Selasa, 18 Februari 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT



SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT

A.  PENDAHULUAN
Kapanpun dan dimanapun  arus perubahan yang bergulir, diakui atau tidak, akan mempengaruhi cara berfikir dan prilaku kehidupan masyarakat. Umat Muslim yang hidup bersama Nabi (muslimat al-risalah) memang tidak mengalami hal ini karena disamping belum ada akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi yang selalu menjadi refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan.[1]
Keadaan tersebut berbeda sekali dengan pasca kenabian, Kaum muslim, terutama yang berada di daerah-daerah baru dibuka (muslimat al-futuh) sudah mengenal peradaban yang lebih maju ketimbang peradaban yang ada di jazirah Arabia. Berbagai problempun mengemuka akibat dari akulturasi budaya, dan tuntutan riil dalam kehidupan. Peristiwa hukum sering tidak ditemukan paralelnya dalam al-Qur’an dan Sunnah sehingga sulit membuat acuan penetapan hukum yang tepat. Akibatnya muncul berbagai fatwa hukum yang saling bersebrangan, karena ada yang terlampau rigid dalam memahami nash, dan ada pula yang terlalu “luas”. Perbedaan-perbedaan pendapat yang mengemuka, kemudian terasa sangat tajam, di sinilah letak pentingnya kehadiran metode dan kaidah ijtihad yang akademis dan solutif, untuk meminimalkan perbedaan di tengah masyarakat.[2]
Memahami sejarah fiqih dan ushul fiqih memiliki urgensi yang signifikan bagi umat Islam. Pengetahuan historis atas kedua ilmu ini memberikan satu kejelasan tentang kedudukannya dalam agama Islam, sehingga dapat menghindarkan umat Islam dari misinterpretasi (salah penafsiran) terhadap ketetapan hukumnya. Sesuai dengan sifatnya, kedua ilmu ini bersifat relatif, terbentuk karena adanya kepentingan kondisional terkait dengan pelaksanaan ijtihad para ulama pada masanya. Dengan demikian ketetapan dan rumusannya bukan bersifat mutlak, tidak final, tetapi memungkinkan terjadi perubahan, rekonstruksi, bahkan dekontruksi.[3]
Kepentingan lain dari kajian historis fiqih dan ushul fiqih adalah menghindarkan adanya konflik yang tidak perlu akibat perbedaan praktek atau pemikiran keagamaan. Selama perbedaan tersebut dalam ranah fiqih dan ushul fiqih,  maka harus diterima sebagai bagian dari toleransi berpendapat. Satu kelompok tidak dapat memaksakan keyakinannya terhadap kelompok lain, apalagi dengan jalan kekerasan. Oleh karenanya, setiap perbedaan pendapat harus dilihat, apakah perbedaan tersebut dalam hal cabang (furu) atau dalam hal pokok (ushul). Jika perbedaan terjadi dalam hal furu maka terbuka ruang untuk menafsirkan berbeda,[4] tetapi jika dalam hal ushul maka hal itu dianggap menyimpang dari mainstream Islam. Berdasarkan alasan inilah pengetahuan tentang sejarah perkembangan fiqih dan ushul fiqih menjadi penting, agar ketetapan hukum dalam Islam tidak tercabut dari masa lalunya.[5]
Fiqih dahulu dipahami sebagai seluruh bangunan ilmu keislaman, yang meliputi dalam bidang keyakinan yaitu aqidah, dalam bidang hukum syari’ah dan dalam bidang akhlak yaitu tasawuf. Dalam perkembangannya fiqih menjadi dipersempit hanya dalam bidang hukum saja. Oleh karena itu, selanjutnya banyak yang menyebutnya sebagai hukum Islam, terutama setelah mengalami terjemahan ke dalam bahasa Inggris menjadi Islamic Law.  Islamic Law is an all embrancing body of religious duties, the totality of Allah’s commands that regulate the life of every Moeslem in its aspects. Hukum Islam, istilah dalam bahasa Indonesia, yang identik dengan  Islamic Law (Muhammad Law) dalam kajian hukum Islam bagi para orientalis, merupakan suatu “istilah baru”. Dalam kajian masa awal Islam, dikenal istilah syari’ah, fiqih, dan hukum syar’i.[6]
Terlepas dari pengistilahan fiqih atau hukum Islam tersebut, fiqih selama ini sampai kepada masyarakat sebagai hasil pemikiran manusia dalam menerjemahkan syari’ah. Fiqih merupakan produk pemikiran ulama. Dengan demikian, kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama terikat dengan zaman dan keadaan lingkungan tempat penulis hidup.[7] Tulisan ini membahas sejarah perkembangan ushul fiqh dan fiqih masa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat serta ciri-cirinya ?
B.  PEMBAHASAN
1.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan Ciri-cirinya
a.    Sejarah Perkembangan Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya.
Tarikh Tasyrik Islam, atau sejarah fiqh Islam, pada hakikatnya, tumbuh dan berkembang di masa Nabi sendiri, karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.[8] Para Fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbatkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas.[9]
Pada Masa Rasulullah adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang sunnah Rasul adalah berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga segala tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa  ini walaupun berusia tidak panjang, namun masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya.[10] Masa Nabi SAW ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
1)   Periode Makkah
Periode pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi SAW. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, akhlak dan sejarah.[11]
2)      Periode Madinah
Periode kedua ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi SAW membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk mengadakan syari’at dan peraturan peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan mereka dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.[12]
Dalam hubungan inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum kriminil dan lain sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantero manusia di dunia. Karena itulah surat-surat Madinah, seperti Surat Al-Baqoroh, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain.[13] Kekuasaan tasyri’iyah (legislatif) pada masa itu dipegang Nabi sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihad mencari hukum, seperti Ali Ibn Abi Thalib dikala melawat ke Yaman, Mu’adz Ibn Jabal ketika menjadi Hakim di Yaman dan Amr Ibn Ash dan lain-lain.[14]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas.[15] Selanjutnya suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.[16]
Fiqih adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut Fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada ulama yang memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.[17]
Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama mu’tazilah, Abu Ali al Jubbani dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah Firaman Allah Surat Al-Najm ayat 3-4 yang artinya, “ Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”.  Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wahyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.[18]
Nabi SAW berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara menyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meyakinkan (qath’i), maka tidak boleh menempuh yang tidak menyakinkan (zhanni). Disamping itu, ijtihad hanya boleh dilakukan bila tidak ada nash, sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah berhenti.[19] Sering terjadi nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sahabatnya tentang kasus. Dalam keadaan demikian, nabi menyuruh menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat memberikan jawaban yang hasil ijtihadnya, tentu nabi tidak perlu berlama-lama menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.[20]
Selanjutnya pendapat dari ulama lain menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masa peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Bila diperhatikan dari beberapa pendapat tersebut beserta argumennya masing-masing, cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagian sunnah nabi adalah berdasarkan ijtihad.[21]
Adapun menurut Philips dalam bukunya Evolusi Fiqh yang dikutip oleh Ali Sodiqin, menyatakan bahwa sumber hukum pada masa Rasul hanya wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah. rasul juga melakukan ujtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun, Hasil ijtihad Rasul inilah yang kemudian disebut dengan sunnah atau hadis. Namun, hasil ijtihad Rasul pada periodenya tidak dianggap sebagai sumber hukum yang independen karena faliditasnya tergantung kepada wahyu, apakah dikonfirmasi atau dikoreksi.[22] Contoh aturan dari Rasul yang dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian dengan cara zihar. Rasul menetapkan zihar yang dilakukan oleh Aus bin As-Shamit kepada istrinya, Khalwah binti Tsa’labahsebagai bentuk perceraian. Qur’an dengan turunnya surah Al-Mujadalah (58) ayat 1-3 yang menetapkan bahwa zihar adalah tidak sah sebagai bentuk perceraian.[23]
b.   Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah dan Ciri-cirinya.
Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah SAW, sampai pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya ada sua , yaitu Al-Qur;an dan Assunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melaiu sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunah. Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan timbulnya ilmu fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut.dan metode ini tak lain adalah ilmu Ushul Fiqh. [24]
Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
 اَمَّا عِلْمُ اُصُولِ الفقه فَلَم يَنشَاء الأ في القَرنِ الثاني الهِجرِى, لانه ف القرن الجهرى الاولِ لم تَدَع حَا جَةً اليه فاالرسولُ كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من القرن بما يَلهِمُ به من السُّنَنِ
Mengenai ilmu Ushul Fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.[25]
Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( Al-Hadist). Pada masa itu di temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khatab RA, sebagai berikut:
 صَنَعتُ اليوم يا رسول الله امرًا عَظِيمًا قبّلت وانا صاءمٌ , فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بماءٍ
 وانت صاءم , فقلت لا بأس بذا لك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فصم
“Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa ? Lalu saya menjawab : tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Pada hadist diatas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium istrinya dengan mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur”. Cara Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa Ushul Fiqh ada bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah. Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung mengambil dari AL-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Disamping itu beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi ijtihadnya dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistimbatkan hukum. Pada masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab RAsulullah SAW dan para sahabat, ketika itu dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.[26]
Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka hasil ijtihadnya pun bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :
 انما أنا بشرٌ فما حدثكم عن اللهِ فهو حقٌّ , وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بشرٌ أُخطىءوأصيبُ
“saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah dan bisa benar.
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar. Sebagai contoh hasil  beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bi Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni:
 ماكان لنبىّ ان يكون له أسرى حتى يثخن فى الأرض , تريدون عرض الدنيا , والله يريد الأخرة , رالله عزيز حكيم.
“tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.[27]
         Jika terhadap hasil Ijtihad Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist).[28] Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.[29]                       
2.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
a.    Sejerah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas hingga meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan Persia, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya.[30]
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.[31]
Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.[32]
Pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab. Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting.[33]
Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad. Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Qur’an, Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.[34]
Ciri khas yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai berikut:[35]
1.    Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqih realistik).
2.    Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka menghargai kebebasan pendapat tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
3.    Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan  oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4.    Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut dan atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah, pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq. Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap jatuh talaq tiga.
5.    Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.


C.  KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam uraian di atas, maka kelompok kami mengambil kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut :
Pertama Umat Muslim yang hidup bersama Nabi (muslimat al-risalah) tidak mengalami banyak masalah karena disamping belum ada akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi yang selalu menjadi refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Ciri-ciri dari sejarah perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.
Kedua pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab. Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting

DAFTAR PUSTAKA
A Djazuli, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Ahmad Al-Mursi husain Jauhar,  Maqashid Syariah, Jakarta: AMZAH, 2009.
Ash-Shiddieqy Teuku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999.
Idri, Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.   
Muchtar Kamal, Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Musahadi, “Elemen Liberal dalam Kajian Fikih Pesantren: Studi atas Pesantren Ma’had Aly Salafiyah Sukorejo SitubondoJurnal Asy-Syir’ah No. 47 Tahun 2013.
Sodiqin Ali, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda, 2012.
Syafe’i Rachmat,  Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung:  CV Pustaka Setia, 2007.
WahyunI Sri  (Ed), Kitab Fiqih Lokal, Menggali Kearifan Lokal Dalam Karya Ulama Indonesia, Yogyakarta: Q-Media dan Jurusan PMH Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.  
Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012.
Yusuf Muhammad,  dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Zahrah Muhammad Abu, Alran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama, 2011. 


[1]Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012), hlm.1.
[2]Ibid.
[3]Ali Sodiqin, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda, 2012), hlm.29.
[4]Ibid. Sudah menjadi fakta bahwa para pakar pada umumnya mempunyai cara berpikir yang berbeda-beda. Kalaupun ada pakar yang mengatakan bahwa manusia, sejak fase awal perkembangannya, sudah berfikir filosofis tentang alam, dapat dipastikan bahwa imajinasi yang dihasilkan oleh cara berfikir itu akan tetap berbeda-beda sesuai dengan obyek dan rangsangan yang mereka tangkap. Makin maju kebudayaan dan peradaban manusia, makin terbuka lebar celah-celah perbedaan pendapat sehingga pada gilirannya melahirkan berbagai aliran filsafat, sosiologi, dan ekonomi. Sebab-sebab perbedaan pendapat tidak mungkin membatasinya, karena disebabkan oleh berbagai faktor diantanya: Objek kajian yang masih gelap, Perbedaan keinginan, kecendrungan dan kepribadian, Perbedaan orientasi, Bertaklid kepada para pendahulu, Perbedaan kapasitas intelektual, cinta kekuasaan, hal ini dapat dilihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Alran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2011), hlm.1.
[5]Ibid.
[6]Sri Wahyuni (Ed), Kitab Fiqih Lokal, Menggali Kearifan Lokal Dalam Karya Ulama Indonesia, (Yogyakarta: Q-Media dan Jurusan PMH Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), hlm.xiii.
[7]Ibid. Lihat juga Musahadi, “Elemen Liberal dalam Kajian Fikih Pesantren: Studi atas Pesantren Ma’had Aly Salafiyah Sukorejo SitubondoJurnal Asy-Syir’ah No. 47 Tahun 2013, hlm.50.
[8]Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,”Pengantar Ilmu Fiqh”,(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm,31.
[9]Ibid. hlm, 31.
[10]Ibid. hlm, 32-33
[11]Ibid, hlm, 33.
[12]Ibid,hlm, 34
[13]Ibid,hlm, 34
[14]Ibid,hlm, 34
[15]Ali Sodiqin,Fiqh Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012) , hlm. 31
[16]Muhammad  Yusuf,  dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005),  hlm 26.
[17]Ibid, hlm. 27
[18]Ibid, hlm. 30
[19] Ibid,hlm, 30
[20] Ibid,hlm, 30
[21]Ibid,hlm, 31
[22]Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh. 32
[23]Ibid.
[24]Muhammad  Yusuf,  dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005),  hlm 34.

[25]Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung:  CV Pustaka Setia, 2007) , hlm 70.
[26]Ibid, hlm 76.
[27]Qur’an Surat Al-Anfal Ayat 67.
[28] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm 9.
[29]Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam… hlm.25. Lihat juga A Djazuli, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.37.
[30]Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS.. hlm 30.  
[31]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm.81.
[32]Ibid. Baca juga Ahmad Al-Mursi husain Jauhar,  Maqashid Syariah,  (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm.17.
[33]Lihat http://ilmukamu.wordpress.com/sejarah perkembangan fiqh pada masa sahabat/ accest at 4.31 tgl 18 Februari 2014.
[34]Ibid.
[35]Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh. 37.

2 komentar:

  1. beberapa motode ushul sudah dipraktekkan pada masa nabi, seperti nasakh, qiyas yang dilakukan oleh nabi, dan pembenaran qiyas sahabat. By: Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW

    BalasHapus
  2. artikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah dan bermanfaat selalu... syukron

    BalasHapus