Minggu, 09 Februari 2014

Pers dan Kontrol Publik

Pers dan Kontrol Publik

Hasyim Asy’ari   ;  Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro (Undip)
SUARA MERDEKA,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
MAU mengakui atau tidak, bila pers memberitakan secara bertubi-tubi suatu kasus hukum maka aparat penegak hukum lebih memprioritaskan penanganan perkara tersebut. Kita sering mendengar aparat penegak hukum menggunakan istilah ”kasus yang mendapat perhatian publik” dan sejenisnya.

Terdapat kecenderungan aparat mendahulukan penanganan kasus tersebut ketimbang kasus lain. Penanganannya pun lebih hati-hati dan cermat, dan mereka cenderung terbuka kepada publik, minimal melalui pers. Di satu sisi aparat merasa publik merasa tengah menyorot kinerja sehingga mereka tidak mau kehilangan muka,  sehingga memprioritaskan penuntasan kasus itu.

Di sisi lain, pers berperan besar menyuarakan apa yang dikehendaki masyarakat. Ada dua kasus menarik yang bisa menjadi contoh. Pertama; ramainya pemberitaan seputar pengangkatan mantan sekda Kabupaten Bintan Azirwan sebagai Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sekitar Oktober 2012. Semula pengangkatan itu dinilai tidak menyalahi peraturan hukum.

Belakangan pengangkatan itu menjadi ”badai kritik” setelah sejumlah aktivis antikorupsi dan akademisi mengangkat isu itu ke permukaan melalui pers. Salah satu kritik tajam dan mendasar disampaikan Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Masíudi, yang berpendapat mantan terpidana koruptor semestinya jangan dipilih lagi.

Argumentasinya adalah pejabat itu pernah mendapat amanat sebagai aparatur negara, tetapi mengkhianati. Karena itu, pejabat yang terbukti pernah korupsi, jangan dipromosikan menduduki jabatan publik, bahkan jika perlu diberhentikan dari PNS. Kepala daerah yang mengangkat mereka pun berarti mencederai rasa keadilan dan moralitas publik.

Tak lama kemudian Mendagri mengeluarkan seruan melalui Surat Edaran Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Edaran itu menegaskan, mantan terpidana dilarang menjadi pejabat, dan seandainya mereka terlanjur diangkat pun harus diberhentikan.

Pada awal November 2012, hampir sepekan berturut-turut, harian nasional menurunkan berita seputar pengangkatan sejumlah pejabat struktural ”bermasalah” di beberapa pemda. Rangkaian judul berita headline itu menuliskan ”Bersihkan Pemerintahan: Masih Banyak Bekas terpidana Korupsi Bercokol di Pemerintahan Daerah”; ”153 PNS Bekas Terpidana: Sejumlah Pejabat di Daerah Tak Gubris Edaran Mendagri”;

Lainnya adalah ”Amanat Rakyat Diabaikan: Kepala Daerah Harus Punya Sensitivitas Tinggi Perangi Korupsi”; ”Beri Sanksi Kepala Daerah: Promosi Eks Terpidana Korupsi”; dan ”Cabut SK Bekas Terpidana: Cederai Gerakan Pemberantasan Korupsi”. Pilihan bahasa dalam berita itu pun mengungkap fakta dan sekaligus menebar tuntutan masyarakat.

Kedua; kontrol masyarakat berupa petisi melalui media sosial di dunia maya. Contohnya perebutan wewenang penyidikan kasus simulator SIM Korlantas Polri. Situs media sosial change.org melansir petisi, ”Serahkan Kasus Korupsi Polri ke KPK! Hentikan Pelemahan KPK!” Petisi ini dimulai dan didukung oleh sejumlah tokoh.

Petisi itu berhasil mengumpulkan 15.036 tanda tangan lewat media online hanya dalam waktu 3 hari (5-7 Oktober 2012). Kemudian change.org mengirimkan 15.036 petisi itu kepada Susilo Bambang Yudhoyono (presiden), Timur Pradopo (waktu itu Kapolri), Oegroseno (waktu itu Kepala Lembaga Pendidikan Polri), Tjatur Sapto Edi (Wakil Ketua Komisi III DPR), Muhammad Nasir Djamil (Wakil Ketua Komisi III DPR), dan Eva Sundari (anggota Komisi III DPR).

Kita bisa membayangkan email mereka kebanjiran kiriman 15.036 email atas nama penanda tangan petisi. Gerakan petisi online lewat change.org tersebut akhirnya mendorong Presiden SBY mengambil kebijakan pada Selasa, 9 Oktober 2012 untuk menyerahkan penyidikan kasus Simulator SIM ke KPK.

Posisi Pers

Pers akan ditempatkan dalam dua posisi, yaitu sebagai mediator dan kekuatan sosial politik. Dalam posisi memediasi, pers merupakan refleksi dari dinamika interaksi antara negara dan  kekuatan sosial politik masyarakat, dan antarkekuatan sosial politik di masyarakat. Pers juga menjadi salah satu kekuatan sospol di tengah percaturan kekuatan politik antara negara dan kekuatan sosial politik masyarakat. Pada posisi itu, pers menjadi salah satu aktor kekuatan sosial politik masyarakat itu sendiri.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan jaminan kebebasan pers. Melalui regulasi itu mulai diperkenalkan hak tolak wartawan mengungkap nama atau identitas lain sumber berita, yang harus dirahasiakan. Undang-undang itu juga memberikan ruang kontrol terhadap pers melalui hak jawab seseorang/sekelompok terhadap pemberitaan yang dianggap merugikan.

Demikian pula hak koreksi dari tiap individu untuk meluruskan informasi yang diberitakan pers, baik tentang individu tersebut maupun orang lain. Pers juga dikenai kewajiban mengoreksi  atau meralat suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang diberitakannya.

Pada akhirnya, di satu sisi pers, yang pada 9 Februari besok memperingati Hari Pers Nasional (HPN), dapat berperan sebagai media bagi masyarakat untuk mengontrol penegakan hukum. Di sisi lain, masyarakat juga mengontrol pers melalui hak jawab dan hak koreksi supaya pers tak terjatuh ke lembah fitnah yang merugikan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar