Rabu, 19 Februari 2014

KY Bukan Subordinat Kekuasaan Kehakiman

KY Bukan Subordinat Kekuasaan Kehakiman

Wiwin Suwandi  ;   Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Makassar
MEDIA INDONESIA,  19 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
PUTUSAN Mahkamah Konstistusi (MK) dalam pengujian Undang-Undang (PUU) No 4/2014 yang dibacakan pada Kamis (16/2) patut dicermati secara kritis-akademis. Menempatkan dirinya sebagai `penafsir tunggal konstitusi', MK dalam putusannya mengatakan bahwa semua pokok permohonan merupakan `jantung' atau substansi inti dari UU No 4 Tahun 2014. MK memutus mengabulkan semua permohonan. Itu artinya, UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional).
Termasuk yang diatur dalam UU tersebut, yakni pembentukan panel ahli, majelis kehormatan hakim (MKH), dan syarat tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik (parpol) bagi calon hakim konstitusi, akhirnya batal diwujudkan. Terus terang, dalam pengamatan penulis, putusan MK ini `rumit' dipahami alur logika dan interpretasi hukumnya, meskipun secara positif MK berhasil `membebaskan' dirinya dari intervensi kekuasaan lain (pemerintah/eksekutif) sebagai akibat terbitnya Perppu No 1 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Status `genting dan memaksa' itu juga tidak cukup kuat sebagai alasan keluarnya perppu karena UU MK mengatur masih bisa bersidang dengan 7 (tujuh) hakim (minimal).

Rumit, karena asas universal nemo judex in re sua yang berlaku dalam kekuasaan kehakiman, bahwa `hakim tidak boleh menilai dirinya sendiri', secara terang dilanggar oleh MK ketika memutus perppu ini (termasuk sejumlah putusan lain yang juga menyentuh langsung MK). Nemo judex in re sua adalah asas yang diterima secara universal dan sahih. Termasuk dalam aspek pengawasan. MK seakan membatasi diri untuk tidak diawasi, baik oleh elemen masyarakat sipil maupun oleh lembaga negara yang dibentuk oleh UUD ataupun UU, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY). Ini jelas menentang prinsip check and balances dalam politik kekuasaan kehakiman. Soal keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli memang mereduksi kewenangan tiga lembaga negara; Presiden (pemerintah), DPR (legislatif ), dan MA (yudikatif ), dalam pengajuan (bukan pengusulan) 3 (tiga) hakim konsitusi.Tafsir UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur kewenangan KY sampai sejauh itu. Sekali lagi, ini tafsir UUD 1945, bukan tafsir UU.

Menjaga Martabat

Meski demikian, kedudukan KY sebagai salah satu ‘pelaku’ kekuasaan kehakiman (judicial power) tidak bisa dinafi kan. KY tetap memiliki peran yang sangat signifi kan dalam politik kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menempatkan KY bersama MK dan MA dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Tafsir konstitusi tersebut memberikan peran yang sangat penting bagi KY. KY tidak bisa hanya dipandang sebagai state auxiliary organ sehingga berakibat ia dipandang inferior dan menjadi ‘subordinat’ MA dan MK dalam politik kekuasaan kehakiman.

Pertanyaan konstitusionalnya ialah mengapa UUD 1945 menempatkan KY--yang notabene sebagai auxiliary organ--ke Bab Kekuasaan Kehakiman bersama MA dan MK? Tentu penempatan ini tidak asal. Konstitusi sadar, bahwa sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman, MK dan MA, memiliki kewenangan yang sangat besar. Nah, kewenangan itu besar potensi untuk disalahgunakan jika tidak diawasi. Oleh karena itu, konstitusi ‘memerintahkan’ KY untuk melakukan fungsi pengawasan dan menjaga keluhuran dan martabat hakim, tidak hanya hakim struktural di bawah MA, tapi juga termasuk hakim konstitusi dan hakim agung sendiri.

Pengawasan tersebut berpijak pada teori ‘tidak ada kekuasaan tanpa pengawasan’. Pengawasan yang dimaksud ialah pengawasan terhadap perilaku hakim, bukan kinerja hakim dalam memutus sebuah perkara. ‘Hakim’ itu tidak bisa ditafsirkan secara rigid dan sempit hanya pada hakim pada pengadilan di bawah MA. Namun semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, harus menjadi objek pengawasan KY. Status ‘agung’ dan ‘konstitusi’ itu hanya embel-embel dalam struktur kekuasaan kehakiman yang menempatkan MK dan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi.

Seyogianya MK-MA lebih bijak menempatkan diri. Oleh konstitusi, keduanya ditempatkan dalam posisi yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir konstitusi dan UU Kekuasaan Kehakiman harus dipahami sebagai satu kesatuan, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, tanpa memandang hierarki-struktural dan tanpa embel-embel ‘hakim agung’ atau ‘hakim konstitusi’ yang lebih superior ketimbang yang lain sehingga menimbulkan arogansi dan narsisme yang berlebihan. Hakim bukan tuhan atau dewa, melainkan manusia yang punya kekurangan.

Keberadaan KY seyogianya dipandang sebagai perwujudan prinsip check and balances antarcabang kekuasaan kehakiman. Sebagaimana keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hubungannya dengan DPR dalam struktur kekuasaan legislatif. Hadirnya KY mewujudkan harmonisasi kekuasaan kehakiman agar tidak ada kekuasaan yang kebablasan, dan tidak ada kekuasaan yang melampaui batas atau disalahgunakan (abuse of power) sehingga pengawasan mutlak diperlukan.

Membatasi independensi

Menjadi aneh ketika MK menggunakan dalil `intervensi' terkait fungsi pengawasan KY ini, sementara MK sendiri tidak independen terkait mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang berasal dari pemerintah dan DPR. Karena itu, menjadi patut untuk dikritik kekuasaan yang bersumber dari pemerintah dan DPR itu. Apakah itu bukan sebuah intervensi? Itu jelas intervensi, karena teori independensi kekuasaan kehakiman itu berpijak pada 2 (dua) aspek; aspek kelembagaan dan teknis peradilan, termasuk putusan. Kewenangan pemerintah dan DPR dalam pengajuan 3 (tiga) hakim konstitusi merupakan bentuk dari intervensi itu meskipun kewenangan tersebut bersumber dari konstitusi. Jadi dengan sendirinya, konstitusi sudah membatasi status independensi hakim MK itu.

Juga, MK tidak cukup bijak saat memutus perkara ini dengan tetap melibatkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida. Padahal diketahui, SK pengangkatan Patrialis dan Maria oleh Presiden digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di PTUN Jakarta dan dimenangkan. Penulis sepakat, sebagai peradilan konstitusional (constitutional court), independensi MK perlu tetap dijaga. Hal itu tidak saja sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), tapi juga untuk menguatkan fungsi MK sebagai pengawal hak asasi manusia.

Meski demikian, hal tersebut tidak lantas membuat MK `alergi' dan membatasi diri dari pengawasan. Jangan sampai kasus Akil Mochtar terulang lagi hanya karena MK alergi untuk diawasi. Kekuasaan yang besar cenderung korup itu sudah terbukti dalam kasus Akil. Hendaknya MK memahami itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar