Sabtu, 08 Februari 2014

Relokasi Korban Sinabung

Relokasi Korban Sinabung

Joyakin Tampubolon   ;   Widyaiswara Madya Kementerian Sosial, Lulusan S3 IPB
KORAN JAKARTA,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengisyaratkan pemerintah akan merelokasi korban erupsi Gunung Sinabung dari lima desa di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara.

SBY mengemukakan rencana itu ketika berdialog dengan para pengungsi di tenda pengungsian, Kabanjahe, Kabupaten Karo, 23 Januari.

Relokasi untuk melindungi korban terdampak Sinabung agar ke depan meraih kehidupan yang aman, tenteram, dan damai. Kondisi pengungsi yang memprihatinkan sekarang harus berubah menjadi lebih baik di masa depan.

Hanya, untuk sementara, pemerintah jangan mengasesmen apa pun terkait relokasi saat warga terdampak dalam kondisi ketidakpastian karena mengungsi, jauh dari lingkungan permukiman.

Mereka meninggalkan harta benda produktif dan harta berharga lainnya. Pemerintah jangan menafsir ketika hampir lima bulan bayi, anak-anak, remaja, pemuda, ibu hamil, orang lanjut menempati tenda pengungsian serbaminim fasilitas kemanusiaan. Warga belum bisa menentukan sikap terkait relokasi.

Para pengungsi dalam situasi negatif, kini menghabiskan sebagian besar waktu secara tidak produktif. Tidak banyak kegiatan produktif dilakukan seperti membuat kue nastar agar mendatangkan penghasilan, seperti dijalani ibu-ibu di Paroki Santo Petrus dan Paulus, Kabanjahe.

Juga, umumnya, warga terdampak dalam kondisi kesehatan jasmanirohani yang sangat menurun. Mereka kehilangan harta benda, rumah, perabot kemungkinan rusak, sumber daya pertanian hancur.

Ini berdampak penghasilan menurun drastis. Berlama-lama di pengungsian mengganggu kesehatan. Dari sisi pendidikan, anak di berbagai strata sekolah, warga dikepung persoalan berat. Biaya bulanan pendidikan anak di luar kota tergganggu.

Bantuan pendidikan pemerintah memang menolong, tapi warga memerlukan kepastian, kapan penghasilan kembali stabil agar keperluan pendidikan tertanggulangi baik seperti semula. Relokasi! Program ini pada era Orde Baru (Orba) bernama resetlemen.

Banyak ditemukan "duri dan onak” dari program resetlemen, memindahkan manusia dari permukiman lama dengan segala potensi ke lokasi baru. Resetlemen memiliki keterikatan dengan aspek keluarga, emosional, historikal, sosial, sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi.

Program resetlemen bisa dinilai cukup berhasil dari dimensi redistribusi lahan baru kepada penduduk (landreform) oleh pemerintah Orba.

Jika memilah-milah persoalan resetlemen masa lalu, ada beberapa masalah penting yang harus diantisipasi. Resetlemen maupun relokasi intinya sama: memindahkan manusia dari permukiman lama ke tempat baru.

Pelaksana adalah Direktorat Jenderal Pembangunan Desa, Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Bantuan Sosial dan Direkorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial.

Pemerintah membangun/menyediakan minimal sekitar 60 rumah sederhana, maksimal sekitar 150 rumah bergantung kondisi lokal. Rumah sederhana digratiskan berukuran 4 x 6 meter2 berdinding gedek, atap seng. Lahan tidur pun digratiskan.
Warga memberdayakan lahan sebagai usaha pertanian dan peternakan. Ukuran lahan usaha maksimal per kepala keluarga (KK) dua hektare. Ketika itu, potensi lahan tidur milik pemerintah relatif luas.

Jarak lokasi permukiman "lama” dan baru relatif terjangkau, berada dalam satu daratan, juga pada wilayah administratif pemerintahan atau satu kabupaten. Kemudian melakukan sosialisasi, penyuluhan, bimbingan sosial, usaha ekonomis produktif.

Ada pendampingan, dan petugas lapangan (pendamping) tinggal bersama warga. Pendamping sebagai agent of changes pada tiap lokasi. Persoalan krusial ketika hari "H” banyak keluarga enggan dipindahkan.

Alasan utama, tak mau "berpisah” dengan lingkungan, situasi dan kondisi lokasi lama. Warga merasa "krasan” di lokasi lama. Mereka telah tinggal dalam waktu panjang, bahkan turun-temurun. Terkait keengganan/penolakan sebagian penduduk, bahkan warga yang sudah pindah pun, dalam waktu singkat memutuskan kembali menetap di lokasi permukiman lama.

Pembelajaran 

Kendala program resetlemen dulu harus dijadikan pembelajaran dalam program relokasi warga lereng Gunung Sinabung, mengingat mereka berasal dari daerah pertanian subur, produk pertanian bernilai ekonomi tinggi, marketing produk yang baik, usaha pun propektif.

Masalah-masalah tadi sebagai contoh yang bisa saja terjadi dengan rencana pemerintah merelokasi warga terdampak erupsi Gunung Sinabung. Tingkat kesulitan dari tiap problem ketika implementasi resetlemen harus dapat dieliminasi seminimal mungkin.

Apalagi perpindahan manusia dari permukiman lama ke baru biasanya berhadapan dengan problematik yang kurang lebih sama. Perubahan yang terjadi di berbagai wilayah tidak terlalu signifi kan.

Pemerintah merelokasi korban erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dengan menyiapkan hunian tetap (huntap) 2.739 unit rumah di Plosokerep, Umbulharjo, Pagerjurang, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman.

Sebanyak 301 KK belum mau dipindahkan karena Kali Gendol dan Kali Kuning dianggap rawan (keduanya melalui daerah-daerah itu). Pengalaman di Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dikaji teliti oleh Pemprov Sumut dan Pemkab Karo dengan studi banding.

Untuk kasus Sinabung, relokasi sebagai program jangka menengah. Maka, dalam waktu 5 tahun–10 tahun kemungkinan program relokasi korban erupsi Gunung Sinabung baru dipersiapkan sebagai alternatif perlindungan sosial. Presiden SBY menugaskan BNPB menangani relokasi.

Kinerja BNPB dalam penanggulangan berbagai bencana masih amburadul. Warga pesimistis melihat praktik manajemen bencana berbiaya tinggi, tapi hasilnya mengecewakan. Sinerji kebijakan dalam program kebencanaan bisa diimplementasi baik manakala ditopang manajemen profesional.

Mekanisme kerja sama antarpemangku kepentingan harus transparan. Mereka mematuhi komitmen UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada tataran implementasi link and match, lemah.

Badan penanggulangan bencana pemerintah Amerika Serikat, Federal Emergency Management Agency (FEMA) didukung peralatan canggih, SDM unggul, profesional, berpengalaman, dan berketerampilan tinggi.

Walaupun FEMA profesional, selalu merujuk berbagai persoalan teknis kepada pemerintah/swasta yang memiliki kompetensi teknis. FEMA berupaya seluruh korban harus tertangani baik. Relokasi berhasil jika berbasiskan masyarakat (community based).

Warga berhadapan dengan "ujian hidup” di lokasi baru. Relokasi berbasis masyarakat mewajibkan pemanfaatan potensi sumber daya alam, sosial, ekonomi di permukiman baru. Korban tsunami Aceh, Nias, Sri Lanka, umumnya tak mau "mundur” dari pesisir pantai.

Alasan, kultur kehidupan mereka berinteraksi erat dengan lingkungan pantai dan laut. Apalagi sumber daya pantai dan laut menjanjikan keuntungan ekonomis kini dan di masa depan. Pantai juga menjadi salah satu objek wisata menjanjikan.
Korban badai Sandy di Manhattan pun memilih kembali ke rumah, dan berencana membangun rumah lebih kuat, ketimbang pindah tempat tinggal sekalipun aman dari langganan hantaman badai.

Relokasi korban erupsi Gunung Si nabung perlu kajian pengalaman pemindahan di dalam maupun luar negeri. Sebab, relokasi berada dalam konteks rehabilitasi sosial dan perlindungan sosial terhadap manusia rentan. Mereka harus memperoleh pemulihan, pemberdayaan, dan penguatan kehidupan secara berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar