Senin, 10 Februari 2014

Basa-Basi Politik Impor Beras Vietnam

Basa-Basi Politik Impor Beras Vietnam

Pangki T Hidayat   ;   Staf Peneliti Bulaksumur Empat Research dan Consulting (BERC), Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  08 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Fenomena kebijakan “nyeleneh” kembali menyeruak ke permukaan seiring dengan akan digelarnya ritual akbar demokrasi Indonesia, Pemilu 2014, April mendatang.
Siapa pun tahu, di negara ini demokrasi memerlukan biaya yang tak sedikit. Akibatnya, sering kali muncul kebijakan-kebijakan yang terkesan hanya ingin mengeruk pundi-pundi keuntungan semata.

Begitu pula yang terjadi di tahun politik saat ini, kasus impor beras Vietnam menyeruak menjadi bumbu tidak sedap bagi pemilu mendatang. Lebih dari itu, keberadaan beras tersebut di pasaran jelas merugikan para petani lokal.
Harga beras medium lokal berkisar Rp 9.000 per kg, sedangkan beras impor dari Vietnam ini dijual dengan harga Rp 8.500 per kg.

Meskipun selisih harga hanya Rp 500 per kg, namun bagi para petani gurem jelas memiliki dampak yang luar biasa. Kehidupan petani gurem yang sudah sulit menjadi semakin sulit lagi, karena beras lokal yang mereka tanam menjadi kurang diminati di pasaran.

Di Indonesia, sektor pertanian memegang peranan penting dalam menopang kehidupan bermasyarakat. Ada sekitar 40 juta jiwa yang bekerja sebagai petani dan setidaknya ada 160 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini.

Artinya, sekitar 64 persen dari total sekurangnya 250 juta jiwa penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya menyiapkan program-program perlindungan untuk sektor pertanian tersebut, khususnya program perlindungan untuk para petani gurem.

Berdasarkan data dari BPS, jumlah petani gurem di Indonesia menyusut sebesar 4,77 juta jiwa sepuluh tahun terakhir ini. Data tersebut didapat dari survei pertanian yang dilakukan BPS pada Mei 2013. Artinya, kini sektor pertanian semakin menjadi lahan yang tak diminati.

Bertani dipandang sudah tak lagi relevan dengan banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi masyarakat. Dengan semakin menyusutnya jumlah petani, potensi kemandirian pangan yang diamanatkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan bisa saja hanya menjadi sebuah wacana.

Seyogianya, pemerintah memberikan jawaban tegas atas munculnya kebijakan yang tak elok tersebut. Alih-alih demikian, yang terjadi ialah saling tuding dan lempar tanggung jawab atas siapa yang berwenang di balik adanya impor beras Vietnam tersebut. Lempar tanggung jawab dan saling tuding bukan menjadi wacana baru di negara ini, melainkan telah berlangsung beberapa dekade.

Hal ini jelas merupakan cermin lemahnya koordinasi di antara kementerian terkait. Potret buram seperti ini rasa-rasanya sangat tak elok untuk ditunjukkan kembali setelah 68 tahun negara ini merdeka. Artinya, sepatutnya para pemegang kekuasaan saat ini sudah memiliki jiwa kesatria dan berani bertanggung jawab, bukan sebaliknya.

Merujuk dari fenomena budaya masyarakat Indonesia, beras atau nasi ialah komoditas makanan pokok mereka. Beras sudah melekat di dalam jiwa masyarakat, tidak mempunyai beras artinya tidak makan nasi, tidak makan nasi berarti tidak kenyang. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi negara pemakan nasi terbanyak di dunia. Tingkat konsumsi beras tiap orang di Indonesia mencapai 130-140 kg per tahun.

Belajar dari Pengalaman

Ada dua hal yang bisa dicermati dari kontroversi impor beras Vietnam, yakni perlunya pembenahan koordinasi pejabat negara dan kemungkinan perubahan paradigma bahwa “makan” tak harus nasi. Lemahnya koordinasi di antara pejabat negara jelas bukan merupakan wacana baru. Sayangnya, niat pembenahan hanya muncul mana kala muncul sebuah kasus seperti saat ini.

Ketika kasus tersebut menghilang seiring berjalannya waktu, niat dan upaya pembenahan koordinasi antarpejabat negara turut sirna. Contoh lain, paradigma seperti ini secara nyata juga dapat terlihat dari upaya penanganan banjir di Jakarta, penanganan penegakan hukum, dan pemerataan pendidikan secara nasional.

Upaya-upaya yang tak konsisten seperti ini hendaknya dihilangkan. Harus ada upaya yang serius dan aturan yang tegas terkait koordinasi antarpejabat negara dan pemangku kekuasaan lainnya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi saling tuding dan lempar tanggung jawab antarpejabat negara seperti yang selama ini terjadi.

Selain itu, idiom yang telah melekat di masyarakat yakni “makan” adalah nasi harus pelan-pelan diubah. Bukan persoalan bahwa nasi itu tidak bergizi, melainkan karena keistimewaan sumber karbohidrat seperti nasi di Indonesia ini sangat banyak. Misalnya, jagung, ketela, maupun sagu yang begitu melimpah di Indonesia bagian timur.

Aneka sumber karbohidrat ini jelas perlu dimanfaatkan. Dengan pemanfaatan berbagai jenis sumber karbohidrat tersebut secara merata, akan memunculkan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat maupun bagi negara.

Bandingkan saja, harga beras rata-rata di kisaran Rp 8.000 hingga Rp 12.000 tiap kg, dengan harga yang sama masyarakat bisa memperoleh 2-3 kg jagung maupun ketela yang sama-sama merupakan sumber karbohidrat. Selama ini wacana seperti itu sudah ada, hanya saja paradigma “inkonsistensi” di negara ini memang sulit dihilangkan.

Seyogianya, sebagai masyarakat kita bisa melihat dengan cermat perilaku pejabat negara saat ini. Fenomena saling lempar tanggung jawab impor beras Vietnam jelas membuktikan bahwa pejabat negara dan pemangku kekuasaan yang ada tidak konsisten dalam menegakkan pembenahan koordinasi antarpejabat yang telah lama diwacanakan.

Bagi masyarakat, panggung politik 2014 hendaknya menjadi tonggak perubahan untuk tidak memilih kembali pejabat negara yang inkonsisten terhadap pembenahan koordinasi antarpemangku kekuasaan. Jika tidak, kasus seperti impor beras Vietnam yang merugikan petani kita, jelas akan selalu berulang dan tidak ada pejabat yang bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar