Rabu, 19 Februari 2014

Korupsi Tanpa Dispensasi

Korupsi Tanpa Dispensasi

Reza Indragiri Amriel  ;   Konsultan bidang Psikologi Yudisial
pada sejumlah institusi penegakan hukum
SINAR HARAPAN,  19 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Surat Edaran Jaksa Agung (Seja) Nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 berisi petunjuk bagi para jaksa agar tidak membawa kasus korupsi dengan nilai kerugian negara kurang dari Rp 10 juta ke peradilan.

Arahan sedemikian rupa bertitik tolak dari perhitungan, ongkos yang harus dikeluarkan untuk penanganan setiap perkara jauh lebih tinggi daripada kerugian akibat korupsi tersebut. Jadi, ibarat besar pasak daripada tiang; akan sangat janggal apabila upaya mengembalikan kerugian negara justru menghasilkan beban keuangan negara yang lebih besar.

Kendati pertimbangan Jaksa Agung masuk akal, proses hukum diselenggarakan tidak sebatas pertimbangan pragmatis "berapa rupiah yang masuk dan berapa perak yang keluar".

Lebih-lebih ini untuk kejahatan luar biasa, seperti korupsi. Penindakan hukum terhadap pelaku dilakukan guna memunculkan dua ragam efek jera. Pertama, efek jera langsung agar pelaku korupsi tidak mengulangi perbuatannya. Kedua, efek jera tidak langsung supaya orang lain tidak berani mencoba melakukan tindak kejahatan lua biasa serupa.

Adanya fungsi proses hukum untuk membentuk efek jera mengarahkan perhatian ke dimensi mikro. Dimensi mikro adalah faktor psikologis yang memengaruhi terbentuknya perilaku korupsi. Dimensi yang berpusat pada diri pelaku korupsi inilah yang sangat mungkin luput dari pertimbangan Jaksa Agung saat menerbitkan surat edaran di atas.

Jadi, kebijakan agar koruptor yang berkorupsi di bawah Rp 10 juta tidak dipidana asalkan mengembalikan uang yang diambilnya, berpotensi besar gagal mengoreksi perbuatan pelaku korupsi tersebut. Pengabaian itu pula yang, seiring dikeluarkannya surat edaran tadi, dikhawatirkan tidak bisa menghentikan pemunculan “manusia-manusia tikus” berikutnya.

Korupsi merupakan perilaku yang dibentuk melalui proses belajar sosial. Seorang individu mengamati individu-individu lain yang sudah lebih dahulu menampilkan perilaku korupsi, serta memerhatikan situasi yang mendukung terjadinya aksi tersebut.

Dari sana, individu tadi membangun persepsi tentang perilaku korupsi berlandaskan perspektif moral. Individu bisa menganggap korupsi sepenuhnya salah. Bisa pula korupsi dinilai salah, namun tetap diterima (ditoleransi). Penilaian lain, korupsi adalah perilaku yang dipandang wajar sehingga diterima masyarakat.

Keinginan individu melakukan korupsi akan terbentuk dan mengalami penguatan saat, sesuai yang ia saksikan di lingkungan sosialnya, korupsi menghasilkan insentif finansial. Maraknya tindakan korupsi yang ternyata tidak dikenai risiko berupa sanksi hukum juga memperteguh niat meniru perbuatan jahat tersebut.

Ringkasnya, motivasi melakukan korupsi timbul dan semakin kokoh ketika korupsi didefinisikan individu sebagai sesuatu yang tidak salah. Kalaupun dipersepsikan salah, korupsi tetap bisa dibenarkan hingga derajat tertentu karena melihat dilakukan banyak orang tanpa hukuman.

Mekanisme belajar sosial di atas mendasari penjelasan tentang imbas yang akan berlangsung pascadikeluarkannya Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-113. Pertama, pada satu sisi korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Namun, pencantuman batasan rupiah dalam surat edaran Kejaksaan Agung justru membuka ruang toleransi, bahkan peluang berkompromi bagi penjahat koruptor tertentu.

Definisi evaluatif tentang korupsi pun tak ayal menjadi tidak sesolid yang dibayangkan. Ada ambivalensi. Terlepas dari hitungan-hitungan besar pasak daripada tiang yang dikemukakan Kejaksaan Agung, di kepala siapa pun kini dapat terbangun anggapan, pelaku korupsi tidak selalu merupakan musuh besar. Kedua, mindset yang terbentuk sedemikian rupa menghambat terealisasinya efek jera. Jadi, orang-orang tidak lagi khawatir berkorupsi dengan batas maksimal Rp 10 juta.

Korupsi kelas “sepele” akan marak. Tragisnya, itu justru “terjustifikasi” serta “terfasilitasi” kebijakan yang dikeluarkan lembaga penegakan hukum. Semakin ironis karena lembaga tersebut adalah Kejaksaan Agung, institusi yang sesungguhnya diberi mandat Bekerja dengan filosofi retributif, yakni penghukuman seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan, apalagi koruptor.

Ketiga, korupsi memunyai berbagai modus, antara lain penyuapan dan gratifikasi. Apakah Jaksa Agung juga menyertakan modus tersebut dalam surat edarannya dengan mengatur bentuk perlakuan bagi penyuap dan pemberi gratifikasi? Jika tidak diatur, jangan salahkan publik apabila kelak muncul dugaan penerima suap dan gratifikasi yang berasal dari pegawai negeri maupun penyelenggara negara seakan terlindungi jika besaran korupsi mereka tidak melebihi Rp 10 juta.

Saat yang sama, pemberi suap atau gratifikasi tetap dikenai sanksi berdasarkan aturan lain—Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi, misalnya—yang tidak memberikan toleransi apa pun bagi pemberi uang suap, maupun gratifikasi dalam jumlah berapa pun.

Keempat, aksi korupsi di bawah Rp 10 juta dapat dipastikan berlangsung di wilayah-wilayah yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat kecil dan sederhana.

Atas dasar itu, surat edaran Jaksa Agung menyimpan potensi bahaya besar karena berekses pada kian merajalelanya korupsi di lapisan masyarakat yang selama ini nyata-nyata menjadi pihak yang paling dibuat menderita akibat korupsi. Pemberian dispensasi bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara (pelayan publik) yang berkorupsi di bawah Rp 10 juta—disadari maupun tidak—menempatkan masyarakat kecil pada posisi yang semakin rentan mengalami viktimisasi.

Segenap komponen bangsa, wabil khusus otoritas penegakan hukum, kentara masih harus menyatukan spirit terkait pemberantasan korupsi. Surat edaran Jaksa Agung tersebut sewajarnya ditarik dari peredaran. Poin tentang aturan dispensasi bagi pelaku korupsi di bawah Rp 25 juta, yang tercantum pada RUU Tipikor (versi pemerintah), sepatutnya ditolak. Perang bubat terhadap korupsi sampai kapan pun! Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar