Senin, 17 Februari 2014

Mahkamah (yang) Kebablasan

                     Mahkamah (yang) Kebablasan

Refly Harun  ;   Pengamat dan Praktisi Hukum Tata Negara,
Direktur Eksekutif Corret (Constitutional and Electoral Reform Centre)
MEDIA INDONESIA,  15 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
TERTANGKAP tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar pada 2 Desember 2013 merupakan peristiwa besar, bahkan sangat besar, yang menampar wajah penegakan hukum negeri ini. Bagaimana tidak, seorang ketua lembaga tertinggi keadilan ditangkap karena perbuatan hina dina, memungut rente dari pihak yang beperkara.

Peristiwa Akil tersebut menyeruakkan dua hal yang selama ini luput dari perhatian publik karena begitu terpukau oleh prestasi MK. Harus dikatakan, ada yang salah dalam rekrutmen hakim konstitusi dan ketiadaan pengawasan terhadap hakim MK makin membuktikan adagium Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Bila rekrutmen hakim konstitusi baik, tentu tidak akan pernah terpilih sosok seperti Akil, terlebih sebagai hakim konstitusi periode kedua, karena sebelumnya telah ada pengaduan terhadap sosok tersebut.

Good governance

Perkara rekrutmen dan pengawasan itulah yang hendak dijawab Perppu Penyelamatan MK yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 2004 tentang MK. Dari sisi rekrutmen, diatur syarat hakim konstitusi yang tidak boleh berasal dari anggota partai politik (parpol) kecuali sudah berhenti sekurang-kurangnya tujuh tahun. Diatur pula mengenai keberadaan panel ahli independen yang ditugaskan untuk `membantu' Mahkamah Agung (MA), DPR, dan presiden dalam melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon-calon hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut.

Meskipun pengajuan hakim konstitusi merupakan kewenangan ketiga lembaga tersebut, MA, DPR, dan presiden tetap harus menjunjung tinggi prinsip good governance. Semua lembaga negara, termasuk semua pejabat negara, pada hakikatnya terikat pada prinsip good governance dalam menjalankan atau melaksanakan kewenangan. Dengan demikian diharapkan, tidak lagi terjadi MA dan presiden asal main tunjuk hakim konstitusi, lalu DPR mengadakan uji kelayakan dan kepatutan pura-pura karena pemenang sudah ditentukan di belakang layar.

Dari sisi pengawasan, setelah MK melumpuhkan kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi hakim konstitusi pada 2006, UU Nomor 4 Tahun 2014 mengintroduksi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang bersifat permanen, yang sekretariatnya berada di KY. Maksudnya agar setiap saat ada lembaga yang mengawasi hakim-hakim MK, sekaligus saluran tetap bagi seluruh masyarakat yang mau melaporkan perilaku menyimpang hakim konstitusi. 
Diharapkan, tidak akan ada lagi Akil-Akil baru dalam sejarah MK sampai kapan pun.

Sayangnya, segala upaya untuk melihat segera pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap MK justru dihancurkan hakim-hakim konstitusi sendiri. Dalam pandangan hakim konstitusi, aturan tentang larangan anggota parpol menjadi hakim konstitusi, pembentukan panel ahli independen, dan den, dan MKHK permanen bertentangan dengan konstitusi. Tidak ada dissenting opinion dalam putusan yang dibacakan pada 13 Februari tersebut, yang proses persidangannya hanya memakan waktu 11 hari kerja!

Putusan tersebut ibarat reaksi balik dari hakim-hakim MK yang marah atas opini atau desakan publik selama ini. Hari-hari terakhir ini kita akan segera menyaksikan reaksi balik publik yang mungkin juga akan marah. Namun, tulisan ini tidak hendak memprovokasi putusan MK tersebut. Sebagai sebuah putusan hukum, kita menghargai apa yang telah dituliskan para hakim tersebut walaupun dengan perasaan menggerutu dan geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin ada lembaga yang tidak mau diawasi padahal memiliki kekuasaan superhebat?

Konfirmasi Akil

 Pekan depan, perkara Akil Mochtar akan mulai diperiksa di Pengadilan Tipikor Jakarta. Akil akan duduk dalam kursi pesakitan sebagai terdakwa korupsi. Dari Pengadilan Tipikor Jakarta itu pulalah nanti akan terkonfirmasi apakah hakim hakim lain terlibat sebagai jemaah korupsi Akil.

Bila iya, tidak ada lagi moral ground bagi para hakim itu untuk bertahan di kursi suci hakim konstitusi kendati formalisme hukum asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) tetap dijunjung tinggi. Bila tidak, kita harus moving on, berjalan ke depan, untuk tetap memercayakan kereta MK kepada sais-sais konstitusi tersebut. 

Walaupun sebagian besar dari mereka tidak terpilih dalam mekanisme yang menjunjung tinggi prinsip transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel yang telah menjadi empat mantra dalam rekrutmen hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Seiring dengan hal itu, DPR, MA, dan presiden harus didesak untuk membuat aturan internal yang dapat mengejawantahkan prinsip partisipatif, transparan, objektif, dan akuntabel dalam rekrutmen hakim konstitusi ke depan, terlebih kepada DPR yang harus mengisi kekosongan dua hakim konstitusi. Selain Akil yang sudah diberhentikan, Hakim Konstitusi Harjono yang juga berasal dari DPR akan pensiun awal April nanti.

Dari sisi pengawasan, kita harus mendesak MK segera melantik para anggota Dewan Etik. Tidak ada rotan akar pun jadi, tidak ada MKHK permanen, Dewan Etik pun tidak apa. Yang penting, jangan biarkan MK terjerembap kembali pada kasus korupsi karena ketiadaan pengawasan.

Mencintai MK bukan berarti membiarkan dan mengamini semua yang dilakukan para hakim konstitusi. Mencintai MK harus berani `menjewer' hakim-hakimnya kalau tidak benar. Kecintaan itu pernah saya ejawantahkan ketika mengungkapkan dugaan pemerasan oleh Akil Mochtar pada 2010. Tidak banyak yang percaya pada waktu itu, bahkan MK `mengucilkan' saya, orang yang pernah menjadi bagian MK sebagai staf ahli. Namun, kebenaran akhirnya terungkap ketika Akil tertangkap tiga tahun kemudian.

Mudah-mudahan gerutuan dan `kemarahan' saya atas putusan MK kali ini, yang menurut saya sangat keterlaluan, menjadi `jeweran' yang bermanfaat bagi para hakim untuk menjadi lebih baik, bukan untuk kembali mengucilkan dan mengancam siapa pun yang kritis kepada MK dengan bahasa baru yang dikenalkan dalam putusan MK kali ini, contempt of court!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar