggam ponsel, mengobrol dan menonton televisi daripada membawa bacaan yang berkualitas sebagai teman dalam segala aktivitasnya. Berbeda misalnya dengan kebiasaan masyarakat Jepang yang rajin membawa buku untuk dibaca dalam setiap aktivitasnya sehingga mampu membentuk sebuah masyarakat modern yang berpengetahuan luas.

Dalam narasi kuantitatif, rendahnya budaya membaca membuktikan masih lemahnya gairah mendapatkan informasi dan pengetahuan. Jangan pernah memimpikan masyarakat Indonesia yang rajin menulis dan memproduksi bahan buku berkualitas tanpa kebiasaan membaca yang baik, teratur dan berkelanjutan. Untuk itu, penting rasanya menggalakkan kembali budaya membaca di Indonesia secara massif sehingga generasi kutu buku dan gila membaca dapat mengurangi potensi kiamat perbukuan nasional. Pertanyaannya, sejauhmana peran pemerintah dan masyarakat dalam mendorong setiap manusia Indonesia mencurahkan waktunya untuk membaca buku di tengah kepadatan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?

Dalam analisis penulis, teradapat empat faktor fundamental mengapa masyarakat Indonesia belum mampu tergerak untuk menyentuh buku sebagai makanan sehari-hari. Pertama mahalnya harga kertas sehingga membuat harga buku menjadi mahal. Kondisi ini sangat disayangkan sebab bahan baku utama dalam pembuatan buku cetak adalah kertas. Ketika harga kertas mahal tentunya berdampak kepada harga buku sehingga gagal mendorong tradisi membaca sebagai bagian dari gaya hidup. Untuk itu, pemerintah perlu menyediakan subsidi yang besar agar biaya produksi buku menjadi murah dan mudah, sehingga dapat dijual dengan harga murah dan terjangkau oleh masyarakat luas.

Kedua, lemahnya institusi pendidikan dalam mentradisikan pembudayaan membaca sejak dini. Budayawan Taufik Ismail (2014) menyindir gejala ini dengan membandingkan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia era penjajahan Belanda dengan zaman sekarang. Dalam pandangannya ketika  masa penjajahan Belanda, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 judul karya sastra setahun. Siswa AMS wajib membuat 1 karangan per minggu, 18 karangan per semester atau 36 karangan per tahun. Maka, selayaknya pemerintah dan institusi pendidikan harus mewajibkan tradisi membaca karya sastra kepada para siswa sebagai stimulus sehingga terbentuk budaya kritis-transformatif, aktif dan kaya akan pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Ketiga, masih kurangnya intervensi negara dalam mempromosikan budaya membaca. Selama ini kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat cenderung samar-samar sehingga gagal mendorong budaya membaca masyarakat Indonesia. Porsi 20 persen anggaran negara untuk pendidikan belum mampu menyentuh kalangan tidak terdidik dan termaginalkan untuk mendapatkan hak pengetahuannya sehingga jadilah mereka menambah catatan merah angka buta aksara di Indonesia. Dalam mengintervensi itu, pemerintah selayaknya dapat memaksimalkan anggaran untuk memproduksi buku murah dan berkualitas yang didistribusikan ke seluruh Indonesia. Dalam merealisasikan gagasan ini, pemerintah hanya menyiapkan dalam bentuk digital, sedangkan proses cetak dan distribusi diserahkan kepada pemerintah sehingga penyaluran buku tepat sasaran. 

Keempat, miskinnya keteladanan budaya membaca dari kalangan
public figur sehingga budaya membaca belum mengakar kuat di kalangan masyarakat Indonesia secara umumnya. Selama ini para politisi, artis dan professional di Indonesia terlalu asyik bermain dengan ruangnya sendiri dan cenderung gagal menampilkan keteladanan yang baik. Padahal seorang publik figur memiliki pengikut yang banyak dan segala tindakannya mudah ditiru masyarakat. Maka, sudah waktunya dijalin kemitraan strategis antara negara dan para public figur untuk mengampanyekan budaya membaca sehingga gerakan membaca dapat berkembang secara massif dan maksimal dalam segala lini kehidupan masyarakat Indonesia.

Akhirnya meminjam perkataan Yasraf Amir Pilliang
disebabkan menulis itu seperti orang merawat tubuh, dan membaca adalah gizi dari tulisan, maka membaca itu harus dibuatkan rumah yang nyaman. Perlu diciptakan ruang-waktu untuk aktivitas membaca. Bila ruang-waktu untuk membaca itu terbatas akibat berbagai kesibukan (struktural akademis) maka harus diciptakan ruang-waktu tersebut. Diperlukan ruang (rumah, lapangan, kantor) untuk membaca dan diperlukan waktu (istirahat, pagi, malam) untuk melakukannya. Dengan perkataan lain, perlu ditumbuhkan budaya membaca. Membaca tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, melainkan kebutuhan, dengan memberinya ruang-waktu yang memadai, yang kalau tidak diadakan akan mengakibatkan kondisi lapar pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar