Minggu, 09 Februari 2014

Era Generasi Melek Media

Era Generasi Melek Media

Trimanah   ;  Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula)
SUARA MERDEKA,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
"Selain jadi kawah candradimuka bagi calon jurnalis, perguruan tinggi harus terlibat aktif dalam media literacy"

ERA reformasi telah melahirkan begitu banyak perubahan yang sangat fundamental dalam  tata kelola bangsa dan negara kita. Ini adalah era ketika banyak hal yang dulu mustahil kini bisa dengan mudah terjadi. Era yang serbaterbuka, nyaris tanpa sistem kontrol yang mengikat  jelas (peraturan dan perundang-undangan).

Bila ada sistem kontrol pun bersifat lemah karena sistem itu bisa ìdiutak-atikî sedemikian rupa oleh sistem baru yang terbentuk di tengah masyarakat. Alih-alih sebagai alat perlindungan bagi masyarakat yang berfungsi sebagai jaminan akan terlaksananya sistem itu, justru dijadikan tameng pembenaran atas banyak tindakan.

Salah satu produk reformasi adalah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang acap disebut UU Kebebasan Pers. Dengan UU ini maka pers nasional memiliki hak secara konstitusional dalam hal berkait media dan bahan-bahan yang dipublikasikan tanpa ada campur tangan ataupun sensor dari pemerintah. Namun dalam praktik, UU tersebut acap menjadi alat untuk sekelompok orang dalam menyebarluaskan informasi secara tidak bertanggung jawab dan jauh dari profesionalisme.

Pengibaratannya, dulu pers dikekang sedemikian rupa oleh penguasa yang memiliki powerfull untuk memperlakukan pers dan media. Sekarang, melalui UU itu pemerintah harus melepas power itu dan mengalihkannya kepada pers untuk mengatur diri sendiri. Di sinilah titik krusialnya. Permasalahan kebebasan pers tidak lagi menyangkut pada intervensi pemerintah, tapi kepentingan banyak pihak, termasuk pemilik modal. Bukan rahasia lagi bahwa sekarang kepentingan pemodal dan pemilik media tampil secara terang-benderang. Pers Indonesia saat ini telah memasuki era industrialisasi media.

Pers hanya bisa menjalankan fungsi bila ada jurnalis yang berjibaku mencari dan mengolah berita. Jurnalis bukanlah orang sembarangan melainkan profesi yang perekrutannya lewat seleksi ketat. Untuk mengubah kondisi pers yang lebih baik dan profesional pada masa depan, perlu menyiapkan sebaik mungkin calon jurnalis.

Anthony Giddens, sosiolog Inggris yang terkenal dengan teori strukturasi dan pandangan menyeluruh tentang masyarakat modern mengatakan bahwa untuk mengubah suatu kondisi, perlu perubahan pengisi struktur. Di sinilah peran penting perguruan tinggi mengingat di tempat itulah calon jurnalis ini mengasah ilmu dan keterampilan.

Calon jurnalis dididik tak hanya untuk memahami konsep 5W + 1H tapi juga dipersiapkan memiliki indepensi tinggi dan kritis terhadap permasalahan. Mereka itulah yang nantinya mengisi struktur pers kita sehingga menjadi lebih baik. Untuk itu perguruan tinggi harus memberi ruang cukup bagi mahasiswa untuk berekspresi  dan mengkritisi fenomena di sekitarnya baik itu dalam bentuk tulisan maupun kajian.

Selain menjadi kawah candradimuka bagi calon jurnalis, perguruan tinggi harus  terlibat aktif dalam media literacy, yaitu kegiatan untuk memberikan pemahaman kepada publik, terutama generasi muda, supaya melek media. Masyarakat yang melek media adalah yang mampu memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media.

Kemampuan itu supaya mereka, sebagai konsumen media, menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. Pada era informasi, pemahaman generasi muda tentang realitas dicapai terutama melalui media massa, termasuk  informasi atau pemahaman tentang fenomena di masyarakat. Media massa memiliki kemampuan membangun pencitraan dalam benak generasi muda sekaligus membentuk pendapat mereka.

Pers (media) seringkali hanya menyoroti aspek tertentu dan mengabaikan aspek lain dalam memandang kenyataan. Isi pesan media massa sangat bergantung pada kepentingan ekonomi dan ideologis pemilik media. Namun strategi media diimplementasikan secara halus supaya publik tidak menyadari.

Menganalisis Isi

Paling tidak melalui media literacy, generasi muda diajarkan supaya bisa menguasai empat kemampuan, yaitu kemampuan mengakses media, menganalisis isi media sesuai dengan konteks, mengkritik media massa, dan menulis pesan dalam berbagai bentuk dan jenis media. Melalui media literacy berarti perguruan tinggi telah berupaya menyiapkan generasi yang lebih baik.

Generasi melek media adalah generasi  yang mampu memahami bahwa media dibangun dengan tujuan menyampaikan ide, informasi dan berita dari perspektif orang lain. Mereka telah mengerti bahwa di dalam media terdapat teknik-teknik khusus yang digunakan untuk menciptakan efek emosional.

Generasi melek media mampu mencari alternatif sumber informasi dan hiburan. Mereka tahu bagaimana menggunakan  media supaya bermanfaat, tahu bagaimana harus bertindak, dan bukannya justru berlaku sesuai konstruksi media dan menindaklanjuti kenyataan dalam kerangka media tersebut. Generasi melek media adalah generasi yang lebih baik dan berkualitas.

Media literacy bisa dijadikan oleh generasi ini sebagai alat demokrasinya. Dengan begitu, perguruan tinggi telah berkontribusi dalam menyiapkan insan pers yang berkualitas dan juga menjadikan publik muda paham akan kekuatan pers dan media sehingga dapat melihat secara jernih semua permasalahan sekaligus menemukan solusinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar